Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 136769 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Reni Giarni
"Anemia akibat kekurangan zat besi merupakan masalah global yang perlu penanganan serius karena dampaknya yang berbahaya bagi kesehatan. Defisisensi zat besi dapat disebabkan oleh kurangnya asupan zat besi pada makanan yang dikonsumsi, serta daya serap zat besi yang rendah. Telah diketahui bahwa, peptida yang diperoleh dari hidrolisat protein dapat berperan sebagai pengkhelat besi. Peptida dapat meningkatkan kelarutan dan bioavailabilitas zat besi. Peptida dari hidrolisat protein memiliki efek membantu penyerapan zat besi melalui kemampuannya dalam mengkelat zat besi. BPPT atau Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi telah mengembangkan hidrolisat protein kedelai yang diperoleh secara hidrolisis termal dan enzimatis, dan telah diuji dapat meningkatkan penyerapan zat besi secara in vivo dan juga melalui uji efikasi pada remaja putri. Namun, untuk itu perlu diketahui peptida apa yang berperan dalam aktivitas penyerapan zat besi tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan karakterisasi dan identifikasi peptida dari hidrolisat protein kedelai yang berperan dalam meningkatkan penyerapan zat besi. Penelitian ini melakukan 2 tahap pemisahan, yaitu menggunakan membran ultrafiltasi Molecular Weight Cut Off 10 kD dan kromatografi kolom filtrasi gel menggunakan kolom superdex 30 untuk mengetahui peptida pada fraksi mana yang aktif berperan dalam pengikatan zat besi. Selanjutnya, untuk mengetahui karakter dari peptida yang berperan sebagai promotor penyerapan zat besi, maka dari setiap tahap pemisahan dilakukan analisis bobot molekul protein dengan SDS-PAGE dan analisis komposisi asam amino menggunakan HPLC. Sedangkan identifikasi peptida pengikat zat besi menggunakan LCMS/MS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peptida dari hidrolisat protein kedelai yang berperan sebagai promotor (membantu) pengikatan zat besi memiliki karakter bobot molekul sekitar 10 kDa, dengan komposisi asam amino terbesar adalah arginin, asam aspartat dan asam glutamat. Hasil analisis LCMS/MS terdeteksi 15 sekuen peptida yang berasal dari 4 protein yang terdapat pada kedelai. Dua diantaranya berasal dari protein kedelai yang belum terkarakterisasi, dan dua lainnya adalah protein kedelai yang sudah terkarakterisasi, yaitu berasal dari protein lipoxygenase dan β-konglisinin subunit β.

Anemia due to iron deficiency is a global problem that needs serious treatment because its effects are harmful to health. Iron deficiency can be caused by a lack of iron intake in food consumed, and a low absorption of iron. It is well known that, peptides obtained from protein hydrolysates can be known as iron chelating. Peptides can increase iron solubility, bioavailability, absorption and stability. Peptides from protein hydrolysates have the effect of helping to absorb iron through its ability to chelate iron. BPPT (Agency of Assessment and Application of Technology) has developed soybean protein hydrolysates obtained by thermal and enzymatic hydrolysis, and has been tested to increase iron absorption in vivo and also through clinical trials. For this reason, it is necessary to know what peptides play a role in the absorption of iron. The purpose of this study is to characterize and identify peptides from soybean protein hydrolyzates which play a role in increasing iron absorption. This study conducted two stages of separation, using a 10 kD Molecular Weight Cut Off ultrafiltration membrane and gel column filtration chromatography using a superdex 30 column to determine which peptides in which fraction were actively involved in iron binding. Furthermore, to determine the character of the peptide which acts as an iron absorption promoter, then from each phase of separation an analysis of molecular weight of protein with SDS-PAGE is carried out and analysis of amino acid composition using HPLC. Whereas identification of iron binding peptides using LCMS/MS. The results showed that the peptide of soybean protein hydrolyzate which acts as promoter (helps) iron binding has a molecular weight of about 10 kDa, with the largest amino acid composition being arginine, aspartic acid and glutamic acid. LCMS/MS analysis detected 15 sequences of peptides from 4 proteins in soybeans. Two of them come from soybean protein that has not been characterized, and the other two are soybean proteins that have been characterized, which are derived from the lipoxygenase protein and the β-conglisinin β subunit."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
T54007
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Astri Faradiba
"Fortifikasi makanan pokok dengan zat besi adalah strategi yang layak saat ini untuk meningkatkan asupan mineral zat besi. Dalam penelitian ini, kedelai dalam olahan tahu, tempe, dan susu diuji untuk kesesuaian sebagai media fortifikasi dengan zat besi. Ferrous fumarate dan ferrous bisglycinate ditambahkan pada beberapa variasi penambahan dan diuji bioavailabilitasnya secara in vitro pencernaan. In vitro pencernaan pada pangan berbasis kedelai menggunakan enzim pepsin dan campuran enzim pancreatin beserta extract bile. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bioavailabilitas zat besi yang difortifikasi pada pangan berbasis kedelai dapat terserap baik pada tahu dengan nilai efektivitas 94,86% untuk ferrous fumarate dan 77,14% untuk ferrous bisglycinate.

Fortification of staple foods with iron is a viable strategy at this time to increase the intake of iron minerals. In this study, processed soy in tofu, tempeh, and milk were tested for suitability as a medium for fortification with iron. Ferrous fumarate and ferrous bisglycinate added on some additional variations and tested its bioavailability in vitro digestion. In vitro digestion in soybean-based food using the pepsin enzyme and pancreatin enzyme mix along with extract bile. The results of this study indicate that the bioavailability of iron in fortified soy-based food can be absorbed well in tofu with the effective value for ferrous fumarate 94.86% and 77.14% for ferrous bisglycinate."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S56578
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azhar Darlan
"Tujuan utama dari penelitian ini untuk mengetahui efektifitas fortifikan zat besi dengan mengunakan variasi fortifikan FeSO4.7H2O campuran FeSO4 .7H2O + Na2H2EDTA .2H2O dan NaFeEDTA serta ketersediaan zat besi dalam sistim tubuh manusia dengan mengunakan metoda in vitro untuk mendapatkan fortifikan ideal pada sampel berbasis kedelai seperti pada susu kedelai cair dan tempe. Fortifikasi disini dipengaruhi oleh keberadaan fitat sebagai inhibitor besi yang terdapat pada kedelai. Kandungan fitat ditentukan metoda Davies dan Reid dengan mengunakan spetrofotometer UV-Vis dengan memakai larutan standar NaFitat 0,2 mM dan Ketersediaan secara in vitro dengan mengunakan metoda Svanberg. Kandungan fitat didapat pada susu kedelai cair 48,5 mg/100 mL dan tempe 188,4 mg/10 g. Molar rasio pada susu kedelai cair 9,22 dan tempe 2,34. Fortifikasi ideal dalam 10 g tempe adalah rentangan 70-150 mg untuk FeSO4.7H2O, 65 ? 125 mg untuk FeSO4.7H2O + Na2H2EDTA .2H2O dan 25-45 mg untuk NaFeEDTA. Fortifikasi ideal dalam 100 mL susu cair kedelai adalah rentangan 225-450 mg untuk FeSO4.7H2O, 175-350 mg untuk FeSO4.7H2O + Na2H2EDTA .2H2O dan 130-320 mg untuk NaFeEDTA.

The main goal of this research to know the efectiveness of fortification using variety of fortifican such FeSO4.7H2O mixture FeSO47H2O + Na2H2EDTA 2H2O and NaFeEDTA also availability of iron compound in body system by using in vitro methode to get ideal fortification in soy bean based sample such soymilk and tempe.This fortification influence by phytate as iron inhibitor in soybean. Phytate content was determined by Davie and Ray methode using spectrophotometer Uv- Vis, standar curve was measure using the Naphytate standar solution (0,2 mM) and availability in vitro using Svanberg methode. The phytate content in soymilk 48,5 mg/100 ml and tempe 188,4 mg/10 g of sampel. Phytate/iron molar ratio in soymilk 9,22 and tempe 2,34. The ideal fortification in 10 g tempe was range 70-150 mg for FeSO47H2O, 65 ? 125 mg for FeSO47H2O + Na2H2EDTA 2H2O and 25-45 mg for NaFeEDTA. The Ideal fortification in 100 mL soy milk was range 225-450 mg for FeSO47H2O, 175-350 mg for FeSO47H2O + Na2H2EDTA 2H2O and 130-320 mg for NaFeEDTA."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
T31891
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Lina Yuliana
"Kedelai (Glycine max.(L) Merrill) merupakan bahan pangan sumber protein nabati dan zat gizi lain. Selain mengandung zat gizi, kedelai juga mengandung zat anti gizi. Salah satu zat anti gizi tersebut adalah asam fitat. Besi (Fe) adalah salah satu mineral yang ketersediaannya paling dipengaruhi oleh fitat. Asam fitat dalam makanan berbahan dasar kedelai dapat menghambat penyerapan zat besi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh degradasi asam fitat pada penyerapan zat besi pada makanan berbasis kedelai seperti tempe, tahu dan susu kedelai, dan untuk membandingkan pengaruh penambahan FeSO4.7H2O dan ferrous bisglycinate sebagai fortifikan zat besi. Fortifikan zat besi divariasikan dengan menambahkan Fe total yang berbeda pada setiap sampel berdasarkan kurva kalibrasi asam fitat.
Hasilnya menunjukkan bahwa efektivitas tertinggi untuk 30 g kedelai pada tahu, tempe dan susu kedelai dengan penambahan FeSO4.7H2O adalah 25 mg (tahu), 50 mg (tempe) dan 100 mg (susu kedelai), dan untuk ferrous bisglycinate adalah 36 mg (tahu), 36 mg (tempe), dan susu kedelai 75 mg. Ferrous bisglycinate secara signifikan lebih efektif digunakan sebagai fortifikan zat besi pada bahan pangan berbasis kedelai dibandingkan dengan FeSO4.7H2O, karena ferrous bisglycinate berada dalam bentuk kompleks yang stabil dan bersifat sebagai agen pengkelat yang melindungi Fe dari inhibitor seperti asam fitat.

(Glycine max.(L) Merrill) is one of the protein sources which also containing other nutrients. Besides nutrients, soybean also contains anti nutrient compounds, one of them is phytic acid. Iron (Fe) may be the trace element which bioavailability is most influenced by phytate. Phytic acid in soy-based foods inhibits iron.
The aim of this study was to investigate the influence of phytic acid degradation on iron absorption from soy-based foods tempeh, tofu and soya milk, and to compare the effects of addition FeSO4.7H2O and ferrous bisglycinate. The iron fortificant was varied by adding different total iron (Fe) based on calibration curve of phytic acid.
The result shows that the highest effectivity for 30 g soybean in soy-based foods tofu, tempeh and soya milk with the addition of FeSO4.7H2O is 25 mg (tofu), 50 mg (tempeh) and 100 mg (soya milk), and for ferrous bisglycinate is 36 mg (tofu) , 36 mg (tempeh), and soy milk 75 mg. Ferrous bisglycinate was significantly more effective as iron fortificant in soy-based foods than FeSO4.7H2O as the result of stable complex and chelating agent.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
S43533
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andisti Rizky Marselina
"Peptida merupakan suatu komponen bioaktif yang beberapa tahun terakhir banyak dimanfaatkan dalam produk kosmetik, terutama produk perawatan kulit karena memiliki aktivitas sebagai antikerut. Vitamin B3 sebagai pelembab kulit akan memberikan efek sinergis sebagai antikerut apabila dikombinasi dengan peptida. Dalam penelitian ini, akan dilihat manfaat lain dari peptida yaitu sebagai bahan peningkat penetrasi melalui mekanisme mempengaruhi lipid intermolekuler lapisan tanduk. Oleh karena itu, diformulasikan suatu sediaan serum peptida dan gel tanpa peptida Cu-GHK untuk membandingkan perbedaan jumlah vitamin B3 yang terpenetrasi. Serum merupakan suatu bentuk sediaan baru yang berarti sediaan terkonsentrat tinggi dan mengandung peptida dengan viskositas rendah.
Daya penetrasi vitamin B3 diuji secara in vitro dengan alat sel difusi Franz menggunakan membran abdomen tikus. Nilai fluks vitamin B3 selama 8 jam beturut-turut ialah 688,9 dan 701,6 μg cm-2 jam-1. Hasil percobaan menyatakan bahwa peptida Cu- GHK menghambat penetrasi vitamin B3. Kemudian uji stabilitas fisik dilakukan melalui cycling test dan pengamatan pada penyimpanan selama 8 minggu di suhu tinggi (40° ± 2°C), suhu kamar (28 ± 2°C), dan suhu rendah (4° ± 2°C). Kedua sediaan menunjukkan kestabilan fisik yang baik dengan parameter kestabilan di ketiga suhu yaitu organoleptis, pH, dan viskositas (suhu kamar).

Peptide is a bioactive component that has been used in cosmetics in recent years, especially in skin care products because of its function as anti-wrinkle substance. In this research, peptide is not only as a bioactive component but also as a penetration-enhancing agent through the mechanism of intermolecular affect of stratum corneum lipids. The combination of the peptide and vitamin B3 result in a synergict effect producing anti-wrinkle substance which is as skin moisturizer. Therefore, gels were formulated with or without Cu-GHK peptide to compare the difference in the number of penetrated vitamin B3.
In vitro penetration study was determined with Franz diffusion cell using rat abdominal membrane. Vitamin B3 flux values within 8 hours process were recorded 688,9 dan 701,6 g cm-2 hour-1. It opposite hipotesis because of peptide was not increased the penetration. Then, physical stability test of gels were performed through cycling tests and observation on storage for 8 weeks at high temperature (40 ° ± 2 ° C), room temperature (28 ± 2°C), and cold temperature (4 ° ± 2 ° C). Both of gels show good physical stability on three parameters of stability, are organoleptic, pH, and viscosity (room temperature).
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2012
S43255
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bailey, P.D.
Chichester: John Wiley & Sons, 1990
547.756 BAI i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Luthfy Dzikrillah Hanindi Alfaqih Mas`udi
"Di dalam studi ini, kami mengidentifikasi parameter fisiologis yang paling penting dalam menentukan dosis serap (DS) individual organ at risk (OAR) dan tumor di dalam Peptide-receptor radionuclide therapy (PRRT). Oleh karena itu, global sensitivity analysis (GSA) dengan metode Sobol dan model physiologically-based pharmacokinetic (PBPK) digunakan. Model PBPK seluruh-tubuh yang telah dibangun untuk perencanaan pengobatan PRRT untuk pasien-pasien meningioma digunakan. Parameter-parameter fisiologis of interest untuk analisis GSA merupakan parameter yang sebelumnya telah diestimasi dari data biokinetik dan dilaporkan di dalam literature, yaitu densitas reseptor organ Rd, aliran serum organ f, laju degradasi, dan laju pengikatan peptide. GSA dengan metode Sobol dipilih berdasarkan akurasinya untuk studi-studi sensitivitas. Sebuah toolbox GSA berbasis MATLAB yang umum digunakan (https://www.safetoolbox.info/) dan program in-house berbasis software MATLAB  (versi R2018b) digunakan untuk analisis. Metode sampling dengan distribusi log-normal digunakan untuk menghindari nilai-nilai negatif dari parameter-parameter yang disampel. Efek-efek utama Si dan efek-efek total STi dihitung dan dianalisis menggunakan program GSA dan model PBPK untuk identifikasi pentingnya masing-masing parameter model i untuk individualisasi DS di dalam PRRT. Untuk menjamin konvergensi dari nilai Si and STi, berbagai jumlah simulasi model hingga 15000 sampel digunakan. Variabilitas inter-individual DS tumor (koefisien variasi KV mencapai 97.05%) lebih tinggi dibandingkan OAR (mis. Ginjal KV sekitar 31.59%). Densitas reseptor teridentifikasi sebagai parameter yang paling penting yang menentukan DS dari tumor, mis. [RdTU2]: Si = 0.856, STi = 0.951. Hasil yang sama juga ditemukan untuk OAR dimana densitas reseptor memiliki efek utama dan efek total yang paling tinggi  [RdK]: Si = 0.802, STi = 0.963. Kami telah menunjukan implementasi GSA yang pertama kali dengan metode Sobol untuk identifikasi parameter-parameter yang paling penting untuk individualisasi DS di dalam PRRT. Hasil yang kami miliki menyarankan pengukuran yang akurat terhadap densitas-densitas reseptor untuk sebuah penentuan DS tumor dan OAR yang akurat.

In this study, we identified the most important physiologic parameters determining the individual organ at risk and tumor absorbed doses (ADs) in Peptide-receptor radionuclide therapy (PRRT). Therefore, a global sensitivity analysis (GSA) with Sobol method and a physiologically-based pharmacokinetic (PBPK) model were used. A whole-body PBPK model that has been developed for treatment planning in PRRT therapy for meningioma patients was used. The physiologic parameters of interest for the GSA analysis were the parameters that have been previously estimated from the biokinetic data and were reported in the literature, i.e. the organ receptor densities Rd, organ flows f, organ release rates, and peptide binding rate. GSA with Sobol method was chosen based on its accuracy for sensitivity studies. A widely used GSA MATLAB-based toolbox (https://www.safetoolbox.info/) and an in-house program based on MATLAB software (version R2019b) were used for the analysis. The sampling method with a log-normal distribution was used to avoid any negative values of the sampled parameters. The main effects Si and total effects STi were calculated and analyzed using the GSA program and the PBPK model to identify the importance of each model parameter i for the individualization of the ADs in PRRT. To warrant the convergence of the calculated Si and STi, various numbers of model simulations up to 15000 samples were used. The inter-individual variability of tumor ADs (coefficients of variation CV up to 97.05%) was higher than that in the organ at risk (e.g. kidneys CV around 31.59%). Receptor density was identified as the most important parameters determined the ADs of tumors, e.g. [RdTU2]: Si = 0.856, STi = 0.951. The same results was found for the organ at risk where the receptor density had the highest main effect and total effect values, e.g. [RdK]: Si = 0.802, STi = 0.963. We have shown the first implementation of the GSA with the Sobol method to identify the most important parameters for the individualization of the calculated ADs in PRRT. Our results suggested an accurate measurement of the receptor densities for an accurate determination of the tumor and organ at risk ADs."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusniar Yusuf
"Untuk mengetahui pengaruh kolkisin terhadap hasil tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merrill) varietas Orba, biji-biji kedelai direndam dalam berbagai konsentrasi kolkisin, masing-masing selama 3, 6, dan 9 jam. Konsentrasi kolkisin yang dimaksud adalah 0, 100, 200, 300, dan 400 ppm. Selanjutnya biji tersebut ditanam dalam kantung polietilen hitam. Metode penelitian adalah rancangan acak lengkap. Analisis variansi 2 faktor pada a = 0,05 menunjukan bahwa lama perendaman biji berpengaruh terhadap jumlah polong dan biji, nilai tertinggi berturut-turut dihasilkan 22,87 polong dan 42,20 biji, yaitu pada perendaman 3 jam. Tingkat konsentrasi kolkisin berpengaruh terhadap jumlah polong, jumlah biji, dan ukuran biji. Ukuran biji tertinggi dihasilkan pada konsentrasi kolkisin 400 ppm, yaitu seberat 16,19 g/100 biji. Jumlah polong dan biji tertinggi dihasilkan pada konsentrasi kolkisin 0 ppm, masing-masing dengan nilai 34,56 polong dan 62,22 biji. Interaksi lama perendaman biji dan tingkat konsentrasi kolkisin hanya berpengaruh terhadap ukuran biji. Ukuran biji tertinggi dihasilkan pada lama perendaman 9 jam dengan tingkat konsentrasi kolkisin 400 ppm, yaitu 19,44 g/100 biji. Persentase protein meningkat sejalan dengan besarnya konsentrasi dan lama perendaman biji dalam larutan kolkisin sedangkan persentase karbohidrat menurun pada semua perlakuan bila dibandingkan dengan kontrol."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1993
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Evennia
"Kacang kedelai merupakan sumber isoflavon terbanyak dan salah satu produk olahannya ialah susu kacang kedelai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian susu kacang kedelai terhadap kadar glukosa darah mencit putih jantan galur ddY yang dibebani glukosa. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan 25 ekor mencit putih jantan galur ddY yang terbagi dalam 5 kelompok, yaitu kontrol normal (CMC 0,5% 0,5 ml/20 g BB), kontrol pembanding (Metformin HCl 13 mg/20 g BB), dan 3 variasi dosis uji (0,325 g kedelai/20 g BB; 0,65 g kedelai/20 g BB; 1,3 g kedelai/20 g BB) yang diberikan dalam bentuk susu kacang kedelai. Mencit terlebih dahulu diukur kadar glukosa darah puasa, kemudian diberikan larutan uji. Tiga puluh menit setelah perlakuan, kadar glukosa darah diukur kembali, kemudian diberikan glukosa 2 g/kg BB per oral. Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan pada menit ke-30, 60, 90, 120 setelah pembebanan glukosa. Kadar glukosa darah diukur dengan menggunakan glukometer ACCU-CHEK® Active. Pemberian susu kacang kedelai dapat menurunkan kadar glukosa darah mencit putih jantan galur ddY yang dibebani glukosa pada semua dosis (0,325; 0,65; 1,3 g kacang kedelai/20 g BB mencit), namun penurunan kadar glukosa darah yang terbaik terlihat pada dosis 1 (0,325 g kacang kedelai/20 g BB mencit).

Soybean is most abundant source of isoflavones and one of soy products is soybean milk. This study was made to investigate the effect of soybean milk administration towards blood glucose level in glucose loaded male ddY mice. A completely randomized design was conducted using 25 male ddY mice that were divided into 5 groups; normal control (CMC 0,5% 0,5 ml/20 g b.w.), drug control (Metformin HCl 13 mg/20 g b.w.), and 3 different treatment doses (0,325 g soybean/20 g b.w.; 0,65 g soybean/20 g b.w.; 1,3 g soybean/20 g b.w.) which were given in soybean milk. Fasting blood glucose was measured and mice were treated based on their groups. Thirty minutes after treatment, blood glucose level was measured again and then mice were loaded glucose 2 g/kg b.w. orally. Blood glucose level was measured at 30, 60, 90, and 120 minutes postload glucose. Blood glucose level was measured by using ACCU-CHEK® Active meter. Administration of soybean milk lowered blood glucose level in glucose loaded male ddY mice treated with 0,325; 0,65; 1,3 g soybean/20 g b.w., but treatment with 0,325 g soybean/20 g b.w. showed the best reduction of blood glucose level."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2012
S42758
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Soybean pod borer (Etiella zinckenella treitschke) is an reported from all of soybean planting areas in Indonesia. Besides E. zinckenella, there are four others pod borer species identified in Indonesia, namely E hobsoni Butler, E.chrsoporella Meurick, E. grisea drososcia Meyrick stat n and E behrii zeller E zinckenella is wedely causing severa damage to soybean areas...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>