Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 100747 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Syazka Kirani Narindra
"Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran hubungan surat terimakasih dan subjective well being pada emerging adult. Penelitian dilaksanakan dalam kurun waktu 4 sesi dan dalam tiga sesi dengan 38 partisipan tersebut diminta untuk menuliskan surat terimakasih kepada individu yang dianggap penting. Surat terimakasih dituliskan secara ekspresif, reflektif, orientasi positif dan tidak basa-basi. Partisipan kemudian ditanyakan apakah mau untuk mengirim surat atau tidak dan kepada siapa surat tersebut dikirim. Subjective well being terdiri atas simptom depresi, rasa syukur, kebahagiaan dan kepuasan hidup. Gratitude Questionnaire 6 untuk mengukur rasa syukur, Beck Depression Inventory untuk mengukur simptom depresi, Subjective Happiness Scale untuk mengukur kebahagiaan dan Satisfaction With Life Scale untuk mengukur kepuasan hidup.
Berdasarkan hasil pengukuran repeated measured ANOVA diketahui bahwa skor simptom depresi memiliki hubungan dengan surat terimakasih (F=6.12, p<0.001) namun tidak signifikan pada kebahagiaan, rasa syukur dan kepuasan hidup. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara surat terimakasih dan subjective well being pada emerging adult. Ditemukan terdapat hubungan surat terimakasih dan simptom depresi pada emerging adult.

This research purposed to examine the description of relationship between thank you letter and subjective well being on emerging adult. This research conducted in 4 sessions, during the first three session with the 38 participants, the participants were asked to write down a thank you letter to those who is matters to them. The letter should be written in an expressive, reflective, positive oriented and non-trivial. Participant then asked if they want to send the letter or not and were asked to whom the letter was sent. Subjective well being consists of depressive symptoms, gratitude, happiness and life satisfaction. Gratitude Questionnaire 6 to measure gratitude, Beck Depression Inventory to measure depressive symptoms, Subjective Happiness Scale to measure happiness and Satisfaction With Life Scale to measure life satisfaction.
The results showed that there are a significant relationship between depressive symptoms and thank you letter (F= 6.12, p<0.001) but there are no significant relationship between happiness, gratitude and life satisfaction with thank you letter. This shows that there are no relationship between thank you letter and subjective well being on emerging adult. There are relationship between thank you letter and depressive symptoms on emerging adult.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
T53274
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Azzahra Rivardi
"Emerging adulthood adalah fase kehidupan individu yang dipenuhi oleh banyak perubahan dalam berbagai aspek, salah satunya adalah dalam aspek psikosial. Pada periode ini, muncul kebutuhan untuk menjalin relasi dan hubungan intim dengan individu lainnya. Untuk dapat menjalin hubungan dengan baik dan sehat, emerging adulthood perlu untuk memiliki subjective well-being yang baik. Subjective well-being yang dimiliki oleh individu ditentukan oleh banyak faktor, salah satunya adalah tipe attachment yang dimiliki oleh individu dengan orang tua. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan subjective well-being berdasarkan tipe adult attachment yang dimiliki oleh individu. Adult attachment style akan ditentukan menggunakan alat ukur Experience in Close Relationship - Short Form (ECR-SF) dan subjective well-being akan diukur menggunakan Satisfaction with Life Scale (SWLS) dan Positive and Negative Affect Schedule(PANAS). Partisipan sebanyak 311 individu baik perempuan maupun laki-laki berusia 18-25 tahun menjadi sampel dalam penelitian ini. Menggunakan metode analisis uji beda ANOVA nonparametrik Kruskal-Wallis, terbukti bahwa terdapat perbedaan subjective well-being berdasarkan tipe adult attachment style yang signifikan, dengan tipe attachment securememiliki subjective well-being paling baik dilihat dari ketiga komponen subjective well-being, yaitu kepuasan hidup (kognitif), afek positif (afektif), dan afek negative (afektif). Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan pengetahuan dan informasi terkait tipe adult attachment style dan subjective well-being pada emerging adulthood.

Emerging adulthood is a phase of an individual's life that is filled with many changes in various aspects, one of which is the psychosocial aspect. In this period, the need arises to establish relationships and intimate relationships with other individuals. To be able to have good and healthy relationships, emerging adulthood needs to have good subjective well-being. An individual's subjective well-being is determined by many factors, one of which is the type of attachment the individual has with their parents. This research aims to look at differences in subjective well-being based on the type of adult attachment an individual has. Adult attachment style will be determined using the Experience in Close Relationship - Short Form (ECR-SF) measuring instrument and subjective well-being will be measured using the Satisfaction with Life Scale (SWLS) and Positive and Negative Affect Schedule (PANAS). Participants totaling 311 individuals, both women and men aged 18-25 years, were the samples in this study. Using the Kruskal-Wallis non-parametric ANOVA different test analysis method, it was proven that there were significant differences in subjective well-being based on the type of adult attachment style, with the secure attachment type having the best subjective well-being seen from the three components of subjective well-being, namely life satisfaction. (cognitive), positive affect (affective), and negative affect (affective). The results of this research can be used to develop knowledge and information regarding types of adult attachment style and subjective well-being in emerging adulthood."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rakhen Naufal Rifananda
"Beberapa penelitian menemukan berbagai beban dan kekhawatiran mengenai masa depan yang dimiliki oleh Generasi sandwich. Kekhawatiran yang dimiliki meliputi kondisi finansial di masa depan dan kondisi kesehatan orang tua yang sudah lansia. Kekhawatiran tersebut memiliki konsekuensi terhadap kesehatan fisik, mental dan kesejahteraan subjektif mereka. Memiliki ekspektasi positif mengenai masa depan, atau biasa disebut sebagai optimisme, diduga dapat mengurangi efek buruk dari berbagai kekhawatiran tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat hubungan antara optimisme dan kesejahteraan subjektif. Jumlah partisipan penelitian adalah 128 orang dalam rentang umur 35-60 tahun yang menanggung kebutuhan anak dan keluarganya dalam waktu yang bersamaan. Hasil analisis Pearson correlation menunjukkan adanya korelasi positif dan signifikan antara optimisme dan kesejahteraan subjektif. Hal ini dapat diartikan bahwa untuk generasi sandwich, semakin tinggi optimisme akan semakin tinggi kesejahteraan subjektifnya.

Several studies have found various burdens and worries sandwich generation has regarding the future. Future financial state and their parents’ deteriorating health are one of their biggest concerns. These worries have negative consequences on their physical health, mental health, and their subjective well-being. Having a positive expectation regarding the future, also known as optimism, is thought to be able to negate the negative effects their worries have. The purpose of this study was to examine the relationship between optimism and subjective well-being. There were 128 participants ranging from 35-60 years of age who actively take care of their children and parents at the same time. Pearson correlation analysis of the data has shown that there is a significant positive relationship between optimism and subjective well-being. This can be interpreted that for sandwich generation, the higher the optimism the higher their subjective well-being."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bilqis Sekar Ayu Maharani
"Dihadapi dengan ketidakstabilan dan tantangan masa emerging adulthood, individu cenderung rentan akan masalah psikologis. Salah satu hal yang dapat menjadi faktor protektif individu pada masa ini adalah keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran keberfungsian keluarga terhadap aspek kognitif dan aspek afektif subjective well-being pada emerging adult. Terdapat 311 partisipan WNI berusia 18–25 tahun yang diukur keberfungsian keluarga serta subjective well-being-nya menggunakan Family Assessment Device, Satisfaction With Life Scale, dan Positive and Negative Affect Scale. Hasil penelitian menunjukkan keberfungsian keluarga secara signifikan berperan pada subjective well-being, baik pada aspek kognitif (Adjusted R2 = 0,262, p < 0,001), afek positif (Adjusted R2 = 0,093, p < 0,001), maupun afek negatif (Adjusted R2 = 0,090, p < 0,001). Dari 6 dimensi keberfungsian keluarga (pemecahan masalah, komunikasi, peran, respon afektif, keterlibatan afektif, dan kontrol perilaku), dimensi peran dan respon afektif berperan pada aspek kognitif dan afek positif subjective wellbeing sementara dimensi keterlibatan afektif berperan pada afek negatif subjective wellbeing. Melalui hasil penelitian ini, keluarga dan emerging adult diharapkan mampu membentuk fungsi peran, respon afektif, dan keterlibatan afektif yang efektif agar subjective well-being individu pada emerging adult optimal.

Emerging adults tend to be vulnerable to psychological problems due to the instability and challenges of emerging adulthood. One of the protective factors in this life period is family. This research aims to examine the influence of family functioning on cognitive and affective aspects of subjective well-being in emerging adult. There were 311 Indonesian participants, aged 18–25 years old, who had their family functioning and subjective well-being measured using the Family Assessment Device, Satisfaction With Life Scale, and Positive and Negative Affect Scale. Research results show that family functioning significantly influences subjective well-being, whether in life satisfaction (Adjusted R2 = 0,262, p < 0,001), positive affect (Adjusted R2 = 0,093, p < 0,001), or negative affect (Adjusted R2 = 0,090, p < 0,001). Among the 6 dimensions of family functioning (problem solving, communication, role, affective responsiveness, affective involvement, and behavior control), the role and affective responsiveness dimension influences the cognitive aspects and positive affect of subjective well-being. On the other hand, affective involvement dimension influences the negative affect of subjective wellbeing. From these results, family and emerging adults should be able to maintain effective functioning of family roles, affective responsiveness, and affective involvement so that emerging adults' subjective well-being is optimal."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Hubungan interpersonal merupakan salah satu ciri khas kualitas kehidupan manusia karena
sudah menjadi sifat kodrat bahwa manusia adalah makhluk monodualis yang memiliki sifat makhluk
individu dan sosial. Dalam banyak hal, manusia memerlukan keberadaan orang lain untuk saling
memberi perhatian, membantu, mendukung, dan bekerja sama dalam menghadapi tantangan
kehidupan. Sejak bayi, manusia sudah memerlukan individu Iain, hingga saat individu memasuki
masa usia lanjut pun, individu akan merasa hidupnya "Kaya" dengan kehadiran individu-individu lain
yang memperhatikan dirinya (Papalia dan Olds, 1995; Grothberg, 1999).
Seinng berlambahnya usia, banyak lanjut usia yang sudah ditinggalkan oleh pasangan
hidupnya. Selain itu, banyak juga Ianjut usia yang mengalami sangkar kosong (empty nest) karena
ditinggalkan anak-anaknya yang pergi untuk melanjutkan pendidikan atau bekerja. Akibatnya, lanjut
usia mengalami kesepian. Akan tetapi bagi sebagian lanjut usia, hal tersebut tidak menjadi masalah
karena ia berusaha memanipulasi Iingkungan secara aktif dan konstrulctif melalui aktivitas tisik,
sosial, dan mental (Ryff, 1989). Dengan mengikuti aktivitas sosial, individu lanjut usia memiliki
kesempatan untuk manialin hubungan interpersonal dengan individu-individu Iain yang sebaya
dengan dirinya.
Keinginan untuk mencari teman yang sebaya dengan dirinya merupakan karakteristik Khas
pada masa usia lanjut (Schell, 1975; Carstensen, 1992). Hal ini dikarenakan terjadinya proses saling
tukar pengalaman melalui suclut pandang yang sama sehingga timbul perasaan dimengerli dan
didukung (Atwater, 1983; Craig, 1986; Ebersole dan Hess, 1990), aldbatnya dukungan emosi yang
sangat dibutuhkan pada masa tua dapat terpenuhi (Antonucci dan Akiyama dalam Quadagno, 2002).
Dari berbagai penelitian juga dikelahui bahwa tersedianya sumber dukungan dapat berguna sebagai
Stress bufer (Thoits, 1985; Lin dkk., 1986; Cohen dan Willis, 1985 dalam Briselte, Carver, dan
Scheier, 2002). Pertemanan dengan individu sebaya juga dapat mempertahankan kemampuan
individu lanjut usia untuk menyesuaikan diri dengan baik terhadap stress masa tua (Lowenlhal dan
Haven dalam Schell, 1975; Berkman dalam Birnan dan Schaie, 1990; Zander, 1990). Adanya teman
pada masa tua juga dapat memperpanjang usia (Steinbeck, 1992 dalam Papalia dan Olds, 1995).
Hal ini dapat terjadi karena individu lanjut usia yang memiliki teman akan merniliki sudut pandang
yang positif terhadap kehidupan, yang akhimya akan meningkatkan kualitas hidupnya (Reitch dan
Zautra, 1981 dalam Dwyer, 2000).
Lebih jauh dijelaskan oleh Carstensen (1992) bahwa cara terbaik dalam memilih teman
sebaya adalah dengan memperlahankan hubungan dengan teman-teman Iamanya. Lingkungan
tempat tinggal menjadi sarana yang memadai bagi para Ianjut usia untuk mempertahankan hubungan
dengan teman-teman Iama yang sebaya dengan dirinya. Hal ini clikarenakan mereka telah saling
mengenal sejak lama sehingga resiko tenadinya selisih paham dapat diminimalkan, sorta sudah
terbeniuknya social involvement dan mutual help (Adams dalam Papalia dan Olds, 1995). Oleh
karenanya, tempat tinggal dan rasa memiliki temadap lingkungan sekitamya memiliki pengaruh yang
cukup signiikan bagi psychological well being kaum Ianjut usia (Crown clan Longino dalam Tumer
dan Helms, 1987; Datan dan Lohman dalam lndati, 1992; Quadagno, 2002).
Peneliti menggunakan teori psychological well being yang clikemukakan oleh Ryfl (1989).
Aclapun dimensi-dimensi psychological wellbeing dari Rylf (1989) adalah penerimaan diri, hubungan
dengan individu lain, kemandirian, penguasaan lingkungan perlumbuhan pribadi, dan tujuan hidup.
Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well being adalah faklor evaluasi lerhadap
pengalaman kehidupan, dan faktor dukungan sosial.
Salah satu altematif yang dapat dilakukan Ianjut usia untuk menyaluikan kebutuhan
sosialisasi mereka adalah dibentuknya perkumpulan lansia. Peneliti tenarik untuk mengetahui ada
lidaknya gambaran psychological well being pada individu Ianjut usia yang al-clif dan tldak al-ctif dalam
aktivitas sosial sesuai teori yang dikemukakan Neugarten, Havighurst, dan Tobin (1961 dalam Ryff,
1909). Ketertarikan peneliti semakin dalam saat membaca kurangnya penelitian mengenai lanjut usia
di bidang psikologi konseling (Fassinger dan Schlossberg, 1992; Gelso dan Fassinger, 1990 dalam
Hanson dan Minlz, 1997). Padahal hasil sensus menunjukkan bahwa dewasa ini, 1 dari 10 orang
yang ada di dunia berusia di atas 60 tahun. Data statistik terakhir yang dikeluarkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa mamperlihatkan bahwa jumlah orang yang bemsia di alas 60 tahun diperkirakan
berjumlah sekitar 605 juta jiwa. Diprediksikan akan meningkat 2 kali lipat, yakni sekitar 1,2 milyar jiwa
di tahun 2025. Di negara-negara berkembang jumlah Ianjut usia mencapai hampir % dari jumlah yang
diprediksikan tersebut (Jurnal Perempuan, Oktober 2003). Adapun Indonesia diperlrirakan akan
menjadi negara ketiga terbanyak dalam jumlah Ianjut usia setelah China dan Amerika. Pada tahun
2000 jumlah lanjut usia di indonesia sekitar 15,3 juta jiwa (Majalah Selip, April 2001 dalam Wakhida
dkk, 2002). Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian Studi Kasus untuk
menjawab pem1asalahan dalam penalitian ini.
Berdasarkan observasi dan wawancara yang dilakukan, diketahui bahwa individu Ianjut usia
yang aktif dapat menoapai psychological well being, dan individu yang tidak lagi aktif tidak dapat
memenuhi dimensi kemandirian, penguasaan lingkungan, perlumbuhan pribadi, dan mengalami
kesulitan untuk memaknai keberadaannya atas kehidupan yang sudah dijalani.
Untuk penelitian selanjutnya, hendaknya digunakan lebih banyak subjek dengan latar
belakang yang Iebih beragam sehingga didapalkan gambaran yang Iebih bervariasi, triangulasi data
clan triangulasi melodologi, serta studi Iiteralur buku mengenai psychological well being yang Iebih
banyak
Saran praktis dari peneliti untuk palugas instansi terkait yang mangumsi masalah posyandu
Ianjut usia, hendaknya memberi perhatian seoara lebih baik sehingga dukungan sosial yang
clibutuhkan benar-banar dapat dirasakan oleh Ianjut usia yang ada dalam kelompok binannya, dan
juga buatlah inovasi-inovasi dalam membuat program kegiatan, Selain ilu, Sosialisasi kepada
masyarakat mengenai pentingnya aktivitas di usia tua sahlngga masyarakat tidak terjebak dengan
stereotipi bahwa masa tua adalah masa untuk menjauhkan diri dari berbagai aktivitas sosial. Yang
tidak kalah panting, untuk keluarga yang memiliki lanjut usia hendaknya momberi kesempatan
kepada lanjut usia untuk letap aktif di masa tuanya. Keluarga dapat membantu dengan menyediakan
informasi mengenai organisasi Ianjut usia yang dapat dimasuki oleh orang tuanya. Lalu, untuk Ianjut
usia yang lidak aklif tetap dijaga silaturahminya sehingga ia merasa tetap memiliki teman, khususnya
pada Ianjut usia yang tidak dapat aktif karena alasan kesehatan. "Tidak ketinggalan, untuk pralansia
sebaiknya mempersiapkan diri secara baik agar tetap dapat aktif di usia tua, misal dengan mulai rajin
olah raga atau menjaga pola makan. Intinya, kembangkan gaya hidup sehat sedini mungkin. Jangan
lupa untuk banyak mencari informasi mengenai lanjut usia sehingga tidak adanya kekagetan bila
nantinya menghadapi berbagai perubahan yang dialami, dimana hal ini dapat dilakukan dengan
banyak terlibat pada aktivitas sosial sehingga saling belajar dari anggota lain."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38783
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wuri Ayu Puspita Sari
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah perceived social support memoderasi hubungan antara distres psikologis dan kesejahteraan psikologis. Partisipan dalam penelitian ini adalah emerging adults Indonesia berusia 18-25 tahun berjumlah 828 partisipan. Hasil pengolahan data menggunakan teknik analisis regresi menunjukkan bahwa perceived social support tidak memoderasi hubungan antara distres psikologis dan kesejahteraan psikologis, β = 0.0016, t(828) = 0,66, p>0,5, yang berarti perceived social support tidak memperkuat atau memperlemah hubungan antara distres psikologis dan kesejahteraan psikologis. Namun, jika dilihat secara terpisah, ditemukan bahwa distres psikologis secara signifikan dapat memprediksi kesejahteraan psikologis, β = - 0.27, t(828) = -15.05, p<0.05. Selain itu, perceived social support secara signifikan dapat memprediksi kesejahteraan psikologis, β = 0.51, t(828) = 11.65, p<0.05.

This study aims to determine whether perceived social support moderates the relationship between psychological distress and psychological well-being. Participants in this study were Indonesian emerging adults aged 18-25 years totaling 828 participant. The results of data processing using regression analysis techniques show that perceived social support does not moderate the relationship between psychological distress and psychological well-being, β = 0.0016, t (828) = 0.66, p> 0.5, which means perceived social support does not strengthen or weaken the relationship between psychological distress and psychological well-being. However, when viewed separately, it was found that psychological distress could significantly predict psychological well-being, β = - 0.27, t (828) = -15.05, p <0.05. In addition, perceived social support can significantly predict psychological well-being, β = 0.51, t (828) = 11.65, p <0.05."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Clarisa Sutjiatmadja
"Psychological Well-being (PWB) selama masa remaja menjadi salah satu penentu kesehatan mental di masa dewasa mendatang. Penelitian terdahulu menemukan bahwa Intolerance of Uncertainty (IU), sebagai variabel yang mempengaruhi bagaimana seseorang memaknai dan menanggapi situasi yang tidak pasti, dapat mempengaruhi PWB individu. Salah satu variabel yang diduga dapat menjelaskan hubungan keduanya adalah Dispositional Mindfulness (DM), yaitu kapasitas bawaan untuk mempertahankan perhatian pada pengalaman saat ini dengan sikap terbuka dan tidak menghakimi. Namun, dinamika antara ketiga variabel tersebut belum pernah diteliti pada remaja di Indonesia, sedangkan karakteristik tahap perkembangan remaja menunjukkan pentingnya ketiga variabel di masa ini. Maka penelitian ini bertujuan melihat bagaimana peran DM sebagai mediator antara hubungan IU dan PWB pada remaja di Indonesia. IU diukur menggunakan skala IUS-12, DM dengan skala MAAS, dan PWB dengan skala Ryff’s Psychological Well-being. Partisipan berjumlah 352 remaja SMP dan SMA berusia 13-18 tahun (M = 16.08) yang mengisi seluruh alat ukur secara daring. Berdasarkan hasil analisis mediasi, ditemukan bahwa DM secara parsial memediasi hubungan antara IU dan PWB (b= -.17, p < .01).

Psychological Well-being (PWB) during adolescence becomes one of the determinants of mental health in adulthood. Previous research found that Intolerance of Uncertainty (IU), as a variable that influences how a person perceives, interprets, and responds to uncertain situations, can affect individual PWB. One of the variables that is thought to explain the relationship between the two is Dispositional Mindfulness (DM), namely the innate capacity to maintain attention on current experiences in an open and non-judgmental attitude. However, the dynamics between these three variables has never been studied in adolescents in Indonesia, while the characteristics of the stages of adolescent development show the importance of the three variables at this time. So this study aims to see how the role of DM as a mediator between the relationship between IU and PWB in adolescents in Indonesia. IU was measured using the IUS-12 scale, DM was measured by the MAAS scale, and PWB was measured by Ryff's Psychological Well-being scale. The participants were 352 junior high and high school youth aged 13-18 years (M = 16.08) who filled out all measuring instruments online. Based on the results of mediation analysis, it was found that DM partially mediated the relationship between IU and PWB (b= -.17, p < .01).
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah Qonita
"Religious coping pada penelitian sebelumnya menunjukkan efikasi dan peran yang berbeda-beda dalam hal signifikansi hubungannya dengan subjective well being. Penelitian ini bertujuan untuk menguji kembali hubungan religious coping dengan subjective well being pada populasi emerging adulthood, dengan metode korelasional. Instrumen yang digunakan Brief RCOPE dan The PERMA Profiler. Partisipan penelitian berjumlah 278 partisipan, yang berusia 18-25 tahun (M = 21.48, SD = 1.714) dan berkewarganegaraan Indonesia. Hasil penelitian menunjukan bahwa hipotesis peneliti diterima. Pertama, didapatkan bahwa penggunaan positive religious coping berasosiasi dengan subjective well being yang lebih tinggi pada emerging adulthood. Kedua, negative religious coping berasosiasi dengan subjective well being yang lebih rendah pada emerging adulthood. Hasil ini dapat menjadi bahan pertimbangan intervensi maupun prevensi untuk emerging adult yang menggunakan negative religious coping.

Religious coping in previous studies showed different efficacy and roles in terms of the significance of the relationship with subjective well being. This study aims to re-examine the relationship between religious coping and subjective well-being among emerging adults, using the correlational method. The instruments used were Brief RCOPE and The PERMA Profiler. There were 278 participants in the study, aged 18-25 years (M = 21.48, SD = 1.714) and Indonesian citizens. The results showed that the research hypothesis was accepted. First, it was found that the use of positive religious coping was associated with higher subjective well being in emerging adulthood. Second, negative religious coping is associated with lower subjective well being in emerging adulthood. These results can be used as material for consideration of interventions and prevention for emerging adults who use negative religious coping."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Syifadewi
"Subjective well-being merupakan salah satu topik psikologi positif yang penting untuk dikaji dalam tahapan usia emerging adult. Berbagai tantangan dan permasalahan yang dilalui dapat menjadi faktor risiko bagi well-being mereka. Di antara berbagai aspek yang dapat berhubungan dengan subjective well-being, solitude diasumsikan berperan sebagai faktor protektif bagi well-being. Solitude merupakan kondisi objektif dari kesendirian yang umumnya digunakan secara konstruktif. Oleh karena itu, penelitian ini hendak melihat hubungan solitude dan subjective well-being pada emerging adulthood. Terdapat 317 partisipan berusia 18-25 tahun (M = 21.51, SD = 1.78) yang berpartisipasi dalam penelitian ini. Hasil penelitian menggunakan alat ukur Perth A-Loneness Scale (PALs) (Houghton dkk., 2014) dan The PERMA-Profiler adaptasi Indonesia (Elfida dkk., 2021) menunjukkan bahwa solitude berhubungan positif signifikan dengan subjective well-being. Temuan ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi kecenderungan dewasa muda menerapkan solitude maka semakin tinggi tingkat subjective well-being.

One of the important areas of positive psychology to research in emerging adult period is subjective well-being. The various challenges and problems they go through can be a risk factor for their well-being. Among the various aspects that can be related to subjective well-being, solitude is assumed to act as a protective factor for well-being. Solitude is an objective condition of solitude that is generally used constructively. Therefore, this study aims to examine the relationship between solitude and subjective well-being in emerging adulthood. There were 317 participants between the ages of 18-25 (M = 21.51, SD = 1.78) who participated in this study. The results of the study using the Perth A-Loneness Scale (Houghton et al., 2014) and The PERMA-Profiler (Elfida et al., 2021) measurement tools showed that solitude was significantly positively related to subjective well-being. This finding can be interpreted that the higher the tendency of young adults to practice solitude, the higher the level of subjective well-being."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ranti Maradhita Putri Lestari
"Psychological well-being remaja memiliki keterkaitan erat dengan parent attachment.
Hal ini dikarenakan secure attachment dapat menjadi landasan untuk mengembangkan rasa percaya pada orang tua dan lingkungan sekitarnya dan meningkatkan kemampuan mengembangkan strategi coping efektif yang pada akhirnya akan meningkatkan psychological well-being. Pengaruh attachment pada psychological well-being dapat terjadi secara langsung atau dimediasi oleh faktor lain yang relevan, salah satunya dispositional mindfulness. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran dispositional mindfulness sebagai mediator hubungan antara parent attachment dan psychological well-being pada remaja. Partisipan berjumlah 352 remaja usia 13 – 18 tahun. Instrumen yang digunakan yaitu Ryff’s Scale of Psychological Well being(RPWB), Inventory of Parent and Peer Attachment-Revised (IPPA-R)-Parent Scale dan Mindfulness Attention Awareness Scale (MAAS). Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa ketiga variabel saling berkaitan secara signifikan. Hasil analisis mediasi menunjukkan bahwa dispositional mindfulness memediasi secara parsial hubungan antara parent attachment dengan psychological well-being pada remaja.

Psychological well-being is closely related to parental attachment. The reason is that a secure attachment can be a foundation for developing trust in parents and the surrounding environment, as well as increasing child's ability to develop effective coping strategies which will ultimately improve psychological well-being. The effect of attachment on psychological well-being can occur directly or mediated by other relevant factors, one of which is dispositional mindfulness. This study aims to determine the role of dispositional mindfulness as a mediator in the relationship between parent attachment and psychological well-being in adolescents. Participants in the study were 352 adolescents aged 13-18 years. The instruments used were Ryff's Scale of Psychological Well-being (RPWB), Inventory of Parent and Peer Attachment-Revised (IPPA-R)Parent Scale and Mindfulness Attention Awareness Scale (MAAS). The result of the correlation analysis shows that the three variables in this study are significantly related to each other. The result of the mediation analysis shows that dispositional mindfulness partially mediates the relationship between parent attachment and psychological well-being in adolescents.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>