Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 76836 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dea Adelia
"ABSTRAK
Penelitian ini melihat fenomena dan konteks pelaksanaan Kesepakatan Kerjasama Sukarela (Voluntary Partnership Agreement) dalam FLEGT (Forest Law, Enforcement, Governance and Trade) dibuat Uni Eropa (UE) yang merupakan tanggapan dari UE atas pembalakan liar. FLEGT merupakan perjanjian bilateral antara UE dan negara-negara pengekspor kayu, dengan tujuan untuk meningkatkan tata kelola sektor kehutanan serta memastikan bahwa kayu dan produk kayu yang diimpor ke UE diproduksi sesuai dengan peraturan perundangan negara mitra. Persyaratan FLEGT di nilai terlalu berat untuk negara mitra dagang UE yang merupakan negara berkembang. UE membuat program kesepakatan kerjasama sukarela (VPA) untuk membantu menyelesaikan persyaratan yang ditetapkan UE untuk negara mitra (Studi Kasus: UE-Indonesia). Penelitian ini menjelaskan tentang pelaksanaan VPA yang dibuat UE terhadap negara mitra dilihat dari aspek hukum dan konsep smart regulation. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi dokumen. Penelitian ini memiliki fokus pada teks tertulis seperti peraturan tertulis, perjanjian, buku, jurnal dan artikel. Temuan penelitian ini berhasil menjelaskan elemen-elemen pembentuk VPA FLEGT kedalam 3 elemen utama dari smart regulation yaitu, VPA FLEGT sebagai pembentuk kontrol sosial, pemenuhan prinsip dasar regulasi dan bentuk intervensi dalam penegakan hukum dalam isu lingkungan.

ABSTRACT
This study looks at the phenomenon and context of implementing the Voluntary Partnership Agreement in the EU (EU) FLEGT (Forest Law, Enforcement, Governance and Trade) which is a response from the EU on illegal logging. FLEGT is a bilateral agreement between the EU and timber exporting countries, with a view to improving forestry sector governance and ensuring that timber and wood products imported into the EU are produced in accordance with partner country legislation. The FLEGT requirement at the value is too heavy for the EU's emerging trading partner countries. The EU creates a voluntary cooperation agreement (VPA) program to help finalize EU-set requirements for partner countries (Case Study: UE-Indonesia). This research explains the implementation of EU-made VPAs on partner countries in terms of legal aspects and smart regulation concept. This study uses qualitative research methods with a document study approach. This research focuses on written texts such as written regulations, agreements, books, journals and articles. The result of this study succeeded in explaining the main elements of smart regulation, VPA FLEGT as a form of social control, fulfillment of basic regulatory principles and forms of intervention in law enforcement in environmental issues."
2019
T53599
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Endah Puspitasari
"Pada tahun 2017, COP CBD menetapkan 4 kawasan laut Indonesia sebagai Kawasan Ecologically or Biologically Significant Marine Areas (EBSAs) yaitu Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion, Raja Ampat and Northern Bird’s Head, Southern Straits of Malacca, dan Upwelling Zone of the Sumatra-Java Coast. Tujuan dari diadopsinya EBSAs adalah untuk berfokus pada upaya pengeloaan dan konservasi ekosistem laut. Penetapan Kawasan EBSAs ini seharusnya disambut baik oleh Pemerintah Indonesia terutama karena komitmennya dalam mensinergikan pengelolaan kawasan laut dengan mengedepankan aspek lingkungan hidup. Namun, pembangunan PLTU di Teluk Sepang yang merupakan kawasan EBSA Upwelling Zone of the Sumatra-Java Coast mendapatkan ijin sehingga terdapat gugatan Warga Teluk Sepang Bengkulu terhadap Gubernur Bengkulu atas pembangunan tersebut. Penelitian dengan metode yuridis normatif ini berkesimpulan bahwa pengelolaan kawasan laut Indonesia yang ditetapkan sebagai kawasan EBSAs diatur melalui PP 32 Tahun 2019 dan PP Nomor 21 Tahun 2021, namun pengaturan pengelolaan kawasan EBSAs tersebut belum memadai. Hingga saat penelitian ini dilakukan, hanya Kawasan EBSA Raja Ampat yang telah memiliki kepastian hukum sebagai kawasan konservasi. Penerapan Kebijakan pengelolaan kawasan laut Indonesia yang ditetapkan sebagai Kawasan EBSAs masih lemah. Putusan Hakim hanya menyandarkan pada kerugian faktual sebagai syarat adanya kepentingan sehingga hakim belum menilai pokok perkara. Apabila hakim mempertimbangkan sampai pada pokok perkara, penelitian ini menyarankan hakim untuk mempertimbangkan EBSA sebagai soft law sebagai dasar pertimbangan hukum dalam memberikan perlindungan terhadap Kawasan EBSA tersebut.

In 2017, COP CBD designated 4 Indonesian marine areas as Ecologically or Biologically Significant Marine Areas (EBSAs) namely Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion, Raja Ampat and Northern Bird's Head, Southern Straits of Malacca, and Upwelling Zone of the Sumatra-Java Coast. The adoption of EBSAs is to focus on efforts to manage and conserve marine ecosystems. The determination of the EBSAs area should be welcomed by the Government of Indonesia, especially because of Indonesia’s commitment to synergize the management of marine areas by prioritizing environmental aspects. However, the construction of the PLTU in Sepang Bay, which is in the EBSA Upwelling Zone of the Sumatra-Java Coast area, received a permit so there was a lawsuit from the Bengkulu residents of Sepang Bay against the Bengkulu Governor for the development. By using the normative juridical method, this study concludes that the management of Indonesian marine areas designated as EBSAs was regulated through Government Regulation Number 32 of 2019 and Government Regulation Number 21 of 2021. Management of the EBSAs area through those regulations was not adequate. At the time this study was conducted, only the Raja Ampat EBSA Area had legal certainty as a conservation area. The implementation of policies for managing Indonesian marine areas designated as EBSAs was still weak. The judge's decision only relied on factual losses as a condition of interest so the judge had not assessed the subject matter of the case. This study suggests the judge consider EBSA as a soft law as the basis for legal considerations in providing protection for the EBSA Area when the judge considers getting to the point of the case"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
London: Kluwer Law International, 1996
344.046 INT
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Josephine Priscilla
"Perdagangan satwa liar yang tidak dilindungi di Indonesia menunjukkan
peningkatan yang semakin marak beberapa tahun belakangan, baik secara langsung
maupun melalui dunia maya. Kenyataan bahwa banyak dari praktik perdagangan
tersebut yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
menunjukkan bahwa terdapat ketidakjelasan penegakan hukum dalam perdagangan
satwa liar yang tidak dilindungi di Indonesia. Perdagangan satwa liar yang tidak
dilindungi di Indonesia harus diatur dengan jelas dan rinci dalam peraturan
perundang-undangan sehingga dapat mendorong penegakan hukum yang tepat dan
sesuai. Oleh karena itu, penulis memandang perlu meninjau kembali pengaturan,
penerapan dan penegakan hukum terhadap perdagangan satwa liar yang tidak
dilindungi di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis-normatif
melalui studi kepustakaan dan wawancara kepada beberapa narasumber. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan dan penegakan hukum dalam
perdagangan satwa liar yang tidak dilindungi di Indonesia sampai saat ini tidak
berjalan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada akhir penelitian,
penulis memberi saran kepada pemerintah untuk meningkatkan pengawasan
terhadap perdagangan satwa liar yang tidak dilindungi di Indonesia serta
mempertimbangkan insentif, disinsentif, maupun sanksi administratif dan pidana
sebagai bentuk- bentuk pilihan penegakan hukum dalam pengaturan perdagangan
satwa liar yang tidak dilindungi di Indonesia.

The unprotected wildlife trade in Indonesia has shown an increasing trend in recent
years, both directly and through cyberspace. The fact that many of these trading
practices are not in accordance with the prevailing laws and regulations shows that
there is a lack of clarity in the law enforcement of the unprotected wildlife trade in
Indonesia. The unprotected wildlife trade in Indonesia must be regulated clearly
and in detail in the laws and regulations so as to stimulate accurate and appropriate
law enforcement. Therefore, the author consider it is necessary to review the
regulation, implementation, and the law enforcement of the unprotected wildlife
trade in Indonesia. This research was conducted using legal-normative method
through literature study and interviews with several experts. The result of this study
indicate that the implementation and the law enforcement in the unprotected
wildlife trade in Indonesia has not been conducted according to the prevailing laws
and regulations. At the end of the thesis, the author recommend the government to
increase the supervision of the unprotected wildlife trade in Indonesia and to
consider incentive, disincentive, as well as administrative and criminal sanctions
as the forms of law enforcement options in the unprotected wildlife trade regulation
in Indonesia
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwaskoro Syahbanu
"Sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati dan sumberdaya genetik yang tinggi, Indonesia memiliki kepentingan mengatur perlindungan dan pemanfaatannya. Ratifikasi berbagai peraturan internasional mengharuskan Indonesia menyesuaikan demi implementasi yang baik. Skripsi ini membahas tentang keadaan hukum Indonesia dan titik beratnya dalam perlindungan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati dan sumberdaya genetik di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui arah Indonesia dalam menerapkan kebijakan perlindungan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati, sumberdaya genetik dan pengetahuan terkait pemanfaatan sumberdaya tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Dari penelitian ini diketahui bahwa Indonesia belum memilih titik berat dalam membuat peraturan mengenai keanekaragaman hayati dan sumberdaya genetik.

As a country with high biodiversity and genetic resources, Indonesia has an interest in regulating its protection and utilization. The ratification of various international regulations requires Indonesia to adapt for good implementation. This thesis discusses the state of Indonesian law and its emphasis on the protection and utilization of biodiversity and genetic resources in Indonesia. The purpose of this study is to know the direction of Indonesia in implementing the policy of protection and utilization of biodiversity, genetic resources and knowledge related to the utilization of these resources. This research uses normative juridical research method. From this study it is known that Indonesia has not chosen the center of gravity in making regulations on biodiversity and genetic resources."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69671
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutabarat, Evangelina
"ABSTRAK
Tesis ini mengenai terwujudnya regulasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu di
Indonesia untuk mencegah pembalakan liar dan merupakan implikasi dari
Kebijakan Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor
Kehutanan oleh Uni Eropa berupa regulasi kayu Uni Eropa (European Union
Timber Regulation) 995/2010 yang ditindaklanjuti dengan Perjanjian Kemitraan
Sukarela Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor
Kehutanan (FLEGT-VPA) antara Indonesia dan Uni Eropa, yang sudah
diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014. Inti dari Perjanjian
Kemitraan tersebut adalah kesepakatan terhadap kerangka hukum verifikasi
legalitas kayu (Timber Assurance Legal System) dari Negara mitra, Indonesia
yaitu Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Sistem ini bersifat wajib untuk
semua pemegang ijin industri primer pengolahan hasil hutan kayu dan industri
lanjutan pengolahan kayu, dan untuk eksportir kayu, diwajibkan untuk memenuhi
SVLK ini sampai mendapatkan Dokumen V-Legal dan khusus untuk ekspor ke
Uni Eropa harus mendapatkan lisensi FLEGT. Kesulitan yang dialami dalam
pemenuhan SVLK ini sangat dirasakan oleh industri lanjutan yang sebagian besar
adalah industri kecil dan menengah, khususnya dalam hal biaya. Biaya untuk
SVLK berkisar antara 60 juta sampai dengan 180 juta. Peraturan terkait Sistem
Verifikasi Legalitas kayu seharusnya diterapkan secara adil terhadap industri
primer dan industri lanjutan sehingga dapat mengakomodir daya saing eksportir
kayu Indonesia tanpa melanggar komitmen terhadap Perjanjian yang telah
disepakati. Mengutip pernyataan John Rawls, hukum dan lembaga tidak peduli
seberapa efisien dan diatur dengan baik harus direformasi atau dihapuskan jika
mereka tidak adil.

ABSTRACT
This theses elaborates the establishment of regulation of Timber Legal Assurance
System in Indonesia to prevent illegal logging as the implication of Voluntary
Partnership Agreement (VPA) of Forest Law Enforcement, Governance and Trade
between Indonesia and European Union (FLEGT), which has been ratified by
Presidential Decree No. 21 Year 2014. The substance of this VPA is an agreement
on the legal framework for Timber Legal Assurance System (TLAS) for Indonesia
called Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). This system is mandatory for all
license holders of primary timber industry, advanced timber industry, and timber
exporters who should meet this TLAS to get a V-Legal documents and get
FLEGT License to export timber products to EU. The difficulties raised in the
fulfillment of this TLAS is mostly happened to small and medium industries,
particularly in terms of cost. Costs for TLAS ranged from 60 million to 180
million rupiahs. TLAS should be applied fairly to the all timber exporters and
timber industry in Indonesia as to accommodate the competitiveness of
Indonesian timber exporters without violate a commitment to the VPA. As John
Rawls said, laws and institutions no matter how efficient and well-governed,
should be reformed or abolished if they are unjust.
"
Universitas Indonesia, 2016
T46277
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutabarat, Evangelina
"ABSTRAK
Tesis ini mengenai terwujudnya regulasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu di Indonesia untuk mencegah pembalakan liar dan merupakan implikasi dari Kebijakan Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan oleh Uni Eropa berupa regulasi kayu Uni Eropa (European Union Timber Regulation) 995/2010 yang ditindaklanjuti dengan Perjanjian Kemitraan Sukarela Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan (FLEGT-VPA) antara Indonesia dan Uni Eropa, yang sudah diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014. Inti dari Perjanjian Kemitraan tersebut adalah kesepakatan terhadap kerangka hukum verifikasi legalitas kayu (Timber Assurance Legal System) dari Negara mitra, Indonesia yaitu Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Sistem ini bersifat wajib untuk semua pemegang ijin industri primer pengolahan hasil hutan kayu dan industri lanjutan pengolahan kayu, dan untuk eksportir kayu, diwajibkan untuk memenuhi SVLK ini sampai mendapatkan Dokumen V-Legal dan khusus untuk ekspor ke Uni Eropa harus mendapatkan lisensi FLEGT. Kesulitan yang dialami dalam pemenuhan SVLK ini sangat dirasakan oleh industri lanjutan yang sebagian besar adalah industri kecil dan menengah, khususnya dalam hal biaya. Biaya untuk SVLK berkisar antara 60 juta sampai dengan 180 juta. Peraturan terkait Sistem Verifikasi Legalitas kayu seharusnya diterapkan secara adil terhadap industri primer dan industri lanjutan sehingga dapat mengakomodir daya saing eksportir kayu Indonesia tanpa melanggar komitmen terhadap Perjanjian yang telah disepakati. Mengutip pernyataan John Rawls, hukum dan lembaga tidak peduli seberapa efisien dan diatur dengan baik harus direformasi atau dihapuskan jika mereka tidak adil.

ABSTRACT
This theses elaborates the establishment of regulation of Timber Legal Assurance System in Indonesia to prevent illegal logging as the implication of Voluntary Partnership Agreement (VPA) of Forest Law Enforcement, Governance and Trade between Indonesia and European Union (FLEGT), which has been ratified by Presidential Decree No. 21 Year 2014. The substance of this VPA is an agreement on the legal framework for Timber Legal Assurance System (TLAS) for Indonesia called Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). This system is mandatory for all license holders of primary timber industry, advanced timber industry, and timber exporters who should meet this TLAS to get a V-Legal documents and get FLEGT License to export timber products to EU. The difficulties raised in the fulfillment of this TLAS is mostly happened to small and medium industries, particularly in terms of cost. Costs for TLAS ranged from 60 million to 180 million rupiahs. TLAS should be applied fairly to the all timber exporters and timber industry in Indonesia as to accommodate the competitiveness of Indonesian timber exporters without violate a commitment to the VPA. As John Rawls said, laws and institutions no matter how efficient and well-governed, should be reformed or abolished if they are unjust.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manalu, Andre Abrianto
"Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan diakomodir berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sebagai penelitian yuridis normatif, artikel ini membahas mengenai tumpang tindih kawasan yang terjadi antara usaha pertambangan dan kegiatan budidaya kehutanan yang berdampak pada terhambatnya kegiatan usaha pertambangan di kawasan tersebut. Izin merupakan salah satu bentuk dari pengendalian oleh Pemerintah, sehingga dengan diperolehnya izin, maka penerima izin seharusnya dapat melakukan kegiatan pertambangan. Tertundanya kegiatan pertambangan PT. Mitra Bara Jaya di kawasan tersebut diakibatkan karena pemerintah tidak campur tangan dalam penghitungan biaya ganti investasi dan justru menyerahkan penyelesaian tersebut melalui skema business to business. Hal ini menunjukkan kelemahan manajemen pemerintah untuk memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha. Ombudsman Republik Indonesia berpendapat bahwa telah terjadi maladministrasi yang dilakukan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI cq Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari karena telah melakukan pengabaian kewajiban hukum dan penundaan berlarut terkait penyelesaian permasalahan ganti biaya investasi antara PT. Mitra Bara Jaya dengan PT. Adindo Hutani Lestari.
....The usage of forest area for development purpose besides forestry activity is accommodated based on Article 38 of Law Number 41 of 1999 concerning Forestry. As a normative juridical study, this article discusses the overlapping areas that occur between mining businesses and forestry cultivation activities that have an impact on the obstruction of mining business activities in these areas. Permit is one form of control by the Government, so that by obtaining license, the permit recipient should be able to carry out mining activities. PT. Mitra Bara Jaya's mining activity is delayed because instead of interfere in calculating the cost of investment, the Government hands over the settlement through a Business-to-Business scheme. This shows the weakness of government management to provide legal certainty for business. Ombudsman of the Republic of Indonesia argues that there has been a maladministration by the Indonesian Minister of Environment and Forestry cq the Director General of Sustainable Production Forest Management due to the neglection of legal obligation and prolonged delay related to the resolution of the compensation on cost of investment issue between PT. Mitra Bara Jaya and PT. Adindo Hutani Lestari."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Azizah Zahrahwati
"Keanekaragaman hayati adalah keragaman dari makhluk hidup dari berbagai sumber di seluruh planet. Dari beragam spesies yang ada di bumi ini, banyak diantaranya yang sudah punah dan terancam punah. Punahnya dan terancam punahnya spesies-spesies tersebut dapat diakibatkan oleh beberapa hal, yaitu hilangnya habitat mereka, adanya spesies asing di lingkungan mereka, polusi, eksploitasi yang berlebihan, adanya penyakit-penyakit atau wabah, perdagangan ilegal satwa liar, perubahan iklim dan konflik antara manusia dengan satwa liar. Dari berbagai macam spesies yang ada di bumi, salah satu spesies yang terancam kelestariannya adalah Harimau (Panthera tigris). Tiga dari sembilan subspesies harimau yang ada diketahui telah punah, yaitu harimau Bali, harimau Jawa dan harimau Kaspia. Dalam rangka mencegah bertambahnya jumlah Harimau yang punah, maka dilakukan konservasi. Terkait dengan konservasi terhadap harimau, di lingkungan internasional telah ada upaya konservasi satwa tersebut dengan dibuatnya instrumen-instrumen hukum internasional, seperti Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), Convention on Biological Diversity (CBD), Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage (World Heritage Convention) dan ASEAN Agreement on the Conservation of Nature and Natural Resources 1985. Selain itu, juga terdapat peraturan-peraturan yang berkenaan dengan konservasi harimau secara regional dan bilateral. Adapun praktik konservasi yang dilakukan dalam melindungi harimau di negara-negara seperti Cina, India, Rusia dan Indonesia.

Biodiversity is the diversity of living things from a variety of sources across the planet. From variety of species that exist on the Earth, many of which are extinct and endangered. Extinction and threatened to become endangered in species caused by habitat loss, presence of alien species in their neighborhoods, pollution, excessive exploitation, epidemic diseases, illegal wildlife trade, climate change conflict between man and wildlife. From various species that exist on earth, one of the species that threatened to become endangered is Tiger (Panthera tigris). Three of nine tiger subspecies are already extinct, namely Bali tiger, Javan tiger and Caspian tiger. In order to prevent the increasing of extinction in tiger, therefore conservation is conducted. Related to the conservation of the Tiger, in the international sphere there has been an effort in conserving the tiger by the establishment of international legal instruments, such as Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), Convention on Biological Diversity (CBD), Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage (World Heritage Convention) and ASEAN Agreement on the Conservation of Nature and Natural Resources 1985. In addition, there are also rules relating to tiger conservation regionally and bilaterally. Practice of tiger conservation also conducted in several countries such as China, India, Russia and Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2014
S55708
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>