Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 144157 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Salya Vairiza Fabain Yudabrata
"ABSTRAK
Desistensi teroris telah menjadi gagasan yang dikaji oleh para praktisi dan peneliti dalam waktu yang cukup lama, namun masih menjadi salah satu studi yang kurang dikembangkan dalam ranah Kriminologi. Secara kualitatif, penelitian ini menjelaskan proses desistensi pada tiga mantan teroris anggota ISIS dan Jemaah Islamiyah serta alasan-alasan yang mendasari keputusan mereka. Data primer didapatkan melalui wawancara mendalam dengan tiga narasumber dan dianalisis menggunakan teori differential association Sutherland dan Cressey, cognitive transformation Giordano dkk dan theory of self-help dari Donald Black. Penelitian ini menemukan bahwa (1) ada kesenjangan antara realita yang dipersepsikan oleh teroris dengan realita yang sesungguhnya, (2) aksi teror merupakan perwujudan dari grievance, dan (3) desistensi tercapai ketika individu mengalami pergeseran kognitif yang menghapus kesenjangan dan grievance yang tadinya dimiliki.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardi Putra Prasetya
"ABSTRAK Terorisme dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. Dalam setiap proses kejahatan, individu akan melalui proses desistance from crime, seseorang mengakhiri masa keterlibatannya dalam aksi terorisme. Proses disengagement adalah tahapan yang penting untuk mencapai desistance from crime. Untuk mencapai hal tersebut, seseorang harus memiliki pull factor, seperti keluarga, lingkungan, ekonomi maupun hukuman. Maka, dalam penelitian Thesis ini, ada empat variabel determinan yang dapat mendorong individu menjadi desistance from crime. Kemudian, artikel jurnal yang ditulis oleh LaFree dan Miller (2015) yang berjudul desistance fromterrorism: what can we learn from criminology? membahas tujuh perspektifteoritis yang berkaitan dengan prediksi yang berkaitan dengan desistancedan mempertimbangkan potensinya untuk menjelaskan desistance from terrorism.Dengan menganalisis dan membedah hal tersebut, akan memunculkan pola-pola desistance from crime dan memperlihatkan kecenderunganprimary desistanceyangbersumber pada data pengalaman 30 mantan teroris di Indonesia.

ABSTRACT
Terrorism is categorized as extra-ordinary crime. In every crime process, an individual will go through a process of desistance from crime, which is a proses of someone ended his/her involvement in acts of terrorism. The disengagement process is a crucial stage to achieve desistance from crime. To achieve this, an individual must have pull factor, such as family, surroundings, economy, and punishment. Thus, in this thesis study, there are four determinant variables that can encourage individual to be desistance from crime. Then, article journal written by LaFree and Miller (2015) entitled desistance from terrorism: what can we learn from criminology? discuss seven criminological perspectives relating to predictions about desistance and consider their potential to explain desistance from terrorism. By analyzing and dissecting this, patterns of desistance from crime will emerge and show the tendency for primary desistance based on data from thirty former terrorist in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
T52338
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Lutfi
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi proses radikalisasi, deradikalisasi, dan desistensi pada narasumber yang terlibat dalam paham radikalisme agama. Dalam penelitian ini, kami menggunakan pendekatan kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam terhadap tiga narasumber yang masing-masing mewakili tiga jenis pengalaman dan faktor yang berbeda dalam terpapar dan mengadopsi paham radikal.Pendekatan yang digunakan dalam penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan metode analisis naratif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa narasumber terpapar paham radikalisme melalui faktor-faktor yang berbeda. Faktor-faktor ini menyebabkan narasumber merasa bahwa hanya kelompoknya yang paling benar dan orang di luar kelompoknya dianggap sebagai musuh yang perlu diperangi. Selanjutnya, penelitian ini mengungkapkan bahwa proses deradikalisasi haruslah bertahap dan melibatkan intervensi yang tepat. Bagi narasumber, perenungan, diskusi, dan pendekatan humanis dari pihak kepolisian serta pemahaman agama yang lebih luas menjadi faktor penting dalam mengubah perspektif mereka dan melihat bahwa kekerasan bukanlah jalan yang benar.Selain itu, penelitian ini juga menyoroti peran keluarga dan komunitas dalam proses desistensi. Dukungan keluarga, komunikasi positif, pengawasan, dan ikatan emosional yang kuat antara individu dan anggota keluarga telah terbukti berkontribusi pada proses desistensi dari kejahatan. Berdasarkan hasil penelitian ini, saran kebijakan yang bisa diambil adalah mendalami faktor-faktor pendorong radikalisasi, menganalisis efektivitas program deradikalisasi yang ada, serta mengembangkan program rehabilitasi dan reintegrasi sosial untuk membantu para teroris mencapai fase desistensi dari kejahatan mereka. Program tersebut harus melibatkan pendekatan edukatif, konseling, dan pendampingan jangka panjang. Dalam hal ini, pembentukan yayasan yang berfokus pada deradikalisasi dan reedukasi dianggap penting untuk membantu mantan pelaku tindak terorisme bertaubat dan menjauhi paham dan lingkungan radikal yang sebelumnya mereka pilih.

This research aims to analyze the factors influencing the processes of radicalization, deradicalization, and desistance among individuals involved in religious radicalism. The study employs a qualitative approach, conducting in- depth interviews with three participants representing different experiences and factors related to exposure and adoption of radical beliefs. The research findings indicate that individuals are exposed to radical ideologies through various factors, leading them to perceive their own group as superior and consider outsiders as enemies to be fought. Furthermore, the study reveals that the process of deradicalization must be gradual and involve appropriate interventions. For the participants, reflection, discussion, and a humane approach from law enforcement, as well as a broader understanding of religion, play crucial roles in changing their perspectives and recognizing that violence is not the correct path. The research also highlights the significance of family and community in the desistance process. Family support, positive communication, supervision, and strong emotional bonds between individuals and their families have proven to contribute to the desistance from criminal activities. Based on the research findings, policy recommendations include further exploring the driving factors of radicalization, analyzing the effectiveness of existing deradicalization programs, and developing rehabilitation and social reintegration programs to assist terrorists in reaching the desistance phase of their criminal behavior. These programs should involve educational approaches, counseling, and long-term support. In this regard, the establishment of foundations focusing on deradicalization and reeducation is considered crucial in helping former perpetrators of terrorism repent and distance themselves from their previously chosen radical beliefs and environments."
Depok: 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joko Dwi Harsono
"Penelitian ini berupaya memberikan penjelasan tentang bagaimana ekonomi dalam konteks upaya atau metode untuk memenuhi kebutuhan, melekat pada perilaku kelompok-kelompok teroris di Indonesia disandarkan pada komitment terhadap kekerasan yang bersembunyi dibalik dogma ideologi religius. Keterlekatan ekonomi sebagaimana dikemukakan oleh Karl Polanyi, mendefinisikan ekonomi sebagai produk dari relasi sosial berbasis pada nilai-nilai kebijaksanaan dan relasi timbal balik yang saling mencukupi antar individu dan kelompok dibawah naungan kearifan lokal. Ternyata ada atribut lain yang melekat pada eksistensi keterlekatan (embedded) ekonomi selain dari nilai-nilai etika, yaitu komitment kelompok sosial pada jalan kekerasan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif bersifat analisa secara kritis mengenai permasalahan aktual yang terjadi di masyarakat, yaitu adanya modus ekonomi dalam gerakan kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI) di Indonesia. Adapun hasil penelitian ditemukan bahwa motif ekonomi berperan dalam tindakan yang dilakukan oleh kelompok terorisme, dalam konteks JI, mata uang sosial digunakan dalam pertukaran ekonomi. Pemerintah Indonesia telah menerapkan prinsip redistribusi dengan pendekatan multidimensi dalam penanggulangan terorisme, salah satunya adalah pendekatan Keterlekatan Ekonomi Karl Polanyi yang melibatkan redistribusi sumber daya dan integrasi kelompok teroris ke dalam masyarakat yang lebih luas, serta pemutusan pendanaan terorisme.

This research seeks to provide an explanation of how economics, in the context of efforts or methods to meet needs, is embedded in the behavior of terrorist groups in Indonesia based on a commitment to violence that hides behind the dogma of religious ideology. As Karl Polanyi proposed, economic embeddedness defines the economy as a product of social relations based on wisdom values and mutually sufficient mutual relations between individuals and groups under the auspices of local wisdom. It turns out that other attributes are attached to embedded economics apart from ethical values, namely the commitment of social groups to the path of violence. This research uses a qualitative approach that is a critical analysis of actual problems occurring in society, namely the existence of an economic mode in the movement of the terrorist group Jemaah Islamiyah (JI) in Indonesia. The research results found that economic motives play a role in the actions carried out by terrorist groups, in the context of JI, social currency is used in economic exchange. The Indonesian government has implemented the principle of redistribution with a multidimensional approach in dealing with terrorism, one of which is Karl Polanyi's Economic Embeddedness approach which involves the redistribution of resources and integration of terrorist groups into wider society, as well as the termination of terrorism funding."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Affin Bahtiar
"Skripsi ini membahas mengenai pendekatan kesejahteraan yang dapat dijadikan kebijakan untuk melepaskan-ikatan (disengagement) antara mantan narapidana teroris dengan kelompok terorisme. Banyak pelaku terorisme di Indonesia yang tertangkap dan dihukum. Namun, penanggulangan terorisme di dalam penjara maupun di luar penjara belum terlaksana dengan maksimal. Banyak mantan narapidana teroris yang sudah menjalani hukuman ternyata terlibat residivis. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan Metode Delphi. Menggunakan konsep pendekatan yang bersifat soft approach, salah satu bentuknya adalah disengagement. Dalam hal ini peneliti lebih berfokus pada pendekatan kesejahteraan terutama kepada mantan narapidana teroris. Hasil penelitian ini bahwa pendekatan kesejahteraan kepada mantan narapidana teroris sebagai upaya pelepasan ikatan (disengagement) dari kelompok teroris memang perlu dilakukan mengingat adanya program deradikalisasi yang belum maksimal sehingga menimbulkan residivisme. Pendekatan kesejahteraan ini perlu mempertimbangkan aspek latar belakang sosial dan sejauh mana keterlibatannya di dalam kelompok terorisme. Pendekatan kesejahteraan berdasarkan penelitian ini akan berhasil dan berjalan baik jika diberikan kepada mantan narapidana teroris yang memiliki kategori tingkatan komitmen pada level passive supporters atau simpatisan serta pendekatan ini perlu pembinaan yang berkesinambungan.

This research discusses the welfare approach that can be used to release the policy bonding (disengagement) between the ex-convict terrorists and the terrorist groups. Many perpetrators of terrorism in Indonesia is caught and punished. However, the counter-terrorism in and outside the prison has not been implemented to the fullest. In fact, many of the ex-convict terrorists turn to be involved in the recidivists. This research used a qualitative approach with Delphi Method. It utilized the soft approaches concept in which disengagement concept was applied. In this case, the researcher focused more on welfare approach, especially to the ex-convict terrorists. As the results, since the de-radicalization programs that have not been maximized can cause recidivism, the welfare approach to the ex-convict terrorists is necessary to be done as a bond release (disengagement) from the terrorist groups. This approach needs to take into account the welfare of the social background and the extent of its involvement in the terrorist groups. According to the research, the welfare approach will work well if it is given to the ex-convict terrorists who have the category-level commitment of passive supporters or sympathizers. Therefore, a continuous coaching to this approach is highly suggested."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gilang Rhamadan
"Penelitian ini berupaya untuk melakukan analisis terhadap proses sekuritisasi terhadap isu Foreign Terrorist Fighters (FTF) yang dilakukan oleh rezim pemerintahan Joko Widodo periode 2014 s.d. 2019. Penelitian ini menggunakan kerangka teori Sekuritisasi dengan metode kualititif yang didukung dengan data primer dan sekunder. Problematisasi penelitian ini berawal dari telaahan peneliti terhadap perubahan dalam kebijakan pemerintahan Joko Widodo pada periode 2014 s.d. 2019 berkaitan dengan upaya penanganan FTF ISIS asal Indonesia, dimana fasilitas repatriasi yang telah lama menjadi salah satu kebijakan pemerintah, secara drastis mengalami perubahan dimana kebijakan tersebut tidak lagi dilanjutkan setelah ISIS mengalami kekalahan pada tahun 2020. Atas dasar hal tersebut peneliti mengajukan pertanyaan penelitian “Mengapa kebijakan penanganan FTF ISIS asal Indonesia tahun 2020 berbeda dengan kebijakan pada tahun 2014-2019?”. Hasilnya, peneltian ini menunjukkan bahwa sekuritisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dapat dikatakan berhasil yang indikasinya dapat dilihat dari upaya para stakeholder dalam membingkai ancaman yang ekstensial, proses pengambilan tindakan darurat, dan cara-cara yang dianggap tidak mengindahkan aturan yang berlaku

This study attempts to analyze the securitization process on the issue of Foreign Terrorist Fighters (FTF) carried out by the Joko Widodo regime for the period 2014 to d. 2019. The method used in this study is a qualitative method to obtain primary and secondary data, which will be analyzed further. The problematization of this research began with the researcher's study of the changes in policies taken by the Joko Widodo government in the period 2014 to d. 2019 on the issue of handling ISIS FTF from Indonesia, where repatriation facilities have long been one of the government's policies, but in 2020 the policy was no longer continued after ISIS suffered defeat. Based on the narrative of this problem, the researcher asked the research question "Why is the policy of handling ISIS FTF from Indonesia in 2020 different from the policy in 2014-2019?". As a result, this research shows that the securitization carried out by the Government of Indonesia can be said to be successful, the indications can be seen from the efforts of stakeholders in framing extensive threats, the process of taking emergency actions, and ways that are considered not to heed the applicable regulations."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Grace Olivia Udiata
"Tesis ini membahas tentang kekuatan mengikat secara umum dan implikasi hukum penerapan Surat Keputusan Bersama TigaMenteri Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dikaji dari ilmu perundang-undangan. Berdasarkan hasil kajian ilmu perundang-undangan, SKB Tiga Menteri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Ahmadiyah ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara umum karena bukan merupakan peraturan perundang-undangan, terbukti bertentangan dengan UUD 1945, memuat materi muatan undang-undang, dan tidak dikenal dalam hirarki peraturan perundangundangan. Implikasi hukum dari penerapan SKB Tiga Menteri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Ahmadiyah, telah mengakibatkan fenomena pembentukan peraturan-peraturan kebijakan di daerah terkait aktifitas Jemaah Ahmadiyah Indonesia yang substansinya tidak menyelesaikan masalah sebaliknya menimbulkan diskriminasi, pelanggaran HAM, dan memicu kekerasan terhadap warga JemaahAhmadiyah Indonesia (JAI).

This thesis discusses binding power in general and legal implication of Joint Decree of Three Ministers No 3 year 2008 regarding Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) studied from Legal Theory. Based on the study result of legal theory, the Joint Decree of Three Ministers No. 3 year 2008 regarding Ahmadiyah does not have any binding legal power in general since it is not deemed as laws and regulations. It is, in fact, in contrast with the Constitution 1945, containing legal substance, not recognized in the hierarchy of laws and regulations. The legal implication of the application of such Joint Decree of Three Ministers No. 3 year 2008 regarding Ahmadiyah has resulted in the creation policy regulations in the region conflicted with Jemaah Ahmadiyah Indonesia activities, substantially failing to resolve the problems, but in contrary, bringing the rise of discrimination, human rights violations, and triggering violence against Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30030
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rifana Meika Triskaputri
"Metamorfosa dalam organisasi teror terjadi sebagai bentuk adaptasi dan regenerasi organisasi tersebut. Organisasi teror Al-Jama`ah Al-Islamiyah (Al-JI) bertanggungjawab atas serangkaian aksi teror yang terjadi di Indonesia pada tahun 2000an. Namun pasca Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menyebutkan bahwa organisasi Al-JI merupakan organisasi terlarang, mereka seolah mati suri. Jika berkaca dari apa yang terjadi pada Darul Islam, pelarangan organisasi tidak menjamin organisasi tersebut akan mati atau merubah ideologinya. Begitupun ketika kehilangan pemimpin, para pengikutnya biasanya akan tetap bertahan untuk mempertahankan ideologinya. Hal ini membuktikan bahwa ideologi tetap bisa bertahan, apapun yang terjadi pada organisasi tersebut. Ideologi dan tujuan mereka untuk mendirikan negara Islam tetap menjadi prioritas utama.
Katherine Zimmerman menjelaskan mengenai metamorfosa organisasi teror yang menunjukkan penyesuaian diri dari organisasi teror di semua tingkatan baik itu perubahan keadaan di lapangan, kekalahan yang pernah dialami, juga melihat peluang-peluang baru. Metamorfosa yang terjadi di Al-JI dimulai dari organisasi yang sempat lumpuh hingga akhirnya bisa memiliki ribuan anggota juga sumber pendanaan legal. Al-JI melakukan reorganisasi agar basis organisasi terus berkembang dan memiliki sistem yang adaptif.
Untuk kali ini, Al-JI tidak lagi mendahulukan strategi jihad dengan kekerasan seperti dulu. Mereka menggunakan cara yang lebih lunak dengan mengedepankan dakwah dan mulai menyusup pada dunia politik. Menunda aksi jihad kekerasan ini bertujuan untuk bisa membangun basis yang aman di masyarakat agar mendapatkan dukungan penuh. Sehingga perjuangan pendirian Negara Islam bisa tercapai dengan dukungan dari masyarakat.

Metamorphosis in terror organizations occurs as a form of adaptation and regeneration of the organization. The Al-Jama`ah Al-Islamiyah (Al-JI) terror organization was responsible for a series of terrorist acts that occurred in Indonesia in the 2000s. However, after the verdict of the South Jakarta District Court mentioning that the Al-JI organization was a banned organization, they seemed to have been suspended. If we look from what happened to Darul Islam, banning an organization does not guarantee that the organization will die or change its ideology. Likewise when losing a leader, their followers will usually remain to defend their ideology. This proves that ideology can survive, whatever happens to the organization. Their ideology and purpose for establishing an Islamic state remain top priorities.
Katherine Zimmerman explained about the metamorphosis of terror organizations which showed the adaptation of terror organizations at all levels, whether it was changing circumstances on the ground, defeats that had been experienced, also saw new opportunities. The metamorphosis that occurred in Al-JI started from an organization that was paralyzed until finally it could have thousands of members as well as legal funding sources. Al-JI reorganized so that the organizational base continues to grow and have an adaptive system.
For now, Al-JI no longer prioritizes the strategy of jihad with violence as before. They use a softer method by promoting da`wah and starting to infiltrate the political world. Delaying this violent jihad is aimed at building a secure base in the community to get full support. So that the struggle for the establishment of an Islamic State can be achieved with the support of the community.
"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Malikah Ambarani
"ABSTRAK
Indonesia dan Filipina yang sama-sama merupakan negara demokrasi memiliki respons yang berbeda dalam menghadapi isu terorisme. Indonesia melihat isu terorisme sebagai suatu tindak pidana yang direspons dengan penggunaan kekuatan unit khusus kepolisian. Filipina di satu sisi menggunakan respons operasional yang cenderung agresif dengan penggunaan kekuatan militer. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam respons yang terjadi, khususnya dengan melihat dari studi kasus Jemaah Islamiyah JI di Indonesia dan Filipina yang memiliki hubungan dengan jaringan Al-Qaeda. Penelitian ini melihat dari pengaruh persepsi ancaman terhadap tingkat respons negara. Beberapa faktor yang akan digunakan untuk melihat perbedaan respons ini adalah: 1 faktor ideologi, melihat karakteristik kelompok JI 2 target serangan karakter serangan , 3 karakteristik negara. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dalam karakteristik kelompok terorisme dalam hal ideologi dan target serangan di kedua negara yang mempengaruhi persepsi ancaman negara. Adanya hubungan JI dengan kelompok separatis merubah karakter serangan dan aktivitasnya di Filipina. Karakter ini berbeda dengan aktivitas JI di Indonesia sehingga hal ini lah yang menyebabkan Filipina memilih untuk menggunakan militer. Lebih lanjut, pemilihan penggunaan aktor dalam kebijakan kontra terorisme di Indonesia besar dipengaruhi oleh karakter negara, khususnya hubungan sipil-militer di kedua negara. Filipina menunjukkan tingkat hubungan sipil-militer yang lebih kuat dibandingkan Indonesia, hubungan sipil militer di Filipina ini telah dikuatkan sejak pemerintahan Marcos.

ABSTRAK
Indonesia and the Philippines are both democratic countries, but each has different responses to terrorism. Indonesia perceives terrorism as crime and responds to it through due process of law and the use of special police force. On the other hand, the Philippines responses to terrorism tend to be aggressive with the use of the military. This research aims to reveal the factors that cause differences in those responses, by comparing the response of the two states to the presence of Al Qaeda linked Jemaah Islamiyah JI and its affiliation in the respective territories. This research test the hypothesis that different threat perceptions to a terrorist group affect the character of their responses. Such threat perception is built by 1 ideological factors, 2 attack targets, and 3 states characteristics and these are factors that will be analyzed in this research. The findings indicate differences in the characteristics of terrorist groups in terms of ideology and attacks in both countries. JI affiliation with the rebel group in the Philippines has changed their character of attacks and activities in the Philippine, while Indonesia is still affected by ideology. Furthermore, the choice of actors in the counter terrorism measures is also affected by civil military relations in both states, where civil military relations have been strengthened since after Marcos administration. While Indonesia civil military relations is heavily affected by Soekarno era causing certain sentiment in the use of the military in counter terrorism measures. "
2017
S69388
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Rafika
"Kajian mengenai sikap DDII mengenai penerbitan buku PMP tahun 1980-1982. (Di bawah bimbingan Abdurakhman, M. Hum dan Dr. Soeharto). Program Studi Ilmu Sejarah; Pengutamaan Sejarah Indonesia. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, tahun 2009. xv + 83 halaman; 2 halaman indeks; 14 halaman lampiran; daftar pustaka: 1 arsip pemerintah, 4 surat kabar, 47 buku, 2 tesis dan artikel. Penelitian mengenai sikap DDII terhadap penerbitan buku PMP tahun 1980-1982 bertujuan melengkapi penelitian mengenai Islam dan Orde Baru. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode sejarah yang terdiri dari empat tahapan, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Penelitian ini menggunakan sumber-sumber tertulis, baik yang bersifat primer maupun sekunder.
Dalam penelitian ini penulis mengkaji mengenai alasan DDII melakukan penolakan terhadap buku-buku PMP untuk tingkat SD, SLP, dan SLA. DDII beranggapan bahwa dalam buku-buku tersebut terdapat upaya pendangkalan agama. Selain itu, dalam buku-buku juga dianggap mengkonfrontasi agama dengan Pancasila. Hal ini dikhawatirkan akan merusak akidah anak-anak. DDII menghimbau agar buku-buku tersebut dilakukan revisi secara menyeluruh. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak melakukan revisi secara menyeluruh seperti yang dikehendaki oleh DDII juga beberapa organisasi Islam lainnya. Penerbitan buku-buku ini sebagai salah satu upaya menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Selain itu, pemerintah juga melakukan upaya indoktrinasi terhadap murid-murid sekolah melalui penerbitan buku ini.

Study on the attitudes about the publication of books DDII PMP years 1980-1982. (Under the guidance Abdurakhman, and Dr M. Hum. Soeharto). History of Science Program; History Pengutamaan Indonesia. Faculty of Cultural Sciences, University of Indonesia, in 2009. xv + 83 pages, 2 page index, 14 page appendix; list of libraries: 1 government regulations, 4 newspapers, 47 books and articles. Research on attitudes towards publishing books DDII PMP years 1980-1982 aimed to complete research on Islam and the New Order. Research was conducted using a historical approach that consists of four phases, namely heuristik, criticism, interpretation, and historiografi. This study uses written sources, whether they are primary or secondary.
In this study the authors review the reasons for the rejection of the conduct DDII books PMP for primary schools, SLP, and SLA. DDII thought that in the books there are efforts pendangkalan religion. In addition, in the books is also considered mengkonfrontasi religion with Pancasila. It is feared this will damage the faith of children. DDII urge that the books be revised thoroughly. Results of this research show that the government does not revise comprehensively as desired by DDII several other Islamic rganizations. Publication of these books as one of the efforts made Pancasila as the basic state. In addition, the government also make efforts to rainwashing school students through the publication of this book."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S12766
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>