Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159585 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Isman Firdaus
"

Kebutuhan akan dukungan sirkulasi mekaniksecara diniuntuk meningkatkan perfusi organ harus dipertimbangkandalam manajemen pasien pasca henti jantungPompa Balon Intra-Aorta (PBIA)merupakan alat bantu sirkulasi mekanik yang paling mudah dipakai dan tersedia di negara berkembang seperti Indonesia.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas insersi diniPBIA terhadap mortalitas pasien pasca henti jantungkarena sindrom koroner akut (SKA).

Penelitian uji klinis yang melibatkan 60 pasieninidilakukan pada pasca henti jantung karena SKA di dilakukan RSJPDHKperiodeOktober 2017Desember 2018K.Kriteria inklusi adalah semua pasien pasca henti jantung karena sindrom koroner akut, berusia 1875 tahun.Kriteria eksklusi adalah terdapat riwayat strokeberdasarkan anamnesis, pupil anisokor, sudah menggunakan PBIA sebelumnya, regurgitasi aorta, sindrom brugada dan congenital long QT.Pasien dirandomisasi menjadi kelompok pelakuan dan kontrol.Pasien dibagi menjadi dua kelompok yaitu perlakuan (n= 30) dan kontrol (n =30). Kelompok perlakuan diberikan intervensi insersi PBIA sedini mungkin dalam 3 jam pertama setelah sirkulasi spontan kembali.Pemeriksaan kadar interleukin-6, bersihan laktat efektif (BLE)beklin-1, kaspase-3, curah jantung (CJ), VTI, TAPSE, fraksi ejeksi (FE), a-vO2 diff, dan ScvO2 dilakukan di jam ke-0 dan jam ke-6 pasca kembali sirkulasi spontan.Luaran primer yang dinilai adalah mortalitas rumah sakit.,Luaransekunder yang dinilai adalahperbaikan hemodinamik, dan marka apoptosisdan kemampuanprediksi beklin-1, kaspase-3, interleukin-6 dan laktat jam ke-0 terhadap kematian. Analisisregresi cox dilakukan untuk menilai kesintasan pasien di RSdengan prinsip intention-to treat.

Sebanyak 60 pasien pasca henti jantung karena SKA, 30 di kelompok perlakuan dan 30 di kelompok kontroldiikutsertakan dalam penelitian ini.Mortalitas pada kelompok perlakuan adalah 18 (60%) pasien, sedangkan pada kelompok kontrol adalah 17 (56,67%) pasien.  ([p=0,793; hazard ratio 1,29; [IK] 95% 0,662,52). Tidak terdapat perbedaan kadar IL-6, BLE, beclinbeklin-1, caspasekaspase-3, curah jantung (CJ), VTI, TAPSE, fraksi ejeksi (FE), a-vOdiff, dan ScvO2di jam ke-6 pasca SSK antara dua kelompok.Laktat, IL-6dan kaspase-3 dapat memprediksi mortalitas pasien pasca henti jantung karena SKA, sedangkan Beklin-1 tidak dapat memprediksi kematian.

Simpulan:Pemasangan PBIA dini tidakmemperbaiki mortalitas pasien SKA pasca henti jantung.Laktat, IL-6, dan kaspase-3 dapat memprediksi mortalitas pasien pasca henti jantung karena SKA.


The need formechanical circulatory support to improve organ perfusion may be considered inthemanagement of post cardiac arrest syndrome patients. Intra-Aortic Balloon Pump (IABP) is the most available and convenient used mechanical circulation aid especially in developing countries such as Indonesia.1This study aimed to find out whether early insertion of IABP can reduce in-hospital mortality, length of stay and death markers of cardiac arrest complicating acute myocardial infarction.

A randomized trial conducted in National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK) Hospital from October 2017–December 2018. Inclusion criteria were all post cardiac arrest due to acute coronary syndrome (ACS) patients aged 18–75 years. Exclusion criteria were history of stroke, anisocoric pupil, previous IABP use, aortic regurgitation, brugada syndrome, and congenital long QT syndrome.The intevention group was given IABP inserted as early as possible in the first 3 hours after spontaneous circulation returned.  Patients were randomized into two groups, intervention and controls. Assessment of interleukin-6, lactate clearence, beclinbeclin-1, caspasecaspase-3, cardiac output, VTI, TAPSE, ejection fraction (EF), a-vO2 Diff, and ScvO2 was done in first hour and 6 hours afterreturn of spontaneous circulation (ROSC). Primary outcome was in-hospital mortality. Secondary outcome was improved hemodynamics, apoptotic markers, and predictive ability of beclin-1, caspase-3, IL-6 and lactate in first hour after ROSC to mortality. Cox regression analysis was performed to assess in-hospital survival with the intention-to-treat principle.

A total of 60 post cardiac arrest due to ACS patients, 30 in intervention group and 30 controls included in this study. In hospital mortality of intervention group vs control was 18 (60%) vs.17 (56.67%) respectively ([p=0.793; hazard ratio 1.29; [CI] 95% 0,662.52). There’s no difference in IL-6, lactate clearence, beclinbeclin-1, caspasecaspase-3, cardiac output, VTI, TAPSE, ejection fraction (EF), a-vO2Diff, and ScvO2in 6 hours after ROSC between two groups. Lactate, IL-6, and caspase-3 predicts mortality of post cardiac arrest due to ACS patients while beclin-1 does not.

Conclusion:Early insertion of IABP is not improvemortality outcome of post cardiac arrest complicating acute myocardial infarctionpatients. Lactate, IL-6, and caspase-3 predicts mortality of post cardiac arrest due to ACS patients.

"
2019
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dafsah Arifa Juzar
"Level rekomendasi penggunaan rutin intra-arotic balloon pump (IABP) pada pasien dengan renjatan kardiogenik diturunkan menjadi level III. Manfaat penggunaan IABP sebelum revaskularisasi belum diinvestigasi secara uji klinis acak. Tujuan studi ini untuk menilai pengaruh penggunaan IABP sebelum revaskularisasi pada pasien infark miokard akut dengan komplikasi renjatan kardiogenik.
Uji klinis acak pembanding terbuka dilakukan di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita periode januari 2018 hingga Mei 2020. Randomisasi dilakukan pada 69 subjek infark miokard dengan renjatan kardiogenik. Alokasi kelompok kontrol 34 subjek dan perlakuan (IABP sebelum revaskularisasi) 35 subjek. Luaran primer adalah mortalitas rumah sakit dan pasca revaskularisasi hari ke_30. Luaran sekunder perfusi global (bersihan asam laktat jam ke_12), perfusi regional (kreatinin), performa jantung yang dinilai secara ekokardiografi (Global longitudinal strain) dan penanda biologis untuk regangan miokard (NT-proBNP dan ST2). Variabel hemodinamik ekokardiografi dan komplikasi tindakan juga dilaporkan.
Setelah drop out, Analisis perprotokol dilakukan pada 18 subjek kelompok kontrol dan 16 subjek kelompok perlakuan. Mortalitas rumah sakit dan 30 hari pasca revaskularisasi, 12 (66,7%) subjek pada kelompok kontrol dan 9 (56,3%) subjek pada kelompok perlakuan, p 0,533. Pada luaran sekunder tidak ditemukan perbedaan bermakna pada kedua kelompok untuk bersihan laktat efektif jam ke-12; pemeriksaan kreatinin, global longitudinal strain, hemodinamik ekokardiografi dan nilai NT-proBNP dan ST2. Pada hari ke_3, kurva kaplan meier berpisah dan mortalitas RS dini pada kelompok kontrol 9 (50%) subjek dan pada kelompok perlakuan 1 (6,25%) subjek, hasil uji fisher p 0,013. Mortalitas RS lanjut berhubungan dengan IABP dan sepsis. Dua patomekanisme diusulkan untuk menerangkan patomekanisme kematian pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan
Simpulan: Penggunaan IABP sebelum revaskularisasi pada subjek infark miokard akut dengan komplikasi renjatan kardiogenik tidak memperbaiki mortalitas rumah sakit dan pasca perawatan hari ke-30. Pada kelompok kontrol diusulkan patomekanime mortalitas serangan fisiologis kali satu. Kelompok perlakuan, patomekanime mortalitas diusulkan serangan fisiologis kali dua.

The guideline recommendation on routine use of Intra Aortic balloon pump (IABP) in cardiogenic shock had been downgraded to level recommendation III. The role of IABP insertion before revascularization has never been investigated in randomized control trial. The aim of this study is to investigate the role of IABP insertion before revascularization in acute myocardial infarction complicated by cardiogenic shock.
Randomized control trial was performed in National Cardiac Center Harapan Kita at the period January 2018–April 2020. We randomly assigned 69 patients cardiogenic shock due to acute myocardial infarction. There are 34 patients assigned to control group (no IABP) and 35 patients assigned to intervention group (IABP before revascularization). Percutaneous Coronary Intervention and medical care were performed according to local protocol. The primary end points were in-hospital mortality and mortality at 30 days post revascularization. The secondary end points were perfusion (lactate clearance, creatinine), cardiac performance (global longitudinal strain), Biomarker for myocardial stretch (NT-proBNP & ST2). Echo hemodynamic and complication variables were also reported.
After drop out, a total of 18 patients in the control group and 16 patients in intervention group (IABP before revascularization were included in per protocol analysis for the primary and secondary end points. The primary end result of in hospital mortality and 30 days post revascularization mortality were identical in 12 patients in the control group (66.7%) and 9 patients in the intervention group (56.3%), p 0,533. There were no significant differences in secondary end points, effective lactate clearance at 12 hour, creatinine, Global Longitudinal Strain, NT-proBNP, ST2 including echo hemodynamic, dose of catecholamine therapy and sepsis. At the third day, Kaplan Meier curve demonstrated early separation with significant difference in mortality 9 patients in the control group (50%) and 1 patients in the intervention group (6,25%), p 0,013. Late in hospital was associated with IABP and sepsis. There was also a trend of greater elevation of NT-proBNP on day 3 in the intervention group. Therefore, pathomechanisms of death for control group and intervention group were proposed.
Conclusion: The use IABP before percutaneous intervention in patient shock cardiogenic due to acute myocardial infarction did not improve clinical outcome in hospital mortality or 30 days post Revascularization. One hit of physiological deterioration model for cardiogenic cardiogenic shock patient and two hit of physiological deterioration model for cardiogenic shock patient treated with IABP before revascularization were proposed.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Amadea Gunawan
"Latar Belakang COVID-19 berdampak secara signifikan bagi dunia. Tingginya prevalensi dan insidensi, serta banyaknya kasus berderajat keparahan sedang-berat, mendorong dunia dan Indonesia untuk mencari terapi yang tepat. Salah satunya adalah anti-interleukin-6 untuk mengatasi badai sitokin yang kerap terjadi pada pasien COVID-19. Anti-interleukin-6 berupa Tocilizumab yang digunakan untuk mengatasi COVID-19 derajat sedang-berat hingga saat ini masih minim diteliti di dunia maupun di Indonesia. Maka, Peneliti berharap penelitian ini dapat berkontribusi pada perkembangan dunia medis di Indonesia. Metode Penelitian ini dilakukan dengan desain kohort retrospektif yang dilakukan di Rumah Sakit Universitas Indonesia. Penelitian ini menggunakan rekam medis pasien COVID-19 berderajat sedang-berat guna menilai hubungan antara pemberian Tocilizumab dengan tingkat mortalitas, lama rawat, dan kadar biomarker inflamasi yaitu C-reactive protein dan D-dimer. Hasil Diperoleh 52 pasien yang diberikan obat Tocilizumab dan 52 pasien kontrol. Pada kelompok pasien yang diberikan Tocilizumab, 48 pasien dirawat pada bulan Januari-Juni dan 4 pasien dirawat pada bulan Juli-Desember. Pada kelompok kontrol, 32 pasien dirawat pada bulan Januari-Juni dan 20 pasien dirawat pada bulan Juli-Desember. Ditemukan sebanyak 40,4% pasien yang memperoleh Tocilizumab hidup dan sembuh, sedangkan pada kelompok kontrol hanya 16,4% pasien yang sembuh (p=0,014). Rata-rata lama rawat pasien kelompok uji mencapai 20,9±11,5 hari, lebih lama dibandingkan kelompok kontrol yaitu 16,5±12,4 hari (p=0,007). Rata-rata penurunan kadar CRP pada kelompok uji adalah -74,65±72,59 mg/L, sedangkan pada kelompok kontrol meningkat (p=0,001). Kadar D-dimer pasien yang diberikan Tocilizumab mengalami penurunan namun tidak signifikan. Kesimpulan Tocilizumab terbukti menurunkan angka mortalitas, menurunkan kadar CRP, dan cenderung menurunkan kadar D-dimer pada pasien COVID-19 derajat sedang-berat.

Introduction COVID-19 has a significant impact globally. The high prevalence and incidence, also the large number of moderate-severe cases, encouraged the world and Indonesia to look a better therapy. One of them is anti-interleukin-6 to overcome cytokine storm that occurs in COVID-19 patients. Today, there is minimal research that learn about anti-interleukin-6, Tocilizumab. This research hope could contribute to the development of the medical sector in Indonesia. Method This research conducted with a retrospective cohort design at Universitas Indonesia Hospital. This study used medical records of COVID-19 moderate-severe patients to assess the relation between Tocilizumab administration and mortality, length of stay, and levels of C-reactive protein and D-dimer. Result There were 52 moderate-severe COVID-19 patients receiving Tocilizumab and 52 control patients. In the test group, 48 patients treated in January-June and 4 patients treated in July-December. In the control group, 32 patients treated in January-June and 20 patients treated in July-December. It was found that 40,4% of patients who were given Tocilizumab survived, while in the control group only 16,4% of patients survived (p=0,014). The average length of stay for test group reached 20,9±11,5 days, longer than the control group, which was 16,5±12,4 days (p=0,007). The average CRP levels decrease in test group was -74.,65±72,59 mg/L, while it increased in the control group (p=0,001). The D-dimer levels of patients given Tocilizumab decreased but not significant. Conclusion Tocilizumab has been proven to reduce mortality rates, lower CRP levels, and tends to reduce D-dimer levels in moderate-severe COVID-19 patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Permata Sari
"Latar belakang: Belum banyak studi yang menyatakan pengaruh latihan penguatan terhadap peningkatan kapasitas aerobik pada pasien dengan Sindroma Koroner Akut (SKA) risiko ringan dan sedang pasca intervensi koroner perkutan serta apa pengaruhnya terhadap tekanan darah dan laju jantung.
Tujuan: Mengetahui manfaat kombinasi latihan aerobik dan latihan penguatan pada pasien SKA risiko ringan dan sedang pasca intervensi koroner perkutan.
Metode : Penelitian ini menggunakan desain studi eksperimental dengan membandingkan kapasitas aerobik dan hemodinamik pasien SKA pasca intervensi koroner perkutan yang diberikan latihan aerobik saja dan kombinasi latihan aerobik dan penguatan selama 8 minggu.
Hasil: Dari April 2012 - Januari 2013 terdapat 20 subjek yang mengikuti penelitian ini sampai dengan selesai. Terdapat peningkatan kapasitas aerobik setelah perlakuan pada kelompok yang mendapat latihan aerobik saja maupun kelompok yang mendapatkan latihan aerobik ditambah dengan penguatan dengan selisih yang lebih besar pada kelompok latihan aerobik dan penguatan (0,75 + 1,09 vs 2,35 + 0,99) namun perbedaan yang bermakna hanya terdapat pada kelompok yang mendapatkan latihan aerobik dan penguatan (p<001). Terdapat perbedaan kapasitas aerobik yang bermakna antara kedua kelompok sesudah perlakuan (7,3 (5,27 - 9,33) vs 9,75 (4,43 - 11,43), p<001). Untuk variabel hemodinamik (tekanan darah sistolik dan diastolik istirahat, laju jantung istirahat, laju jantung tercapai, dan laju jantung pemulihan) tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok (p>0,05). Analisa multivariat menunjukkan faktor yang mempengaruhi peningkatan kapasitas aerobik adalah umur, dengan batasan umur ≤ 55 tahun.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan kapasitas aerobik yang bermakna pada kelompok yang mendapatkan latihan aerobik dan penguatan setelah perlakuan.;Background: Aerobic exercise has been use for years in patients with Acute coronary syndrome after a percutaneus coronary intervention but only a few study explain how strengthening exercise combined with aerobic exercise could influence aerobic capacity and hemodynamic parameters in patients with coronary heart disease who had underwent percutaneus coronary intervention (PCI).

Aim od study: to know influence of combined aerobic and strengthening exercise in patients underwent PCI to aerobic capacity and hemodynamics.
Method: This research use experimental study design to compare aerobic capacity in patients post PCI given only aerobic exercise and combine aerobic and strengthening exercises for 8 weeks.
Results: From April 2012 - January 2013 there were 20 subjects volunteered to follow the study. There is an increasing aerobic capacity in aerobics only training group and combined exercise group with the larger difference in aerobic and strengthening exercise group (0.75 + 1.09 vs. 2.35 + 0.99). but the difference only significant in combined exercise group (p <001). There is a significant difference in aerobic capacity between the two groups after treatment (7.3 (5.27 to 9.33) vs. 9.75 (4.43 to 11.43), with p <001). There is no difference in hemodynamic variables in both groups. Multivariate analysis showed that factors influencing the increase aerobic capacity is age, with ≤ 55 years of age limitations.
Conclusion: There is a significant difference in aerobic capacity in the cluster get aerobic and strengthening exercises after treatment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Widia Sari
"Ketidakseimbangan asupan dan pengeluaran energi dapat menyebabkan terjadinya obesitas yang merupakan faktor risiko utama terjadinya noncommunicable disease (NCD). Latihan fisik dapat menurunkan berat badan penderita overweight dan obesitas melalui penekanan terhadap asupan makanan. HIIT merupakan salah satu bentuk latihan fisik yang dapat mempengaruhi regulasi asupan makanan melalui efek yang dikenal dengan exercise induced anorexia. Efek ini dapat dimediasi oleh IL-6 dan laktat yang meningkat setelah melakukan HIIT. IL-6 dan laktat bekerja secara langsung di hipotalamus untuk menurunkan sekresi AgRP yang merupakan neuropeptida oreksigenik. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh HIIT terhadap asupan makanan yang dilihat dari perubahan kadar IL-6, laktat, dan AgRP. Penelitian menggunakan bahan baku tersimpan (serum darah) dari penelitian payung yang dilakukan sebelumnya pada subjek laki-laki overweight yang diberikan HIIT selama 12 minggu. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan kadar IL-6 serum yang signifikan segera setelah HIIT di minggu ke-12 (p<0,05), peningkatan signifikan kadar laktat segera setelah HIIT di minggu ke-1 dan minggu ke-12 (p<0,05) serta ditemukan tidak ada perubahan kadar AgRP (p>0,05). Selain itu, juga tidak ditemukan korelasi antara IL-6 dan AgRP serta laktat dan AgRP. Dapat disimpulkan pelaksanaan HIIT selama 12 minggu belum dapat menekan asupan makanan jika ditinjau dari kadar IL-6, laktat, dan AgRP.

Imbalance of energy intake and expenditure can induce obesity, a main risk factor of noncommunicable disease. Physical exercise can aid weight loss in overweight and obese patients by decreasing food intake. HIIT is a form of physical exercise that causes exercise-induced anorexia, which reduces food intake. This effect may be mediated by the increase of IL-6 and lactate following HIIT. IL-6 and lactate directly regulate the expression of AgRP, an orexigenic neuropeptide, in the hypothalamus. This study aims to investigate the effect of HIIT on food intake as seen from changes in IL-6, lactate, and AgRP. This study used blood serum from previous study conducted on overweight males who participated in HIIT for 12 weeks. This study showed a significant increased in serum IL-6 concentration immediately after HIIT at 12th week (p<0,05), a significant increased in serum lactate concentration immediately after HIIT at 1st and 12th week (p<0,05), and no change in AgRP concentration (p>0,05). In addition, no correlation was found between IL-6 and AgRP as well as lactate and AgRP. It can be concluded that the implementation of HIIT for 12 weeks has not been able to suppress food intake based on the concentration of IL-6, lactate, and AgRP"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astuti Giantini
"Sindrom koroner akut (SKA) merupakan masalah kesehatan nasional karena tingginya angka morbiditas dan mortalitas serta beban biaya yang dibutuhkan. Intervensi koroner perkutan (IKP) dan terapi antiplatelet seperti klopidogrel merupakan tata laksana yang direkomendasikan oleh organisasi kardiologi internasional. Meskipun demikian, pasien SKA masih dapat mengalami kejadian kardiovaskular mayor (KKM). Kemungkinan, resistensi klopidogrel berperan pada KKM sedangkan resistensi klopidogrel mungkin dipengaruhi oleh faktor genetik dan epigenetik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor genetik yaitu polimorfisme gen CYP2C19 dan P2Y12, serta epigenetik yaitu metilasi DNA gen CYP2C19 dan P2Y12 serta ekspresi miRNA-26a dengan resistensi klopidogrel dan pengaruhnya terhadap KKM pada pasien SKA pasca IKP.
Untuk menganalisis hubungan faktor genetik dan epigenetik dengan resistensi klopidogrel, penelitian dilakukan dengan desain potong lintang, sedangkan untuk analisis hubungan faktor genetik dan epigenetik dengan KKM dilakukan dengan desain kohort prospektif. Subjek penelitian meliputi 201 pasien SKA pasca IKP dan mendapat terapi klopidogrel di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita dari bulan September 2018 sampai dengan Juni 2020. Resistensi klopidogrel ditentukan dengan pemeriksaan light transmission aggregometry (LTA) apabila hasilnya lebih besar dari 59% dengan agonis ADP 20 mM. Deteksi polimorfisme gen CYP2C19 dan P2Y12 serta ekspresi miRNA-26a dilakukan dengan metode qRT-PCR, sedangkan metilasi DNA gen CYP2C19 dan P2Y12 dikerjakan dengan metode konversi bisulfit. Pasien diobservasi selama satu tahun dan jika ada angina pektoris, infark miokard akut (IMA) rekuren, stroke, atau kematian, dicatat sebagai KKM.
Dari 201 subjek, terdapat 45,8% carrier mutant polimorfisme *2 dan *3 gen CYP2C19, 36,8% carrier mutant polimorfisme rs3679479 gen P2Y12, 10% hipometilasi DNA gen P2Y12, 80,1% hipometilasi DNA gen CYP2C19, dan 66,2% ekspresi miRNA-26a up regulated. Proporsi resisten klopidogrel adalah 49,8% dan proporsi KKM adalah 14,9% (kematian 7,5%). Terdapat hubungan antara merokok (p = 0,001; OR 0,37 [IK 95%; 0,20–0,68]), hipometilasi DNA gen CYP2C19 (p = 0,037; OR 2,13 [IK 95%; 1,04–4,37]), dan ekspresi miRNA-26a up regulated (p = 0,020; OR 2,03 [IK 95%; 1,12–3,68]) dengan resistensi klopidogrel. Terdapat hubungan antara jenis kelamin perempuan (p = 0,040; HR 2,73 [IK 95%; 1,05–7,14]), usia ≥ 60 tahun (p = 0,035; HR 2,17 [IK 95%; 1,06–4,48]), eGFR rendah (p = 0,001; HR 3,29 [IK 95%; 1,59–6,84]), dan polimorfisme *2 dan *3 gen CYP2C19 (p = 0,047; HR 2,12 [IK 95%; 1,01–4,46]) dengan KKM dalam satu tahun.
Hanya faktor epigenetik berupa metilasi DNA gen CYP2C19 dan ekspresi miRNA-26a yang berhubungan dengan resistensi klopidogrel. Walaupun resistensi klopidogrel tidak berhubungan dengan KKM, terdapat hubungan antara faktor genetik polimorfisme *2 dan *3 gen CYP2C19 dengan KKM.

Acute coronary syndrome (ACS) is a national health problem due to high morbidity and mortality, and cost burden as well. Percutaneous coronary intervention (PCI) and antiplatelet therapy such as clopidogrel are recommended. However, ACS patients could still experience major adverse cardiovascular events (MACE). Clopidogrel resistance possibly plays a role in MACE whereas it may be affected by genetic and epigenetic factors. Therefore, the objective of this study was to determine the relationship between genetic factors which are CYP2C19 and P2Y12 polymorphisms, as well as epigenetic factors which are DNA methylation of CYP2C19 and P2Y12, and miRNA-26a expression and their effects on MACE in post-PCI patients.
To analyze the association between genetic and epigenetic factors and clopidogrel resistance, the study design was cross-sectional, while the study design of relationship between genetic and epigenetic factors and MACE was prospective cohort. The subjects were 201 post-PCI ACS patients who received clopidogrel therapy at Harapan Kita Hospital from September 2018 to June 2020. Clopidogrel resistance was determined by light transmission aggregometry (LTA) if the result was greater than 59% with agonist ADP 20 µM. The detection of CYP2C19 and P2Y12 gene polymorphisms and miRNA-26a expression were carried out by qRT-PCR method, while the DNA methylation of the CYP2C19 and P2Y12 genes were carried out by bisulfite conversion method. Patients were observed for one year and angina pectoris, recurrent acute myocardial infarction (AMI), stroke, or death, were recorded as MACE.
From 201 subjects, 45.8% were CYP2C19*2 and CYP2C19*3 polymorphism mutant carrier, 36.8% were rs3679479 P2Y12 polymorphism mutant carrier, 10% were hypomethylated of P2Y12, 80.1% were hypomethylated of CYP2C19, and 66.2% were up regulated in miRNA-26a expression. 49.8% of subjects were clopidogrel resistant and 14.9% of subjects experienced MACE (death was 7.5%). Smoking (p = 0.001; OR 0.37 [CI 95%; 0.20–0.68]), hypomethylated of CYP2C19 (p = 0.037; OR 2.13 [CI 95%; 1.04–4.37]), and up regulated miRNA-26a expression (p = 0.020; OR 2.03 [CI 95%; 1.12–3.68]) were associated with clopidogrel resistance. Female gender (p = 0.040; HR 2.73 [CI 95%; 1.05–7.14]), age over 60 years old (p = 0.035; HR 2.17 [CI 95%; 1.06–4.48]), low eGFR (p = 0.001; HR 3.29 [CI 95%; 1.59–6.84]), and CYP2C19*2 and CYP2C19*3 polymorphisms (p = 0.047; HR 2.12 [CI 95%; 1.01–4.46]) were associated with MACE in one year.
Only DNA methylation of CYP2C19 and miRNA-26a expression were associated with clopidogrel resistance. Although clopidogrel resistance was not associated with MACE, there was association between CYP2C19*2 and CYP2C19*3 polymorphisms and MACE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heni Apriyani
"Penyakit Jantung Koroner (PIK) merupakan penyebab kematian utama di dunia dan di Indonesia. Tindakan definitif untuk mendeteksi gangguan pada pembuluh darah jantung ini adalah tindakan diagnostik kateterisasi jantung. Prosedur ini membutuhkan kesiapan pasien dan menimbulkan rasa kecemasan. Adapun penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat kesiapan pasien PJK dengan kualitas nyeri insersi setelah tindakan kateterisasi jantung. Peneiitian ini dilakukan di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta.
Desain penelitian korelasional dengan pendekatan cross sectional digunakan dalam penelitian ini. Sampel pada penelitian ini diambil dengan metode non probability sampling yaitu consecutive sampling, pada laki-laki dan perempuan yang berusia antara 31 - 67 tahun (n = 30). Untuk menguji hubungan antara tingkat kesiapan pasien dengan kualitas nyeri insersi digunakan uji Fisher Exact.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kesiapan pasien dengan kualitas nyeri insersi yang dirasakan pasien (p = 0,001, <1 = 0,05). Hasil penelitian menuniukkan bahwa kualitas nyeri yang dirasakan pasien berkisar antara nyeri ringan dan nyeri sedang. Sedangkan analisis hubungan antara variabel confounding jenis kelamin dan kualitas nyeri insersi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kualitas nyeri insersi (p = 0,008 , <1 = 0,05).
Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kesiapan pasien dengan kualitas nyeri insersi. Hal ini menunjukkan pasien PIK perlu dipersiapkan secara fisik, mental, dan pengetahuan dalam menghadapi kateterisasi jantung. Karena prosedur ini menimbulkan kecemasan dan rasa takut pasien, maka saran bagi penelitian selanjutnya adalah menggali bagaimana pengalaman pasien PJK dalam menghadapi kateterisasi jantung."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2007
T22874
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irman Firmansyah
"Latar Belakang: Penyakit kardio-serebrovaskular dengan kematian tertinggi sebagian besar diakibatkan Sindroma Koroner Akut (SKA). Dalam perjalanan penyakit tersebut dapat timbul gangguan psikis berupa depresi. Dilaporkan bahwa depresi sering terjadi dan menetap, dengan prevalensi sekitar 20% pada pasien dengan penyakit jantung. Gangguan psikis memiliki hubungan yang erat dengan pengaruh hormonal seperti kortisol dan serotonin. Pada pasien SKA dapat terjadi disfungsi otonom dan disregulasi aksis HPA yang menyebabkan peningkatan kortisol yang dapat memperburuk prognosispasien SKA. Sehingga penting untuk mengetahui pengaruh hormonal yaitu kadar kortisoldan serotonin dalam mengurangi gejala depresi yang akan ditelaah pada penelitian ini. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional untuk mengetahui peran kortisol dan serotonin terhadap kejadian depresi pada pasien SKA pasca perawatan. Penelitian dilakukan di ICCU RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta Pusat, Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM dan Divisi Psikosomatik danPaliatif Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM pada 73 orang responden yang memenuhi kriteria inklusi dengan menggunakan wawancara, pengisian kuesioner HADS,pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Hasil: Sebanyak 15,1% pasien SKA mengalami depresi pasca perawatan. Hasil uji statistik antara serotonin plasma terhadapdepresi tidak bermakna secara statistik dengan p value 0,482, demikian pula dengan kortisol saliva dengan p value 0,275. Namun ditemukan bahwa, kadar rerata hormon serotonin pada pasien SKA dalam penelitian ini adalah 189 ng/ml dan kadar rerata kortisol pada pasien SKA pada penelitian ini adalah 2,19 ng/mL. Kesimpulan: Secara statistik, tidak ditemukan perbedaan signifikan antara kadar kortisol terhadap gejala depresi pada pasien paska sindrom koroner akut dengan nilai p-value 0,275. Namun, penelitian ini bermakna secara klinis dilihat dari kadar serotonin plasma yang lebih rendah pada pasien dengan depresi dan lebih tinggi pada pasien yang tidak depresi. Begitu pula dengan kadar kortisol saliva lebih tinggi pada pasien dengan depresi dan lebih rendah pada pasien yang tidak depresi.

Background: Cardio-cerebrovascular disease with the highest mortality is mostly due toAcute Coronary Syndrome (ACS). During the course of the disease, psychological disorders such as depression may happen. It has been reported that depression is commonand persistent, with a prevalence of approximately 20% in patients with heart disease. Psychological disorders have a close relationship with hormones such as cortisol and serotonin. In ACS patients, autonomic dysfunction and dysregulation ofthe HPA axis canoccur and cause an increase in cortisol which can worsen the prognosis of ACS patients. So it is important to know the how hormones, namely cortisol and serotonin in reducing depressive symptoms which will be examined in this study. Methods: This study is a cross-sectional study to determine the impact of cortisol and serotonin in the incidence ofdepression in post-treatment ACS patients. The research was conducted at the ICCU RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Central Jakarta, Division of Cardiology Department ofInternal Medicine FKUI/RSCM and Division of Psychosomatics and Palliative Department of Internal Medicine FKUI/RSCM in 73 respondents who met the inclusion criteria by using interviews, filling out HADS questionnaires, physical examinations andlaboratory tests. Results: A total of 15.1% of ACS patients experienced post-treatment depression. The statistical test results between plasma serotonin and depression were notstatistically significant with a p value of0.482, as well as salivary cortisol with a p valueof 0.275. However, it was found that the average serotonin level in ACS patients in this study was 189 ng/ml and the average cortisol level in ACS patients in this study was 2.19 ng/mL. Conclusion: Statistically, there was no significant relationship between cortisol levels and depressive symptoms in post-acute coronary syndrome patients with a p-valueof 0.275. However, this study is clinically significant in view of the lower plasma serotonin levels in patients with depression and higher in patients who are not depressed.Likewise, salivary cortisol levels were higher in patients with depression and lower in patients who were not depressed."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Noor Asyiqah Sofia
"ABSTRAK
Latar Belakang. Depresi sering terjadi pada penderita sindroma koroner akut
(SKA) dan berhubungan dengan peningkatan mortalitas penderita SKA. Obat
selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) telah diketahui efikasinya pada
depresi pasca SKA. Nitric oxide (NO) merupakan salah satu penanda fungsi
endotel. Studi menunjukkan kemampuan SSRI citalopram dalam memperbaiki
fungsi endotel melalui peningkatan kadar nitric oxide (NO). Fluoxetine
merupakan obat SSRI yang tersedia dengan baik di Indonesia belum pernah
diteliti pengaruhnya pada peningkatan kadar NO.
Tujuan. Mengetahui pengaruh pemberian fluoxetine 20 mg/hari selama 8 minggu
terhadap peningkatan kadar NO pasien depresi pasca SKA, serta Mengetahui
korelasi antara perbaikan simtom depresi dengan peningkatan kadar NO pasien
depresi pasca SKA yang mendapatkan fluoxetine 20 mg/hari selama 8 minggu.
Metode. Penelitian uji klinik tersamar acak ganda yang dilakukan pada JanuariSeptember
2015
di
poklinik
Jantung
RSUP
Dr.Sardjito
Yogyakarta.
Subjek
adalah
penderita
pasca SKA usia 40-60 tahun yang memenuhi kriteria depresi. Subjek
dirandomisasi untuk mendapatkan fluoxetine dosis 20 mg/hari selama 8 minggu
atau plasebo. Simtom depresi yang diukur dengan kuesioner BDI dan kadar NO
diambil pada awal dan akhir minggu ke 8 penelitian.
Hasil. Dari 44 subjek yang mengikuti penelitian, 24 subjek mendapatkan
fluoxetine dan 20 subjek mendapatkan plasebo. Analisis dilakukan pada 19 subjek
kelompok fluoxetine dan 19 subjek kelompok plasebo. Rerata kadar NO sebelum
dan sesudah pemberian fluoxetine adalah berturut-turut 31,86(2,4) μm dan
29,7(2,7) μm. Rerata kadar NO sebelum dan sesudah pemberian plasebo adalah
berturut-turut 32,44(2,48) μm dan 30,09(2,87) μm. Tidak terdapat korelasi antara
perbaikan simtom depresi dan peningkatan kadar NO pada pasien depresi pasca
SKA yang mendapatkan fluoxetine dibandingkan kelompok plasebo (r -0,206; p
0,215).
Simpulan. Fluoxetine dosis 20 mg/hari selama 8 minggu pada pasien depresi
pasca SKA tidak meningkatkan kadar NO. Penurunan skor BDI pasien depresi
pasca SKA yang mendapatkan fluoxetine 20 mg/hari selama 8 minggu tidak berkorelasi dengan peningkatan kadar NO.

ABSTRACT
Background. Depression was prevalent in post acute coronary syndrome (ACS)
patients and this condition was related with increasing morbidity and mortality.
selective serotonin reuptake inhibitor has established as a treatment choice for
depression in post ACS patients. Nitric oxide (NO) was a well known marker of
endothelial function. Study on SSRI Citalopram showed an increasing level of NO
after administration of citalopram. Fluoxetine was available in Indonesia, but its
function in improving endothelial function through the increasing of NO level
remains unknown.
Purpose. To evaluate the influence of fluoxetine 20 mg daily for 8 weeks in
increasing NO level in patients post ACS with depression, and to evaluate the
correlation between improvement in depressive symptoms and increment of NO
level in post ACS depression patients who receive fluoxetine 20 mg daily for 8
weeks.
Method. It was a randomized double blind clinical trial counducted in JanuarySeptember
2015 whic held in Sardjito General Hospital Yogyakarta. Eligible
subjects were post ACS age 40-60 years who fulfilled depression criteria. Subjects
were randomized to receive fluoxetine 20 mg daily or plasebo for 8 weeks.
Depressive symtoms were evaluate using BDI inventory. Nitric oxide level were
taken at baseline and the end of week 8.
Results. From 44 subjects, 24 subjects received fluoxetine, while 20 subjectcs
received placebo. Analysis was done in 19 subjects of fluoxetine group and 19
subjects of plasebo group. Means of NO level before and after treatment in
fluoxetine group were 31,86(2,4) μm and 29,7(2,7) μm respectively. We found no
correlation between improvement of depressive symptoms and increment of NO
level (r -0,206; p 0,215).
Conclusions. The NO level was not increased in post ACS depression patients
who recieve fluoxetine 20 mg daily for 8 weeks. The improvement of depressive
symptoms was not correlated with increment of NO level in post ACS patients depression patients who recieve fluoxetine 20 mg daily for 8 weeks."
2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yaldiera Utami
"Latar Belakang. Depresi pasca SKA memiliki prevalensi sebesar 20-37 , yaitu sekitar tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum. Pasien pasca SKA yang mengalami depresi dalam waktu 2 tahun pertama memiliki risiko mortalitas sebesar 2.5 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami depresi. Meskipun prevalensinya cukup tinggi, namun kondisi ini seringkali tidak terdeteksi sehingga sulit untuk ditatalaksana. Kuesioner CDS telah terbukti andal dan sahih untuk mendeteksi depresi pasca SKA di beberapa negara, namun belum ada penelitian yang menguji keandalan dan kesahihan kuesioner tersebut di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menguji keandalan dan kesahihan kuesioner CDS berbahasa Indonesia sebagai alat ukur untuk mendeteksi depresi pasca SKA di Indonesia. Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap adaptasi lintas bahasa dan budaya serta tahap uji keandalan dan kesahihan. Subjek penelitian terdiri atas pasien rawat jalan pasca SKA yang berobat di Polikilinik Kardiologi PJT RSCM pada bulan Juli-September 2017. Uji keandalan dilakukan dengan menilai Intraclass Correlation Coefficient ICC melalui metode test-retest dan menilai Cronbach-alpha untuk mengetahui konsistensi internal. Uji kesahihan dilakukan dengan menilai kesahihan konstruksi melalui multitrait multimethod analysis dan kesahihan eksternal dengan cara membandingkan CDS dengan kuesioner BDI-II sebagai alat ukur standar untuk menilai depresi. Hasil. Penelitian ini diikuti oleh 56 subjek dengan rerata usia 58.39 8.38 tahun. Sebagian besar subjek berjenis kelamin laki-laki 64.3 dan sudah menikah 80.4 . Uji keandalan memberikan hasil yang baik, terbukti dengan nilai ICC r 0.944; p

Background. Prevalence of post Acute Coronary Syndrome ACS depression reached 20 37 which is three times higher than in general population. Depressed post ACS patients have 2.5 times higher risk of mortality within 2 years after ACS compared with non depressed patients. Despite the high prevalence, this condition often go unrecognized and untreated. Cardiac Depression Scale CDS has been demonstrated to be valid and reliable in detecting post ACS depression in other countries. However it has not been validated in Indonesian population. This study was designed to evaluate the validity and reliability of Indonesian version CDS as a screening tool for post ACS depression in Indonesia. Method. A cross sectional study was conducted in two phases a the language and cultural adaptation phase and b the validity and reliability test. The study participants were recruited from post ACS outpatients attending Cardiology Clinic in PJT RSCM between July September 2017. Reliability of the CDS was evaluated by calculating Intraclass Correlation Coefficient ICC using test retest method and by calculating Cronbach alpha to determine internal consistency.Validity of the CDS was evaluated by examining construct validity using multitrait multimethod analysis and by comparing CDS with BDI II as gold standard measurement to determine external validity. Result. Fifty six patients were included in this study. The mean age was 58.39 8.38 years. Of these patients, 64.3 were male and 80.4 were married. Indonesian CDS demonstrated good result for test retest reliability r 0.944 p"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>