Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142931 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ariel Heryanto
Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2018
306.2 ARI i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Weintraub, Andrew N. (Andrew Noah)
Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2012
781.635 98 WEI d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Alvin Steviro
"Isu kekristenan di komunitas Tionghoa-Indonesia telah banyak diteliti, akan tetapi jarang sekali ditemukan studi mengenai bagaimana budaya tinggi berpengaruh terhadap komunitas-komunitas Tionghoa-Indonesia Kristen. Tesis ini membahas konstruksi identitas Gereja Reformed Injili Indonesia GRII melalui artikulasi-artikulasi Ketionghoaan, Budaya Tinggi, dan Kekristenan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis produksi dan konstruksi identitas kultural sebuah institusi agama di Jakarta serta memberikan perspektif alternatif terhadap konstruksi tersebut. Selain itu, sehubungan dengan pembahasan aspek budaya tinggi, penelitian ini juga diharapkan memberikan kontribusi dalam ranah Cultural Studies yang topiknya sering didominasi oleh budaya populer. Melalui metode participant observation serta analisis tekstual, tesis ini menggunakan doktrin Kalvinisme, konsep ketionghoaan, konsep budaya tinggi, teori religious economy, serta pikiran-pikiran Bourdieu dalam menganalisis diskursus diskursus yang bersirkulasi dalam GRII. Penelitian ini menemukan bahwa GRII mengonstruksi identitasnya melalui elemen-elemen ketionghoaan, budaya tinggi, dan kekristenan. Ketiga elemen ini saling berinteraksi dalam proses pembentukan identitas GRII. Artikulasi ketiga elemen ini, yang dilakukan secara selektif, juga diiringi kepingankepingan keindonesiaan, budaya populer, dan inklusivitas religius. Konstruksi identitas yang dilakukan tersebut pada akhirnya berpengaruh pada pemosisian diri gereja tersebut serta kapital kultural yang mereka miliki.

Christianity among Chinese-Indonesians is an issue that has been studied for numerous times. However, there have been few research on how high culture influences Christian Chinese-Indonesian communities. This thesis discusses Reformed Evangelical Church of Indonesia GRIIs construction of identity through articulations of Chineseness, High Culture, and Christianity. This research aims to analyze the production and construction of a Jakarta-based religious institutions cultural identity and to propose an alternative way of looking at the aforementioned identity construction. In addition, with the analyses on a particular articulation of high culture, this research also hopefully contributes to Cultural Studies academic discussions, which are usually dominated by the topic of popular culture. Through the methods of participant observation and textual analysis, this thesis applies doctrines of Calvinism, concepts of Chineseness, theories of high culture, the theory of religious economy, and Bourdieus thoughts in analyzing discourses which circulate within GRIIs identity construction. GRII is found to construct its identity through the elements of Chineseness, high culture, and Christianity. More specifically, the three elements interact one another during the churchs identity construction. Articulated selectively, the existence of the three elements are also followed by fragments of Indonesian-ness, pop culture, and religious inclusivity. Such construction of identity also affects the churchs positioning and cultural capital."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T54457
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Sharfina Ningtyas
"Istilah "gothic" telah ada sejak abad ke-4 setelah Masehi sebagai nama sebuah suku barbar di daerah Eropa Timur. Arti dari kata ?gothic? kemudian berkembang menjadi gaya arsitektur, aliran sastra, fashion dan genre musik seiring dengan perkembangan zaman. Kesemua aspek tersebut membentuk gothic sebagai budaya yang anti-mainstream. Perkembangan arti kata ?gothic? ini kemudian menimbulkan banyak representasi yang berbeda-beda dari setiap individu yang mengikuti budaya tersebut. Skripsi ini membahas representasi budaya gothic yang ditampilkan oleh grup musik gothic asal Jerman, Blutengel, melalui album mereka yang berjudul Monument.

The term "Gothic" has been around since 4th century A.D as the name of a tribe of the barbarian, that lived in Eastern Europe. The meaning of the word "gothic" was later developed into a style of architecture, literature genre, fashion and music genre along with the development of the times. All these aspects made gothic as an anti-mainstream culture. The development of the meaning of the word "gothic" later made many different representations from every individual that follows the culture. This thesis discusses about the representation of Gothic culture that displayed by a gothic music group from Germany, Blutengel, through their album entitled "Monument"."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
S60369
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aprillina Johana Trixie Masadi
"Hanfu Movement (汉服运动 hànfú yùndòng) mendapat antusias besar dari berbagai kalangan masyarakat Tiongkok, terutama generasi muda. Gerakan sosial ini berupaya menghidupkan kembali pakaian suku Han (汉服 hànfú). Pakaian ini mengacu pada pakaian yang digunakan ketika suku Han memimpin Tiongkok. Hanfu terakhir kali digunakan secara pasti pada saat Dinasti Ming memimpin (1368 – 1644). Namun pada zaman Dinasti Qing (1644-1911), Hanfu hanya digunakan oleh wanita, Han. Masuknya pakaian Barat dan modernisasi menyebabkan Hanfu kembali ditinggalkan untuk waktu yang lama. Hal ini yang mendasari munculnya orang-orang yang ingin mengetahui sejarah dan budaya pakaian tradisional Han. Untuk meneliti permasalahan tersebut, metode yang digunakan berupa penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian ini mengumpulkan sumber-sumber yang relevan untuk mendukung penelitian ini. Hasil penelitian ini adalah Hanfu Movement tidak hanya berfokus pada keinginan menghidupkan kembali penggunaan Hanfu, tetapi juga menghubungkan kembali orang Han dengan identitas budayanya. Meskipun demikian, gerakan ini menuai respons negatif karena kekhawatiran etnosentrisme Han.

The Hanfu Movement (汉服运动 hànfú yùndòng) received great enthusiasm from various circles of Chinese society, especially the younger generation. This social movement seeks to revive Han ethnic clothing (汉服 hànfú). This clothing refers to the clothing worn when the Han tribe led China. Hanfu was last used for certain during the Ming Dynasty (1368 – 1644). But during the Qing Dynasty (1644-1911), Hanfu was only used by women, Han. The influx of Western clothing and modernization caused Hanfu to be abandoned again for a long time. This is what underlies the emergence of people who want to know the history and culture of traditional Han clothing. To examine these problems, the method used is descriptive qualitative research. This research collects relevant sources to support this research. The result of this study is that the Hanfu Movement does not only focus on the desire to revive the use of Hanfu, but also to reconnect the Han people with their cultural identity. Nonetheless, the movement received a negative response due to fears of Han ethnocentrism."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Andre Satrya Utama
"Nasionalisme dapat tumbuh melalui beragam cara dan media, salah satunya melalui media olahraga. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan secara rinci bahwa identitas nasional dan identitas kelompok dapat terbentuk melalui aspek olahraga, khususnya olahraga sepakbola. Unit analisis dalam penelitian ini adalah para pemerhati sepakbola di tingkat nasional dan komunitas Bobotoh serta Viking sebagai pendukung setia Persib Bandung. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan observasi dan wawancara mendalam sebagai teknik pengumpulan data utama.
Hasil penelitian memperlihatkan tiga hal, pertama bahwa sepakbola di tingkat lokal dapat menumbuhkan perasaan in-group yang didasari kearifan lokal seperti bahasa, ritual dan simbol-simbol yang didukung pembentukannya oleh media sosial. Kedua kehadiran tim nasional sepakbola Indonesia di sisi lain dapat membentuk komunitas imajiner serta identitas nasional dengan persepsi akan sejarah, simbol, ritual, bahasa, serta media massa dan ketiga, nasionalisme yang terbentuk cenderung bersifat banal sebagai platform utama yang menyambungkan rasa kekerabatan dan nasionalisme.

Nationalism is a concept that can be developed through any media. This study aims to explain in detail that national identity and group identity can be formed through aspects of sport, such as football. This study uses a qualitative approach with observation and in depth interviews as the main data retrieval technique with the fans of Persib Bandung Viking and Indonesia men's national football team as the unit of analysis.
The results of this study show that football at the local level can establish in group feelings based on local wisdom such as language, rituals and symbols that supported by using social media as the basic. The presence of Indonesia's national football team on the other hand can form an imagined community and national identity with perceptions of history, symbols, rituals, languages, and mass media and other things that tend to be banal as the main platform that connects the sense of kinship And nationalism.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titik Pudjiastuti
Jakarta: UI-Press, 2010
PGB 0253
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Kitley, Philip
"Buku ini merupakan hasil kajian yang mendalamtentang televisi Indonesia. Hampir semua aspek dibahas mulai dari sinetron, warna pemberitaan masing-masing stasiun hingga masalah intervensi dan monopoli pemerintah dalam industri televisi."
Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 2001
384.55 KIT tt
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistyowati Irianto
"Etnifikasi atau proses peminggiran penduduk lokal sebagai akibat migrasi di Lampung menyebabkan ulun Lampung menjadi minoritas di tengah-tengah heterogenitas budaya pendatang. Dalam menghadapi marjinalisasi ini, mereka membangkitkan tradisi (invensi tradisi) dalam rangka memperkuat kesadaran kolektif melalui pemaknaan piil pesenggiri (harga diri) yang direproduksi dan diartikulasikan sebagai representasi identitas. Penelitian ini bertujuan menjelaskan pemaknaan piil pesenggiri sebagai kedayatahanan identitas ulun Lampung yang mereposisi identitasnya, terkait dengan bagaimana piil pesenggiri diolah sebagai modal budaya dan strategi budaya di dunia sosial mereka. Sebagai penelitian kualitatif, data diperoleh melalui wawancara mendalam dengan sejumlah informan untuk mendapatkan gambaran lengkap tentang piil pesenggiri berdasarkan pengalaman dalam dunia sosial yang dijalaninya.
Temuan penelitian ini, bahwa rekonstruksi identitas ulun Lampung tidak terlepas dari perkembangan dinamika politik dan budaya dalam ruang dan waktu. Produksi dan reproduksi piil pesenggiri sebagai invensi tradisi, yang diolah menjadi modal budaya dan strategi identitas merupakan resi stensi terhadap pendatang sebagai reteritorialisasi dan identifikasi diri. Mengubah stigma negatif piil pesenggiri yang selama ini dijadikan "perisai budaya" dalam berbagai tindakannya adalah konstruksi ulun Lampung dengan citra baru melalui pendidikan, simbol budaya maupun jalur politik, merupakan proses untuk diakui identitasnya dalam struktur sosial. Reproduksi piil pesenggiri menunjukkan piil sebagai identitas bukan produk yang statis tetapi kontekstual dan tidak dapat dipisahkan dari habitus ulun Lampung.

Etnifikasi or marginalize the local ethnic as result of migration process in Lampung has cause ulun Lampung?s to became a minority amidst of the cultural heterogeneity immigrants. In response to this marginalization, they re-invented tradition in order to strengthen their collective consciousness through the meaning of piil pesenggiri (self esteem) that's reproduced and articulated as a representation of identity. The study aims to explain how the meaning piil pesenggiri has been reproduced in the repositioning of ulun lampung's cultural identity, related to how ulun lampung interpret piil pesenggiri as a cultural capital and strategy cultural. The data were obtained through in-depth interviews from a number of informants to obtain a comprehensive description of piil pesenggiri based on their experiences in the social world.
The results showed that the reconstruction of Lampung ulun identity is inseparable from the development of the political and cultural dynamics in space and time. The production and reproduction of piil pesenggiri as an invention is processed to serve a cultural capital and identity strategy on the social structure vis-a-vis migrants can be viewed as a reteritorialization of identity. Changing the negative stigma that has piil pesenggiri used as cultural "shields" manifested in the various actions is the construction of ulun lampung with a new image through field of education, cultural symbols, or political field, and a process for gaining recognition in terms of their existence identity in the social structure. The reproduction of piil pesenggiri in social structure Lampung society shows that piil is not a static entity but an ever-changing one and it is inseparable from the ulun Lampung?s habitus.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Damayanti
"ABSTRAK
Pencurian dan penjarahan properti budaya merupakan sebuah bentuk kejahatan transnasional yang mengancam seluruh negara di dunia. Kejahatan ini berkaitan erat dengan organized crime dan merupakan salah satu bentuk kejahatan transnasional karena jaringan kejahatan yang melintasi batas negara. Selama ini pencurian dan penjarahan properti budaya dianggap sebagai sebuah kejahatan yang bersifat material. Padahal, sesungguhnya dampak yang ditimbulkan lebih dari apa yang dapat dihitung secara materi. Tulisan ini melihat bahwa properti budaya merupakan salah satu bentuk identitas bangsa yang perlu dilindungi. Hate crime dan iconoclasm menjelaskan lebih dalam kejahatan ini sebagai kejahatan terhadap identitas bangsa dimana terdapat unsur kebencian yang ditujukan kepada target. Unsur kejahatan transnasional dan organized crime dalam isu ini dijelaskan melalui konsep art crime dan criminogenic asymmetries. Tulisan ini menekankan bahwa pencurian dan penjarahan properti budaya merupakan isu tidak hanya terbatas pada material, tetapi juga berkaitan dengan identitas bangsa.

ABSTRACT
Theft and looting of cultural property is a transnational crime which threatens all countries in the world, with no exception. This type of crime is strongly related with organized crime and count as transnational crime due to its wide network which transcends the border of nations. Cultural property theft and looting usually seen as a crime against property. However, the impact of this crime is beyond of what we can measure in property crime. This study sees cultural property is a part of national identity and need to be protected from any harm. Hate crime and iconoclasm provide a deep insight of this issue as a crime against national identity which emphasize the aspect of hate. Aspects of transnational crime and organized crime is explained with art crime and criminogenic asymmetries with dysnomie. This study emphasizes that cultural property theft and looting is not only about material loss, but also a crime against national identity"
2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>