Ditemukan 143891 dokumen yang sesuai dengan query
Ezha Nafis Aufa Laili
"
ABSTRAKMeskipun hukum merek di Indonesia telah mengatur secara tegas bahwa pemilik merek wajib untuk menggunakan mereknya di dalam perdagangan, masih terdapat permasalahan berkaitan dengan ketentuan penggunaan merek, terutama mengenai apa yang dimaksud dengan penggunaan merek. Pemilik merek seringkali gagal dalam menentukan apakah ketentuan penggunaan merek telah dipenuhi dan hal tersebut menyebabkan hilangnya hak atas merek mereka. Sehubungan dengan hal ini, harus dipahami bahwa merek adalah aset bisnis yang penting, sehingga perlu untuk menyediakan perlindungan kepada pemilik merek dengan memberikan ketentuan dan interpretasi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan penggunaan merek di dalam hukum merek di Indonesia. Tujuan dari skripsi ini adalah untuk memeriksa ketentuan hukum merek khususnya mengenai penggunaan merek. Skripsi ini akan membahas permasalahan merek yang timbul dari konsep-konsep dasar penggunaan merek. Skripsi ini menggunakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan konseptual dan komparatif terhadap hukum merek di beberapa negara. Berdasarkan pada hukum merek dan praktiknya di beberapa negara, merek harus digunakan dalam perdagangan dan penggunaan merek yang sesuai harus dilakukan oleh pemilik merek. Jika pemilik merek dapat menetapkan bahwa mereknya digunakan dalam perdagangan dan penggunaan merek dilakukan dengan sesuai, hak eksklusif atas merek dapat beroperasi dengan sebagaimana mestinya.
ABSTRACTAlthough trademark law in Indonesia has firmly regulated that it is compulsory for trademark owners to use their trademarks in the course of trade, there are still some issues regarding the use of trademark provisions, especially about what constitutes use of a trademark. Trademark owners often fail to determine whether the use of a trademark provision is satisfied, and it brings to the loss of their trademarks. With respect to this viewpoint that shapes the issue, it must be understood that trademarks are important business assets, so it is necessary to provide trademark owners protection by giving a clear provision and interpretation about what constitutes use of a trademark in Indonesian trademark law. The purpose of this thesis is to examine the law relating to trademarks with particular emphasis on the use of a trademark. This thesis will discuss trademark issues that emerge from the basic concepts of use of a trademark. This thesis applies normative juridical research with a conceptual and comparative approach to trademark law in some countries. Based on the trademark law and practices in some countries, trademarks must be used in the course of trade and the proper use of a trademark must be actionable by the trademark owners. If trademark owners can establish that their trademarks are used in the course of trade and in the proper way, the exclusive right of a trademark can operate indefinitely."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Arya Putera Nugraha
"United State Patent and Trademark Office menerbitkan laporan yang mengkaji bahwa adanya praktik Trademark Bullying yang merupakan penggunaan serta penegakan Hak atas merek sebagai aset tak berwujud dari suatu perusahaan seringkali diinterpretasikan secara berlebihan atau diperkeras sehingga bersifat mengintimidasi dan membahayakan perusahaan lain dalam menjalankan usahanya. Tidak sedikit pengusaha – pengusaha kecil di Indonesia yang memiliki merek sebagai aset mereka, usaha-usaha ini memiliki sumber daya finansial yang tidak banyak sehingga ketika usaha-usaha ini harus berhadapan dengan proses litigasi merek yang ternyata mengintimidasi, keuangan dari usaha-usaha ini akan terganggu. Hal tersebut tentu mengganggu jalannya kegiatan usaha-usaha ini. Untuk menganalisis masalah tersebut, digunakan penelitian hukum normatif yang dilakukan secara deskriptif analisis. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa praktik tersebut tidak ditemukan, tetapi jika ada Undang-Undang Tentang Merek dan Indikasi Geografis (“UU No. 20 Tahun 2016”) serta Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“UU No. 5 Tahun 1999”) sudah memberikan perlindungan hukum yang cukup untuk menghadapi permasalahan tersebut
United State Patent and Trademark Office issuing a report that studied that thereis a Trademark Bullying practice which is use and enforcement of its Trademark right as an intangible assets from a company frequently being excessively misinterpreted or being hardened until its become intimidating and harass another company in running their businesses. In Indonesia There is not a few small businesses that have a trademark as their assets, these small businesses has insufficient financial resources, so when these small businesses have to deal with litigation proceeding that intimidating their businesses, their financial resources will be hampered, and such conduct will disrupt these small businesses activity. Normative research with descriptive-analysis method will be used to analyse this matter. The results of the research shows that such practice (Trademark Bullying Practice) not found in Indonesia, but if such practice appear, Indonesian Trademark Law and Indonesia Business Competition Law already provide legal protection to face the Trademark Bullying Practice."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Hardi Nurcahyo
"Undang-undang merek di berbagai negara memberikan hak bagi pemilik merek terdaftar untuk memberikan surat persetujuan (letter of consent) kepada pihak lain dalam mendaftarkan merek serupa dengan tingkatan yang berbeda-beda. Namun, penggunaan letter of consent tersebut dapat mengakibatkan kemungkinan kebingungan pada publik. Bagaimana Indonesia sebaiknya mengatur mengenai penggunaan letter of consent tersebut dengan mempertimbangkan kepentingan privat pemilik merek terdaftar dan kepentingan publik guna
mencegah adanya kemungkinan kebingungan pada publik. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisis dan memaparkan mengenai pengaturan letter of consent dalam pendaftaran merek di Indonesia, Singapura dan Malaysia, dampak dari penggunaan letter of consent tersebut, serta menganalisis dan memaparkan bagaimana sebaiknya sikap Indonesia mengatur penggunaan letter of consent dalam pendaftaran merek di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perbandingan, pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan analitis. Pendekatan tersebut dilakukan dengan cara membandingkan antar Undang-undang merek Indonesia, Singapura dan Malaysia dan menganalisisnya dengan sistem dan konsep hukum di bidang merek. Pengaturan letter of consent pada setiap negara (Indonesia, Singapura dan Malaysia) berbeda-beda. Penggunaan letter of consent ternyata memiliki dampak positif dan negatif sehingga kedepannya Undang-undang Merek Indonesia harus memberikan batasan penggunaan letter of consent guna menghindari adanya dampak negatif tersebut. Batasan tersebut yaitu letter of consent tidak dapat digunakan terhadap merek identik untuk barang atau jasa sejenis.
Trademark law in several countries provides a rights for the registered trademark owner toprovide a letter of consent to other party in registering similar trademark with different degrees. However, the use of letter of consent may cause a likelihood of confusion to thepublic. How Indonesia supposed to regulate the said use by considering the private rights of registered trademark owner and public interest to prevent such a likelihood of confusion to the public. The purpose of this research is to analyze and explain relating to the use of the letter of consent in trademark registration in Indonesia, Singapore, and Malaysia, as well as to analyze and explain on how Indonesia supposed to regulate the use of letter of consent in Indonesian trademark registration. The method used in this research is a normative juridical by using comparative approach, statute approach, and analytical approach. The saidapproach is carried out by comparing between trademark law of Indonesia, Singapore, and Malaysia and analyze it with system and concept of law in the trademark field. Letter of consent regulation in each country (Indonesia, Singapore, and Malaysia) is different. The use of the letter of consent have a positive and negative impacts so that the later IndonesianTrademark Law must provide the limitation of the use of the letter of consent to avoid thesaid negative impact. The limitation is that letter of consent cannot be used to the identicaltrademark with the same kind of goods or services."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Frans Anugerah Lase
"Penetapan sementara adalah suatu mekanisme perlindungan bagi pemilik Merek terdaftar dalam hal terjadinya suatu pelanggaran Merek. Penetapan sementara diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Penetapan sementara merupakan perintah Pengadilan Niaga atas permohonan Pemohon dengan tujuan untuk mencegah masuknya barang yang diduga hasil pelanggaran Hak atas Merek; pengamanan ddan pencegahan hilangnya barang bukti oleh pelanggar; dan/atau penghentian pelanggaran guna mencegah kerugian yang lebih besar. Oleh karena itu, penetapan sementara merupakan suatu mekanisme yang menghindarkan ataupun meminimalisir kerugian yang akan dialami oleh pemilik Merek terdaftar dari adanya pelanggaran Merek. Apabila melihat pengaturan mengenai penetapan sementara di negara lain, ditemukan suatu perbedaan dan juga persamaan mengenai mekanisme penetapan sementara. Persamaan dari implementasi penetapan sementara di Amerika Serikat dan Australia memiliki tujuan yang sama, yaitu mencegah dan meminimalisir dialaminya kerugian bagi pemilik Merek terdaftar. Perbedaan dari implementasi penetapan sementara di Amerika Serikat dan Australia, yaitu dari dapat diajukannya upaya hukum terhadap penetapan sementara, serta ada atau tidak adanya suatu uang jaminan. Selanjutnya, diketahui bahwa masih terdapat beberapa pihak yang belum mengerti mekanisme permohonan penetapan sementara. Hal ini terlihat dari tidak sesuainya permohonan penetapan sementara berdasarkan UU MIG. Terdapat pihak yang masih mengajukan permohonan penetapan sementara dengan mekanisme gugatan penghentian pelanggaran Merek berdasarkan Pasal 84 ayat (1) UU MIG. Selain permasalahan tersebut, penetapan sementara juga memiliki permasalahan dalam pengaturannya itu sendiri. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tulisan ini akan menganalisis bagaimana pengaturan penetapan sementara beserta dengan perbandingan pengaturan penetapan sementara di Amerika Serikat dan Australia, bagaimana permasalahan pengaturan penetapan sementara, serta kekeliruan pemohon dalam permohonan penetapan sementara.
Injunction is a protection mechanism for registered Mark owners when a Mark infringement occured. Injunction are regulated in Law Number 20 of 2016 about Marks and Geographical Indications. The Injunction is an order from the Commercial Court at the Petitioner's request with the aim of preventing the entry of goods suspected of infringing on Trademark Rights; securing and preventing the loss of evidence by violators; and/or cessation of violations to prevent greater losses. Therefore, a temporary determination is a mechanism that avoids or minimizes losses that will be experienced by registered Mark owners from Mark infringements. The arrangements regarding injunction in Indonesia and other countries, have differences as well as similarities. The similarity of the implementation of injunction in the United States and Australia has the same objective, namely to prevent and minimize losses for registered Mark owners. The difference from the implementation of the injunction in the United States and Australia, namely from the possibility of filing legal remedies against the provisional order, and the obligation of a bail. Furthermore, it is known that there are still several parties who do not understand the mechanism for requesting an interim determination. This can be seen from the incompatibility of the request for a injunction based on the MIG Law. There are parties who are still submitting requests for injunctions with a claim mechanism for ending Mark infringement based on Article 84 paragraph (1) of the MIG Law. Apart from these problems, the injunction also has problems in the regulation itself. By using normative juridical research methods, this paper will analyze how the injunction is regulated along with a comparison of the provisional determination arrangements in the United States and Australia, how are the problems of injunction arrangements, and the applicant's confusion in the application for the injunction."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Melisa Kristian
"ldquo Penggunaan merek dalam perdagangan barang dan/atau jasa rdquo; merupakan suatu unsur dan/atau persyaratan yang terkandung dalam beberapa ketentuan yang diatur oleh UU No. 20 Tahun 2016. Namun, undang-undang tersebut tidak secara tegas menyatakan apa yang dikualifikasikan sebagai ldquo;penggunaan merek dalam perdagangan barang dan/atau jasa rdquo;. Ketiadaan kualifikasi menyebabkan timbulnya polemik pada tataran praktis, seperti dalam penyelesaian gugatan penghapusan merek terdaftar atas dasar non-use di ranah peradilan. Unsur dan/atau persyaratan ini diatur dan dilihat secara berbeda-beda di tiap negara. Amerika Serikat mengkualifikasikan dengan jelas, bahkan memberikan peran yang besar bagi unsur penggunaan merek dalam perdagangan barang dan/atau jasa, yang diistilahkan sebagai use in commerce, dalam peraturan perundang-undangan mengenai merek. Seperti Indonesia, di Uni Eropa ketentuan genuine use yang dimaksudkan sebagai penggunaan merek dalam perdagangan barang dan/atau jasa tidak dikualifikasikan dan hanya dijadikan unsur atau persyaratan dalam beberapa ketentuan hukum. Skripsi ini membandingkan pengaturan hukum penggunaan merek dalam perdagangan barang dan/atau jasa beserta penerapannya di tingkat pengadilan di Indonesia dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa. Temuan-temuan dari perbandingan tersebut menunjukkan bagaimana ketentuan penggunaan merek dalam perdagangan barang dan/atau jasa, use in commerce, dan genuine use dikualifikasikan dan diatur sebagai unsur dan/atau persyaratan dalam peraturan perundang-undangan di negara dan/atau komunitas yang bersangkutan. Selain itu, temuan juga berupa kriteria-kriteria yang diperoleh berdasarkan putusan-putusan pengadilan. Perbandingan tersebut dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif.
ldquo Use of trademark in good and or service commerces rdquo is an element and or requirement in provisions regulated by Law No. 20 of 2016. However, the law does not expressly state what qualifies as ldquo use of trademark in good and or service commerces rdquo . The absence of qualifications leads to a few problems in practice, such as in the settlement of registered mark deletion on the grounds of non use cases. This element and or requirement is regulated and seen differently in every country. The United States of America regulates the element and or requirement expressly, in fact, the country gives a significant role to the element and or requirement, known as the term ldquo use in commerce rdquo , in the laws on trademark. Similar to Indonesia, European Union does not expressly regulate what qualifies as the element and or requirement ndash known as ldquo genuine use rdquo , it is only stipulated as an element and or requirement in a few provisions. This thesis compares the rules on the use of trademark in commerce as well as the implementation in court decisions in Indonesia with The United States of America and European Union. The findings obtained from the comparison show how use of trademark in good and or service commerces, use in commerce, and genuine use are qualified and regulated as an element and or requirement in respective country community. The normative legal research method was used in order to obtain the comparisons between the regulations and court decisions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Faisal Reza
"Istilah-istilah deskriptif digunakan dalam perdagangan untuk menyampaikan informasi kepada konsumen mengenai atribut, sifat atau keunggulan suatu produk. Merek yang hanya terdiri dari istilah deskriptif ini disebut sebagai merek deskriptif. Merek adalah suatu tanda yang digunakan untuk membedakan barang atau jasa dari suatu produsen dan produsen lain. Karena itu merek deskriptif seharusnya tidak dapat didaftar karena dianggap tidak mempunyai daya pembeda.. Merek deskriptif di Indonesia tidak dapat didaftar, baik di dalam ketentuan UU merek No. 21 tahun 1961 yang menggunakan sistem pendaftaran dekalaratif, maupun dalam UU Merek No. 19 tahun 1992 yang menggunakan sistem pendaftaran konstitutif, hingga UU Merek No. 15 tahun 2001 yang berlaku saat ini. Namun dalam kenyataannya di Indonesia terdapat merek-merek deskriptif yang didaftar, terutama berdasarkan Putusan Pengadilan.
Tesis ini meneliti mengenai masalah pendaftaran merek deskriptif di Indonesia, dengan menggunakan pendekatan konseptual yang meneliti mengenai konsep Secondary Meaning, pendekatan undang-undang dengan meneliti undang-undang merek di Indonesia dan pendekatan komparatif dengan melakukan perbandingan undang-undang merek di beberapa Negara berkaitan dengan masalah pendaftaran merek deskriptif. Pendekatan kasus juga dilakukan untuk meneliti putusanputusan pengadilan yang menjadi dasar didaftarkannya merek-merek deskriptif di Indonesia.
Dari hasil penelitian yang dilakukan didapat hasil bahwa masalah utama dalam pendaftaran merek deskriptif ini adalah tidak jelasnya pengaturan mengenai merek deskriptif ini dalam Undang-Undang Merek di Indonesia. Hal ini mengakibatkan terjadi perbedaan pendapat antara Hakim dan Pemeriksa merek mengenai merek deskriptif ini. Seharusnya dibuat suatu pengaturan yang jelas dan rinci mengenai pendaftaran merek deskriptif dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pemilik merek dengan kepentingan pihak ketiga sesuai dengan ketentuan dalam Paris Convention dan TRIPS Agreement.
Descriptive terms commonly used in the course of trade to convey information about attribute, characteristics or quality of a product, to consumers. Trademark, consists solely of descriptive terms is called Descriptive Marks. Trademark is a sign, used to distinguished goods or services from a producer from another. Therefore Descriptive Mark should not be registered because it lacks distinctive nature. Descriptive Mark in Indonesia is non-registrable, in the provision of The Trademark Act No. 21/1961 which used declarative system or in its predecessor, The Trademark Act No. 19/1992, even in the current Trademark Law in Indonesia, The Trademark Act No.15/2001. On the contrary, there are Descriptive Marks registered in Indonesia, based on Court and Supreme Court Decision in Indonesia. This Tesis analyses the problem regarding the registration of Descriptive Marks in Indonesia, using Conceptual Approach which analyze the concept of Secondary Meaning, and using Statute Approach to analyze Trademark Law in Indonesia, and also using Comparative Approach to compare Trademark Law in various country in relation to Descriptive Mark. Case-Approach also used to analyze various Court and Supreme Court decisions in Indonesia that become Landmark Decision in Descriptive Mark registration problems. Based on this Legal Research, we find that the major problem in the problematic registration of Descriptive Mark is because of the ambiguity of the current Trademark Law in Indonesia, regarding Descriptive Mark. This problem is causing different opinion between Judges and Trademark Examiner regarding Descriptive Mark. There should be more clear and comprehensive provisions in Indonesian Trademark Law about Descriptive Mark, which also considered the legitimate interests of trademark owners and third parties, based on the provisions in Paris Convention and TRIPS Agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T37056
UI - Tesis Open Universitas Indonesia Library
Faisal Reza
"Istilah-istilah deskriptif digunakan dalam perdagangan untuk menyampaikan informasi kepada konsumen mengenai atribut, sifat atau keunggulan suatu produk. Merek yang hanya terdiri dari istilah deskriptif ini disebut sebagai merek deskriptif. Merek adalah suatu tanda yang digunakan untuk membedakan barang atau jasa dari suatu produsen dan produsen lain. Karena itu merek deskriptif seharusnya tidak dapat didaftar karena dianggap tidak mempunyai daya pembeda.. Merek deskriptif di Indonesia tidak dapat didaftar, baik di dalam ketentuan UU merek No. 21 tahun 1961 yang menggunakan sistem pendaftaran dekalaratif, maupun dalam UU Merek No. 19 tahun 1992 yang menggunakan sistem pendaftaran konstitutif, hingga UU Merek No. 15 tahun 2001 yang berlaku saat ini. Namun dalam kenyataannya di Indonesia terdapat merek-merek deskriptif yang didaftar, terutama berdasarkan Putusan Pengadilan.
Tesis ini meneliti mengenai masalah pendaftaran merek deskriptif di Indonesia, dengan menggunakan pendekatan konseptual yang meneliti mengenai konsep Secondary Meaning, pendekatan undang-undang dengan meneliti undang-undang merek di Indonesia dan pendekatan komparatif dengan melakukan perbandingan undang-undang merek di beberapa Negara berkaitan dengan masalah pendaftaran merek deskriptif. Pendekatan kasus juga dilakukan untuk meneliti putusanputusan pengadilan yang menjadi dasar didaftarkannya merek-merek deskriptif di Indonesia.
Dari hasil penelitian yang dilakukan didapat hasil bahwa masalah utama dalam pendaftaran merek deskriptif ini adalah tidak jelasnya pengaturan mengenai merek deskriptif ini dalam Undang-Undang Merek di Indonesia. Hal ini mengakibatkan terjadi perbedaan pendapat antara Hakim dan Pemeriksa merek mengenai merek deskriptif ini. Seharusnya dibuat suatu pengaturan yang jelas dan rinci mengenai pendaftaran merek deskriptif dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pemilik merek dengan kepentingan pihak ketiga sesuai dengan ketentuan dalam Paris Convention dan TRIPS Agreement.
Descriptive terms commonly used in the course of trade to convey information about attribute, characteristics or quality of a product, to consumers. Trademark, consists solely of descriptive terms is called Descriptive Marks. Trademark is a sign, used to distinguished goods or services from a producer from another. Therefore Descriptive Mark should not be registered because it lacks distinctive nature. Descriptive Mark in Indonesia is non-registrable, in the provision of The Trademark Act No. 21/1961 which used declarative system or in its predecessor, The Trademark Act No. 19/1992, even in the current Trademark Law in Indonesia, The Trademark Act No.15/2001. On the contrary, there are Descriptive Marks registered in Indonesia, based on Court and Supreme Court Decision in Indonesia. This Tesis analyses the problem regarding the registration of Descriptive Marks in Indonesia, using Conceptual Approach which analyze the concept of Secondary Meaning, and using Statute Approach to analyze Trademark Law in Indonesia, and also using Comparative Approach to compare Trademark Law in various country in relation to Descriptive Mark. Case-Approach also used to analyze various Court and Supreme Court decisions in Indonesia that become Landmark Decision in Descriptive Mark registration problems. Based on this Legal Research, we find that the major problem in the problematic registration of Descriptive Mark is because of the ambiguity of the current Trademark Law in Indonesia, regarding Descriptive Mark. This problem is causing different opinion between Judges and Trademark Examiner regarding Descriptive Mark. There should be more clear and comprehensive provisions in Indonesian Trademark Law about Descriptive Mark, which also considered the legitimate interests of trademark owners and third parties, based on the provisions in Paris Convention and TRIPS Agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T-Pdf
UI - Tesis Open Universitas Indonesia Library
Natalia Arinasari Nadeak
"Dalam Undang-Undang Merek nomor 20 Tahun 2016 terdapat perluasan cakupan perlindungan merek yang meliputi bentuk tiga dimensi, hologram dan suara. Permasalahan penelitian ini difokuskan mengenai bentuk yang memenuhi fungsi dan tujuan dari perlindungan merek. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, melakukan perbandingan undang-undang dengan Uni Eropa dan analisa kasus serta dilengkapi dengan penelusuran bahan hukum primer dan sekunder. Uni Eropa dipilih sebagai negara perbandingan karena dalam peraturan dan prakteknya lebih spesifik untuk memberikan klasifikasi bentuk yang bisa didaftarkan perlindungan merek. Hasil penelitian disimpulkan bahwa peraturan merek mengenai bentuk tiga dimensi di Indonesia tidak cukup untuk memberikan klasifikasi mengenai bentuk yang temasuk cakupan perlindungan merek. Akibat peraturan yang kurang komprehensif dan kekeliruan dari pemeriksa merek, terdapat merek tiga dimensi yang tidak sesuai dengan fungsi merek. Sehingga pemberian hak merek pada bentuk tersebut menyebabkan adanya indikasi monopoli yang diinginkan oleh pelaku usaha.
In the Trademark Law number 20 of 2016 there is an expansion of the scope of brand protection which includes three-dimensional shapes, holograms and sound. The problem of this research is focused on the form that fulfills the function and purpose of trademark protection. The research method used is normative juridical, compares laws with the European Union and analyzes cases and is equipped with primary and secondary legal material searches. The European Union was chosen as a comparison country because in its regulations and practice it is more specific to provide a classification of forms that can be registered for trademark protection. The results of the study concluded that trademark regulations regarding three-dimensional forms in Indonesia are not sufficient to provide a classification of forms that include the scope of brand protection. As a result of less comprehensive regulations and errors from brand examiners, there are three-dimensional brands that are not in accordance with the brand's function. So that the granting of trademark rights in this form causes an indication of the monopoly desired by business actors."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Manurung, Juwita
"Merek yang berasal dari nama orang sering digunakan dalam dunia usaha karena dapat menimbulkan kesan yang lebih personal bagi konsumen. Namun merek tersebut dapat memiliki banyak kesamaan dengan merek-merek lainnya karena sifat nama yang umum dan sangat mungkin dimiliki oleh lebih dari satu orang. Pihak lain yang kebetulan memiliki nama yang sama dapat memiliki kepentingan untuk mengklaim dirinya terkait dengan suatu usaha. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penggunaan nama orang terkenal dalam pendaftaran merek di Indonesia. Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan teknik pengumpulan bahan hukum berupa studi Pustaka dan wawancara. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa definisi dan kriteria untuk dapat dikatakan sebagai orang terkenal belum diatur secara eksplisit dalam Perundang-undangan di Indonesia. Dalam proses pemeriksaan permohonan pendaftaran merek, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual menggunakan kriteria sendiri untuk dapat menentukan terkenal atau tidaknya seseorang. Hal ini dapat menimbulkan kekeliruan untuk kedepannya. Maka dari itu, perlu diadakan ketentuan yang mengatur mengenai cakupan untuk dapat dikatakan sebagai orang terkenal.
A brand name that is derived from a persons name is often used in the business world as it gives the consumer a more intimate impression. However, that brand name may have a lot in common with other brand names as those names are common and they are most likely owned by more than one person. Other parties who happen to share the same name may have an interest in claiming that they themselves are related to said business. Because of that, this study aims to analyze the use of famous people’s names in trademark registration in Indonesia. In this study, the author will use a normative juridical research method with legal material collection techniques in the form of library studies and interviews. The result of this study will show that the definition and criteria to be a famous person has not been explicitly regulated in the Indonesian legislation. In the process of examining the applications for the trademark registration, the Directorate General of Intellectual Property will use their own criteria to define whether a person is famous or not. This matter may cause misunderstandings in the future. Therefore, it is necessary to have provisions that will regulate the scope of being a famous person."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Afif Akbar
2012
S44116
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library