Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 97140 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rani Indira Sari
"Tujuan: Menganalisis efek pemberian sitikolin terhadap kerusakan sel ganglion tikus pada Etambutol Optik Neuropati (EON).
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan hewan coba tikus. Lima belas ekor tikus Wistar dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok tanpa perlakuan (A), kelompok etambutol (B), kelompok etambutol dan sitikolin (C). Kelompok B dan C diberikan perlakuan selama 30 hari, kemudian dilakukan pemeriksaan histopatologi untuk menilai densitas sel ganglion retina, dan imunohistokimia untuk menilai ekspresi bcl-2 dan caspase-3.
Hasil: Densitas sel ganglion retina tikus dengan intoksikasi etambutol yang mendapat sitikolin lebih tinggi dibandingkan yang tidak mendapatkan sitikolin (p=0,001). Lapisan ganglion tikus yang mendapat sitikolin lebih tipis dibandingkan yang tidak mendapatkan sitikolin (p=0,005), peningkatan ketebalan lapisan sel ganglion ini karena pembentukan vakuola pada sitoplasma sel ganglion. Tikus dengan sitikolin didapatkan ekspresi bcl-2 ganglion yang lebih tinggi (p=0,001), dan ekspresi caspase-3 yang lebih rendah (p=0,02) dibandingkan tikus yang tidak mendapatkan sitikolin.
Simpulan: Sitikolin memberikan efek proteksi terhadap sel ganglion retina dengan EON, dinilai dari morfologi sel ganglion dan ekspresi caspase-3 dan bcl-2.

Objective: To analyze the effects of citicoline administration on rat ganglion cell damage in Ethambutol Optic Neuropathy (EON).
Method: This study was an experimental study with rat experiments. Fifteen Wistar rats were divided into three groups, the non-treatment group (A), the ethambutol group (B), the ethambutol and citicoline group (C). Group B and C were given treatment for 30 days, then histopathological examination was performed to assess retinal ganglion cell density, and immunohistochemistry to assess bcl-2 and caspase-3 expression.
Result: retinal ganglion cell density of rat with ethambutol intoxication that received citicoline were higher than those who did not get citicoline (p = 0.001). The rat ganglion layer that received citicoline was thinner than those who did not get citicoline (p = 0.005), the increase in thickness of the ganglion cell layer was due to the formation of vacuoles in the cytoplasm of ganglion cells. Rat with citicoline obtained higher bcl-2 ganglion expression (p = 0.001), and lower caspase-3 expression (p = 0.02) than rat that did not get citicoline.
Conclusions: Citicoline have a protective effect on retinal ganglion cells with EON, judged by the morphology of ganglion cells and caspase-3 and bcl-2 expressions.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syntia Nusanti
"Non-arteritic anterior ischemic optic neuropathy (NAION) adalah penyakit multifaktorial yang mekanismenya belum diketahui secara pasti, namun hiperkoagulasi diduga merupakan faktor yang berperan pada NAION. Karena merupakan penyakit mikrovaskular, maka aktivasi koagulasi pada fase awal dapat menyebabkan koagulasi pada NAION. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran hiperkoagulasi pada kejadian NAION dalam upaya memberikan tata laksana yang lebih baik pada pasien NAION. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2020 hingga April 2022 di Poliklinik Mata Divisi Neuro-oftalmologi FKUI-RSCM Kirana. Subjek adalah pasien NAION yang dibagi menjadi kelompok hiperkoagulasi dan non-hiperkoagulasi. Penelitian potong lintang dilakukan untuk menilai penanda koagulasi dini yaitu E-selectin, P-selectin, microparticle tissue factor (MPTF), prothrombin fragment 1+2 (PF1+2), dan hasil pemeriksaan penunjang berupa optical coherence tomography (OCT), OCT angiography (OCTA), dan Humphrey visual field (HVF). Uji klinis eksperimental dilakukan untuk menilai efektivitas terapi hiperkoagulasi dalam waktu 1 bulan. Terdapat 64,3% subjek NAION dengan hiperkoagulasi dan terjadi aktivasi penanda koagulasi dini pada kedua kelompok. Kesesuaian lokasi OCTA dengan ganglion cell inner plexiform layer (GCIPL) ditemukan pada 33% subjek, retinal nerve fiber layer (RNFL) pada 6,7% subjek, dan HVF pada 40% subjek, namun tidak terdapat korelasi jumlah sektor atau kuadran yang terkena. Nilai GCIPL dan HVF tidak berkorelasi dengan OCTA, di kuadran yang terkena, RNFL berkorelasi dengan OCTA. Kelompok terapi hiperkoagulasi menunjukkan penurunan perfusi lebih sedikit. Tajam penglihatan membaik pada 57,2% subjek di kelompok NAION dengan hiperkoagulasi dan 42,9% di kelompok NAION nonhiperkoagulasi. Berdasarkan fungsi lapang pandang, kedua kelompok menunjukkan perbaikan pada sebagian besar subjek (71,4% pada kelompok NAION dengan hiperkoagulasi dan 85,8% pada kelompok NAION nonhiperkoagulasi). Disimpulkan hiperkoagulasi berperan pada mekanisme NAION, sehingga tata laksana terkait hiperkoagulasi penting pada pasien NAION dalam mencapai luaran klinis yang lebih baik.

Non-arteritic anterior ischemic optic neuropathy (NAION) is a multifactorial disease with an uncertain mechanism. Hypercoagulability is believed to be one of the factors involved in NAION. Considering that NAION is a microvascular disease, this study assumes that coagulation activation in the early phase is sufficient to cause a coagulation state in NAION. The aim of this research is to evaluate the role of hypercoagulability in the occurrence of NAION in order to provide better management for NAION patients. The subjects were NAION patients divided into hypercoagulability and non-hypercoagulability groups. A cross-sectional study was conducted to assess early coagulation markers, namely E-selectin, P-selectin, microparticle tissue factor (MPTF), and prothrombin fragment 1+2 (PF1+2), as well as ancillary tests such as optical coherence tomography (OCT), OCT angiography (OCTA), and Humphrey visual field (HVF). An experimental clinical trial was conducted to evaluate the effectiveness of hypercoagulation therapy within one month. It was found that 64.3% of NAION subjects had hypercoagulability. Early coagulation marker activation occurred in both groups. There was a concordance between OCTA and ganglion cell inner plexiform layer (GCIPL) location in 33% of subjects, retinal nerve fiber layer (RNFL) in 6.7% of subjects, and HVF in 40% of subjects. However, no correlation was found regarding the number of affected sectors or quadrants. GCIPL and HVF values did not correlate with OCTA, whereas in the affected quadrant, RNFL correlated with OCTA. The hypercoagulation therapy group showed less perfusion reduction. Visual acuity improved in 57.2% of subjects in the hypercoagulability NAION group and 42.9% in the non-hypercoagulability NAION group. Based on visual field function, both groups showed improvement in the majority of subjects (71.4% in the hypercoagulability NAION group and 85.8% in the non- hypercoagulability NAION group). It can be concluded that hypercoagulability plays a role in the mechanism of NAION, thus emphasizing the importance of managing hypercoagulability in NAION patients to achieve better clinical outcomes."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumbantobing, Joshua Partogi Ferdinand
"Tujuan: Membandingkan efek sitikolin pada hewan coba model traumatic optic neuropathy(TON) ditinjau dari gambaran histopatologi dan ekspresi imunohistokimia.
Metode: Penelitian dengan desain eksperimental terhadap 4 kelompok hewan coba. Sebanyak 12 mata dari 12 hewan coba kelinci jenis New Zealand White menjalani optic nerve crush injury(ONC) untuk menciptakan model TON. Tindakan ONC dilakukan dengan menggunakan Hartmann Mosquito Clamp. Evaluasi histopatologi berupa pemeriksaan densitas sel ganglion retina dengan pewarnaan hematoksilin-eosin dan pemeriksaan imunohistokimia dengan antibodi bcl-2 serta caspase-3.
Hasil: Densitas sel ganglion retina pada setiap kelompok menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan nilai normal. Perbandingan berdasarkan periode waktu, baik periode 3 hari dan 7 hari, menunjukkan perbedaan yang bermakna bila dibandingkan dengan periode yang sama pada subjek tanpa terapi (p<0.001). Pemeriksaan imunohistokimia pada kelompok terapi bila dibandingkan dengan kelompok tanpa terapi menunjukkan peningkatan ekspresi bcl-2 secara signifikan pada hari-3 (p=0.012) dan hari-7 (p=0.046).Pemeriksaan imunohistokimia pada kelompok terapi bila dibandingkan dengan kelompok tanpa terapi menunjukkan penurunan ekspresi caspase-3 secara signifikan pada hari-3 (p=0.046) namun tidak pada hari ke-7 (p=0.072).
Kesimpulan: Pemberian sitikolin mampu menurunkan tingkat kematian sel ganglion retina dibandingkan tanpa terapi pada TON dan didukung dengan peningkatan ekspresi bcl-2 sebagai anti-apoptosis yang bermakna serta penurunan dari ekspresi caspase-3 sebagai pro-apoptosis.

Aims: Comparing citicoline effect in animal model of traumatic optic neuropathy (TON) in histopathology and immunohistochemical evaluation.
Methods: This is an experimental research for 4 groups of animal model. Twelve eyes from 12 New Zealand White rabbits underwent optic nerve crush injury (ONC) to create TON. The ONC was done using the Hartmann Mosquito clamp. Histopathological evaluation of retinal ganglion cell density by hematoxylin-eosin staining and immunohistochemical examination with bcl-2 and caspase-3 antibodies.
Results: Retinal ganglion cell density in each group showed a significant difference when compared with normal values. For comparisons based on the time period, 3 days and 7 days, both showed a significant difference when compared to the non-citicoline subjects in same period (p <0.001). Immunohistochemical examination in citicoline group, when compared to the non-citicoline group, showed a significant increase in bcl-2 expression on day-3 (p = 0.012) and day-7 (p = 0.046). Immunohistochemical examination in the citicoline group, when compared with the non-citicoline group, showed a significant decrease in caspase-3 expression on day-3 (p = 0.046) but not on day-7 (p = 0.072).
Conclusions: Citicoline is able to reduce the rate of retinal ganglion cell death and supported by a significant increase in the expression of bcl-2 as anti-apoptosis and a decrease in caspase-3 expression as pro-apoptosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulinda Arty Laksmita
"Tujuan: Mengevaluasi efek pemberian sitikolin dalam menekan kerusakan retina tikus dengan intoksikasi metanol.
Metode: Lima belas ekor tikus Sprague-Dawley dibagi dalam 5 kelompok yaitu kelompok tanpa perlakuan (A), kelompok metanol yang diobservasi di hari ke-3 (B1) dan ke-7 (B2), serta kelompok metanol dan sitikolin yang diobservasi di hari ke-3 (C1) dan ke-7 (C2). Tikus pada kelompok perlakuan (B dan C) ditempatkan pada inhalation chamber berisi gas N2 O:O2 selama eksperimen, dilanjutkan dengan pemberian metanol via oral gavage dengan dosis inisial 3,2 gr/kg dan dosis tambahan 1,6 gr/kg. Tikus kelompok C mendapat sitikolin via oral gavage dengan dosis 1 gr/kg setiap 24 jam. Enukleasi dilakukan pada akhir eksperimen. Pada preparat retina dilakukan pemeriksaan histopatologi fotoreseptor dan sel ganglion retina, serta imunohistokimia ekspresi bcl-2 dan caspase-3.
Hasil: Densitas sel ganglion tikus terintoksikasi metanol yang mendapat sitikolin lebih tinggi dibandingkan yang tidak mendapat sitikolin di hari ke-3 dan ke-7 (p<0,001). Lapisan ganglion tikus yang mendapat sitikolin tidak setebal lapisan ganglion tikus yang tidak mendapat sitikolin, menandakan edema yang lebih ringan. Tikus dengan sitikolin menunjukkan ekspresi bcl-2 ganglion yang lebih tinggi, serta caspase-3 yang lebih rendah dibandingkan tikus tanpa sitikolin.<
Kesimpulan: Pemberian sitikolin memiliki efek dalam menekan kerusakan lapisan ganglion retina tikus dengan intoksikasi metanol.

Aims: To evaluate effect of citicoline administration in suppressing retinal damage due to methanol intoxication.
Methods: Fifteen Sprague-Dawley rats were divided into five groups including normal group (A), groups with methanol only, observed on day-3 (B1) and day-7 (B2), and groups with methanol and citicoline, observed on day-3 (C1) and day-7 (C2). Rats in group B and C were placed in an inhalation chamber filled with N2 O:O 2 during the experiment, then methanol was administered via oral gavage. Citicoline 1 gr/kg every 24 hours was administered via oral gavage for group C. Enucleation was done and rats retina were prepared for histopathology and immunohistochemistry examination to evaluate photoreceptor morphology, retinal ganglion cell (RGC) density, bcl-2 and caspase-3 expression.
Result: RGC density of citicoline-treated intoxicated rats was higher than no-citicoline intoxicated rats, either on day-3 (p<0.001) or day-7 (p<0.001). Ganglion layer thickness of citicoline-treated intoxicated rats was thinner than no-citicoline intoxicated rats, which means citicoline-treated rats had milder ganglion layer edema. Citicoline-treated rats showed higher bcl-2 and lower caspase-3 expression than no-citicoline rats. No differences was found in photoreceptor findings among groups.
Conclusion: Citicoline administration showed effect in suppressing rat’s retinal ganglion layer damage in methanol intoxication.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iryanthy Makangiras
"Latar Belakang : Sektor pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Semakin meningkatnya usaha sektor pertanian juga menyebabkan peningkatan penggunaan pestisida. Kenyataannya, umumnya masyarakat tidak menyadari gejala gangguan kesehatan yang dialaminya merupakan keracunan pestisida karena gejala tidak spesifik, namun secara kronis dapat menimbulkan penyakit, salah satunya gangguan neurologi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gangguan neurologi yang disebabkan karena pajanan kronis pestisida dan faktor-faktor yang mempengaruhinya pada petani.
Metode :Penelitian menggunakan desain cross sectional dengan besar sampel 119 orang yang diambil dengan cluster random sampling. Penelitian di Desa Cibeurem, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat yang dilaksanakan dari bulan Mei 2016 sampai Juli 2016. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara, anamnesis dan pemeriksaan fisik. Tugas kerja, penggunaan alat pelindung diri, hygiene perorangan, keluhan petani, pemeriksaan kekuatan otot, pemeriksaan sensibilitas dan pemeriksaan refleks adalah variable yang diteliti.
Hasil :Prevalensi neuropati perifer sebesar 56,3 . Proporsi petani dengan nilai intensitas pajanan tinggi sebesar 50,4 . Intensitas pajanan pestisida pada petani tidak berhubungan secara bermakna terhadap neuropati perifer. Faktor-faktor lain yang meningkatkan risiko terhadap neuropati perifer yaitu : usia OR : 2,05, IK95 0,98-4,29 , status gizi p = 0,131 , tingkat pendidikan OR : 0,67, IK95 0,32 ndash;1,38 . Faktor lain seperti diabetes mellitus, penyakit jantung dan penyakit hipertensi tidak dapat dianalisis.
Kesimpulan dan saran :Intensitas pajanan tinggi terhadap pestisida berisiko lebih tinggi dibanding intensitas pajanan rendah terhadap neuropati perifer walau tidak berhubungan secara statistik. Bila menemukan keluhan neuropati yang diduga berhubungan dengan pestisida, petani diharapkan segera memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan terdekatKata Kunci :Neuropati perifer, intensitas pajanan pestisida, skoring Sulistomo

Background The agricultural sector is the most demanding labour. Pesticides are used simultaneously by the increasing of the agricultural production. The fact in the community all this time is generally not aware of the health problems they experienced symptoms of pesticide poisoning because the symptoms are not specific , but in chronic can cause serious illness , one of that is neurological disorders . This study aims to determine the neurological disorder caused by chronic exposure to pesticides and the factors that influence the farmers.
Method: This study was designed as a cross sectional study with 119 farmers as the respondents taken by cluster random sampling. The study was conducted since May to July 2016 in Cibeureum village, Kertasari subdistrict, Bandung district, West Java province. Data was collected by interview and physical examination. Variables studied were work tasks, personal protective equipments usage, habitual personal hygiene, complaints of farmers, muscle strength examination, examination of sensibility and reflex examination.
ResultsTotal prevalence of peripheral neuropathy event was 56,3 . The proportion of the farmers with high intensity of pesticide exposure was 50,4 . The intensity of pesticide exposure was not significantly related peripheral neuropathy event. Other factors that increase the risk for peripheral neuropathy were age OR 2,05, IK95 0,98 4,29 , nutritional status p 0,131 , level of education OR 0,67, IK95 0,32 - 1,38 . The other factor like, dibates mellitus, heart disease, hypertension can not be analyzed.
Conclusion High intensity of pesticide exposure increased the risk of peripheral neuropathy event, even was not significantly related peripheral neuropathy event. When you find the alleged complaint neuropathy associated with pesticides, farmers are expected to immediately went to the nearest health facility Key words peripheral neuropathy, intensity of pesticide exposure, Sulistomo scoring"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T58669
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ummul Hairat
"Terdapat sekitar 1.400 ton merkuri dilepas ke lingkungan global dari penggunaan merkuri di sektor Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK). Pemakaian merkuri dalam pengolahan emas yang kurang memperhatikan lingkungan memungkinkan media lingkungan tercemar dan menyebabkan masyarakat di sekitar pertambangan ikut terpajan merkuri dan berdampak pada kesehatan. Neuropati perifer merupakan salah satu gangguan kesehatan yang terjadi karena terganggu atau rusaknya sistem saraf sensorik dan atau motorik akibat akumulasi merkuri di dalam tubuh. Penelitian ini bertujuan menentukan hubungan antara kadar merkuri dalam rambut terhadap gangguan neuropati pada masyarakat di wilayah PESK Kecamatan Cimanggu Kabupaten Pandeglang Banten. Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional dengan teknik total sampling. Terdapat hubungan yang signifikan dan substansi antara kadar merkuri dalam rambut dengan gangguan neuropati perifer setelah di kontrol oleh variabel umur dan status merokok yaitu dengan p value 0,001 dimana responden dengan kadar merkuri dalam rambut yang tinggi 2/g) mempunyai risiko 29,98 kali lebih besar untuk mengalami gangguan neuropati perifer dibandingkan dengan responden dengan kadar merkuri dalam rambut 2/g setelah dikontrol variabel umur variabel status merokok. Diperlukan adanya upaya yang kompherensif untuk meminimalisir penggunaan merkuri sehingga dapat mengendalikan kejadian dampak kesehatan yang disebabkan oleh pajanan merkuri."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silphia Novelyn
"Latar belakang: Penelitian ini dirancang untuk menilai pengaruh latihan terhadap pola berjalan, kekuatan otot triceps surae dan VO2maks pada DM tipe 2 dengan neuropati perifer.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. Penderita diabetes tipe 2 dengan neuropati perifer (n=29), usia 40-65 tahun dikelompokkan menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama (n=10) adalah untuk kontrol dan tidak diberikan program latihan; kelompok kedua (n=10) dan ketiga (n=9) diberi program latihan spesifik yang berbeda. Latihan dilakukan 3 kali seminggu selama 6 minggu. Kecepatan dan frekuensi langkah, lebar BOS, kekuatan otot triceps surae dan VO2maks peserta diukur dua kali, yaitu sebelum dan sesudah program latihan. Hasil pengukuran sebelum dan sesudah program latihan kemudian dibandingkan.
Hasil penelitian: Terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) pada setiap parameter pada kelompok kedua dan ketiga sesudah program latihan, perbedaan yang lebih besar terlihat pada kelompok ketiga.
Kesimpulan: Pemberian latihan kekuatan otot triceps surae, latihan berjalan dan senam aerobik memperbaiki pola berjalan, kekuatan otot triceps surae dan lebar BOS penderita diabetes tipe 2 dengan neuropati perifer. Latihan kekuatan otot triceps surae disertai latihan berjalan dan senam aerobik menunjukkan hasil lebih baik dibandingkan latihan kekuatan otot triceps surae dan latihan berjalan saja.

Background: This study was designed to assess the effects of exercise on walking patterns, muscle strength of triceps surae and VO2max in type 2 diabetes with peripheral neuropathy.
Method: This study is an experimental study. People with type 2 diabetes with peripheral neuropathy (n=29), age 40-65 years are grouped into 3 groups. The first group (n=10) is for control and no exercise program is given; the second group (n=10) and the third (n=9) were given different specific training programs. The exercise is done 3 times a week for 6 weeks. Speed and frequency of steps, BOS width, triceps surae muscle strength and VO2max of participants were measured twice, before and after the exercise programs. The results of the measurements before and after the exercise programs were then compared.
Result: There was a significant difference (p<0.05) in each parameter in the second and third groups after the exercise program, a greater difference was seen in the third group.
Conclusion: Triceps surae muscle strengthening training, walking exercise and aerobic exercise improve triceps surae muscle strength and BOS width of diabetic peripheral neuropathy. Triceps surae muscle strengthening training that given with walking and aerobic exercise shows better results than triceps surae muscle strengthening training and walking exercise alone.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufik Rizkian Asir
"Latar belakang: Diabetes melitus merupakan faktor risiko penting terjadinya
aterosklerosis, aterosklerosis merupakan penyakit sistemik yang bisa terjadi di seluruh
pembuluh darah baik pada mikrovaskular maupun makrovaskular. Adanya bukti
iskemia akibat stenosis yang disebabkan aterosklerosis pada salah satu pembuluh darah,
mengharuskan kita lebih waspada akan adanya proses aterosklerosis di tempat lain.
NPD di kaki terjadi akibat komplikasi diabetes pada mikrovaskular yang akhirnya
mengakibatkan kerusakan pada persarafan di kaki. Maka perlu mewaspadai proses
ateroslerosis di tempat lain, baik pada pembuluh arteri makro maupun mikrovaskular di
kaki. Pemeriksaan non invasif untuk melihat adanya ganguan makrovaskular di kaki
menggunakan ABI dan TBI sedangkan untuk gangguan mikrovaskular dengan TcPO2.
Penelitian ini dilakukan untuk dapat menilai hubungan derajat neuropati perifer diabetik
yang dinilai dengan TCSS dengan proses ateroskerosis dipembuluh darah kaki, baik
yang makrovaskular dengan ABI dan TBI maupun mikrovaskular TcPo2 pada pasien
DM tipe 2.
Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada pasien DM tipe 2 dengan NPD
dengan nilai TCSS >5 di Poliklinik Pelayanan Jantung Terpadu, poliklinik Endokrin
dan Metabolik dan Poliklinik Ilmu Penyakit Dalam Umum RSCM. Data diperoleh dari
wawancara, rekam medik, pemeriksaan ABI, TBI dan TcPO2. Variabel penelitian
berupa derajat neuropati perifer, ABI, TBI dan TcPO2. Analisis bivariat terhadap
masing-masing variable dengan menggunakan uji Spearman.
Hasil: Sebanyak 36 subjek yang memenuhi kriteria pemilihan diikutkan dalam
penelitian, rerata usia 62 tahun dengan 20 (55,6%) di antaranya perempuan dan median
lama diabetes 12 tahun. Berdasarkan analisa bivariat dengan uji spearman penelitian ini
mendapatkan korelasi negatif yang bermakna secara statistik dengan koefisien korelasi
sedang antara derajat neuropati perifer diabetik yang dinilai dengan TCSS dengan ABI
(r = -0,475, p = 0,003) dan TBI (r = -0,421, p = 0,010). Dan pada pemeriksaan TcPO2
juga di dapatkan korelasi negatif yang bermakna secara statistik dengan koefisien
korelasi sedang ( r = -0,399, p = 0,016)
Simpulan : Terdapat korelasi negatif yang bermaksa secara statistik antara derajat
neuropati perifer diabetik dengan ABI, TBI dan TcPO2.

Background: Diabetes mellitus is important risk factor of atherosclerosis.
Atherosclerosis is systemic disease that can occur in all blood vessels both
microvascular and macrovascular. There is evidence of ischemia due to stenosis caused
by atherosclerosis in one blood vessel, which requires us to be more aware with the
process of atherosclerosis in other places. Diabetic peripheral neuropathy (DPN) in the
lower extremity results from complications of diabetes in the microvascular which can
damage nerve in the lower extremity. Then it is necessary to be aware of the process of
aterosclerosis elsewhere, both in the macro and microvascular arteries in the lower
extremity. Non-invasive examination to look macrovascular disorders in the lower
extremity are using ankle brachial index (ABI) and toe brachial index (TBI) while for
microvascular disorders with TcPO2. This study was conducted to assess the
association of the degree of diabetic peripheral neuropathy assessed by toronto clinical
scoring system (TCSS) with the process of atherosclerosis in the blood vessels of the
lower extremity, both macrovascular with ABI and TBI as well as microvascular TcPo2
in Patients with type 2 diabetes mellitus (DM)
Methods: Cross-sectional study was carried out in patients with type 2 DM with DPN
with TCSS values> 5 in the Integrated Cardiac Polyclinic, Endocrine and Metabolic
Polyclinic, and Internal Medicine Polyclinics at RSCM. The Data were obtained from
interviews, medical records, ABI, TBI and TcPO2 examinations. The research variables
are the degree of peripheral neuropathy, ABI, TBI and TcPO2. Bivariate analysis of
each variable was used the Spearman test.
Results: Total of 36 subjects who met the selection criteria were included in the study,
the average age was 62 years with 20 (55.6%) of whom were women and the median
duration of diabetes was 12 years. Based on bivariate analysis with the Spearman test,
this study found a statistically significant negative correlation with moderate correlation
coefficient between the degree of diabetic peripheral neuropathy assessed by TCSS with
ABI (r = -0.475, p = 0.003) and TBI (r = -0.421, p = 0.010) . The TcPO2 examination
also found a statistically significant negative correlation with moderate correlation
coefficient (r = -0.399, p = 0.016)
Conclusion : There is a statistically significant negative correlation between the degree of diabetic peripheral neuropathy with ABI, TBI and TcPO2 examinations.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Firdaus Muallim
"Latar Belakang :Peningkatan TIK adalah keadaan darurat medis yang berpotensi menimbulkan iskemia serebral, herniasi otak dan kematian. Penyebab TIK meningkat diantaranya trauma dengan edema serebral, perdarahan intrakranial dan tumor. Pengawasan TIK diperlukan untuk mencegah kematian pascabedah kraniotomi, salah satunya dengan evaluasi DSSO. Metode pemeriksaan TIK ini bersifat noninvasive dan belum umum dilaporkan terhadap pasien cedera otak traumatik pascabedah kraniotomi.Tujuan :Mengetahui hubungan DSSO terhadap peningkatan tekanan intrakranial pasca bedah kraniotomi pada pasien cedera otak traumatikMetode :Penelitian dengan design cross sectional. Pengambilan sampel secara consecutive terhadap pasien trauma kepala yang telah menjalani bedah kraniotomi. Pemeriksaan DSSO dilakukan untuk menilai diameter selubung saraf optik. pemeriksaan Transcranialdoppler dilakukan untuk mengetahui pulsatilityindex PI sehingga dapat ditentukan nilai tekanan intrakranial dengan rumus GoslingIndex TIK= 11,1x PI -1,43 . Uji independent T dilakukan untuk mengetahui perbedaan rerata DSSO terhadap TIK meningkat. Uji ROC dilakukan untuk mengetahui cut off point, sensitifitas dan spesifisitas DSSO.Hasil :Terdapat 40 subjek trauma kepala yang menjalani bedah kraniotomi. Jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki 57,5 , perdarahan intraserebral adalah bentuk cedera otak yang terbanyak 57,7 dan subdural hematoma 30 . Rerata DSSO adalah 5,46 SD 0,80 dan TIK 12,60 mmHg SD 4,80 pasien pascabedah kraniotomi. Perbandingan antara Nilai DSSO TIK meningkat 6,06 mm SD 0,66 menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan TIK normal rerata 5,20mm SD 0,72 dimana nilai P menunjukkan perbedaan signifikan P=0,001 . Nilai DSSO>5,40 memiliki sensitifitas 91,7 dan spesifisitas 64,3 dalam menentukan TIK meningkat pascabedah kraniotomi.Kesimpulan :DSSO berperan dalam peningkatan TIK pasca bedah kraniotomi. Kata kunci :DSSO, TIK, kraniotomi

Background The increased of ICP is a medical emergency that potentialy cause cerebral ischemia, brain herniation and death. The cause of increasing ICP including trauma with cerebral edema, intracranial hemorrhage and tumor. Observation of ICP is needed to prevent death after craniotomy surgery. One of the methods to observe ICP is using ONSD. This method is a noninvasive method for evaluate the increased of ICP but has not been commonly reported in patient with traumatic brain injury after craniotomy surgery.Objectives Tofind out the correlation between ONSD and the increased intracranial pressure post craniotomy surgery in patient with traumatic brain injury.Method This research is using cross sectional design method. The sample is selected consecutively towards patient with traumatic brain injury after craniotomy surgery. The ONSD examination is performed to determine the diamater of optic nerve sheath. The transcranial doppler examination is performed to determine the pulsatility index PI that can be used to know the value of ICP with Gosling index ICP 11,1 x PI 1,43 . Independent T test is performed to determine the mean difference of ONSD and the increased of ICP, the ROC test is performed to determine cut off point of ONSD 39 s sensitivity and specificity.Results There were 40 head trauma subjects who have undergone craniotomy. The most common sex were male 57.5 , intracerebral hemorrhage was the most common form of brain injury 57.7 and subdural hematoma 30 . The mean ONSD was 5.46 SD 0.80 and ICP 12.60 mmHg SD 4.80 in postoperative craniotomy patients. Comparison between ONSD and ICP show, there rsquo s increasing ONSD values 6.06 mm SD 0.66 for increasing ICP subject and it has higher values than the normal average ICP with 5.20 mm SD 0.72 . P values showed significant differences P 0.001 of ONSD and ICP. The value of ONSD 5.40 has sensitivity of 91.7 and specificity of 64.3 to determining increased ICP post craniotomy surgery.Conclusion ONSDhas role for the increased of ICP post craniotomy surgery."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Loa Helena Suryadi
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian : Leber's Hereditary Optic Neuropathy (LHON) merupakan penyakit yang diturunkan secara maternal, dengan gejala klinik yang khas berupa kebutaan pada kedua mata akibat atrofi saraf optik. Mutasi utama pada LHON adalah DNA mitokondria nt 11778G>A, yang mengakibatkan gen yang menyandi peptidaND4 pada kodon 340, asam amino arginin berubah menjadi histidin. Patologi molekuler LHON ternyata sangat kompleks, dan akhir-akhir ini dikemukakan proses autoimun sebagai dasar patologi LHON dengan mutasi DNA mitokondria nt 11778G>A, berdasarkan pengamatan bahwa pada wanita penderita LHON sering kali dijumpai adanya gejala multiple sclerosis. Tujuan penelitian ini adalah membuktikan keterlibatan proses autoimun dalam patologi molekuler penyakit LHON dengan pembawa mutasi DNA mitokondria 11778G>A. Penelitian dilakukan pada 34 anggota keluarga LHON keturunan Cina yang berasal dari Jambi. Sampel akar rambut digunakan untuk mencari tipe mutasi DNA mitokondria 11778G>A dengan metoda PCR-RFLP. Penelitian dilanjutkan dengan mendeteksi adanya autoantibodi antimitokondria pada 18 sampel serum terpilih dari ke 34 anggota keluarga diatas.
Metoda yang digunakan untuk pemeriksaan imunologis ini adalah teknik imunofluoresensi dengari menggunakan galur sel HEp2 dan jaringan ginjal tikus sebagai substrat. Sedangkan untuk karakterisasi awal autoantigen digunakan metoda western immunoblotting dengan menggunakan protein mitokondria yang berasal dari plasenta manusia sebagai sumber antigen.
Hasil dan Kesimpulan : Dari 34 anggota keluarga yang diperiksa DNA akar rambutnya dengan metoda PCR-RFLP, didapatkan 28 orang membawa mutasi DNA mitokondria nt 11778G>A. Derajat heteroplasmisitas bervariasi antara 90-100% untuk DNA mitokondria yang termutasi. Aktivitas autoantibodi antimitokondria dengan metoda imunofluoresensi didapatkan intensitas yang relatif rendah pada semua penderita yang membawa mutasi. Sedangkan karakterisasi awal autoantigen dengan metoda western immunoblotting didapatkan reaktivitas serum LHON (III-7) terhadap polipeptida mitokondria sebesar 40 kDa dan 37 kDa. Walaupun jelas adanya aktivitas autoantibodi antimitokondria pada serum individu dengan mutasi 11778G>A, peranan autoantibodi dalam proses mekanisme penyakit masih perlu diteliti lebih lanjut, karena rendahnya titer antibodi tersebut. Kemungkinan keterlibatan imunitas seluler pada penyakit ini juga perlu dipikirkan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>