Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 215120 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Steven Kurniadi Idries
"Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa, dan sensor merupakan filter untuk menentukan apa yang patut diperlihatkan dan apa yang tidak patut diperlihatkan. Dalam hal penyensoran film, wewenang tersebut dimiliki oleh Lembaga Sensor Film sebagai suatu representasi peran negara untuk melindungi Indonesia dari budaya yang bersifat destruktif bagi budaya Indonesia. Namun sebagai pelindung budaya, Lembaga Sensor Film tidak memiliki parameter yang jelas dalam menjalankan kegiatan penyensoran dan penentuan penggolongan usia penonton sehingga cenderung menjadi multi- interpretatif dan sangat bersifat subyektif. Kelenturan ketentuan tersebut mengakibatkan mudahnya suatu film yang hendak rilis untuk disetir sesuai dengan kepentingan pihak yang memegang kekuasaan.

Film as a form of art has the capacity of visual communication, and censorship is a filter thats used to determine what is proper to be shown to the public and whats not. The authority to censorize film is given to the Board of Film Censorship to represent the Indonesian governments willingness to protect Indonesia from something that could possibly destroy Indonesias culture but Board of Film Censorships regulation seems too abstract because of the seemingly loose parameter therefore it could cause some multi-interpretation, a higher possibility of unobjective assessment of the film for the sake of fulfilling the regimes interest.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shadia Imanuella Pradsmadji
"Sensor film di Indonesia telah hadir dari sejak zaman Hindia Belanda, dan selama itu pula sensor telah menjadi pertarungan berbagai pemangku kepentingan perfilman. Pandangan terhadap sensor film tidak tunggal karena terdapat perbedaan nilai di antara para pemangku kepentingan perfilman. Penelitian ini berusaha melihat pertarungan wacana sensor film dalam perfilman Indonesia melalui perspektif sosiologi komunikasi. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme dan metode studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan pemberitaan media mengenai empat film yang terkena kasus sensor setelah UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman disahkan yaitu The Act of Killing, The Look of Silence, Naura & Genk Juara dan Kucumbu Tubuh Indahku serta mewawancarai empat orang pemangku kepentingan perfilman dari empat bidang yang berbeda yaitu pihak bioskop alternatif, pihak Lembaga Sensor Film (LSF), pihak Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang dulu terlibat dalam Masyarakat Film Indonesia (MFI), serta sutradara sekaligus aktor film. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi disharmoni antara para pemangku kepentingan perfilman akibat perbedaan nilai dan norma yang pada akhirnya memicu terjadinya pertarungan wacana sensor film.

The practice of film censorship has been in Indonesia since the Dutch East Indies era, and since then has always been the battleground for film stakeholders. The different values and norms among the film stakeholders generate multiple views on film censorship. This research tried to look on the discursive contestation of the film censorship in Indonesia through the perspective of the sociology of communication. This research used the constructivist paradigm and the case study method. Data collection was done through collecting media reports on four films that stumbled upon the censorship issue after the enactment of the 2009 Film Law, which are The Act of Killing, The Look of Silence, Naura & Genk Juara and Kucumbu Tubuh Indahku, as well as interviewing four different film stakeholders, which are a manager of an alternative cinema, a representative of the Indonesian Film Board (BPI) who used to be involved in the Indonesian Film Society (MFI), and a film director-actor. The research results indicated that disharmony among the film stakeholders happened as they value different values and norms, which resulted in the emergence of the discursive contestation of film censorship."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Phelps, Guy
London: Victor Gollanez, 1975
791.43 Phe f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Phelps, Guy
791.43 The f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Phelps, Guy
London: Victor Gollanez, 1975
791.43 Phe f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Luthfi Prasetya Putra
"Penulisan ini membahas mengenai pengaturan hukum Hak Cipta, terutama Hak Moral dan Hak Ekonomi, pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dikaitkan dengan pemberlakuan Sensor Film yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Pembahasan mengenai hukum Hak Cipta dilakukan dengan melakukan perbandingan pengaturan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, terutama pada perbandingan pengaturan Hak Moral dan Hak Ekonominya. Selanjutnya, penulisan ini juga membahas sekilas industri perfilman Indonesia dan menganalisis pelaksanaan Sensor Film yang dilakukan oleh Lembaga Sensor Film sebagai salah satu lembaga negara Indonesia.

The focus of this study is about Copyright Law regulation, especially concerning Moral Right and Economic Right, in Law Number 28 of 2014 related to the implementation of Film Censorship that mandated by Law Number Number 33 of 2009. The analysis of Copyright Law done by doing comparison between Law Number 28 of 2014 and Law Number 19 of 2002. This writing is also at glance discuss the development of film industry in Indonesia and analyse the implementation of Film Censorship conducted by Film Censorship Body (Lembaga Sensor Film).
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S59058
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djuliana
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas lembaga sensor film di Indonesia pada masa Orde Baru (BSF) yang lahir pada 1965, tetapi kinerjanya baru disahkan pada 1967. Lembaga ini muncul pada masa peralihan antara Orde Lama menuju Orde Baru dengan sistem penyensoran yang berbeda. Lembaga yang disahkan menjadi lembaga sensor pemerintah pada 1973 ini mencegah keberadaan film yang dapat membahayakan masyarakat dan negara. Berbagai respon datang kepada BSF yang sebagian menyatakan setuju terhadap kinerja BSF dan yang lain tidak. Muncullah UU Perfilman 1992 dan Peraturan Pemerintah No.7 tentang LSF sebagai solusi untuk mengurangi masalah perfilman nasional yang menyangkut dengan penyensoran.

ABSTRACT
This thesis explains film censorship in Indonesia on New Order Regime (BSF) which was born on 1965 but start legalized on 1967. This institution was formed between two regimes, are Old Order and New Order which both had different rules of censoring film. BSF became film censorship institution of government on 1973. It prevented showing film which threatened public and country. BSF got many responses which some were agree with BSF activity and the others not. Film constitution on 1992 and Government Rule on 1994 are solutions to decrease the problem of national film industry especially about censorship."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S57655
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Junuwati
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
S5101
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rasyid Hermas Sudibya
"Skripsi ini membahas tentang sensor konten asusila dan kekerasan dalam film bioskop yang dijalankan oleh Lembaga Sensor Film. Penelitian dilakukan dengan melakukan analisis empiris terhadap implementasi kebijakan sensor di masyarakat. Wawancara dilakukan kepada informan yang terdiri dari anggota LSF, sineas film, dan masyarakat pecinta film indonesia. Hasil Penelitian menunjukkan adanya perubahan dalam paradigma penyensoran pasca ditetapkannya Undang Undang No 33 Tahun 2009 tentang Perfilman dan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film. Perubahan tersebut menuju kepada penyensoran yang lebih tidak mengekang para pembuat film dan diharapkan di masa depan sensor film dapat digantikan sepenuhnya dengan klasifikasi film.

This research discusses about the censorship of pornographic and violence content in feature film run by Lembaga Sensor Film. The research was conducted by analyzing empirical implementation in censorship. Interviews were conducted to the informant that consists of members of LSF, film maker and Indonesian film lovers. Research shows that there is a change in censorship paradigm after goverment issued Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 about Film and Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2014 about Lembaga Sensor Film. The changes lead to lest restrain on censorship, and in the future film censorship can be replaced entirely with film classification.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S62613
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Anas Fadli
"Netflix adalah salah satu layanan hiburan terkemuka di dunia dengan sekitar 222 juta keanggotaan berbayar di lebih dari 190 negara yang menyajikan layanan streaming serial TV, dokumenter, film layar lebar, dan gim seluler dalam berbagai genre dan bahasa. Undang-Undang Perfilman mewajibkan sensor untuk pertunjukan film pada jaringan teknologi informatika, termasuk internet didalamnya. Akan tetapi, Netflix belum tunduk pada ketentuan mengenai sensor film. Penulis akan membahas status hukum Netflix sebagai perseroan, PSE Asing, Pelaku Usaha PMSE, dan usaha perfilman. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis-normatif, yakni penelitian hukum yang mencakup penelitian terhadap prinsip-prinsip hukum dan sistematika hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum, dimana penelitian dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, atau disebut juga dengan penelitian kepustakaan. Tanpa adanya entitas usaha yang berbadan hukum Indonesia, operasional Netflix seolah dibiarkan. Aturan bidang perfilman yang tidak adaptif dengan kemudahan perizinan berusaha, ditambah dengan ketiadaan koordinasi antara Lembaga Sensor Film dengan Ditjen Aptika melemahkan penegakkan hukum terhadap Netflix. Berdasarkan penjabaran tersebut, Netflix seharusnya tunduk pada ketentuan mengenai sensor film yang berlaku pada masing-masing operasionalnya. Solusi yang penulis ajukan antara lain: melakukan revisi pada aturan perfilman, peningkatan sinergi antara LSF dengan Ditjen Aptika, digital presence, dan kualifikasi tambahan pada pertunjukan fiilm melalui jaringan teknologi informatika.

Netflix is one of the world's leading entertainment services with approximately 222 million paid memberships in over 190 countries serving streaming TV series, documentaries, feature films, and mobile games in a variety of genres and languages. The Film Act requires censorship for film performances on information technology networks, including the internet in them. However, Netflix has not been subject to provisions regarding film censorship. The author will discuss Netflix's legal status as a company, Foreign ESP, e-commerce, and film business. This research uses juridical-normative legal research methods, namely legal research which includes research on legal principles and legal systematics, legal history, and legal comparisons, where research is carried out by researching library materials, or also known as literature research. Without a business entity incorporated in Indonesia, Netflix's operations seem to be allowed. Non-adaptive film rules with ease of business licensing, coupled with the lack of coordination between the Film Censorship Agency and the Directorate General of Infromatics Aplication weakened law enforcement against Netflix. Based on these descriptions, Netflix should be subject to the provisions regarding film censorship that apply to their respective operations. The solutions proposed by the author include: revising film rules, increasing synergy between LSF and the Directorate General of Infromatics Aplication, digital presence, and additional qualifications for fiilm performances through information technology networks. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>