Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 112852 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Evi Verawati
"Latar Belakang: Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronik yang dimediasi sistem imun, menyebabkan lesi kulit dan dapat mengenai sendi. Kondisi inflamasi sistemik meningkatkan risiko berbagai non-transmissible chronic disease dan menyebabkan kehilangan nutrien akibat hiperproliferasi dan deskuamasi epidermis, sehingga dapat menurunkan kualitas hidup. Terapi medik gizi dengan menjaga indeks massa tubuh dalam rentangan normal dan memenuhi kebutuhan vitamin A, E, C, D, dan asam folat, serta pemberian asam lemak omega-3 dapat menurunkan stres oksidatif dan inflamasi. Terapi diet, pengaturan aktivitas fisik, dan modulasi respons inflamasi sistemik menjadi tujuan terapi yang penting dan terintegrasi.
Kasus: Pasien psoriasis berbagai tipe dengan penyulit, terdiri atas 3 orang laki-laki dan seorang perempuan, rentangan usia 28–64 tahun. Pasien pertama dengan SIDA, artritis dan hipoalbuminemia, pasien ke-2 hipoalbuminemia, pasien ke-3 artritis, dan pasien ke-4 dengan obesitas. Terapi medik gizi yang diberikan meliputi diet cukup energi, protein tinggi, dan lemak sedang sesuai kodisi pasien, serta beberapa vitamin. Pemantauan dilakukan minimal selama 6 hari meliputi keluhan subjektif, keluaran klinis, hasil laboratorium, antropometri, kapasitas fungsional, dan analisis asupan 24 jam. Nutrisi ditingkatkan bertahap sesuai keluaran klinis dan toleransi. Mikronutrien yang dapat diberikan adalah vitamin B kompleks, C, dan asam folat. Semua pasien mendapat edukasi gizi.
Hasil: Asupan energi keempat pasien dapat meningkat bertahap hingga mencapai KET saat pulang. Peningkatan kadar albumin tanpa koreksi infus albumin terjadi pada 2 pasien, penurunan albumin pada 1 pasien, dan pada 1 pasien tidak dilakukan pemeriksaan ulang. Kapasitas fungsional semua pasien mengalami perbaikan saat pulang. Tidak terjadi perubahan berat badan pada 3 pasien, namun 1 pasien mengalami penurunan selama dirawat.
Kesimpulan: Terapi medik gizi yang adekuat menunjang proses penyembuhan, serta memperbaiki parameter laboratorium dan kapasitas fungsional.

Background: Psoriasis is a chronic inflammatory disease mediated by the immune system causing skin lesions and may also affect the joints. Systemic inflammatory conditions increase the risk of various non-transmissible chronic diseases, loss of nutrients through hyperproliferation and desquamation of the epidermis that may reduce quality of life. Medical therapy in nutrition by maintaining body mass index within normal range and fulfillment the requirement of vitamins A, E, C, D, and folic acid, and supplementation of omega-3 fatty acids can reduce oxidative stress and inflammation. Dietary therapy, management of physical activity, and modulation of systemic inflammatory responses are the important and integrated therapeutic goals.
Case: Psoriasis patients of various types and complications with the range of age 28–64-years-old, consist of 3 males and 1 female. The first patient with HIV-AIDS arthritis and hypoalbuminemia, the second with hypoalbuminemia, the third with arthritis, and the fourth with obesity. The medical therapy in nutrition include diet that sufficient in energy, high protein, and moderate fat corresponding to the patients’ condition with supplementation of some vitamins. Monitoring was carried out for at least 6 days that include subjective complaints, clinical outcomes, laboratory results, anthropometric, functional capacity and 24-hour dietary intake analysis. Nutritional intake was gradually increased according to the clinical outcomes and tolerance. Micronutrients that can be given were vitamins B complex, C, and folic acid. All patients received nutrition education.
Results: Nutritional intake of all patients increased gradually and achieved the total energy requirement before discharged from the hospital. There were increased of albumin levels without albumin infusion in 2 patients, decreased in 1 patient, and no albumin levels’ reexamination in 1 patient. Functional capacity improved in all patients before discharged from the hospital. There were no changes in the body weight of 3 patients. However, 1 patient experienced decreased of body weight during hospotalisation.
Conclusion: Adequate medical therapy in nutrition supports the healing process, and improves laboratory parameters and functional capacity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yudhistira
"ABSTRAK
Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit yang semakin meningkat
prevalensinya selama dua dekade terakhir. Baku emas diagnosis IBD adalah kolonoskopi
dan histopatologi. Calprotectin feses merupakan salah satu pemeriksaan yang banyak
diminta untuk menapis pasien terduga IBD agar mengurangi kolonoskopi yang tidak
perlu. Metode pemeriksaan calprotectin yang banyak digunakan sekarang adalah ELISA,
tetapi saat ini terdapat metode baru yaitu CLIA. Penelitian ini bertujuan membandingkan
calprotectin feses antara kedua metode tersebut, melakukan uji diagnostik dengan
perbandingan baku emas, dan membandingkan calprotectin pada kelompok IBD dan non-IBD. Penelitian dilakukan secara potong lintang dan data disajikan secara deskriptif
analitik dengan melibatkan 50 pasien dewasa. Uji korelasi antara kedua metode
menemukan hubungan kuat dan bermakna (r=0,865, p<0,001), tetapi persamaan regresi
Passing-Bablok mendapatkan perbedaan konstan dan proporsional. Uji Bland-Altman
mendapatkan kesesuaian 92% dengan rerata selisih 76,2 μg/g feses dan batas kesesuaian
-964,3-1116,7 μg/g feses. Uji diagnostik calprotectin feses metode ELISA menemukan
titik potong optimal adalah 194 μg/g dengan sensitivitas 55,6%, spesifisitas 56,5%, NPP
60%, dan NPN 48%. Apabila menggunakan titik potong pabrik 50 μg/g, maka didapatkan
sensitivitas 88,9%, spesifisitas 13%, NPP 54,5%, dan NPN 50%. Uji diagnostik
calprotectin feses metode CLIA menemukan titik potong optimal adalah 90,5 μg/g
dengan sensitivitas 51,9%, spesifisitas 52,2%, NPP 56%, dan NPN 48%. Apabila
menggunakan titik potong pabrik yaitu 50 μg/g, maka diperoleh sensitivitas 70,4%,
spesifisitas 43,5%, NPP 59,4%, dan NPN 55,6%. Perbandingan calprotectin feses metode
ELISA antara kelompok IBD dan non-IBD menemukan perbedaan rerata yang tidak
bermakna secara statistik, begitu juga dengan perbandingan kelompok IBD dan non-IBD
pada calprotectin feses metode CLIA. Penelitian ini menemukan bahwa kedua kit
pemeriksaan tidak dapat saling menggantikan dan uji diagnostik menemukan akurasi
diagnostik yang buruk. Penelitian selanjutnya harus mengeksklusi kolitis infektif untuk
mempertajam diagnosis terduga IBD dan menemukan pasien IBS dengan melibatkan
rumah sakit lain.

ABSTRACT
Inflammatory Bowel Disease (IBD) prevalence has been increasing since last two
decades. Gold standard to diagnose IBD is colonoscopy and histopathology. Fecal
calprotectin is frequently ordered test for screening of patient with suspect IBD so
unnecessary colonoscopy can be reduced. Method often used today is ELISA, but CLIA
method is available nowadays. This study was aimed to compare fecal calprotectin test
between this two method, to perform diagnostic test with gold standard, and compare the
level of fecal calpoctin between IBD and non-IBD group. Study design was cross
sectional and was presented as descriptive-analytic data, involving 50 subjects.
Correlation between two method is strong and statistically significant (r=0,865, p<0,001),
but Passing-Bablok regression test found constant and proportional difference. Bland-Altman test found agreement was 92% with mean difference 76,2 μg/g faeces and border
of agreement -964,3-1116,7 μg/g faeces. Diagnostic test with ELISA method found
optimal cut-off was 194 μg/g with sensitivity 55,6%, specificity 56,5%, PPV 60%, and
NPV 48%. If cut-off from manufacturer was used (50 μg/g), sensitivity 88,9%, specificity
13%, PPV 54,5%, and NPV 50%. Diagnostic test with CLIA method found optimal cutoff
was 90,5 μg/g with sensitivity 51,9%, specificity 52,2%, PPV 56%, and NPV 48%. If
cut-off from manufacturer was used (50 μg/g), sensitivity 70,4%, specificity 43,5%, PPV
59,4%, and NPV 55,6% . Difference level of fecal calprotectin between IBD and non-IBD group is not statistically significant, both with ELISA and CLIA method. This study
found that these two fecal calprotectin is not interchangeable and diagnostic test found
poor result. Future study should give more restriction to diagnose suspect IBD by
exclusion of infective colitis and found IBS cases by involving other hospital."
2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Oryza Gryagus Prabu
"Latar Belakang. Vitamin D merupakan salah satu komponen regulator yang berperan dalam respons imun humoral maupun adaptif yang memiliki peranan patogenesis dalam berbagai kondisi autoimun termasuk IBD. Defisiensi vitamin D diketahui dapat mempengaruhi derajat aktivitas pada pasien dengan IBD. Beberapa studi menunjukkan terdapat peran vitamin D dalam meningkatkan angka remisi pada pasien dengan IBD. Namun studi lain menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan terhadap aktivitas klinis IBD dengan defisiensi vitamin D. Belum ada studi di Indonesia yang menilai hubungan kadar vitamin D dengan aktivitas klinis pada IBD.
Tujuan. Mengetahui prevalensi defisiensi vitamin D pada pasien dengan IBD dan menilai perbedaan rerata kadar 25-OH D pada subjek dengan IBD aktif dengan remisi.
Metode. Penelitian ini merupakan studi dengan desain potong lintang yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pasien dengan IBD yang datang ke Poliklinik Gastroenterologi dan dilakukan pemeriksaan kadar 25-OH-D. Subjek dengan kolitis ulseratif dinilai aktivitas klinisnya dengan menggunakan instrumen Simple Clinical Colitis Activity Index (SCCAI) dimana nilai <2 dikategorikan sebagai remisi, sedangkan subjek dengan penyakit Crohn dinilai aktivitas klinisnya dengan menggunakan instrumen Crohn’s Disease Activity Index (CDAI) dengan nilai <150 dikategorikan sebagai remisi. Dilakukan analisis perbedaan rerata kadar 25-OH-D antara subjek remisi dibandingkan aktif baik pada subjek dengan kolitis ulseratif dan penyakit Crohn.
Hasil. Sebanyak 76 subjek memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, 48 subjek termasuk ke dalam kolitis ulseratif dan 28 lainnya penyakit Crohn. Sebanyak 65,3% subjek perempuan dengan rerata usia subjek adalah 46,39 (SB 16,25). Prevalensi defisiensi vitamin D pada pasien IBD adalah sebesar 46,1% dengan 32,1% pada penyakit Crohn dan 54,2% pada kolitis ulseratif. Tidak didapatkan adanya perbedaan median yang signifikan antara subjek dengan penyakit Crohn pada remisi (20,7 (12,25 – 32,55) ng/ml) dan aktif (15,7 (12,03 – 28,6) ng/ml) (p = 0,832), maupun subjek dengan kolitis ulseratif pada remisi (26,05 (19,33 – 30,73) ng/ml) dan aktif (25,05 (14,43 – 33,37) ng/ml) (p = 0,301).
Kesimpulan. Prevalensi defisiensi vitamin D pada IBD adalah sebesar 46,1%. Tidak terdapat adanya perbedaan yang signifikan terhadap kadar 25-OH-D pada pasien dengan IBD yang aktif dibandingkan dengan remisi.

Background. Vitamin D is one of the regulatory components that play a role in humoral and adaptive immune responses that have a pathogenesis role in various autoimmune conditions including IBD. Vitamin D deficiency is known to affect activity levels in patients with IBD. Several studies have shown that there is a role for vitamin D in increasing remission rates in patients with IBD. However, other studies have shown that there is no significant relationship between clinical activity of IBD and vitamin D deficiency. There are no studies in Indonesia that have assessed the relationship between vitamin D levels and clinical activity in IBD.
Aim. To determine the prevalence of vitamin D deficiency in patients with IBD and to assess the difference in mean 25-OH D levels in subjects with clinically active and remission.
Method. This is a cross-sectional study conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia. Patients with IBD who came to the Gastroenterology Polyclinic and have their 25-OH-D levels checked. Subjects with ulcerative colitis were assessed for clinical activity using the Simple Clinical Colitis Activity Index (SCCAI) instrument where a value <2 was categorized as remission, while subjects with Crohn's disease were assessed for clinical activity using the Crohn's Disease Activity Index (CDAI) instrument with a value <150 categorized as remission. An analysis of the difference in mean 25-OH-D levels between remission versus active subjects was performed both in subjects with ulcerative colitis and Crohn's disease.
Results. A total of 76 subjects met the inclusion and exclusion criteria, 48 subjects had ulcerative colitis and 28 had Crohn's disease. A total of 65,3% of female subjects with the mean age of the subject was 46,39 (SB 16,25). The prevalence of vitamin D deficiency in IBD patients was 46,1% with 32,1% in Crohn's disease and 54,2% in ulcerative colitis. There was no significant median difference between subjects with Crohn's disease in remission (20,7 (12,25 – 32,55) ng/ml) and active (15,7 (12,03 – 28,6) ng/ml) (p = 0,832), as well as subjects with ulcerative colitis in remission (26,05 (19,33 – 30,73) ng/ml) and active (25,05 (14,43 – 33,37) ng/ml) (p = 0,301).
Conclusion. Prevalence of vitamin D deficiency in IBD is 46,1%. There was no significant difference in 25-OH-D levels in patients with active IBD compared with remission.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Hanifah
"Infeksi parasit usus sering terdapat pada anak usia sekolah terutama di lokasi padat populasi dengan sanitasi kurang baik. Penelitian ini dilakukan di Pesantren X, Jakarta Timur dengan tujuan mengetahui prevalensi infeksi parasit usus dan hubungannya dengan karakteristik santri. Penelitian cross sectional ini dilakukan pada semua santri (n=162). Data diambil pada tanggal 20-21 Januari 2011, diolah dengan SPSS 17.0 serta dianalisis dengan uji chi square dan uji fisher exact test.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 24% (39 responden) terinfeksi parasit usus, yakni A.lumbricoides (2,7%), T.trichiura (2,7%), B.hominis (75,6%), G.lamblia (10,8%), E.coli (2,7%), dan H.nana (2,7%). Responden paling banyak berusia 11-15 tahun (74 orang atau 45,7%), perempuan (92 orang atau 56,8%), tingkat pendidikan tsanawiyah (74 orang atau 45,7%), memiliki informasi mengenai parasit usus (149 orang atau 92%) dan informasi berasal lebih dari tiga sumber (74,4%).
Pada uji chi square tidak terdapat perbedaan bermakna antara prevalensi infeksi parasit usus dengan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan jumlah sumber informasi. Pada uji fisher?s exact tidak didapatkan hubungan antara prevalensi parasit usus dengan kepemilikan informasi. Kesimpulannya, prevalensi infeksi parasit usus tidak berhubungan dengan karakteristik santri dalam aspek usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, kepemilikan informasi, dan jumlah sumber informasi.

Intestinal parasitic infections often occur among school children especially who live in densely populated locations with poor sanitation. Intestinal parasitic infections may have a bad side effect on children's growth. This research was done in Pesantren X, East Jakarta to determine the prevalence of intestinal parasitic infection and it?s association with the characteristic of santri. This cross sectional research used all students (santri) as respondent (n=162). Data acquisition took at 20-21 of January 2011. The data processed by SPSS 17.0 and its analyzed by chi Square test and fisher exact test.
The result showed 39 respondents (24%) have been infected by intestinal parasites namely, A.lumbricoides (2,7%), T.trichiura (2,7%), B.hominis (75,6%), G.lamblia (10,8%), E.coli (2,7%), and H.nana (2,7%). Most respondents are 11-15 years old (74 persons or 45,7%), girls (92 persons or 56,8%). The level of education mostly from tsanawiyah (74 persons or 45,7%), already had knowledge about intestinal parasitic infection, (149 persons or 92%) and the information was gotten from more than three different sources (74,4%).
Based on chi square test, there was no statically significant difference between prevalence of intestinal parasitic infection and age, sex, level of education, and quantity of knowledge source. Based on fisher?s exact test, there was no statically significant difference between the level of intestinal parasitic infection and the knowledge. In conclusion, there was no association between prevalence of intestinal parasitic infection and age, sex, level of education, knowledge, and quantity of the knowledge source.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yessica Lisyana
"Inflamatory Bowel Disease adalah penyakit peradangan kolon yang menyebabkan jaringan parut yang ditangani dengan pembedahan. Jika terjadi berulang dapat menyebabkan fibrosis. Pentoksifillin merupakan obat yang memiliki efek anti fibrosis digunakan sebagai obat. Pektin merupakan polimer alam bersifat biodegradabel yang berpotensi sebagai sediaan lepas terkendali. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat dan mengkarakterisasi bead kalsium pektinat pentoksifillin dengan metode gelasi ion dengan variasi konsentrasi larutan sambung silang kalsium klorida 2,5% (formula 1), 5% (formula 2), dan 10% (formula 3). Karakterisasi bead yang dihasilkan berbentuk tidak terlalu sferis untuk formula 1 dan 2, namun sferis untuk formula 3, dan berwarna coklat keputihan dengan ukuran rata-rata 710 ? 1180 μm untuk formula 1 dan 2, sedangkan untuk formula 3 berukuran rata-rata > 1180 μm. Kandungan pentoksifilin dalam bead dari ketiga formula berturut-turut yaitu 27,87%, 22,28%, dan 14,05%. Efisiensi penjerapan dari ketiga formula berturut-turut yaitu 69,68%, 66,83%, dan 56,18%. Pada uji pelepasan obat dalam medium asam klorida 0,1N pH 1,2, dapar fosfat pH 6, dan dapar fosfat pH 7,4 tidak berbeda. Obat dapat terlepas hampir seluruhnya pada menit ke 15. Karena pelepasannya yang tinggi di medium asam klorida 0,1N pH 1,2 selama 2 jam yaitu ± 90% kemudian bead disalut HPMCP sehingga pelepasannya di medium asam klorida 0,1N pH 1,2 berkurang dengan jumlah yang terlepas 38-60%.

Inflammatory Bowel Disease causes rasp network. It?s handle by dissection that if occur repeatedly can lead a fibrosis. Pentoxifyllin is a drug that has anti-fibrotic effect which is used as a drug. Pectin is biodegradable natural polymer which have potention as controlled release drug. The aim of this research is preparation and charactherization calcium pectinate pentoxifylline beads which is prepared by ionic gelation method with variation in calcium chloride concentration 2,5% (formula 1), 5% (formula 2), and 10% (formula 3). Characterization of beads which is produced are not too spheris for the first and second formula, but spheris for the third formula, and it?s brown whitish colour. The average size of beads are 710-1180 Fm for the first and second formula. While the third formula are about >1180 Fm. Content of pentoksifilin in beads for all formula are 27,87 % for the first formula, 22,28 % for the second formula and 14,05% for the third formula. Encapsulation efficiency of all formula are 69,68%, 66,83% and 56,18% respectively. Drug release test in medium of hydrochloric acid 0,1N pH 1,2, phosphate buffer pH 6 and phosphate buffer pH 7,4 are not differences. The drug can be released almost in fifteenth minutes. Because it?s release is higher in medium of hydrochloride acid 0,1N pH 1,2 for 2 hours which is about ± 90%, then beads are coated by HPMCP in order that it?s release in medium of hydrochloride acid 0,1N pH 1,2 can holding a number of released is 38-60%.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2012
S42522
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Yesy Marianna, author
"Latar Belakang: Aktivasi mediator inflamasi diketahui menyebabkan kelahiran preterm. Sitokin dan penanda inflamasi yang terbentuk berhubungan dengan imun tubuh. Vitamin D diketahui berperan pada modulasi respon sistem imunitas tubuh. Penelitian ini ingin mengetahui hubungan antara kadar vitamin D serum ibu dan tali pusat, dengan IL-6 tali pusat dan C Reactive Protein (CRP) darah bayi prematur.
Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik dengan desain potong lintang pada subjek ibu hamil 28-34 minggu yang mengalami kelahiran prematur didahului KPD dan bayi yang dilahirkannya, di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta pada bulan Januari 2017 sampai Agustus 2018. Subjek diambil secara consecutive sampling. Variabel data adalah kadar serum vitamin D ibu dan tali pusat, kadar serum IL-6 tali pusat dan kadar CRP darah bayi. Dilakukan kategorisasi dikotomi dan polikotomi (tiga) kadar vitamin D dan dicari hubungannya dengan kadar IL-6 tali pusat dan CRP darah bayi, menggunakan uji Mann-Whitney dan Kruskal Wallis.
Hasil: Sebanyak 70 subjek telah memenuhi kriteria penelitian. Pada kategori dikotomi vitamin D ibu, kadar IL-6 tali pusat dan CRP bayi dari kelompok kadar vitamin D kurang, sedikit lebih tinggi (3,89 pg/ml dan 0,45 mg/dl) dibandingkan kelompok kadar vitamin D normal (3,29 pg/ml dan 0,30 mg/dl), tetapi perbedaan tersebut tidak bermakna (IL-6 p=0,771 dan CRP p = 0,665). Pada kategori polikotomi vitamin D ibu, kadar IL-6 tali pusat dan CRP bayi dari kelompok ibu vitamin D defisiensi, lebih tinggi (20,31 pg/ml dan 0,50 mg/dl) dibandingkan kelompok ibu vitamin D insufisiensi (3,34 pg/mL dan 0,45 mg/dl) dan kelompok ibu vitamin D normal (3,29 pg/mL dan 0,30 mg/dl), tetapi perbedaan tersebut tidak bermakna (IL-6 p=0,665 dan CRP p = 0,899). Pada kategori dikotomi maupun polikotomi vitamin D tali pusat, didapatkan perbedaan tidak bermakna yang terbalik dari kadar IL-6 tali pusat dan CRP bayi.
Simpulan: Tidak didapatkan hubungan antara kadar serum vitamin D ibu dan tali pusat dengan kadar serum IL-6 tali pusat dan CRP darah bayi prematur.

Background: Activation of inflammatory mediators is known to cause preterm birth. Cytokines and inflammatory markers formed are associated with the body's immune system. Vitamin D is known to play a role in modulating the body's immune system response. This study aimed to find out the relationship between the levels of serum of maternal and umbilical cord vitamin D, with umbilical cord IL-6 and C Reactive Protein (CRP) in premature infants.
Method: This research was an analytic study with a cross-sectional design on the subject of 28-34 weeks pregnant women who experience preterm birth preceded by premature rupture of membranes and their babies, at dr. Cipto Mangunkusumo and Persahabatan General Hospital, Jakarta, from January 2017 to August 2018. Data variables were the levels of serum of maternal and umbilical cord vitamin D, umbilical cord IL-6 and CRP in premature infants. Vitamin D levels were divided into dichotomy and polycotomy categories, and found out their relationship to the levels of IL-6 and CRP using the Mann Whitney and Kruskal Wallis tests.
Result: A total of 70 subjects met the research criteria. In the maternal vitamin D dichotomy category, the umbilical cord IL-6 and infants CRP levels from the group with low level were less slightly higher (3.89 pg/ml and 0.45 mg/dl) compared to the group with normal level (3.29 pg/ml and 0.30 mg/dl), but the difference was not significant (IL-6 p = 0.771 and CRP p = 0.665). In the maternal vitamin D polycotomy category, umbilical cord IL-6 and infants CRP levels from the deficiency group were higher (20.31 pg/ml and 0.50 mg/dl) compared to the insufficiency group (3.34 pg/mL and 0.45 mg/dl) and the normal group (3.29 pg/mL and 0.30 mg/dl), but the difference was not significant (IL-6 p = 0.665 and CRP p = 0.899). In both dichotomy and polycotomy categories of umbilical cord vitamin D, we found a non-significant difference inversely related to umbilical cord IL-6 and infants CRP levels.
Conclusion: There was no correlation between between the levels of serum of maternal and umbilical cord vitamin D, with umbilical cord IL-6 and C Reactive Protein (CRP) in premature infants."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nessa
"ABSTRAK
Inflammatory bowel disease IBD merupakan kondisi yang menggambarkan peradangan saluran cerna kronik. Peradangan kronis yang terjadi di kolon dapat berkembang menjadi kanker kolon. Lunasin telah diketahui dapat menekan reaksi inflamasi yang diinduksi lipopolisakarida secara in vitro. Peran lunasin sebagai antiinflamasi secara in vivo masih belum banyak diketahui. Pada penelitian ini dianalisis efek lunasin kedelai dalam menghambat inflamasi dengan melihat ekspresi COX-2, iNOS, dan ?-katenin. Mencit sebanyak 30 ekor dibagi dalam 6 kelompok. Kelompok normal adalah mencit yang tidak diinduksi DSS. Kelompok lain diinduksi dengan DSS 2 melalui air minum selama 9 hari. Hari berikutnya mencit kelompok kontrol negatif tidak menerima perlakuan sedangkan kelompok yang menerima perlakuan diberikan lunasin dosis 20mg/kgBB, dosis 40mg/kgBB dan lunasin komersil serta kontrol positif diberikan aspirin. Perlakuan dilakukan selama 5 minggu. Pemeriksaan histopatologi kolon yang mengalami inflamasi dan skor hasil pewarnaan imunohistokimia protein COX-2, iNOs dan ?-katenin dianalisis menggunakan uji statistik. Lunasin dosis 20mg/kgBB dan dosis 40mg/kgBB mampu menurunkan inflamasi secara signifikan p

ABSTRACT
Inflammatory bowel disease IBD is a condition describing chronic gastrointestinal inflammation. Chronic inflammation that occurs in the colon can develop into colon cancer. Lunasin has been known to resist inflammatory reactions induced by lipopolysaccharide in vitro. The role of lunasin as antiinflammatory in in vivo is not widely known. In this study we analyzed the effect of lunasin from soybean to decrease the risk of inflammation by analyzing the expression of COX 2, iNOS, and catenin. 30 mice are divided into 6 groups. Normal group was not induced by DSS. The other groups were induced by 2 DSS through drinking water for 9 days. After 9 days, negative control group did not receive any treatment, beside the other groups received treatment given lunasin dose 20mg kgBB and 40mg kgBB, commercial lunasin and positive control given aspirin. Treatment was performed for 5 weeks. Inflammatory colon histopathologic examination and immunohistochemical score of COX 2, iNOs and catenin proteins were analyzed using statistical tests. Lunasin dose 20mg kgBW and 40mg kgBB were able to significantly reduce inflammation p"
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darmadi
"ABSTRAK
Latar Belakang : Diagnosis Inflammatory Bowel Disease (IBD) masih didasarkan pada pemeriksaan invasif (endoskopi dan histopatologi). Fecal calprotectin merupakan petanda inflamasi intestinal non invasif yang dapat digunakan untuk membedakan IBD dengan penyakit intestinal non inflamasi, namun studi-studi yang ada masih memberikan perbedaan nilai diagnostik dan hubungannya dengan derajat IBD.
Tujuan : Membuktikan bahwa pemeriksaan fecal calprotectin memiliki nilai diagnostik yang tinggi untuk mendiagnosis IBD serta berhubungan dengan derajat IBD. Metode : Penelitian ini adalah studi potong lintang untuk melakukan uji diagnostik. Penelitian dilakukan di beberapa rumah sakit di Jakarta mulai bulan September 2014 sampai Februari 2015. Kurva ROC dibuat untuk mendapatkan nilai diagnostik fecal calprotectin dan uji Krusskal Wallis untuk menilai perbedaan kadar fecal calprotectin menurut derajat IBD.
Hasil : Terdapat 71 pasien IBD berdasarkan pemeriksaan kolonoskopi diikutkan dalam penelitian. Dari pasien tersebut didapatkan sebanyak 57 pasien ditetapkan definite IBD berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Kadar fecal calprotectin lebih tinggi bermakna pada pasien IBD dibanding yang bukan IBD (553,8 μg/g vs 76,95 μg/g, p < 0,001). Didapatkan nilai titik potong 179,3 μg/g dengan sensitivitas 96% (IK 95% 0,88-0,99), spesifisitas 93% (IK 95% 0,69-0,99) dan Area Under Curve (AUC) 99,5% (IK 95% 0,98-1,00). Didapatkan perbedaan bermakna kadar fecal calprotectin pada masing-masing derajat IBD (p < 0,001).
Kesimpulan : Pemeriksaan fecal calprotectin memiliki nilai diagnostik yang tinggi untuk mendiagnosis IBD serta berhubungan dengan derajat IBD.

ABSTRACT
Background : Diagnosis of inflammatory bowel disease (IBD) is still based on invasive examination such as endoscopy and biopsy. Fecal calprotectin as a intestinal inflammation marker can used for diagnosis, but studies still had different diagnostic value and it?s correlation with grading of IBD.
Objective : Proving that fecal calprotectin have a high diagnostic value for IBD and correlation with grading of IBD. Methods : A cross sectional study for diagnostic of IBD. This study was conducted at several Hospitals in Jakarta from September 2014 until February 2015. A curve of ROC to determined diagnostic value of fecal calprotectin and Krusskal Wallis analysis to assessed of different value of fecal calprotectin according grade of IBD were made.
Results : Based on colonoscopy, 71 patient IBD were participated in this study. There were 57 patient diagnosis as definite IBD based on histopathology examination. Value of fecal calprotectin for IBD patient was higher than non IBD (553.8 μg/g vs 76.95 μg/g, p < 0,001). Value of fecal calprotectin was 179.3 μg/g as a new cutoff value with sensitivity 96% (CI 95% 0.88-0.99), specificity 93% (CI 95% 0.69-0.99) and Area Under Curve (AUC) 99.5% (CI 95% 0.98- 1.00) for diagnostic IBD. There was significant differences value of fecal calprotectin according every grade of IBD ( p < 0.001 ).
Conclusion : Fecal calprotectin has a high diagnostic value for IBD and correlated with grading of IBD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58824
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dekta Filantropi Esa
"Latar Belakang. Penyakit radang usus atau Inflammatory Bowel Disease (IBD) memiliki gejala gangguan saluran pencernaan yang tidak dapat diprediksi, tidak menyenangkan, dan kerap kali menimbulkan rasa malu bagi penderitanya. Berbagai ketidaknyamanan tersebut dapat mempengaruhi penurunan kualitas hidup pasien IBD hingga meningkatkan morbiditas dan mortalitas di masa depan. Perlu instrumen yang sahih dan andal untuk menilai kualitas hidup pasien dengan IBD.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keandalan dan kesahihan Inflammatory Bowel Disease Questionnaires-9 (IBDQ-9) versi bahasa Indonesia untuk menilai kualitas hidup pasien dengan IBD.
Metode. Instrumen asli IBDQ-9 diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan diterjemahkan kembali ke bahasa Inggris lalu dikonfirmasi kepada pemilik instrumen. Kemudian dilakukan uji kesahihan isi dengan Content Validity Index (CVI). Studi potong lintang dengan populasi terjangkau pasien dewasa IBD di Poliklinik Gastroenterologi, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta pada bulan November 2022 yang berusia 18-59 tahun, telah mengalami IBD minimal 2 minggu dan bersedia untuk menandatangani
informed consent sebagai responden penelitian. Perbandingan skor total IBDQ-9 dengan SF-36 versi Indonesia dinilai dengan uji korelasi Spearman lalu uji keandalan dengan menentukan alfa Cronbach dan Intraclass Correlation Coefficient (ICC).
Hasil. Sebanyak 124 pasien IBD dianalisis dengan uji Spearman menunjukkan korelasi yang tinggi dan signifikan antara IBDQ-9 dengan SF-36 (r=0,769 dan p<0,001). IBDQ-9 versi bahasa Indonesia memiliki nilai alfa Cronbach versi bahasa Indonesia sebesar 0,883 dan nilai ICC yang baik juga sebesar 0,883 (IK95% 0,849-0,912).
Kesimpulan. Instrumen IBDQ-9 versi Bahasa Indonesia sahih dan andal untuk menilai kualitas hidup pasien dengan IBD di Indonesia.

Latar Belakang. Penyakit radang usus atau Inflammatory Bowel Disease (IBD) memiliki gejala gangguan saluran pencernaan yang tidak dapat diprediksi, tidak menyenangkan, dan kerap kali menimbulkan rasa malu bagi penderitanya. Berbagai ketidaknyamanan tersebut dapat mempengaruhi penurunan kualitas hidup pasien IBD hingga meningkatkan morbiditas dan mortalitas di masa depan. Perlu instrumen yang sahih dan andal untuk menilai kualitas hidup pasien dengan IBD.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keandalan dan kesahihan Inflammatory Bowel Disease Questionnaires-9 (IBDQ-9) versi bahasa Indonesia untuk menilai kualitas hidup pasien dengan IBD.
Metode. Instrumen asli IBDQ-9 diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan diterjemahkan kembali ke bahasa Inggris lalu dikonfirmasi kepada pemilik instrumen. Kemudian dilakukan uji kesahihan isi dengan Content Validity Index (CVI). Studi potong lintang dengan populasi terjangkau pasien dewasa IBD di Poliklinik Gastroenterologi, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta pada bulan November 2022 yang berusia 18-59 tahun, telah mengalami IBD minimal 2 minggu dan bersedia untuk menandatangani
informed consent sebagai responden penelitian. Perbandingan skor total IBDQ-9 dengan SF-36 versi Indonesia dinilai dengan uji korelasi Spearman lalu uji keandalan dengan menentukan alfa Cronbach dan Intraclass Correlation Coefficient (ICC).
Hasil. Sebanyak 124 pasien IBD dianalisis dengan uji Spearman menunjukkan korelasi yang tinggi dan signifikan antara IBDQ-9 dengan SF-36 (r=0,769 dan p<0,001). IBDQ-9 versi bahasa Indonesia memiliki nilai alfa Cronbach versi bahasa Indonesia sebesar 0,883 dan nilai ICC yang baik juga sebesar 0,883 (IK95% 0,849-0,912).
Kesimpulan. Instrumen IBDQ-9 versi Bahasa Indonesia sahih dan andal untuk menilai kualitas hidup pasien dengan IBD di Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>