Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 100742 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Henny Zidny Robby Rodhiya
"ABSTRAK
Penilaian preoperatif dan perioperatif dibutuhkan untuk memprediksi morbiditas dan mortalitas pasien pasca transplantasi ginjal. Oleh karena itu,modalitas yang digunakan dalam menilai risiko pembedahan harus memiliki akurasi dan objektivitas yang baik. Salah satu modalitas yang banyak digunakan di RSCM adalah skor ASA-PS. Namun skor ini sudah banyak ditinggalkan oleh negara maju dan beralih pada skor P-POSSUM yang dinilai lebih superior,objektif dan akurat. Pada penelitian ini, skor P-POSSUM diuji dalam memprediksi lama rawat inap pasien yang merupakan marker morbiditas pascabedan. Penelitian ini menguji kemampuan korelasi dan diskriminasi skor P-POSSUM dalam memprediksi lama rawat inap sekaligus menganalisis hubungan antar variabel skor P-POSSUM dengan lama rawat inap resipien transplantasi ginjal. Penelitian ini menggunakan studi kohort retrospektif yang dilakukan pada 225 resipien transplantasi ginjal dari di RSCM Pusat dan Kencana dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data rekam medis pasien digunakan untuk menelusuri variabel fisiologis dan pembedahan yang tercantum dalam skor P-POSSUM serta lama rawat inap pasien pasca transplantasi ginjal. Selanjutnya data dianalisis menggunakan bivariat dan regresi logistik untuk mendapatkan hubungan antar variabel P-POSSUM dengan lama rawat pasien. Kemampuan korelasi dan diskriminasi skor P-POSSUM dicari menggunakan Hamer-Lameshow dan AUC pada kurva ROC. Hasil analisis bivariat menunjukan terdapat lima variabel yang memiliki hubungan signifikan dengan lama rawat inap yaitu laju nadi, kadar hemoglobin,kadar leukosit,kadar kalium,total perdarahan intraperioperatif dan kontaminasi intraperitoneal. Namun hanya terdapat dua variabel yang signifikan dalam analisis multivariat yaitu kadar hemoglobin dan perdarahan intraoperatif. Kemampuan kalibrasi menggunakan Hosmer-Lameshow dinilai baik (Nilai p= 0.889). Namun kemampuan diskriminasi dinilai lemah karena AUC yang didapat 65.7%. Kesimpulannya, sistem skor P-POSSUM tidak dapat menentukan lama rawat pasien resipien transplantasi ginjal. Namun terdapat dua variabel P-POSSUM yang merupakan faktor prediktif lama rawat inap yaitu kadar hemoglobin dan perdarahan intraoperatif.

ABSTRACT
Preoperative and perioperative assessments are important to predict morbidity and mortality in post kidney transplant patient. Therefore, clinicians should assess operative risks by using accurate and objective modality.The most widely used modality in RSCM is ASA-PS score. Meanwhile, this score is no longer used in developed country and replaced by P-POSSUM score, which is more superior,objective, and accurate. In this study, P-POSSUM Score is assessed in predicting length of hospital stay as a marker of post-operative morbidity. This study examines the correlation and discrimination ability of P-POSSUM score in predicting length of hospital stay as well as analyzing relationship between P-POSSUM score variables and the length of hospita stay of kidney transplant recipients. This retrospective cohort study was conducted on 225 kidney transplant recipients from RSCM and RSCM Kencana who met the inclusion and exclusion criteria. Medical record of patient is used to identify the physiological and surgical variables in P-POSSUM Score and length of hospital stay of patients after kidney transplant. Furthermore, the data were analyzed using bivariate ad logistic regression to identify the relationship between P-POSSUM variables and the length of hospital stay. The correlation and discrimination ability of P-POSSUM score are examined by using Hamer-Lameshow and AUC on the ROC curve. The result of bivariate analysis showed that there are five variables that had a significant relationship with length of stay, namely pulse rate, hemoglobin level,leukocyte level,potassium level, total intraoperative bleedig and intraoperitoneal contamination. However, only two remains significant in the multivariate analysis namely hemoglobin level and intraoperative bleeding. Calibration ability is good based on Hamer-Lameshow analysis (p=0.889). But the ability to discriminate is considered weak because the AUC area only 65.7%. P-POSSUM can not be used to predict the length of hospital stay in kidney transplant recipients . Hemoglobin level and intraoperative bleeding are predictive factors in P-POSSUM for length of hospital stay od kidney transplant recipients. "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Utami Susilowati
"Latar Belakang: Transplantasi ginjal telah menjadi pilihan utama terapi bagi pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir, baik yang berasal dari donor hidup maupun donor jenazah. Transplantasi ginjal memiliki risiko yang lebih rendah baik untuk mortalitas maupun kejadian kardiovaskular, serta memiliki kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan pasien yang menjalani dialisis kronis, baik hemodialisis maupun dialisis peritoneal. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesintasan transplantasi ginjal di RSUPN Ciptomangunkusumo tahun 2010-2017.
Metode: Penelitian Desain penelitian ini adalah kohort retrospekstif menggunakan data rekam medis pasien transplantasi ginjal. Sampel penelitian adalah resipien transplantasi ginjal ≥ 18 tahun di di RSUPN Ciptomangunkusumo tahun 2010-2017, yaitu sebanyak 548 pasien.
Hasil: penelitian probabilitas kesintasan resipien transplantasi ginjal selama pengamatan 5 tahun adalah 84,1% Hasil analisis dengan regresi cox menunjukkan bahwa resipien dengan donor yang berusia ≥ 40 tahun lebih cepat 1,487 kali untuk meninggal dibandingkan resipien dengan donor yang berusia < 40 tahun, resipien yang berusia ≥ 45 tahun lebih cepat 2,356 kali untuk meninggal dibandingkan pasien yang berusia <45 tahun, lama hemodialisis ≥ 24 bulan lebih cepat 2,356 kali untuk meninggal dibandingkan pasien yang lama hemodialisisnya < 24 bulan, skor charlson > 1 lebih cepat 2,861 kali untuk meninggal dibandingkan pasien yang skor charlson ≤ 1, resipien yang memiliki DM lebih cepat 2,947 kali untuk meninggal dibandingkan dengan yang tidak DM.
Simpulan: Kesintasan lima tahun di Indonesia cukup baik. Insiden kematian relatif tinggi, menyebabkan penurunan kelangsungan hidup pasien lima tahun. Namun, hasil keseluruhan masih sebanding dengan negara-negara berkembang lainnya.

Background: Kidney transplantation has become the main choice of therapy for patients with end-stage kidney disease, both from living donors and donor bodies. Kidney transplantation has a lower risk for both mortality and cardiovascular events, and has a better quality of life than patients who undergo chronic dialysis, both hemodialysis and peritoneal dialysis. This study aims to determine the factors that influence the survival of kidney transplants in Ciptomangunkusumo Hospital in 2010-2017.
Methods: A retrospective cohort study with total consecutive sampling is performed on all kidney transplant recipients in Cipto Mangunkusumo Hospital from March 2019 until May 2019. Data is acquired by analysing medical records and contacting patients directly. Each recipient is followed from the day of transplant until death or december 2018, whichever comes first. Five-year death and patient survival is documented. Kaplan-Meier Curve is used to describe patient survival until the end of study and analysis with Cox regression.
Result: which was as many as 548 patients. The results of this study indicate the probability of survival of kidney transplant recommendations during the 5-year observation was 84.1%. The results of the analysis with Cox regression showed that donors aged ≥ 40 years were 1,487 faster to die than recipients with donor aged <40 years, prescriptions aged ≥ 40 years 2,356 times faster to die than patients aged <40 years, duration of hemodialysis ≥ 24 months faster 2,356 times to die compared to patients with long hemodialysis <24 months, Charles score> 1 faster 2,861 times to die than patients who score charlson ≤ 1, the recipients who have DM are 2.97 times faster to die compared to those without DM.
Conclusions: The outcome of five-year death in Indonesia is very satisfactory. The incidence of death is relatively high, causing a decline in five-year patient survival. However, the overall results are still comparable to other developing countries.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T53713
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferry Valerian Harjito
"Latar Belakang: Transplantasi ginjal adalah modalitas terapi pengganti ginjal yang paling baik bagi pasien dengan Penyakit Ginjal Tahap Akhir (PGTA). Saat ini di Indonesia transplantasi ginjal dengan donor hidup mulai semakin sering dilakukan, terutama di RSUPN Cipto Mangunkusumo, di mana dalam beberapa tahun terakhir lebih dari 50% kasus transplantasi ginjal di Indonesia dilakukan di rumah sakit ini. Walaupun demikian, data mengenai hasil transplantasi di Indonesia, baik kesintasan 1 tahun graft maupun pasien, serta faktor yang diduga mempengaruhinya masih belum ada. Diharapkan hasil transplantasi di rumah sakit ini dapat menggambarkan hasil secara keseluruhan di Indonesia.
Metode: Studi kohort retrospektif pada resipien transplantasi ginjal di RSUPN-CM dari Januari 2010 hingga Mei 2014. Data didapatkan dari penelusuran rekam medis serta menghubungi pasien secara langsung. Masing-masing resipien diikuti sejak tanggal transplantasi hingga kematian atau Mei 2015. Proporsi kesintasan graft dan pasien pada 1 tahun post transplantasi dan pada akhir studi didokumentasikan. Kurva Kaplan-Meier digunakan untuk menggambarkan kesintasan pasien secara keseluruhan. Studi deskriptif dilakukan dengan melihat perbedaan proporsi variabel serta perbedaan rerata atau median pada pasien yang mengalami kegagalan graft 1 tahun serta tidak, serta pasien yang bertahan hidup atau meninggal.
Hasil: Berdasarkan hasil consecutive total sampling didapatkan 157 resipien yang menjalani transplantasi ginjal di RSUPN-CM, 137 resipien di antaranya memenuhi kriteria penelitian, seluruhnya mendapatkan ginjal dari donor hidup. Usia resipien rata-rata adalah 47,9 ± 13,9 tahun, rerata IMT 22,8 ± 3,7 kg/m2, dan proporsi resipien dengan diabetes 35,8%. Didapatkan 7 pasien mengalami disfungsi graft primer (kegagalan transplantasi), sehingga 130 pasien diikuti untuk melihat kesintasan jangka panjang. Pada akhir tahun pertama, didapatkan angka death-censored graft survival adalah 95,4%, all-cause graft survival 85,4%, kesintasan pasien 88,5%, dan death with a functioning graft sebesar 10%. Pada akhir studi, didapatkan angka kesintasan tersebut berturut-turut adalah 94,6%, 80%, 82,3%, dan 14,6%, dengan median waktu pengamatan 24 bulan (1 ? 64 bulan). Kurva Kaplan Meier menunjukkan angka mortalitas tertinggi didapatkan pada bulan-bulan awal post transplantasi. Kegagalan graft dan kematian didapatkan lebih banyak pada resipien yang berusia lebih tua, mengidap diabetes melitus, serta memiliki indeks komorbiditas yang tinggi. Penyebab kematian utama adalah infeksi (11,5%) diikuti dengan kejadian kardiovaskular (3,8%).
Simpulan: Death-censored graft survival 1 tahun resipien transplantasi ginjal di Indonesia sudah sangat memuaskan. Angka death with functioning graft masih cukup tinggi, sehingga menurunkan all-cause graft survival dan kesintasan pasien 1 tahun. Walaupun demikian, secara keseluruhan hasil ini masih sebanding dengan negara-negara berkembang lainnya.

Background: Kidney transplant is established as the preferred modality for end stage renal disease patients. Living donor kidney transplant is increasingly popular in Indonesia, especially in Cipto Mangunkusumo Hospital, comprising more than 50% of all transplant procedures performed in Indonesia. However, data regarding one-year graft and patient survival in Indonesia is still scarce. This single-center study is hoped to represent the characteristics and results of graft and patient survival of living donor kidney transplant in Indonesia.
Methods: A retrospective cohort study with total consecutive sampling is performed on all kidney transplant recipients in Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2010 until May 2014. Data is acquired by analysing medical records and contacting patients directly. Each recipient is followed from the day of transplant until death or May 2015, whichever comes first. One-year graft and patient survival is documented. Kaplan-Meier Curve is used to describe patient survival until the end of study. Descriptive studies on risk factors of graft and patient survival is also conducted, using differences in proportions, means, and medians appropriately.
Results: Within the timeframe there are 157 recipients of living donor kidney transplants, 137 of which fulfill the inclusion criteria. The mean age is 47.9 ± 13.9 years, mean BMI is 22.8 ± 3.7 kg/m2, and 35.8% of all recipients are diabetics. Primary non-function/early transplant failure is present in 7 patients, so that 130 recipients are included for long term survival descriptions. In the end of the first year post transplant, death-censored graft survival is 95.4%, all-cause graft survival is 85.4%, patient survival is 88.5%, and death with a functioning graft is 10%. By the end of the study, the corresponding survival results are 94.6%, 80%, 82.3%, and 14.6%, respectively, with a median observation time of 24 months (1 ? 64 months). Kaplan-Meier curve showed that the mortality rate is higher in the early months after transplant. More deaths and graft failures are found in older and diabetic recipients, as well as those with a high comorbidity index. The main causes of death are infections (11.5%) and cardiovascular diseases (3.5%).
Conclusions: The outcome of one-year death-censored graft survival in Indonesia is very satisfactory. The incidence of death with functioning graft is relatively high, causing a decline in one-year patient survival and all-cause graft survival. However, the overall results are still comparable to other developing countries.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aritonang, Ronald Christian Agustinus
"

Latar Belakang: Nyeri pascaoperasi pada laparotomi transplantasi ginjal dikategorikan pada nyeri sedang sampai berat. Tatalaksana nyeri yang efektif dapat membantu pemulihan yang lebih baik. Epidural kontinyu merupakan pilihan analgesia yang digunakan pada operasi laparotomi transplantasi ginjal di RSCM  namun ditemukan masih adanya pasien yang merasakan nyeri. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas antara blok Quadratus Lumborum (QL) bilateral dengan blok epidural kontinyu terhadap derajat nyeri dan kebutuhan morfin pascaoperasi.

Metode: Penelitian ini merupakan uji kontrol acak pada 38 pasien yang menjalani operasi laparotomi resipien transplantasi ginjal di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo. Sesaat sebelum pasien diekstubasi, 20 subjek dalam kelompok blok QL bilateral mendapatkan ropivacaine 0,375% sebanyak 20 mL bilateral dan 18 subjek pada kelompok epidural kontinyu mendapatkan infus epidural ropivakain 0,2% 6 mL/jam. Hasil dari penelitian ini dianalisis dengan menggunakan uji statistik Mann Whitney. 

Hasil: Penelitian ini tidak menemukan perbedaan bermakna derajat nyeri VAS istirahat antara kelompok blok epidural dan kelompok blok QL pada saat di RR, jam ke-2, jam ke-6, jam ke-12, dan jam ke-24 (p = 0,228; 0,108; 0,224; 0,056 dan 0,179). Tidak terdapat perbedaan VAS bergerak antara kedua kelompok saat di RR, jam ke-2, jam ke-6, jam ke-12, dan jam ke-24 (p = 0,813; 0,865; 0,947; 0,063; dan 0,408). Kebutuhan morfin pada 24 jam pascaoperasi tidak menunjukkan perbedaan bermakna pada semua jam pengukuran (p = 0,380; 0,425; 0,664; 0,854). Waktu saat pertama kali menekan PCA morfin juga tidak bermakna dengan p 0,814. Ketinggian blok pada 1 jam pascaoperasi pada kedua kelompok sama, yaitu blokade 100% pada T10-L1. Tidak terdapat perbedaan dosis minimal dan maksimal dobutamin dan norepinefrin antara kelompok QL dan epidural kontinyu. Jumlah produksi urin 24 jam, skor Bromage, dan skor Ramsay tidak berbeda pada kedua kelompok.

Simpulan: Blok QL tidak memberikan efek analgesia yang lebih baik daripada blok epidural kontinyu.


Background: Postoperative pain in laparatomy for kidney transplant is moderate to severe. Effective postoperative pain promotes better recovery. Continuous epidural is the current analgesia of choice in laparatomy for kidney transplant in Cipto Mangunkusumo Hospital; however, undermanaged pain was still reported. This study aims to compare the effectivity between bilateral Quadratus Lumborum block and continuous epidural in managing pain and reducing morphine requirement.

Methods: This is a randomized controlled study on 38 patients undergoing laparatomy for kidney transplant in Cipto Mangunkusumo Hospital. Before extubation, 20 subjects in QL group received 20 ml 0.375% ropivacaine while 18 subjects in continuous epidural group received epidural infusion of 0.2% ropivacaine at 6 ml/hour. The result was analysed using Mann Whitney test.

Results: This study found no difference between resting VAS score of QL and epidural group in recovery room, at 2nd, 6th, 12th, and 24th hour (p = 0,228; 0,108; 0,224; 0,056 dan 0,179). There was no difference between moving VAS of both groups in recovery room, at 2nd, 6th, 12th, and 24th hour (p = 0,813; 0,865; 0,947; 0,063; dan 0,408). Morphine requirement on 24th hour post surgery showed no difference in all observed hours (p = 0,380; 0,425; 0,664; 0,854). Time to first PCA press was also insignificant (p 0,814). Block height at 1st hour post surgery was the same in both groups, with 100% blockade at T10-L1. There were no difference at minimal and maximal dobutamine and norepinephrine dose in between the two groups. Total 24 hour urine production, Bromage score, and Ramsay score was not different in both groups.

 

Conclusion: QL block did not provide better analgesia compared to continuous epidural.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58711
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melody Febriana Andardewi
"Latar Belakang: Pruritus menjadi salah satu gejala yang dialami oleh pasien dengan penyakit ginjal kronik (PGK). Pruritus yang berasosiasi dengan PGK mayoritas terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisis (HD) dan dapat terjadi pada resipien transplantasi ginjal (RTG). Gejala pruritus yang tidak ditangani dengan baik dapat memberikan dampak terhadap kualitas hidup. Belum terdapat penelitian yang membandingkan proporsi derajat keparahan pruritus, kualitas hidup, dan korelasi berbagai faktor biokimia antara pasien HD dengan RTG di Indonesia. Tujuan: Membandingkan derajat keparahan pruritus, kualitas hidup, serta korelasi kadar hs-CRP, kalsium, fosfat, dan e-GFR antara pasien PGK yang menjalani HD dengan RTG. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain potong lintang. Setiap SP dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laboratorium. Skala gatal 5 dimensi (5-D) digunakan untuk evaluasi derajat keparahan pruritus dan Indeks Kualitas Hidup Dermatologi (IKHD) digunakan dalam menilai kualitas hidup. Analisis statistik yang sesuai dilakukan untuk membuktikan hipotesis penelitian dengan nilai kemaknaan yang digunakan adalah p <0,05. Hasil: Dari 30 SP di masing-masing kelompok, proporsi pruritus derajat sedang-berat sebesar 76,7% pada kelompok HD sedangkan pada kelompok RTG sebanyak 83,3% mengalami pruritus derajat ringan (RR = 4,6; IK 95% = 2,02–10,5; p <0,001). Median skor IKHD pada kelompok HD adalah sebesar 5 (3–6) sedangkan pada kelompok RTG sebesar 3 (2–4) (p <0,001). Terdapat korelasi positif yang bermakna antara hs-CRP dengan skor skala gatal 5-D pada kelompok HD (r = 0,443; p <0,05). Terdapat korelasi negatif yang bermakna antara e-GFR dengan skor skala gatal 5-D pada RTG (r = -0,424; p <0,05). Tidak terdapat korelasi yang bermakna secara statistik antara kadar kalsium dan fosfat dengan skor skala gatal 5-D pada kedua kelompok. Kesimpulan: Pasien HD lebih banyak mengalami pruritus derajat sedang-berat dibandingkan pada RTG. Pruritus pada kelompok HD berdampak ringan hingga sedang terhadap kualitas hidup sedangkan pada kelompok RTG pruritus berpengaruh ringan terhadap kualitas hidup. Pada pasien HD, semakin tinggi kadar hs-CRP maka semakin meningkat skor skala gatal 5-D. Pada pasien RTG, semakin menurun nilai e-GFR maka semakin meningkat skor skala gatal 5-D.

Background: Pruritus is one of the symptoms experienced by patients with chronic kidney disease (CKD). Most patients with chronic kidney disease-associated pruritus (CKD-aP) occur in dialysis patients and could also happen in kidney transplant (KT) recipients. Inappropriate management of pruritus could impact the quality of life (QoL). No studies have compared the severity of pruritus, QoL, and the correlation of various biochemical factors between hemodialysis (HD) and KT recipients in Indonesia. Objective: To compare the severity of pruritus, QoL, and the correlation of hs-CRP, calcium, phosphate, and e-GFR levels between HD and KT recipients. Methods: This is a cross-sectional analytic observational study. Medical history, physical examination, and laboratory examination were conducted on each subject. The 5-dimensional (5-D) itch scale was used to evaluate the severity of pruritus. Dermatology Life Quality Index (DLQI) was used to assess the QoL. Appropriate statistical analysis was conducted to prove the research hypothesis with a significance value of p <0.05. Results: Out of 30 subjects in each group, the proportion of moderate to severe pruritus was 76.7% in the HD group. In the KT group, 83.3% experienced mild pruritus (RR = 4.6; CI 95% = 2.02– 10.5; p <0.001). The median DLQI score in the HD group was 5 (3–6), while in the KT group was 3 (2–4) (p <0.001). There was a significant positive correlation between hs-CRP and the 5-D itch scale in the HD group (r = 0.443; p <0.05). The KT group had a significant negative correlation between e-GFR and the 5-D itch scale (r = -0.424; p <0.05). Both groups had no statistically significant correlation between calcium and phosphate levels and the 5-D itch scale. Conclusion: Moderate-to-severe pruritus was more common in HD patients than in KT recipients. Pruritus in HD patients had a mild to moderate effect on QoL, whereas pruritus in KT recipients had a mild impact on QoL. A higher level of hs-CRP in HD patients results in a higher 5-D itch scale. In KT recipients, the lower the e-GFR value, the higher the 5-D itch scale."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Boediono
"Dengan meningkatnya kasus kecelakaan lalu lintas, makin meningkat pula korban yang datang ke Instalasi Gawat Darurat.Bila a kita lihat laporan dari kepolisian yang menyebutkan jumlah kecelakaan lalu lintas dari bulan Januari 1985 sampai dengan Maret 1986 di daerah DKI Jakarta Raya sebesar 8.641 kasus yang menghasilkan korban sebesar 8.560 baik luka ringan, berat, ataupun korban meninggal, maka trauma tumpul ginjal yang merupakan bagian dari trauma tumpul secara keseluruhan akan cukup tinggi juga angkanya [2]. Sebagai gambaran j uml ah trauma tumpul ginjal di RSCM selama tahun 1984 dan 1985 sejumlah 42 kasus [13], tahun 1986 sejumlah 41 kasus, sedangkan tahun 1987 terdapat 52 kasus.
Untuk menegakkan diagnosis trauma tumpul ginjal selain di pert ukan pemeriksaan fisik yang cermat di perlukan juga pemeriksaan pembantu berupa laboratorium terutama sedimen urine dan pemeriksaan radiologi yang sangat penting artinya. PETERSON dan SCHULZE (1986) menyebutkan bahwa suatu yang mahal dan menunda waktu saja bila melakukan pemeriksaan radiologis secara menyeluruh pada kasus-kasus trauma dengan hematuria [II].
MAKSUD DAN TUJUAN, Maksud tulisan ini adalah meninjau beberapa kepustakaan tentang trauma tumpul ginjal, mengevaluasi gejala klinis hematuria baik secara mikro ataupun gross dengan tanda syok ataupun tidak yang mengikuti trauma tumpul ginjal di RSCM selama tahun 1987 dengan tujuan mencari hubungan antara kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan BNO-IVP dan derajat cedera ginjal yang terjadi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T860
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhli Mahri
"ABSTRACT
Transplantasi ginjal masih menjadi terapi pilihan pada penyakit gagal ginjal stadium akhir. Lama rawat inap (Length of Stay/LOS) adalah penanda alternatif dari morbiditas perioperatif pasien yang berkaitan dengan hasil pembedahan jangka panjang. Penilaian prabedah dapat digunakan untuk memaksimalkan kualitas pemulihan. Salah satu penilaian prabedah adalah Charlson Comorbidity Index (CCI) yang secara umum dinilai baik dalam memprediksi mortalitas, disabilitas, readmisi, dan LOS. CCI belum menjadi standar alat penilaian prabedah di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Penelitian dilakukan dengan metode kohort retrospektif menggunakan rekam medik resipien transplantasi ginjal antara Januari 2015-Desember 2017. Analisis bivariat dilakukan antara LOS dengan skor total CCI dan antara LOS dengan kondisi-kondisi komorbid dalam CCI. Variabel yang signifikan dimasukan ke dalam analisis multivariat. Berdasarkan hasil analisis bivariat dan multivariat, skor total CCI dan kondisi-kondisi komorbid dalam CCI tidak memengaruhi LOS secara signifikan. Kesimpulannya, sistem skor CCI tidak dapat digunakan dalam menentukan kejadian LOS berkepanjangan pascatransplantasi ginjal.

ABSTRACT
Kidney transplantation is still the treatment of choice in end-stage renal failure. Length of stay (LOS) is an alternative marker of the patient's perioperative morbidity associated with long-term surgical results. Preoperative assessment can be used to maximize the quality of recovery. One of the preoperative assessments is the Charlson Comorbidity Index (CCI) which is generally considered good in predicting mortality, disability, readmission, and LOS. CCI has not become a standard pre-assessment assessment tool at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. The study was conducted using a retrospective cohort method using a kidney transplant recipient medical record between January 2015-December 2017. Bivariate analysis was performed between LOS with a total CCI score and between LOS with comorbid conditions in CCI. Significant variables were included in the multivariate analysis. Based on the results of bivariate and multivariate analyzes, total CCI scores and comorbid conditions in CCI did not significantly affect LOS. In conclusion, the CCI scoring system cannot be used to determine the incidence of prolonged LOS after kidney transplantation."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Armelia
"Latar belakang: Transplantasi ginjal dapat memperbaiki fungsi endotel. Berbagai penelitian membuktikan bahwa peningkatan kadar eritropoietin (Epo) dapat mengaktifasi dan memobilisasi Endothelial Progenitor Cell (EPC) sehingga mampu memperbaiki fungsi endotel melalui proses angiogenesis dan neovaskularisasi. Membaiknya fungsi endotel akan menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit kardiovaskular pada penderita PGK.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan peningkatan kadar Epo dan jumlah EPC CD34+ serta CD133+ dengan perbaikan fungsi endotel pada penderita gagal ginjal 3 bulan setelah transplantasi ginjal.
Metode Penelitian: Potong lintang sebelum dengan 3 bulan setelah transplantasi ginjal pada penderita gagal ginjal yang menjalani transplantasi ginjal di RSCM. Jumlah subyek 21 orang yang dikumpulkan dalam kurun waktu Juli 2013 - Februari 2014. Pengambilan sampel darah untuk memeriksa kadar Epo, jumlah EPC CD34+ dan CD133+ dan kadar asimetrik dimetilarginin (ADMA) dilakukan sebelum dan 3 bulan setelah transplantasi ginjal. Analisis statistik dengan uji korelasi Pearson atau Spearman.
Hasil: Penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan kadar Epo tetapi tidak bermakna secara statistik (p>0.05), sedangkan jumlah EPC CD34+ dan CD133+ meningkat (p<0.05), serta kadar ADMA menurun yang bermakna secara statistik (p<0.05). Tiga bulan setelah transplantasi ada korelasi bermakna antara peningkatan kadar Epo dengan jumlah EPC CD34+ (r = 0.466 ; p < 0.05). Tidak ada hubungan peningkatan kadar Epo dan jumlah EPC CD34+ serta CD133+ dengan perbaikan fungsi endotel 3 bulan setelah transplantasi ginjal.
Kesimpulan: Tiga bulan setelah transplantasi ginjal didapatkan adanya peningkatan kadar Epo, jumlah EPC CD34+ dan CD133+ serta penurunan kadar ADMA. Tetapi tidak ada korelasi peningkatan kadar Epo dan jumlah EPC CD34+ serta CD133+ dengan perbaikan fungsi endotel dalam rentang 3 bulan setelah transplantasi ginjal.

Background: Kidney transplantation improved endothelial function. Various studies have shown that elevated level of erythropoietin (Epo) could activate and mobilize Endothelial Progenitor Cell (EPC), thus would improve endothelial function through the process of angiogenesis and neovascularization. The improvement of endothelial function will decrease morbidity and mortality from cardiovascular disease in patients with CKD.
Aim: To determine association between elevated level of Epo and the numbers of EPC CD34+ - CD133+ with the improvement of endothelial function in patients three months after kidney transplantation.
Methods: cross sectional study prior and 3 months after kidney transplantation in patients with renal failure who underwent kidney transplantation in RSCM. The study included 21 subjects who enrolled from July 2013 to February 2014. Blood samples prior and 3 months after kidney transplantation were collected to evaluate the level of Epo, numbers of EPC CD34+ and CD133+ and level of assymetric dimethylarginine (ADMA). Statistical analysis was performed using Pearson or Spearman correlation test.
Resulys: The results of the study showed that prior to kidney transplantation, level of Epo was increased but not statistically significant (p>0.05). The EPC numbers of CD34+ and CD133+ were significantly increased (p<0.05), whereas the ADMA level was significantly decreased (p<0.05). Three months after transplantation showed a significant association between elevated level of Epo and the numbers of EPC CD34+ (r = 0.466, p > 0.05). There was no association between the elevated level of Epo and the numbers of EPC CD34+ and CD133+ with the improvement of endothelial function three months after kidney transplantation.
Conclusion: Three months after kidney transplantation showed an elevated level of Epo, the numbers of EPC CD34+ and CD133+ and the decreased level of ADMA. However, there was no association between the elevated level of Epo and the numbers of EPC CD34+ and CD133+ with the improvement of endothelial function in patients 3 months after kidney transplantation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pontoh, Ega Wirayoda
"Latar Belakang: Sindrom koroner akut (SKA) dapat didefinisikan sebagai aliran darah yang tidak cukup ke miokardium dan salah satu penyakit kardiovaskular yang paling umum di Indonesia yang mempengaruhi 143.000 orang. Skor risiko TIMI adalah penilaian stratifikasi risiko yang dapat menentukan prognosis pasien dan memengaruhi opsi terapi. Tes fungsi ginjal dikaitkan dengan keparahan hipoksia dan faktor-faktor lain yang berkontribusi dalam SKA dan tidak termasuk dalam skor risiko TIMI. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara tes fungsi ginjal dan skor risiko TIMI pada pasien SKA. Metode: Penelitian ini menggunakan model analitik cross-sectional menggunakan pengumpulan data rekam medis yang meliputi serum kreatinin, serum ureum, dan skor risiko TIMI yang diperoleh dari Rumah Sakit Nasional Cipto Mangunkusumo. 117 sampel diperoleh yang kemudian dianalisis dengan uji chi-square.
Hasil: Uji fungsi ginjal terbukti secara signifikan terkait dengan Skor Risiko TIMI. Serum kreatinin dikaitkan dengan skor risiko TIMI (p = 0,0407) serta serum ureum juga dikaitkan dengan skor risiko TIMI (p = 0,036).
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara serum kreatinin dan serum ureum yang tinggi dengan tingginya skor risiko TIMI.

Background: Acute coronary syndrome (ACS) is defined as insufficient blood flow to the myocardium and one of the most common cardiovascular disease in Indonesia affecting 143.000 people. TIMI risk score is risk stratification assessment that can determine the prognosis of the patient and affect therapy options. Renal function test is associated with hypoxia severity and other contributing factors in ACS which is not included in TIMI risk score. This research aims to see the association of renal function test and TIMI risk score in ACS patients.
Method: The research uses analytical cross-sectional model using medical records data collection which encompasses serum creatinine, serum ureum, and TIMI risk score obtained from Cipto Mangunkusumo National Hospital. 117 samples are obtained which is then analysed using chi-square test.
Results: Renal function test proved to be significantly associated with TIMI Risk Score. Serum creatinine is associated with TIMI risk score (p=0,0407) as well as serum ureum is also associated with TIMI risk score (p=0,036).
Conclusion: There is an association between high serum creatinine and high serum ureum with TIMI risk score in ACS patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cynthia Afriany
"Latar Belakang: Laparoskopi merupakan prosedur yang menguntungkan pada operasi transplantasi ginjal . Namun teknik ini dapat menyebabkan perubahan pada sistem pernafasan. Pengaturan volume tidal merupakan salah satu strategi proteksi untuk mencegah komplikasi paru pascaoperatif. Penelitian ini berusaha membandingkan efek volume tidal 6 mL/kgbb dan 10 mL/kgbb terhadap distribusi ventilasi pada pasien donor transplantasi ginjal yang menjalani nefrektomi per laparoskopi menggunakan EIT.
Metoda: Uji klinis ini dilakukan di Instalasi Bedah Pusat RSUPN Cipto Mangunkusumo dan ruang operasi RSCM Kencana Jakarta terhadap 30 pasien donor transplantasi ginjal yang menjalani laparoskopi nefrektomi. Subjek dirandomisasi ke dalam 2 kelompok intervensi: ventilasi mekanik intraoperatif dengan volume tidal 6 mL/kgbb dan 10 mL/kgbb. Hipotesis penelitian adalah distribusi ventilasi volume tidal 6 mL/kg lebih baik dibandingkan 10 mL/kg. Parameter yang dinilai adalah ?TIV, ?EELI global dan regional dan ?CR diambil dari monitor EIT PulmoVista 500.
Hasil: Nilai ∆TIV paru dependen dan nondependen antara kedua kelompok berbeda bermakna secara statistik pada posisi supine pascadesuflasi (p =0,008), dimana volume tidal 6 mL/kgbb menunjukkan distribusi ventilasi tidak homogen. Nilai ∆EELI global dan regional volume tidal 10 mL/kg lebih tinggi dan bermakna secara statistik pada posisi lateral dekubitus sebelum insuflasi (p <0,005). Tidak ditemukan perbedaan bermakna nilai ∆CR (paru dependen dan nondependen).
Simpulan. Pemberian volume tidal 6 mL/kgbb tidak memberikan gambaran distribusi ventilasi yang lebih baik dibandingkan dengan volume tidal 10 mL/kgbb pada pasien donor ginjal yang menjalani operasi laparoskopi nefrektomi berdasarkan parameter EIT.

Background: Laparoscopy is a procedure that is profitable on a kidney transplant operation. However, this technique may cause changes in the respiratory system. Tidal volume setting is one of protection strategies for preventing pulmonary complications postoperative. This study attempted to compare the effects of tidal volume 6 mL kgbw and 10 mL kgbb kgbw against distribution of ventilation in kidney transplant donor patients who underwent laparoscopic nephrectomy using EIT.
Method: This randomized clinical trial conducted in the Surgical Center Installation RSUPN Cipto Mangunkusumo and operating room RSCM Kencana Jakarta against 30 kidney transplant donor patients who underwent laparoscopic nephrectomy. Subjects were randomized into two intervention groups mechanical ventilation with intraoperative tidal volume 6 mL kgbw and 10 mL kgbw. The hypothesis is distribution of ventilation tidal volume 6 mL kgbw is better than 10 mL kgbw. Parameter TIV, EELI global and regional and CR were taken from a monitor EIT PulmoVista 500.
Result: The value of TIV between dependent and nondependent parts of lung statistically significant difference on postdesuflation supine position p 0,008 , where the tidal volume of6 mL kgbw indicates distribution of ventilation is not homogenous. The value of EELI global and regional tidal volume 10 mL kg is higher and meaningful statistically on lateral decubitus before insuflation p 0,005 . There is no meaningful difference in CR value the dependent and nondependent parts of lung.
Conclusion: Tidal volume 6 mL kgbw does not give a better distribution of ventilation compared with 10 mL kgbw in kidney donor patient undergoing laparoscopic nephrectomy based on the parameters of the EIT.Keywords Distribution of ventilation, EIT, kidney donor, laparoscopic nephrectomy, intraoperative volume tidal.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>