Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142563 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Missy Savira
"ABSTRAK
<

Karsinoma hepatoseluler (KHS) merupakan karsinoma primer tersering pada sel hati. Sebagian besar KHS disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB) dan virus hepatitis C (VHC) yang memiliki patogenesis yang berbeda dalam menyebabkan KHS. Alfa-fetoprotein (AFP) sebagai penanda tumor pada KHS dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya status infeksi. Berbagai penelitian sudah dilakukan untuk mengetahui pengaruh pengaruh jenis virus penyebab KHS dengan kadar AFP namun hasilnya sangat beragam. Berdasarkan hal tersebut dan ditambah dengan belum adanya penelitian serupa yang menggunakan data pasien di Indonesia maka penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kadar AFP pada pasien KHS terkait infeksi VHB terhadap VHC. Penelitian ini dilakukan dengan desain studi potong lintang menggunakan 199 data AFP pasien KHS yang terdiri dari 129 kasus KHS terkait VHB dan 70 kasus KHS terkait VHC. Dari penelitian ini didapatkan sebanyak 97% dan 87.3% pasien KHS terkait VHC dan VHB mengalami peningkatan kadar AFP secara berurutan. Nilai median kadar AFP pada pasien KHS terkait VHB adalah 419 IU/mL sedangkan pada pasien KHS terkait VHC sebesar 400 IU/mL. Perbedaan nilai tersebut memiliki nilai p = 0.97 dalam uji Mann-Whitney U sehingga disimpulan tidak ada perbedaan bermakna pada rerata kadar AFP antara pasien KHS terkait VHB dibanding dengan VHC.


ABSTRACT

Hepatocellular carcinoma (HCC) is the most primary common carcinoma in liver cells. Most HCC are caused by the hepatitis B virus and hepatitis C that have different pathogenesis in causing carcinoma. Alpha-fetoprotein as tumor marker in HCC is influenced by various factors, one of which is infection status. Various studies have been carried out to determine the influence of the types of viruses causing HCC with AFP levels but the results are very diverse. Based on this and coupled with the absence of similar studies using patient data in Indonesia, this study aims to compare AFP levels in HCC patients related to HBV and HCV. Using cross-sectional design, this study included 199 data of AFP in patient with HCC comprises of 129 cases of HCC related to HBV and 70 cases of HCC related to HCV. From this study, it was found that 97% and 87.3% of HCC patients related to HCV and HBV experienced an increase in AFP levels consecutively. The median value of AFP levels in HBV-related HCC patients was 419 IU / mL while in HCV-related HCC patients was 400 IU / mL. The difference in value has a p value = 0.97 in the Mann-Whitney U test thus it is concluded that there is no significant difference in AFP levels between HBV-related HCC patients compared with HCV-related HCC.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kinanti Maulida Pravdani
"Karsinoma hepatoseluler (KHS) adalah salah satu kanker dengan laju mortalitas tertinggi di dunia. Kadar serum alfa-fetoprotein (AFP) dapat digunakan sebagai biomarker untuk menegakkan diagnosis dini. Tetapi, perbandingan antara kadar serum AFP dan KHS dengan etiologi infeksi virus dan etiologi non infeksi virus belum diketahui. Mengetahui perbandingan antara kadar serum AFP dan KHS dengan etiologi infeksi virus dan etiologi non infeksi virus. Penelitian potong lintang dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada Januari-Oktober 2018 dengan melihat data rekam medis dari 287 pasien yang terdiagnosis KHS dalam periode 2013-2017. Nilai median (minimum-maksimum) dari kadar AFP pada pasien KHS dengan etiologi infeksi VHB atau VHC adalah 419 (0.8-400.000). Nilai median (minimum-maksimum) kadar AFP pada pasien KHS dengan etiologi non infeksi VHB-VHC adalah 7.18 (0.6-90.944). Terdapat perbedaan bermakna antara kadar AFP dengan KHS dengan etiologi infeksi VHB atau VHC dan etiologi non infeksi VHB-VHC.

Hepatocellular carcinoma (HCC) is one of the highest rates of mortality in the world. Serum alpha-fetoprotein (AFP) levels can be used as a biomarker for early diagnosis. However, the comparison between serum AFP and HCC with viral infections etiology and non-viral etiology is unknown. This research aims to determine the comparison between serum AFP and HCC with viral infections etiology and non-viral aetiology. A cross-sectional study conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta in January to October 2018 by reviewing 287 medical records of patients diagnosed with HCC from 2013-2017 period of time. The median (minimum-maximum) value of AFP levels in HCC patients with the etiology of HBV or HCV infection is 419 (0.8-400,000). The median value (minimum-maximum) of AFP levels in HCC patients with the etiology of non HBV-HCV infection was 7.18 (0.6-90,944). There were significant differences between AFP levels and KHS with the etiology of HBV or HCV infections and the etiology of non HBV-HCV infections."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Turyadi
"Latar Belakang: Mutasi Al762T/GI764A basal core promoter (BCP) dan Gl896A precore pada genom virus hepatitis B (VHB) berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit hati, namun demikian peran mutasi-mutasi tersebut pada perjalanan infeksi hepatitis B kronis masih belum jelas. Olch karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi mutasi Al762T/Gl764A dan Gl896A serta hubungannya dengan fase-fase pada perjalanan infeksi hepatitis B kronis.
Metodologi: Seratus empat puluh pasien hepatitis B kronis yang dilibatkan dalam pcnelitian ini, belum mendapatkan pengobatan, dan dikelompokkan ke dalam fase immunotolerant (IT), immunoclearance (IC), non/Iow replicative (LR) dan hepatitis "c" negatif (ENH). DNA VHB diperiksa dan diul-cur kadarnya dengan teknik polymerase chain reaction, kemudian disekuensing untuk dianalisis.
Hasil: Usia subjek lebih tua pada kelompok ENH dan LR dibandingkan dengan fase lain (p<0.05). Kadar DNA paling tinggi pada fase IC dan paling rendah pada fase LR (p<0.00l), sementara pria mempunyai risiko lebih besar terjadi reaktivasi dengan HBeAg negatif (p<0.05). Mutasi Al 762T/GI764A tidak berbeda bermakna pada semua fase (p=0.56) dan lebih tinggi pada genotipe C dan subtipe adr (p<0.05). Mutasi Gl896A paling tinggi pada Pass LR (p<0.05), dan tidak berbeda bcrmakna pada genotipe dan subtipe VHB. Tidak ada hubungan antara kadar DNA V1-IB dengan mutasi di prccore dan BCP.
Kesimpulan: Prevalensi mutasi Gl896A berbeda pada fase hepatitis B kronis di Indonesia, ditemukan lebih sering pada usia lebih tua dan fase lanjut. Mutasi A1762T/Gl764A berkorelasi dengan genotipe dan subtipe VHB, sebaliknya tidak berhubungan dengan fase infeksi. Studi ini mengindikasikan bahwa mutasi BCP tidak berhubungan dcngan serokonversi HBeAg pada perjalanan infeksi hepatitis B kronis.

Background: Precore Gl896A and basal core promoter (BCP) A1762T/G1764A mutations of hepatitis B virus (HBV) genome have been correlated with severe liver diseases; however, their role in the pathogenesis of chronic hepatitis B (CHB) remains unclear. We assessed the prevalence and association of these mutations in different phases of CHB in Indonesian patients.
Methods: One-hundred and forty CHB patients, not undergoing antiviral therapy, were classified into immune-tolerance (IT), immune-clearance (IC), nonllow- replicative (LR), and hepatitis B e antigen (HBeAg)-negative hepatitis (ENH) phases. HBV DNA was detected and quantified by polymerase chain reaction then analyzed by sequencing.
Results: ENH and LR patients were older than IC or IT patients (p <0.05). HBV DNA levels were highest in IC patients and lowest in LR (p<0.0001). The A1896 pre-core mutants were most prevalent in LR (p<0.00l) and higher in ENH (p<0.00I) than in IT and IC patients, while the Al762T/Gl764A BCP mutants were comparable between all phases. The Al762T/Gl764A BCP mutants were more frequently identified in genotype C than in genotype B (p <0.05), and in subtype adr than in subtypes adw and ayw (p <0.05). The Tl858 mutants were detected in almost all HBV isolates regardless the genotypes (B and C). N0 associations were observed between HBV DNA levels and precore as well as BCP mutations.
Conclusions: The prevalence of precore A1896 mutation differed in phases of CHB in Indonesian patients with preponderance in older ages and later stages. BCP AI762T/Gl764A mutations were associated with HBV genotypes and subtypes, itrespective of infection phases. These findings indicate that BCP mutations could be independent of HBeAg seroconversion in the natural history of chronic HBV infection.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
T32312
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ulfa Ivonie
"ABSTRAK
Hepatitis B adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis B. Salah satu faktor yang berpengaruh dalam pembentukan virus hepatitis B adalah core protein Cp . Sehingga Cp dapat digunakan sebagai salah satu target pengobatan hepatitis B. Pada penelitian ini dilakukan penapisan virtual senyawa dari basis data tanaman herbal Indonesia sebagai core protein allosteric modulator CpAM menggunakan peranti lunak AutoDock dan AutoDock Vina. Metode divalidasi dengan menggunakan parameter Enrichment Factor EF , Receiver Operating Characteristics ROC , dan Area Under Curve AUC . Pada penapisan menggunakan AutoDock digunakan grid box ukuran 55x55x55 dengan nilai EF10 0.7652 dan AUC 0.6709 sementara grid box ukuran 20.625x20.625x20.625 untuk penapisan menggunakan AutoDock Vina dengan nilai EF5 0.5075 dan AUC 0.7832. Sepuluh senyawa terbaik hasil penapisan virtual menggunakan AutoDock memiliki rentang DG: -11.74 -10.31 kkal/mol adalah yuehchukene, lansionic acid, stigmast-4-en-3-one, myrtillin, sanggenol O, lanosterol, erycristagallin, alpha-spinasterol, cyanidin 3-arabinoside, dan cathasterone. Sepuluh senyawa terbaik hasil penapisan virtual menggunakan AutoDock Vina memiliki rentang DG: -12.1 -10.7 kkal/mol adalah sanggenol O, cucumerin A, yuehchukene, palmarumycin CP1, dehydrocycloguanandin, myrtilin, liriodenine, myricetin 3-alpha-L-Arabinopyranoside, myricetin 3-galactoside, dan cassameridine.

ABSTRACT
Hepatitis B is a disease caused by hepatitis B virus. One of the main factor in virus assembly is core protein Cp . Therefore Cp is suitable to use as one of therapeutic target for hepatitis B. In this study virtual screening of Indonesia herbal database as CpAM of hepatitis B virus was performed using AutoDock and AutoDock Vina software. The methode was validated by Enrichment Factor EF , Receiver Operating Characteristics ROC , and Area Under Curve AUC parameters. The grid box size used in virtual screening with AutoDock is 55x55x55 with EF10 0.7652 and AUC 0.6709 meanwhile grid box size that will be use in virtual screening using AutoDock Vina is 20.625x20.625x20.625 with EF5 0.5075 and AUC 0.7832. The best top ten compounds from virtual screening with AutoDock has DG levels 11.74 10.31 kkal mol theare yuehchukene, lansionic acid, stigmast 4 en 3 one, myrtillin, sanggenol O, lanosterol, erycristagallin, alpha spinasterol, cyanidin 3 arabinoside, dan cathasterone. The best top ten compounds from virtual screening with AutoDock Vina has DG levels 12.1 10.7 kkal mol adalah sanggenol O, cucumerin A, yuehchukene, palmarumycin CP1, dehydrocycloguanandin, myrtilin, liriodenine, myricetin 3 alpha L Arabinopyranoside, myricetin 3 galactoside, dan cassameridine"
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Sulaiman
[Place of publication not identified]: Infomedika, 1990
616.3 ALI v
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Siburian, Marlinang Diarta
"[ABSTRAK
Studi cross sectional pada pasien hepatitis B di Indonesia menunjukkan korelasi mutasi kodon start pre-S2 dengan keparahan penyakit hati. Peran protein-protein HBs pada aktivasi NF-ĸB sebagai salah satu faktor dalam induksi keparahan penyakit hati. Studi ini dilakukan untuk melihat efek varian mutan HBs virus hepatitis B subgenotipe B3 sebagai strain endemik di Indonesia pada keparahan penyakit hati dilihat dari ekspresi dan aktivasi NF-ĸB. Gen HBs dari tiga pasien yang membawa tiga varian HBs berbeda diamplifikasi dan diklon dengan plasmid pcDNA3.1, ditransfeksikan dengan metode lipofektamin ke dalam sel Huh7. Nilai ekspresi mRNA dianalisis dengan real-time PCR terhadap mRNA HBs, IĸB-α, dan NF-ĸB (p50). Ekspresi IĸB-α yang diregulasi oleh NF-ĸB digunakan sebagai parameter untuk aktivasi NF-ĸB. Diperoleh plasmid ekspresi HBs dengan mutasi kodon start pre-S2, delesi pre-S2 dan wild type VHB subgenotipe B3. Plasmid rekombinan pcDNA HBs dapat mengekspresikan mRNA HBs dan menurun pada 48 hingga 72 jam. Kecuali pada mutan delesi pre-S2 yang stabil hingga 72 jam. Ekspresi protein HBs berdasar ELISA menunjukkan nilai relatif konstan pada HBs wild type, sedangkan pada HBs mutan kodon start dan delesi meningkat pada 72 jam. Aktivasi NF-ĸB relatif lebih tinggi oleh tipe wild type dibanding mutan kodon start pre-S2 dan delesi pre-S2, sehingga variasi mutasi tidak memberikan pengaruh pada aktivasi NF-ĸB, meski varian mutan delesi pre-S2 menunjukkan peningkatan aktivasi NF-ĸB setelah waktu kultur yang lebih lama dibanding HBs wild type dan mutan kodon start pre-S2. Ekspresi NF-ĸB (p50) dipengaruhi oleh variasi mutasi, ekspresi p50 lebih tinggi pada mutan kodon start pre-S2 dibanding varian HBs lainnya. Keparahan penyakit hati oleh mutasi kodon start pre-S2 dapat terkait dengan peningkatan ekspresi p50.

ABSTRACT
Cross sectional study on hepatitis B patients in Indonesia showed association of pre-S2 start codon mutation with severity liver disease. Role of HBs proteins on the activation of NF-ĸB as one of the factor in liver disease progression. This study was to see the effects of different HBs mutant variants of Hepatitis B Virus (HBV) subgenotype B3 as the endemic strain in Indonesia on the expression and activation of NF-ĸB. HBs genes of three hepatitis B patients were amplified and cloned to pcDNA3.1, and were transfected using lipofectamine into Huh7 cell line. Expressions on mRNA level for HBs, IĸB-α and NF-ĸB (p50) were evaluated using real-time PCR. IĸB-α expression which is regulated by NF-ĸB was used as parameter to measure NF-ĸB activation. Recombinant plasmid for HBs expression with pre-S2 start codon mutation, pre-S2 deletion and wild type of HBV subgenotipe B3 were obtained. All three clones showed high level of mRNA expression which decreased after 48 to 72 hours, except for pre-S2 deletion which was relatively stabil up to72 hours. HBs protein expression detected using ELISA was constant for HBs wild type whilst increased at 72 hours for pre-S2 start codon mutation and pre-S2 deletion. NF-ĸB activation was higher for HBs wild type compared to the two mutant variants, suggesting no effect of mutation to increment of NF-ĸB activation, however pre-S2 deletion mutant showed higher NF-ĸB activation after longer period of incubation. NF-ĸB (p50) expression was higher for pre-S2 start codon mutation, suggesting liver disease progression by pre-S2 start codon mutation might associated to increased expression of p50.;Cross sectional study on hepatitis B patients in Indonesia showed association of pre-S2 start codon mutation with severity liver disease. Role of HBs proteins on the activation of NF-ĸB as one of the factor in liver disease progression. This study was to see the effects of different HBs mutant variants of Hepatitis B Virus (HBV) subgenotype B3 as the endemic strain in Indonesia on the expression and activation of NF-ĸB. HBs genes of three hepatitis B patients were amplified and cloned to pcDNA3.1, and were transfected using lipofectamine into Huh7 cell line. Expressions on mRNA level for HBs, IĸB-α and NF-ĸB (p50) were evaluated using real-time PCR. IĸB-α expression which is regulated by NF-ĸB was used as parameter to measure NF-ĸB activation. Recombinant plasmid for HBs expression with pre-S2 start codon mutation, pre-S2 deletion and wild type of HBV subgenotipe B3 were obtained. All three clones showed high level of mRNA expression which decreased after 48 to 72 hours, except for pre-S2 deletion which was relatively stabil up to72 hours. HBs protein expression detected using ELISA was constant for HBs wild type whilst increased at 72 hours for pre-S2 start codon mutation and pre-S2 deletion. NF-ĸB activation was higher for HBs wild type compared to the two mutant variants, suggesting no effect of mutation to increment of NF-ĸB activation, however pre-S2 deletion mutant showed higher NF-ĸB activation after longer period of incubation. NF-ĸB (p50) expression was higher for pre-S2 start codon mutation, suggesting liver disease progression by pre-S2 start codon mutation might associated to increased expression of p50.;Cross sectional study on hepatitis B patients in Indonesia showed association of pre-S2 start codon mutation with severity liver disease. Role of HBs proteins on the activation of NF-ĸB as one of the factor in liver disease progression. This study was to see the effects of different HBs mutant variants of Hepatitis B Virus (HBV) subgenotype B3 as the endemic strain in Indonesia on the expression and activation of NF-ĸB. HBs genes of three hepatitis B patients were amplified and cloned to pcDNA3.1, and were transfected using lipofectamine into Huh7 cell line. Expressions on mRNA level for HBs, IĸB-α and NF-ĸB (p50) were evaluated using real-time PCR. IĸB-α expression which is regulated by NF-ĸB was used as parameter to measure NF-ĸB activation. Recombinant plasmid for HBs expression with pre-S2 start codon mutation, pre-S2 deletion and wild type of HBV subgenotipe B3 were obtained. All three clones showed high level of mRNA expression which decreased after 48 to 72 hours, except for pre-S2 deletion which was relatively stabil up to72 hours. HBs protein expression detected using ELISA was constant for HBs wild type whilst increased at 72 hours for pre-S2 start codon mutation and pre-S2 deletion. NF-ĸB activation was higher for HBs wild type compared to the two mutant variants, suggesting no effect of mutation to increment of NF-ĸB activation, however pre-S2 deletion mutant showed higher NF-ĸB activation after longer period of incubation. NF-ĸB (p50) expression was higher for pre-S2 start codon mutation, suggesting liver disease progression by pre-S2 start codon mutation might associated to increased expression of p50., Cross sectional study on hepatitis B patients in Indonesia showed association of pre-S2 start codon mutation with severity liver disease. Role of HBs proteins on the activation of NF-ĸB as one of the factor in liver disease progression. This study was to see the effects of different HBs mutant variants of Hepatitis B Virus (HBV) subgenotype B3 as the endemic strain in Indonesia on the expression and activation of NF-ĸB. HBs genes of three hepatitis B patients were amplified and cloned to pcDNA3.1, and were transfected using lipofectamine into Huh7 cell line. Expressions on mRNA level for HBs, IĸB-α and NF-ĸB (p50) were evaluated using real-time PCR. IĸB-α expression which is regulated by NF-ĸB was used as parameter to measure NF-ĸB activation. Recombinant plasmid for HBs expression with pre-S2 start codon mutation, pre-S2 deletion and wild type of HBV subgenotipe B3 were obtained. All three clones showed high level of mRNA expression which decreased after 48 to 72 hours, except for pre-S2 deletion which was relatively stabil up to72 hours. HBs protein expression detected using ELISA was constant for HBs wild type whilst increased at 72 hours for pre-S2 start codon mutation and pre-S2 deletion. NF-ĸB activation was higher for HBs wild type compared to the two mutant variants, suggesting no effect of mutation to increment of NF-ĸB activation, however pre-S2 deletion mutant showed higher NF-ĸB activation after longer period of incubation. NF-ĸB (p50) expression was higher for pre-S2 start codon mutation, suggesting liver disease progression by pre-S2 start codon mutation might associated to increased expression of p50.]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erick Sidarta
"ABSTRAK
Infeksi oleh virus hepatitis B (VHB) dapat menjadi infeksi akut yang berakhir dengan resolusi infeksi ataupun berlanjut menjadi infeksi kronis. Resolusi infeksi dalam infeksi VHB ditandai dengan hilangnya hepatitis B surface antigen (HBsAg) dan keberadaan antibodi terhadap HBsAg (anti-HBs). Kemampuan sel B dalam mensintesis anti-HBs dipengaruhi oleh sel T helper 1 (Th1) ataupun T helper 2 (Th2). Sekresi sitokin yang terkoordinasi dari Th1 ataupun Th2 sangat dibutuhkan mengingat sitokin yang dihasilkan oleh kedua sel T helper (Th) tersebut memiliki peranan yang berbeda dan dapat bekerja secara antagonis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan pasien hepatitis B kronis dalam mensintesis anti-HBs dan membandingkan pola sintesis sitokin IL-10, IFN-gamma dan IL-2 dari pasien hepatitis B kronis dengan pasien yang mengalami resolusi infeksi. Pada penelitian ini sel mononuklear darah tepi manusia (SMDT) diambil dari 10 subjek pasien hepatitis B kronis, 10 subjek pasien yang mengalami resolusi infeksi dari hepatitis B dan 10 subjek individu sehat yang berhasil divaksinasi. SMDT dikultur dengan stimulan HBsAg rekombinan (rHBsAg) atau fitohemaglutinin (PHA) untuk sintesis sitokin dan pokeweed mitogen (PWM) untuk sintesis anti-HBs secara in vitro. Hasil dari penelitian ini ditemukan produksi anti-HBs secara in vitro dari 70% individu sehat yang berhasil divaksinasi dan 40% pasien hepatitis B yang mengalami resolusi infeksi, sementara pada pasien hepatitis B kronis tidak ditemukan hal tersebut. Pola sitokin IL-10, IFN-gamma dan IL-2 antara pasien hepatitis B yang mengalami resolusi infeksi dan pasien hepatitis B kronis tidak memiliki perbedaan yang bermakna. Akan tetapi, respons IFN-gamma terhadap rHBsAg pada pasien hepatitis B yang mengalami resolusi infeksi cenderung lebih kuat. Korelasi antara sitokin IL-10, IFN-gamma dan IL-2 dengan produksi anti-HBs secara in vitro tidak ditemukan pada kedua kelompok tersebut, sementara korelasi IL-2 dengan sintesis anti-HBs in vitro ditemukan pada individu yang divaksinasi. Penelitian ini menunjukkan SMDT dari pasien hepatitis B kronis tidak dapat mensintesis anti-HBs secara in vitro dan pada pasien tersebut tidak memiliki perbedaan pola sintesis sitokin IL-10, IFN-gamma dan IL-2 jika dibandingkan dengan pasien hepatitis B yang mengalami resolusi infeksi.

ABSTRACT
Hepatitis B virus (HBV) infection can lead to acute self-limited infection or lead to chronic hepatitis B infection. Resolution of infection is marked by seroconversion of hepatitis B surface antigen (HBsAg) to antibody to HBsAg (anti-HBs) which also give protection to HBV reinfection. Anti-HBs is produced by B cells as response to HBsAg. B cells response to HBsAg is affected by cytokines from T helper 1 (Th1) and T helper 2 (Th2) cells. Coordinated cytokines secreted by Th1 or Th2 cells is necessary due to the fact that they could work antagonistically. Th1 cytokines, such as IFN-gamma, are known to induce cellular immune responses, while Th2 cytokines, such as IL-4, -5 and -10, are known to induce humoral immune responses. This study aimed to investigate the capability of chronic hepatitis B patients (CHB) to synthesize anti-HBs in vitro and to compare IL-10, IFN-gamma and IL-2 levels between CHB patientis with resolved hepatitis B (RHB) patients. In this study, peripheral blood mononuclear cells (PBMCs) were taken from 10 CHB patients, 10 RHB patients and 10 healthy hepatitis B vaccinated individuals. PBMCs were cultured in presence of recombinant HBsAg (rHBsAg) and PHA to cytokines synthesis and pokeweed mitogen (PWM) to anti-HBs synthesis in vitro. As results, synthesis of anti-HBs in vitro were found in PBMCs from 70% of healthy hepatitis B vaccinated individuals and 40% of RHB patients, while PBMCs from CHB patients could not. No significant differences were found in IL-10, IFN-gamma and IL-2 cytokine levels between CHB patients and RHB patients, although IFN-gamma responses to rHBsAg had a tendency to be stronger in RHB patients. Correlation between IL-10, IFN-gamma and IL-2 cytokine levels and anti-HBs synthesis in vitro was not found in CHB patients and RHB patients. Meanwhile, IL-2 and anti-HBs synthesis in vitro were correlated in healthy hepatitis B vaccinated individuals. In conclusion, this study showed that PBMCs from CHB patients were not capable in synthesizing anti-HBs in vitro and had no differences in IL-10, IFN-gamma and IL-2 cytokine levels with RHB patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58665
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neni Nurainy
"ABSTRAK
Virus Hepatitis B (VHB) adalah virus DNA yang berukuran 42 nm, yang termasuk ke dalam kelompok virus Hepadna (Hepadnaviridae). VHB menyebabkan infeksi hepatitis akut, kronis dan fulminan, serta sirosis sampai dengan kanker hati. VHB terbagi dalam empat serotipe (subtipe) hepatitis B surface antigen (HBsAg) utama, yaitu adw, adn ayw, ayn dan seiring dengan berkembangnya ilmu biologi molekul, delapan genotipe, A,B,C,D,E,F,G dan H. Sekitar 350 juta orang di 'dunia Saat ini terinfeksi hepatitis B dan hampir 75% diantaranya terdapat di Asia. Berdasarkan prevalensi HBsAg, menurut WHO, Indonesia termasuk dalam daerah endemik sedang sampai tinggi.
Pengetahuan tentang genotipe VHB sangat penting. Dari segi klinik, telah banyak bukti yang menunjukkan adanya hubungan antara genotipe VHB dengan manifestasi klinik penyakit hati dan respon terhaclap terapi antivirus. Berdasarkan epidemiologi, diketahui bahwa penyebaran virus hepatitis B di dunia berbeda secara geograiis. Sebagai negara kepuiauan, Indonesia memiliki populasi sangat beragam Iebih dari 475 kelompok etnik. Keragaman populasi ini sangat terkait dengan Iatar belakang genetik manusia dan pola migrasi purba, dan diduga mempengaruhi epidemiologi molekul VHB yang tergambarkan dalam distribusi genotipe dan subtipe VHB di Indonesia. Sampai saat ini Iaporan tentang genotipe VHB di Indonesia masih sangat terbatas.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mencan bukti bahwa polimorfisme Sekuens Pre-S2 dapat digunakan untuk penentuan genotipe VHB dan subgenotipenya, mempelajari hubungan antara genotipe dan serotipe VHB, menentukan pola distribusi genotipe VHB di Indonesia dan kaitan genotipe VHB derlgan migrasi populasi manusia, Serta mengembangkan prinsip metode praktis penentuan genotipe berdasarkan polimorlisme di daerah Pre-S2. Peneiitian ini dilakukan pada 11 populasi Indonesia, terdiri dari 8 populasi sehat yaitu populasi Batak-Karo, Dayak Benuaq (mewakili Indonesia bagian barat); populasi Makassar, Mandar, Toraja dan Kajang (mewakili populasi Indonesia Timur - Sulawesi); populasi Alor dan Sumba (mewakili populasi Nusa Tenggara Timur), dan 3 kelompok pasien hepatitis B dari Sumatera, Jawa dan Cina Indonesia. Pendekatan metodologi yang digunakan bersifat eksploratif-cross sectional.
1. Bukti bahwa daerah Pre-S2 dapat digunakan dalam penentuan genotipe VHB: identifikasi subgenotipe yang terkait dengan populasi manusia. DNA VHB diisolasi dari serum HBsAg positif, dan fragmen DNA daerah Pre-S2 serta daerah pembanding Iainnya diamplifikasi dengan metoda PCR. Penentuan genotipe dilakukan dengan membandingkan hasil perunutan sekuens daerah Pre-S2 dengan sekuens daerah S, total genom, gen P, X, core dan Pre-S1. Penentuan genotipe VHB dengan menggunakan sekuens Pre-S2 sama baiknya dengan berdasarkan daerah S; semua sampel terdistribusi sama pada genotipe B dan C. Genotipe B adalah genotipe utama yang ditemukan (43/56 sampel; 76.B%), diikuti genotipe C dengan 13/56 sampel (23,2%). Variasi sekuens yang tinggi di daerah Pre-S2 memungkinkan pengenalan tiga subgenotipe VHB/B: Bc pada populasi Cina Indonesia, Bwi pada populasi Indonesia bagian barat dan Bei pada populasi Nusa Tenggara Timur. Variasi sekuens ini juga membagi VHB/C menjadi dua kelompok yaitu subgenotipe C1 dan C2. Dibuktikan bahwa subgenotipe Bc identik dengan subgenotipe B Asia non Japan (Ba) yang ditemukan pada populasi Cina di daratan Asia, menunjukkan bahwa genetik VHB dipertahankan pada populasi Cina Indonesia sampai Iebih dari tiga generasi Subgenotipe VHB/B yang ada di Indonesia membawa segmen kecil dari genotipe C di daerah precore dan core hasil proses rekombinasi, seperti halnya dengan genotipe Ba. Perbedaannya terletak pada tambahan titik rekombinasi dan Single Nucleotide Polimorphism (SNP) di daerah precore dan core tersebut. Adanya subgenotipe di atas diverifikasi dengan sekuens total genom VHB. Berbagai SNP di daerah Pre-S2 memberikan pola yang khas untuk masing-masing subgenotipe VHB sehingga dapat dijadikan situs diagnostik untuk penentuan genotipe dan subgenotipe.
2. Hubungan antara serotipe dan genotipe VHB: studi pada genotipe VHB di Asia Tenggara. Pada total 110 sampel VHB yang berasal dari beberapa kelompok populasi: Sumatra (n=12), Cina Indonesia (n=29), Jawa (n=23), Sulawesi (n=19), Alor (n=13) and Sumba (n=14), ditemukan serotipe adw, adr, ayw dan ayr. Pola distribusi serotipe yang ditemukan adalah adw dominan di Indonesia bagian barat seperti daerah Sumatra dan Jawa, ayw serotipe dominan di Nusa Tenggara Timur, dan serotipe campuran (adw, ayw dan add ditemukan di daerah Sulawesi Serotipe ayr merupakan serotipe yang paling jarang ditemukan. Uji statistik Chi-square, menunjukkan seoara bermakna hubungan antara serotipe HBsAg dan genotipelsubgenotipe VHB. Serotipe adw berkaitan dengan subgenotipe Bwi dan Bc, serotipe ayw1 dengan genotipe Bei, serotipe adr dan ayr dengan genotipe C, sedangkan serotipe ayw2 berkaitan dengan genotipe D. Terdapat anomali hubungan antara serotipe dan genotype pada beberapa sampel, yaitu serotipe adr dengan genotipe B (adr-B) dan serotipe adw dengan genotipe C (adw-C). Mekanisme molekul yang mendasarinya telah diselidiki, dan ternyata adalah: (a) isolat adr-B, adanya mixed infection VHB/B (adw) dan VHB/C (adr). Hasil kioning menunjukkan VHBIB (adw) Iebih banyak dari VHB/C (adr), akan tetapi ternyata secara serologi adr Iebih dominan dari adw, sesuai dengan sifat antigenesitas r yang tinggi dibanding w atau adanya mutasi di daerah determinan a pada posisi Iain yang mempengaruhi ekspresi vm (b) isoiat adw-C, adanya recunent mutation pada posisi asam amino ke 160 yang merubah determinan r menjadi w, dan adanya mutasi baru P127T dan C139W. Berdasarkan hasil penelitian ini, diusulkan bahwa data serotipe di Indonesia yang telah dipublikasi olen peneliti-peneliti sebelumnya dapat dikonversi menjadi data genotipe VHB dengan tingkat kesalahan ?I,8% untuk genotipe C yang berserotipe adw, dan 5,4% untuk genotipe B dengan serotipe adr.
3. Epidemiologi molekul VHB di Indonesia: genotipe sebagai marka migrasi populasi. Frekuensi HBsAg di Indonesia ben/ariasi diantara delapan kelompok etnik yang dipelajari, yaitu pada populasi Batak Karo (6,7%), Dayak Benuaq (13.2 %), Makassar (4,2 %), Mandar (5,5%), Toraja (4,2%), Kajang (72%), Alor (10,7%), dan Sumba (7,4%). Dari 138 sampel didapatkan bahwa genotipe B merupakan genotipe utama di Indonesia (73,9%), diikuti genotipe C (24.6%) dan kemudian genotipe D (1,5%). Penemuan ini sesuai dengan hasil konversi serotipe-genotipe yang dilakukan terhadap data serotipe Indonesia yang telan dipublikasikan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Data genotipe VHB 11 populasi Indonesia hasil penelitian ini dan genotipe VHB pada 27 kota hasil konversi serotipe-genotipe telah disusun menjadi petal distribusi genotipe VHB di Indonesia. Distribusi genotipe VHB menunjukkan adanya hubungan dengan pola migrasi purba populasi manusia ke kepulauan Nusantara. G-enotipe C tampaknya datang bersama migrasi manusia modern (Homo sapiens) pertama dari daratan Asia sekitar 40.000 - 60.000 tahun sebelum sekarang (years before presence;YBP). Kemudian gelombang migrasi besar manusia ke dua ke kepulauan Nusantara, tediri dari populasi berbahasa Austronesia (4,000 - 6.000 YBP), diusulkan membawa genotipe B. Sesuai dengan pola migrasi ini, genotipe B dominan di hampir semua wilayah Indonesia dengan populasi penutur bahasa-bahasa Austronesia, dan hanya menyisakan dominasi genotipe C di daerah Papua dan daerah berpopulasi Austromelanosid lain di sekitarnya. Disimpulkan bahwa genotipe B merupakan marka populasi Austronesia.
4. Pengembangan prinsip metoda praktis penentuan genotipe VHB berdasarkan polimorlisme di daerah Pre-S2. Dalam penelitian ini terbukti bahwa penentuan genotipe VHB berdasarkan daerah Pre-S2 dapat dilakukan dan paling sedikit sama baiknya dengan cara berdasarkan daerah S yang sekarang umum dipakai. Metoda penentuan genotipe berdasar daerah Pre-S2 dengan direct sequencing ideal untuk penelitian, tetapi pada saat ini tidak praktis untuk pemeriksaan Iaboratorium kIinik. Pengembangan metoda PCR-RFLP berdasarkan polimorfisme di daerah Pre-S2 akan memungkinkan penentuan genotipe dan subgenotipe secara Iebih praktis. Untuk itu, telah dilakukan analisis 110 sekuens Pre-S2 VHB hasil penelitian ini dan 84 sekuens dari GenBank, untuk menentukan situs pemotongan enzim restriksi endonuldease yang tepat rancang PCR-RFLP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Genotipe C dan D dapat dibedakan dari genotipe B dengan menggunakan enzim Aval, genotipe C dan D dibedakan dengan enzim Bmrl, dan genotipe B dan C-adw dengan enzim Banll. Subgenotipe Bc dibedakan dari Bwi dan Bei dengan enzim Apal. Pembedaan subgenotipe Bwi dan Bei dilakukan dengan menggunakan primer dengan modifikasi satu nukleotida untuk membuat situs enzim restriksi Btsl. Metoda praktis PCR-RFLP untuk membedakan genotipe dan subgenotipe khas Indonesia dapat dikembangkan."
2005
D617
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neni Nurainy
"ABSTRAK
Virus Hepatitis B (VHB) adalah virus DNA yang berukuran 42 nm, yang termasuk ke dalam kelompok virus Hepadna (Hepadnaviridae). VHB menyebabkan infeksi hepatitis akut, kronis dan fulminan, serta sirosis sampai dengan kanker hati. VHB terbagi dalam empat serotipe (subtipe) hepatitis B surface antigen (HBsAg) utama, yaitu adw, adn ayw, ayn dan seiring dengan berkembangnya ilmu biologi molekul, delapan genotipe, A,B,C,D,E,F,G dan H. Sekitar 350 juta orang di 'dunia Saat ini terinfeksi hepatitis B dan hampir 75% diantaranya terdapat di Asia. Berdasarkan prevalensi HBsAg, menurut WHO, Indonesia termasuk dalam daerah endemik sedang sampai tinggi.
Pengetahuan tentang genotipe VHB sangat penting. Dari segi klinik, telah banyak bukti yang menunjukkan adanya hubungan antara genotipe VHB dengan manifestasi klinik penyakit hati dan respon terhaclap terapi antivirus. Berdasarkan epidemiologi, diketahui bahwa penyebaran virus hepatitis B di dunia berbeda secara geograiis. Sebagai negara kepuiauan, Indonesia memiliki populasi sangat beragam Iebih dari 475 kelompok etnik. Keragaman populasi ini sangat terkait dengan Iatar belakang genetik manusia dan pola migrasi purba, dan diduga mempengaruhi epidemiologi molekul VHB yang tergambarkan dalam distribusi genotipe dan subtipe VHB di Indonesia. Sampai saat ini Iaporan tentang genotipe VHB di Indonesia masih sangat terbatas.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mencan bukti bahwa polimorfisme Sekuens Pre-S2 dapat digunakan untuk penentuan genotipe VHB dan subgenotipenya, mempelajari hubungan antara genotipe dan serotipe VHB, menentukan pola distribusi genotipe VHB di Indonesia dan kaitan genotipe VHB derlgan migrasi populasi manusia, Serta mengembangkan prinsip metode praktis penentuan genotipe berdasarkan polimorlisme di daerah Pre-S2. Peneiitian ini dilakukan pada 11 populasi Indonesia, terdiri dari 8 populasi sehat yaitu populasi Batak-Karo, Dayak Benuaq (mewakili Indonesia bagian barat); populasi Makassar, Mandar, Toraja dan Kajang (mewakili populasi Indonesia Timur - Sulawesi); populasi Alor dan Sumba (mewakili populasi Nusa Tenggara Timur), dan 3 kelompok pasien hepatitis B dari Sumatera, Jawa dan Cina Indonesia. Pendekatan metodologi yang digunakan bersifat eksploratif-cross sectional.
1. Bukti bahwa daerah Pre-S2 dapat digunakan dalam penentuan genotipe VHB: identifikasi subgenotipe yang terkait dengan populasi manusia. DNA VHB diisolasi dari serum HBsAg positif, dan fragmen DNA daerah Pre-S2 serta daerah pembanding Iainnya diamplifikasi dengan metoda PCR. Penentuan genotipe dilakukan dengan membandingkan hasil perunutan sekuens daerah Pre-S2 dengan sekuens daerah S, total genom, gen P, X, core dan Pre-S1. Penentuan genotipe VHB dengan menggunakan sekuens Pre-S2 sama baiknya dengan berdasarkan daerah S; semua sampel terdistribusi sama pada genotipe B dan C. Genotipe B adalah genotipe utama yang ditemukan (43/56 sampel; 76.B%), diikuti genotipe C dengan 13/56 sampel (23,2%). Variasi sekuens yang tinggi di daerah Pre-S2 memungkinkan pengenalan tiga subgenotipe VHB/B: Bc pada populasi Cina Indonesia, Bwi pada populasi Indonesia bagian barat dan Bei pada populasi Nusa Tenggara Timur. Variasi sekuens ini juga membagi VHB/C menjadi dua kelompok yaitu subgenotipe C1 dan C2. Dibuktikan bahwa subgenotipe Bc identik dengan subgenotipe B Asia non Japan (Ba) yang ditemukan pada populasi Cina di daratan Asia, menunjukkan bahwa genetik VHB dipertahankan pada populasi Cina Indonesia sampai Iebih dari tiga generasi Subgenotipe VHB/B yang ada di Indonesia membawa segmen kecil dari genotipe C di daerah precore dan core hasil proses rekombinasi, seperti halnya dengan genotipe Ba. Perbedaannya terletak pada tambahan titik rekombinasi dan Single Nucleotide Polimorphism (SNP) di daerah precore dan core tersebut. Adanya subgenotipe di atas diverifikasi dengan sekuens total genom VHB. Berbagai SNP di daerah Pre-S2 memberikan pola yang khas untuk masing-masing subgenotipe VHB sehingga dapat dijadikan situs diagnostik untuk penentuan genotipe dan subgenotipe.
2. Hubungan antara serotipe dan genotipe VHB: studi pada genotipe VHB di Asia Tenggara. Pada total 110 sampel VHB yang berasal dari beberapa kelompok populasi: Sumatra (n=12), Cina Indonesia (n=29), Jawa (n=23), Sulawesi (n=19), Alor (n=13) and Sumba (n=14), ditemukan serotipe adw, adr, ayw dan ayr. Pola distribusi serotipe yang ditemukan adalah adw dominan di Indonesia bagian barat seperti daerah Sumatra dan Jawa, ayw serotipe dominan di Nusa Tenggara Timur, dan serotipe campuran (adw, ayw dan add ditemukan di daerah Sulawesi Serotipe ayr merupakan serotipe yang paling jarang ditemukan. Uji statistik Chi-square, menunjukkan seoara bermakna hubungan antara serotipe HBsAg dan genotipelsubgenotipe VHB. Serotipe adw berkaitan dengan subgenotipe Bwi dan Bc, serotipe ayw1 dengan genotipe Bei, serotipe adr dan ayr dengan genotipe C, sedangkan serotipe ayw2 berkaitan dengan genotipe D. Terdapat anomali hubungan antara serotipe dan genotype pada beberapa sampel, yaitu serotipe adr dengan genotipe B (adr-B) dan serotipe adw dengan genotipe C (adw-C). Mekanisme molekul yang mendasarinya telah diselidiki, dan ternyata adalah: (a) isolat adr-B, adanya mixed infection VHB/B (adw) dan VHB/C (adr). Hasil kioning menunjukkan VHBIB (adw) Iebih banyak dari VHB/C (adr), akan tetapi ternyata secara serologi adr Iebih dominan dari adw, sesuai dengan sifat antigenesitas r yang tinggi dibanding w atau adanya mutasi di daerah determinan a pada posisi Iain yang mempengaruhi ekspresi vm (b) isoiat adw-C, adanya recunent mutation pada posisi asam amino ke 160 yang merubah determinan r menjadi w, dan adanya mutasi baru P127T dan C139W. Berdasarkan hasil penelitian ini, diusulkan bahwa data serotipe di Indonesia yang telah dipublikasi olen peneliti-peneliti sebelumnya dapat dikonversi menjadi data genotipe VHB dengan tingkat kesalahan ?I,8% untuk genotipe C yang berserotipe adw, dan 5,4% untuk genotipe B dengan serotipe adr.
3. Epidemiologi molekul VHB di Indonesia: genotipe sebagai marka migrasi populasi. Frekuensi HBsAg di Indonesia ben/ariasi diantara delapan kelompok etnik yang dipelajari, yaitu pada populasi Batak Karo (6,7%), Dayak Benuaq (13.2 %), Makassar (4,2 %), Mandar (5,5%), Toraja (4,2%), Kajang (72%), Alor (10,7%), dan Sumba (7,4%). Dari 138 sampel didapatkan bahwa genotipe B merupakan genotipe utama di Indonesia (73,9%), diikuti genotipe C (24.6%) dan kemudian genotipe D (1,5%). Penemuan ini sesuai dengan hasil konversi serotipe-genotipe yang dilakukan terhadap data serotipe Indonesia yang telan dipublikasikan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Data genotipe VHB 11 populasi Indonesia hasil penelitian ini dan genotipe VHB pada 27 kota hasil konversi serotipe-genotipe telah disusun menjadi petal distribusi genotipe VHB di Indonesia. Distribusi genotipe VHB menunjukkan adanya hubungan dengan pola migrasi purba populasi manusia ke kepulauan Nusantara. G-enotipe C tampaknya datang bersama migrasi manusia modern (Homo sapiens) pertama dari daratan Asia sekitar 40.000 - 60.000 tahun sebelum sekarang (years before presence;YBP). Kemudian gelombang migrasi besar manusia ke dua ke kepulauan Nusantara, tediri dari populasi berbahasa Austronesia (4,000 - 6.000 YBP), diusulkan membawa genotipe B. Sesuai dengan pola migrasi ini, genotipe B dominan di hampir semua wilayah Indonesia dengan populasi penutur bahasa-bahasa Austronesia, dan hanya menyisakan dominasi genotipe C di daerah Papua dan daerah berpopulasi Austromelanosid lain di sekitarnya. Disimpulkan bahwa genotipe B merupakan marka populasi Austronesia.
4. Pengembangan prinsip metoda praktis penentuan genotipe VHB berdasarkan polimorlisme di daerah Pre-S2. Dalam penelitian ini terbukti bahwa penentuan genotipe VHB berdasarkan daerah Pre-S2 dapat dilakukan dan paling sedikit sama baiknya dengan cara berdasarkan daerah S yang sekarang umum dipakai. Metoda penentuan genotipe berdasar daerah Pre-S2 dengan direct sequencing ideal untuk penelitian, tetapi pada saat ini tidak praktis untuk pemeriksaan Iaboratorium kIinik. Pengembangan metoda PCR-RFLP berdasarkan polimorfisme di daerah Pre-S2 akan memungkinkan penentuan genotipe dan subgenotipe secara Iebih praktis. Untuk itu, telah dilakukan analisis 110 sekuens Pre-S2 VHB hasil penelitian ini dan 84 sekuens dari GenBank, untuk menentukan situs pemotongan enzim restriksi endonuldease yang tepat rancang PCR-RFLP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Genotipe C dan D dapat dibedakan dari genotipe B dengan menggunakan enzim Aval, genotipe C dan D dibedakan dengan enzim Bmrl, dan genotipe B dan C-adw dengan enzim Banll. Subgenotipe Bc dibedakan dari Bwi dan Bei dengan enzim Apal. Pembedaan subgenotipe Bwi dan Bei dilakukan dengan menggunakan primer dengan modifikasi satu nukleotida untuk membuat situs enzim restriksi Btsl. Metoda praktis PCR-RFLP untuk membedakan genotipe dan subgenotipe khas Indonesia dapat dikembangkan."
2005
D755
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>