Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 131070 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jeremia Immanuel Siregar
"ABSTRAK Latar Belakang: Skor kualitas hidup yang rendah pada pasien hemodialisis (HD) dikatakan berhubungan dengan peningkatan risiko mortalitas. Namun, belum ada penelitian yang melaporkan hubungan langsung antara laju aliran darah (Qb) dan skor kualitas hidup pada pasien HD dua kali seminggu.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara laju aliran darah (Qb) dengan skor kualitas hidup pada pasien-pasien yang menjalani hemodialisis kronik dua kali seminggu.
Metode: Penelitian potong-lintang ini dilakukan di Unit Hemodialisis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Pasien dengan gangguan fungsi luhur, chronic heart failure NYHA (New York Heart Association) kelas III-IV, buta, imobilisasi ketergantungan berat serta menolak ikut penelitian tidak diikutsertakan dalam penelitian. Pasien kemudian dibagi menjadi grup 1 (Qb > 250 ml/menit) dan grup 2 (Qb ≤ 250 ml/menit). Skor kualitas hidup dinilai menggunakan kuesioner KDQOL-SFTM, yang dibagi dalam skor fisik (PCS), mental (MCS) dan masalah terkait penyakit ginjal (KDCS). Hubungan antara Qb dan skor kualitas hidup dianalisis menggunakan metode chi-square serta regresi logistik untuk mendapatkan nilai rasio prevalensi (RP) yang adjusted.
Hasil: Sebanyak 132 pasien dimasukkan kedalam analisis penelitian. Nilai Qb digrup 1 memiliki hubungan dengan skor PCS ≥ 44 (RP 1,86; IK 95% 1,15-2,99), serta skor KDCS ≥ 52 (RP 1,41; IK 95% 1,03-1,92). Setelah analisis multivariat, nilai Qb digrup 1 masih berhubungann dengan skor PCS ≥ 44 (RP adjusted 1,87; IK 95% 1,15-2,51) dan skor KDCS ≥ 52 (RP adjusted 1,31; IK 95% 1,004-1,50).
Simpulan: Nilai Qb > 250 ml/menit memiliki hubungan yang signifikan dalam kualitas hidup fisik dan masalah terkait penyakit ginjal yang lebih baik pada pasien hemodialisis 2 kali seminggu.

ABSTRACT
Background. A low quality of life (QoL) score in hemodialysis (HD) patients was related to increased risk of mortality. However, there was no study reported the direct relationship between BFR and QoL in twice-weekly HD patients.
Objectives. To determine the relationship between blood flow rate and quality of life in twice-weekly hemodialysis patients.
Methods. This cross-sectional study was conducted at the Hemodialysis Unit in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Patients with neurocognitive impairment, chronic heart failure NYHA (New York Heart Association) class III-IV, blindness, immobilization with severe dependence and refused to participate were excluded in the study. Patients were divided into group 1 (BFR > 250 ml/min) dan group 2 (BFR ≤ 250 ml/min). The QoL was assessed using KDQOL-SFTM questionnaire, which was divided in physical (PCS), mental (MCS) and kidney disease-related (KDCS) scores. Relationship between BFR and QoL scores were analyzed using chi-square and logistic regression methods in order to determine adjusted Prevalence Ratio (PR).
Results. A total of 132 patients were included in the analysis. The BFR in group 1 was associated with PCS scores ≥ 44 (PR 1.86; 95% CI 1.15-2.99), as well as KDCS scores ≥ 52 (PR 1.41; 95% CI 1.03-1.92). After multivariate analysis, BFR values ​​of patients in group 1 were still associated with PCS scores ≥ 44 (adjusted PR 1.87; 95% CI 1.15-2.51) and KDCS scores ≥ 52 (adjusted PR 1.31; 95% CI 1.004-1.50).
Conclusion. The BFR values > 250 ml/min had a significant relationship for better physical and kidney disease-related quality of life in twice-weekly HD patients.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Ferry Tigor P.
"Pendahuluan: Penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien PGK (penyakit ginjal kronik) yang menjalani HD(hemodialisis) kronik adalah penyakit kardiovaskuler. Faktor utama penyebab kejadian kardiovaskuler pada pasien PGK yang menjalani HD adalah hipertensi. Diagnosis hipertensi pada pasien PGK yang menjalani HD tidaklah mudah. Hal ini dikarenakan adanya efek retensi cairan, office hypertension, dan proses ultrafiltrasi setelah HD. Baku emas diagnosis hipertensi pada pasien HD adalah pemeriksaan tekanan darah interdialitik dengan menggunakan alat ABPM (ambulatory blood pressure monitoring). Namun alat ini memiliki banyak kendala dalam pemeriksaannya. Studisebelumnyayang meneliti tekanan darah pre dan post dialisis dibandingkan dengan tekanan darah ABPM memberikan hasil yang masih kontroversial.
Tujuan: Mengetahuikorelasi dan nilai diagnostik rerata tekanan darah pre dan post hemodialisis dengan baku emas tekanan darah interdialisis yang diukur dengan metode ABPM.
Metode: Dilakukanstudidiagnostik dan uji korelasi dengan desain penelitian potong lintangpadatiga puluh lima pasien dewasa dengan penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis kronik. Pasien yang memenuhi kriteria penelitian dilakukan pengukuran ABPM selama 24 jam dan tekanan darah saat pre dan post dialisis.
Hasil: Uji korelasi Pearson menunjukkan korelasi rerata TD sistolik pre-post dialisis dan sistolik ABPM sebesar r = 0,669 dan p = 0,000 dengan AUC sebesar 84,4 % (95% IK, 71,5 % - 97,3%) dengan p = 0,001 serta nilai sensitivitas 82,14%, spesifisitas 71.43%, nilai duga positif 92%, dan nilai duga negatif 50%. Uji korelasi Pearson mendapatkan korelasi antara rerata TD diastolik pre-post dialisis dan diastolik ABPM sebesar r = 0,359 dan p = 0,034 dengan AUC sebesar 67,6 % (95% IK, 49,3 % - 86,0%) dengan p = 0,075 serta nilai sensitivitas 82,14%, spesifisitas 85,71%, nilai duga positif 95,83%, dan nilai duga negatif 54,55%.
Simpulan: Rerata tekanan darah sistolik pre-post hemodialisis dapat digunakan untuk diagnosis hipertensi pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis kronik.

Background: Cardiovascular disease is the leading cause ofmorbidity and mortality in hemodialysis patients. Hypertension is the single most important factor for the development of cardiovascular complications. Diagnosing hypertension in hemodyalisis patients is not easy, because of fluid retention effect, office hypertension, and ultrafiltration after hemodyalisis session. Gold standard for diagnosing hypertension in hemodialysis patient is interdialytic blood pressure measurment with ABPM. Nevetheless this method have many difficulties to perform. Previous research which studied correlation between pre and post dialysis blood pressure and ABPM showed controversial result.
Objective: To determine the correlation and diagnostic value of mean pre-post hemodialysis blood pressurewith ABPM metohd as gold standard.
Method: A diagnostic study with cross sectional design was conducted in thirty five adult patients with chronic hemodialysis. Patients whofulfilled inclusion criteria were recruited for measuring their blood pressure using 24 hours ABPM and also pre - post dialysis BP.
Result: Pearson's correlation test showed that the correlation between pre-post hemodyalisis mean systolic blood pressure and ABPM systolic was 0.669 with p = 0.000 and AUC of 84.4 % (95%CI, 71.5 % - 97.3%) with p = 0.001, and also sensitivity 82.14%, spesificity 71.43%, positive predicitive value 92%, and negatif predictive value 50%. Pearson's correlation test also showed correlation between pre-post hemodyalisis mean blood pressure diastolic was 0.359 with p = 0.034 and AUC of 67.6 % (95%CI, 49.3 % - 86.0%) with p = 0.075 and also sensitivity 82.14%, spesificity 85.71%, positive predictive value 95.83%, and negative predictive value 54.55%.
Conclusion: Systolic mean pre-post hemodyalisis blood pressurecan be used to diagnose hypertension in chronic hemodialysis patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T35630
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Epi Rustiawati
"Adekuasi hemodialisis tercapai dengan terpenuhinya dosis sesuai kebutuhan pasien untuk mendukung pasien mampu hidup secara optimal. Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan dosis dengan adekuasi pada pasien yang menjalani hemodialisis di RSUD Serang Banten.
Penelitian ini menggunakan desain deskriptif korelasi melibatkan 46 pasien hemodialisis dengan tehnik purposive sampling. Variabel penelitian ini meliputi durasi HD, quick of blood, dan adekuasi dengan perhitungan rumus Kt/V.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara durasi HD dengan adekuasi hemodialisis. Rerata adekuasi hemodialisis pasien 1,6. Seluruh pasien menjalani hemodialisis dengan frekuensi 2 kali per minggu dengan durasi HD 4-5 jam, quick of blood 200-265 ml/mt.
Hasil pemodelan menunjukan durasi HD berkontribusi paling besar terhadap adekuasi setelah dikontrol oleh jenis kelamin, ukuran tubuh, lama menjalani terapi, akses vaskuler, dan dialiser pengunaan ulang. Perawat perlu memperhatikan pengaturan durasi HD untuk mencapai adekuasi hemodialisis yang optimal.

The adequacy of hemodialysis can be achieved by meeting the needs of hemodialysis patients given, in order that the patients able to life optimally. The purpose of this research was to identify the correlation between dose with adequacy on patients undergoing hemodialysis at RSUD Serang Banten.
Description correlation involved 46 patients hemodialysis with technical purposive sampling. This study observed the duration of hemodialysis, quick of blood, and adequacy with Kt/V formula.
There was significant corelation between the duration of hemodialysis and adequacy. The average of hemodialysis adequacy patients 1,6, twice per week by 4 - 5 hours, quick of blood 200-265 ml/mt.
The modelling result that duration of hemodialysis the most contributed to the adequacy after being controlled by sex, body size, vintage of hemodialysis therapy, vascular access, and dialyzer reuse. The nurses need to pay attention to the duration to achieve optimal adequacy hemodialysis.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
T35282
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rasmiati
"Pasien yang menjalani hemodialisis akan mengalami beban gejala (syndrome burden) yang salah satunya adalah kesulitan tidur. Kondisi ini tentunya akan berpengaruh terhadap kualitas tidur pasien. Kejadian kualitas tidur yang buruk lebih tinggi ditemukan pada pasien yang menjalani hemodialisis dibandingkan dengan populasi umum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh relaksasi Benson terhadap peningkatan kualitas tidur pasien hemodialisis. Penelitian ini merupakan quasi eksperimen pre dan post test desain with control group, yang melibatkan 44 orang responden. Selama 4 minggu kelompok intervensi mendapatkan intervensi relaksasi Benson dan pada kelompok kontrol mendapatkan intervensi standar. Kualitas tidur dinilai sebelum dan setelah pemberian intervensi menggunakan instrumen Pittsburgh Sleep Quality Indeks. Hasil pengukuran diperoleh nilai median skor kualitas tidur pada kelompok intervensi setelah pemberian relaksasi Benson adalah 4, sedangkan pada kelompok kontrol setelah pemberian intervensi standar adalah 10. Hal ini berarti terdapat pengaruh pemberian relaksasi Benson terhadap skor global kualitas tidur pada kelompok intervensi dibandingkan dengan skor global kualitas tidur pada kelompok kontrol (p value 0,000, α= 0,05). Dengan demikian, relaksasi Benson secara klinis dan statistik memberikan pengaruh terhadap peningkatan kualitas tidur pasien. Relaksasi Benson diharapkan dapat menjadi salah satu pilihan terapi komplementer keperawatan dalam meningkatkan kualitas tidur pasien yang menjalani hemodialisis rutin.

Burden of symptoms will be experienced by patients undergoing hemodialysis, which one of them is difficulty of sleeping. This condition affect on the quality of the patient's sleep. The incidence of poor quality of sleep among hemodialysis patients are higher than general population. This study aims to determine the effect of Benson's relaxation on improving the quality of sleep of HD patients. This study was a quasi-experimental pre-test and post-test design with control group, which involved 44 respondents. The intervention was conducted for 4 weeks, where the intervention group received Benson's relaxation and the control group received standard intervention. Sleep quality assessed before and after providing the intervention using the Pittsburgh Sleep Quality Index instrument. The measurement results obtained that the median score of sleep quality in the intervention group after giving Benson relaxation was 4, while in the control group was 10. This means that there is an effect of giving Benson relaxation on the global score of sleep quality in the intervention group compared to the global score of sleep quality in the control group (p value of 0.000, α= 0,05). It can be concluded that Benson's relaxation has clinically and statistically effect on increasing the patient's sleep quality. Expectedly, Benson's relaxation can be used as a complementary nursing therapy to overcome problems related to sleep quality in patients undergoing hemodialysis."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Imelda
"Pendahuluan. Berbagai panduan menganjurkan hemodialisis HD tiga kali seminggu. Di Indonesia pasien dengan hemodialisis dua kali seminggu lebih banyak ditemukan. Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui gambaran klinis dan kualitas hidup pada pasien yang menjalani hemodialisis dua kali seminggu dibandingkan tiga kali seminggu.
Metode. Merupakan studi potong lintang pada pasien yang menjalani HD dua dan tiga kali seminggu di RS Cipto Mangunkusumo dan beberapa RS swasta. Dilakukan pemeriksaan laboratorium dan penilaian kualitas hidup dengan menggunakan Kidney Disease Quality of Life KDQOL-SF 36.
Hasil. Didapatkan 80 subjek dengan kelompok usia >50 tahun lebih banyak ditemukan. Secara bermakna lebih tinggi pada kelompok HD dua kali yaitu Interdialytic Weight Gain IDWG 4,91 SB 1,52 dan 3,82 SB 1,28 p=0,002. albumin 4,05 SB 0,26 dan 3,86 SB 0,48 p=0,027, saturasi transferin 25,5 12,0-274,0 dan 21,95 5,8-84,2 p=0,004, kadar fosfat 5,82 SB 1,68 dan 5,82 SB 1,68 p=0,026. Kadar TIBC 235,20 SB 55,72 dan 273,73 SB 58,29 p=0,004 pada kelompok tiga kali HD secara bermakna lebih tinggi. Pada kelompok HD dua kali seminggu 68 mencapai Kt/V>1,8, 93,3 yang HD tiga kali seminggu mencapai Kt/V>1,2. Kualitas hidup antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna baik pada Physical Componet Score PCS p=0,227, Mental Component Score MCS p=0,247 dan Kidney Disease Component Score KDCS p=0,889.
Simpulan. Didapatkan secara bermakna lebih tinggi pada kelompok HD dua kali seminggu pada pemeriksaan IDWG, albumin, saturasi transferin, fosfat, sedangkan TIBC lebih tinggi pada kelompok HD tiga kali seminggu. Kualitas hidup kedua kelompok tidak berbeda bermakna.

Introduction. Many guidelines recommend hemodialysis HD three times a week. In Indonesia there are more patients undergoing hemodialysis twice a week. It is necessary to investigate the clinical features and the quality of life in patients undergoing hemodialysis twice a week.
Method. A cross sectional study in patients undergoing HD two and three times weekly at Cipto Mangunkusumo Hospital and some private hospitals. Laboratory examination and assessment of quality of life by using Kidney Disease Quality of Life KDQOL SF 36.
Results. There were 80 subjects with age group 50 years is more common. Significantly higher in group HD twice a week were Interdialytic Weight Gain IDWG 4.91 SB 1.52 and 3.82 SB 1.28 p 0.002. 4,05 albumin SB 0.26 and 3.86 SB 0.48 p 0.027, transferrin saturation 25.5 12.0 to 274.0 and 21.95 5.8 to 84.2 p 0.004, the phosphate level 5.82 SB 1.68 and 5.82 SB 1.68 p 0.026. The TIBC level 235.20 55.72 SB and 273.73 58.29 SB p 0.004 was significantly higher in group HD thrice a week. In twice a week HD group 68 reached Kt V 1.8, 93.3 of HD thrice a week achieved Kt V 1.2. Quality of life between the two groups was not significant either on Physical Componet Score PCS p 0.227, Mental Component Score MCS p 0.247 and Kidney Disease Component Score KDCS p 0.889.
Conclusion. There were significantly higher in group HD twice a week on examination IDWG, albumin, transferrin saturation and phosphate levels, whereas the TIBC was higher in group HD three times a week. Quality of life of the two groups was not significant difference.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elizabeth Yasmine Wardoyo
"Pendahuluan: Kekakuan arteri merupakan prediktor mortalitas pasien hemodialisis. Hemodialisis merupakan proses yang menginduksi inflamasi, ditandai dengan peningkatan penanda inflamasi, Pentraxin 3 (PTX3), intradialisis. Rerata kekakuan arteri pada pasien HD dua kali seminggu di Indonesia menunjukkan hasil yang lebih rendah daripada literatur.
Tujuan: Mengetahui faktor risiko kekakuan arteri pada pasien hemodialisis kronik dengan berfokus pada frekuensi hemodialisis dan PTX3.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang di RS Cipto Mangunkusumo, RS Fatmawati, dan RS Medistra pada pasien yang menjalani hemodialisis minimal 1 tahun dengan frekuensi dua dan tiga kali seminggu. Kekakuan arteri diukur dengan carotid-femoral pulse wave velocity. Pemeriksaan PTX3 dilakukan sebelum hemodialisis dimulai.
Hasil: Penelitian dilakukan pada 122 subjek, 82 subjek diantaranya menjalani hemodialisis dua kali seminggu. Tidak ada perbedaan kekakuan arteri antara pasien HD 2x dan 3x seminggu. PTX3 > 2,3 ng/ml berhubungan dengan kekakuan arteri (p=0,021). Pada analisis multivariat, PTX3 berhubungan dengan kekakuan arteri (adjusted OR 5,18; IK 95% 1,07-24,91), demikian juga penyakit kardiovaskular (adjusted OR 3.67; IK 95% 1.40-10.55), kolesterol LDL (adjusted OR 3.10; IK 95% 1.04-9.24), dan dialysis vintage (adjusted OR 2.72; IK 95% 1.001-7.38).
Simpulan: PTX >2,3 ng/ml berhubungan dengan kekakuan arteri. Tidak terdapat perbedaan kekakuan arteri antara pasien HD dua kali dan tiga kali seminggu.

Introduction: Arterial stiffness is a mortality predictor in hemodialysis patients. Hemodialysis induces inflammation, marked by intradialysis increment of inflammatory marker, Pentraxin 3 (PTX3). The mean arterial stiffness in twice-weekly hemodialysis patients in Indonesia is lower than studies done in thrice-weekly patients.
Objective: To determine factors associated with arterial stiffness in hemodialysis patients, focusing on the role of hemodialysis frequency and PTX3.
Methods: This study is a cross-sectional study conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital, Fatmawati Hospital, and Medistra Hospital Jakarta in twice- and thrice-weekly hemodialysis patients. Arterial stiffness is measured by carotid-femoral pulse wave velocity.
Results: The study is conducted in 122 subjects, 82 of them undergo twice-weekly hemodialysis. There is no difference in arterial stiffness between twice- and thrice-weekly subjects. PTX3>2.3 ng/ml is associated with arterial stiffness (p= 0.021). In multivariate analysis, PTX3 is associated with arterial stiffness (adjusted OR 5.18; 95% CI 1.07-24.91), as well as cardiovascular disease (adjusted OR 3.67; 95% CI 1.40-10.55), LDL cholesterol (adjusted OR 3.10; 95% CI 1.04-9.24), and dialysis vintage (adjusted OR 2.72; 95%CI 1.001-7.38).
Conclusions: Predialysis PTX3 level above 2.3 ng/ml is associated with arterial stiffness. There is no difference in arterial stiffness between twice- and thrice-weekly hemodialysis patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Donnie Lumban Gaol
"

Latar Belakang: Salah satu faktor utama yang terlibat dalam gangguan mineral tulang dan muskuloskeletal pada pasien penyakit ginjal kronik (PGK) adalah Fibroblast Growth Factor-23 (FGF-23). Peningkatan kadar FGF-23 terjadi pada awal PGK dan semakin meningkat pada PGK tahap akhir terutama yang menjalani dialisis. FGF-23 mendapat perhatian khusus karena perannya terhadap otot skeletal pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis belum diketahui secara pasti. 

Tujuan: Mengetahui korelasi antara kekuatan genggam tangan(KGT) dengan kadar FGF-23 pada pasien yang menjalani hemodialisis kronis.

Metode: Penelitianinimerupakanstudipotong lintang. Penelitian ini dilaksanakan di unit Hemodialisis Divisi Ginjal-Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM Jakarta, pada 74 pasien dialisis 2 kali seminggu. Pengukuran FGF dengan pemeriksaan intactFibroblast Growth Factor-23 (iFGF-23) dan menilai KGT dengan dinamometer hidraulik tangan merek Jamar. Pemilihansubjekdilakukansecaraconsecutivesamplingsampaijumlah subyekyangdiperlukanterpenuhi.

Hasil: Subjek pada penelitian ini sebanyak 74 subjek dengan kadar pemeriksaan iFGF-23 pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan, (3276 [ min-maks; 41-6613]pg/ml dan1585 pg/ml, [min-maks; 21-4820])dan nilai KGT pasien laki-laki adalah 25 kg (min-maks; 11-48) dan perempuan adalah 20 kg (min-maks; 8-26). Setelah dilakukan penyesuaian dengan indeks komorbid charlson modifikasidan indeks massa tubuh, maka tidak didapatkan korelasi antara FGF-23 dengan KGT pada subjek laki-laki (r=-0.053, p=0.7) akan tetapi terdapat korelasi negatif bermakna pada subjek perempuan (r=-0.4, p=0.02). 

Kesimpulan: Kadar iFGF-23 memiliki korelasi negatif bermakna dengan KGT pada perempuan dan hal tersebut tidak ditemukan pada subjek penelitian laki-laki.


Background: Patients with chronic kidney disease (CKD) face with muscle atrophy, low muscle strength, and low physical activity. One of the main factors involved in bone mineral and skeletal muscle dysfunction in patients with chronic kidney disease (CKD) is Fibroblast Growth Factor-23 (FGF-23). Despite FGF-23 associated left ventricular hypertrophy, there are no prior studies assessing whether FGF-23 level is associated with skeletal muscle strength in hemodialysis patient. 

Objective: To determine the correlation between hand-grip strength (HGS) and FGF-23 levels in patients undergoing twice-weekly hemodialysis patients.

Patient and Method: This is a cross-sectional study, which was conducted on 74 twice-weekly hemodialysis patient at the Hemodialysis Unit at Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Before dialysis session, intact Fibroblast Growth Factor-23 (iFGF-23) were measured in singlicate from plasma samples and han-grip strength that measured by Jamar hydraulic hand dynamometer. Subject selection was done by consecutive sampling until the required number of subjects was fulfilled. 

Results: There were 74 subjects recruited in this study, which included 7 (18.9%) male and 3 (8.1%) female subject had body mass index (BMI) < 18.5 kg/m2. Level of iFGF23 were significantly higher in males than in females (3276 pg/ml [ min-max, 41-6613] and 1585 pg/ml, [min-max 21-4820], respectively). According to the Asian Working Group for Sarcopenia, the HGS value of male patients was lower than in females (25 kg [min-max; 11-48], (20 kg [min-max; 8-26], respectively). After adjusting to Modified Charlson Comorbidity index (mCCI) and BMI, we found a significant correlation iFGF-23 and HGS in the female subject (r = -0.4, p = 0.02 and no correlation between iFGF-23 and HGS in male subject (r = -0,053, p = 0.7). 

 

Conclusion: In twice-weekly hemodialysis patients, iFGF-23 has a significant correlation with HGS in women and this was not found in male subject.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vidhia Umami
"ABSTRAK
Latar Belakang. Mortalitas pasien yang menjalani hemodialisis (HD) paling tinggi pada tiga
bulan pertama. Data mengenai insidens dan prediktor mortalitas dini pada pasien HD sangat
terbatas. Suatu model prediksi dapat menjadi alat bantu yang sederhana untuk mengetahui
pasien yang berisiko tinggi sehingga pada akhirnya upaya pencegahan dapat dilakukan.
Tujuan. Mengetahui insidens dan prediktor mortalitas 3 bulan pada pasien hemodialisis baru
dan membuat suatu model prediksi.
Metode. Penelitian dengan disain kohort retrospektif terhadap 246 pasien PGTA yang baru
menjalani HD di Unit HD RSCM antara Januari 2011-Januari 2012. Dilakukan analisis chisquare
untuk mendapatkan nilai OR (Odds Ratio) terhadap variabel usia, pembiayaan, jenis
HD, akses pembuluh darah, anemia, hipoalbuminemia, kelainan EKG, kardiomegali,
komorbid, waktu rujukan ke nefrologis, dan kepatuhan. Prediktor yang bermakna kemudian
dimasukkan pada model regresi logistik untuk mendapatkan sistem skor.
Hasil dan Pembahasan. Sebanyak 78 (31,7%) dari 246 pasien meninggal dalam 3 bulan
pertama. Terdapat 5 variabel yang berhubungan dengan terjadinya mortalitas 3 bulan yaitu
usia > 60 tahun, hemoglobin <8 g/dl, albumin serum <3,5 g/dl, kelainan EKG, dan akses
femoral. Skor prediksi untuk prediktor usia, hemoglobin, albumin serum, kelainan EKG, dan
akses pembuluh darah berturut-turut sebesar 1, 3, 1, 3, 1. Jumlah skor kemudian
dikategorikan menjadi risiko rendah (skor 0-3), sedang (skor 4-6), dan tinggi (skor 7-9). Tiap
kelompok memiliki prediksi mortalitas 3 bulan berturut-turut sebesar 1,23%, 26,69%, dan
86,04%.
Kesimpulan. Insidens mortalitas 3 bulan pada pasien HD baru sebesar 31,7%. Usia > 60
tahun, hemoglobin <8 g/dl, albumin serum <3,5 g/dl, kelainan EKG, dan akses femoral
merupakan prediktor yang bermakna terhadap terjadinya mortalitas dalam 3 bulan pertama
HD.

ABSTRACT
Background. Mortality risk among hemodialysis (HD) patients was known to be highest in
the first three months of dialysis. There were only limited data about the incidence and
predictors to this early death. A prediction model could be a simple tool to know high risk
patients to early death then the prevention efforts, as a final point, can be done.
Aims. To determine the incidence and predictors for 3-month mortality among incident
hemodialysis patients and develop a prediction scoring system.
Methods. A retrospective cohort study to 246 patients with End-Stage Renal Disease (ESRD)
starting hemodialysis in Hemodialysis Unit of Cipto Mangunkusumo Hospital between
January 2011 and January 2012. The chi-square analysis was used to estimate Odds Ratio
(OR) of age, payment, type of dialysis, femoral access, haemoglobin level, serum albumin
level, abnormality of ECG, cardiomegaly by chest x-ray, comorbidity risk, time of referal to
nephrologist, and adherence. Prediction score model was made for statistically significant
factors in logistic regression analysis.
Results. Seventy-eight of 246 patients (31,7%) die within the first three months of
hemodialysis. There were 5 variables correlated to 3-month mortality included age >60 years,
hemoglobin <8 g/dl, serum albumin <3,5 g/dl. The prediction score for those factors were 1,
3, 1, 3, and 1, respectively. The total score then categorized the risk into low- (score 0-3),
medium- (score 4-6), and high- (score 7-9) risk. The prediction of 3-months mortality for
each group were 1,23%, 26,69%, and 86,04% respectively.
Conclusion. The incidence of 3-month mortality in incident hemodialysis patients was
31,7%. Age >60 years, hemoglobin <8 g/dl, serum albumin <3,5 g/dl, abnormality of ECG,
and femoral access were predictors to 3-months mortality."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T35633
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuanita Panma
"Hemodialisis merupakan salah satu terapi untuk pasien gagal ginjal kronik. Hemodialisis selain memiliki efek terapeutik juga menimbulkan dampakjangka panjang yang menurunkan kualitas hidup pasien. Beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien hemodialisis yaitu depresi, tingkat spiritual, dan dukungan sosial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan depresi, tingkat spiritual, dan dukungan sosial dengan kualitas hidup pasien hemodialisis di RSAU Dr. Esnawan Antariksa. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional, dengan jumlah sampel 119 orang pasien di unit hemodialisis. Analisis data menggunakan uji korelasi, independent t-test dan one way anova. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas hidup dengan dukungan sosial p-value 0,009, r=0,240, tingkat spiritual p-value 0,000 dan depresi p-value 0,000. Faktor yang paling berpengaruh terhadap kualitas hidup yaitu depresi. Penelitian ini merekomendasikan kepada perawat untuk melakukan pengkajian depresi sebagai screening awal untuk menentukan intervensi keperawatan guna meningkatkan kualitas hidup.

Hemodialysis is one of the treatment of chronic renal failure. Beside its therapeutic effects, hemodialysis cause long term impact that decrease quality of life. There are several factors considered have influences quality of life of hemodialysis patients, which are depression, spiritual level and social support. The aim of this study is to determine relationship between depression, spiritual level and social support with quality of life of hemodialysis patient in RSAU Dr. Esnawan Antariksa. This study was a cross sectional design, involved 119 hemodialysis patients Data were analysed using correlation test, independent t test, and one way anova. The results showed there was a significant relationship between quality of life and social support p value .009, r .240, spiritual level p value .000 and depression p value .000 . The most influential factor quality of life is depression. This study recommends that nurses should assess depression level in hemodialysis patient as early screening to determine nursing intervention that can improve quality of life.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
T48500
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Puriani, examiner
"Anak dengan penyakit ginjal kronis memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pengasuhnya (caregiver). Caregiver pada anak yang menjalani hemodialisis rentan mengalami kelelahan fisik, psikologi, sosial serta finansial. Kebutuhan keterampilan tambahan dalam perawatan dibutuhkan untuk membangun adaptasi yang positif serta kemampuan koping caregiver. Teori model adaptasi Roy memberikan arahan dalam intervensi keperawatan pada caregiver melalui edukasi suportif. Karya ilmiah ini bertujuan untuk menganalisis penerapan model adaptasi Roy pada 5 kasus kelolaan sebagai upaya optimalisasi pemberian asuhan keperawatan pada anak yang menjalani hemodialisis rutin. Asuhan keperawatan dilakukan berdasarkan tahapan pengkajian (perilaku dan stimulus), merumuskan diagnosis keperawatan, penentuan tujuan, intervensi dan evaluasi. Model adaptasi Roy dapat diterapkan pada perawatan anak yang menjalani hemodialisis rutin. Proyek inovasi edukasi suportif yang diberikan kepada 19 caregiver anak yang menjalani hemodialisis signifikan menurunkan caregiver burden dan dapat diaplikasikan sebagai intervensi keperawatan non-invasif, non-farmakologi dalam mengurangi beban perawatan dan meningkatkan kemampuan adaptasi pasien terhadap penyakitnya.

Children with chronic kidney disease have a high dependence on their caregivers. Caregivers in children undergoing hemodialysis are vulnerable to physical, psychological, social and financial exhaustion. The need for additional skills in care is needed to build positive adaptation and coping abilities of caregivers. Roy's adaptation model theory provides direction in nursing interventions to caregivers through supportive educative program. This scientific work aims to analyze the application of Roy's adaptation model in 5 managed cases as an effort to optimize the provision of nursing care to children undergoing routine hemodialysis. Nursing care is carried out based on the stages of assessment (behavior and stimulus), formulating nursing diagnoses, setting goals, interventions and evaluations. Roy's adaptation model can be applied to the care of children undergoing routine hemodialysis. The supportive educative program given to 19 caregivers of children undergoing hemodialysis significantly reduces the caregiver burden and can be applied as a non-invasive, non-pharmacological nursing intervention in reducing the burden of care and increasing the patient's ability to adapt to his illness."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>