Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 79027 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Liebe M.E.P.P. Poli
"Kehilangan ambigu psikologis psychological ambiguous loss-PAL) adalah situasi yang terjadi ketika terdapat ketidakjelasan mengenai kehadiran maupun ketidakhadiran orang terkasih secara psikologis. PAL bersifat laten, karenanya PAL cenderung mudah terlewatkan, dan bila tidak tertangani dengan baik, PAL dapat menimbulkan gangguan fisik dan mental pula. PAL dapat terjadi pada beragam populasi, termasuk pada para pasangan penderita gangguan mental kronis, misalnya gangguan kecemasan (anxiety disorders-AD).
Tujuan penelitian ini adalah untuk menggali pengalaman pasangan penderita AD (PPAD) dan menyelidiki keberadaan PAL pada para PPAD yang hidup berdampingan dengan partner mereka yang merupakan para penderita AD (PAD). Partisipan adalah lima orang PPAD, terdiri dari empat pria dan seorang wanita, usia 30-52 tahun yang memiliki pasangan yang menderita AD dalam rentang waktu 6 bulan sampai 12 tahun.
Metode yang digunakan adalah Analisis Fenomenologis Interpretatif. Prosedurnya diawali dengan meneliti pengalaman PPAD secara umum, untuk menemukan keberadaan PAL. Kemudian dilakukan analisis terhadap pengalaman PAL yang ditemukan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat delapan tema dalam pengalaman PPAD: kesulitan memahami gejala AD; pandangan dan perasaan negatif terhadap partner; kehilangan; tekanan psikologis; penerimaan; kurangnya dukungan sekitar; kedaulatan Tuhan; dan harapan.
Secara umum, hasil penelitian ini juga menunjukkan keberadaan PAL pada PPAD, tanpa para PPAD ketahui. Selain itu, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa PPAD mengalami keluhan fisik dan psikis, dan mereka merasa tidak ada jalan keluar, serta minimnya dukungan sekeliling. Meski demikian, mereka mencoba menerima dan mendukung partner mereka, sambil terus melakukan koping, khususnya koping relijius, sekaligus berharap mengenai kesembuhan partner mereka. Di samping itu, penelitian ini memberikan kontribusi pada masyarakat dengan cara menggugah kesadaran publik tentang PAL pada PPAD, serta menekankan perlunya mendukung para PPAD, sehingga dukungan berupa intervensi psikoedukatif berbasis PAL dapat diberikan pada mereka.

Psychological ambiguous loss (PAL) is a situation when there is lack of clarity of the psychological presence or absence of a loved one. PAL is subtle and therefore tend to be easily overlooked. If not treated, PAL can cause other physical and psychological issues as well. PAL can affect different populations, including the spouses of people who suffer from chronic mental disorder, such as anxiety disorders (AD), which are one of the chronic and common mental disorder with significant impact on the AD sufferers as well as their spouses (SADS).
This study seeks to explore SADS's experience and investigate the exsistence of PAL on them. Participants are five SADS, consisting of four males and one female, with age range from 30-52 years, and are living with their partners who suffer from AD ranging from 6 months to 12 years. This current study took an Interpretative Phenomenological Analysis (IPA) approach. SADS's experiences are analyzed to find PAL's existence, and once found, then PAL is analyzed. Eight overarching themes of the participants' experiences of living with AD sufferers, emerged: difficulties to understand AD-related mental and behavioral changes, negative views and feelings towards their partners; experiences of loss; distress; acceptance; little support from others; God's sovereignty; and hope.
In general, the result of this study shows the exsistence of PAL experienced by SADS, unbeknowst to them. Moreover, it shows that SADS are experiencing physical and psychological issues as well, and they feel stuck, and receiving little support. However, the seem to try to accept and support their partners, maintaining religious coping and hope of their partners' recovery. This study contributes to the society by raising public awareness about PAL experienced by SADS, and highlights the need for supporting SADS, so that a better support in form of PAL-related psychoeducational intervention can be delivered to them.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
T51946
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ainun Intan Pradipta
"Kanker merupakan penyakit kronik yang menjadi penyebab kematian utama kedua di dunia. Dampak kanker dapat mempengaruhi fisik dan psikologis yang berpengaruh pada nilai kualitas hidup pasien kanker. Penulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi kekuatan hubungan antara gangguan psikologis (depresi, ansietas dan stres) dengan kualitas hidup pada pasien kanker. Metode dalam penulisan ini ialah telaah literatur dengan menggunakan prinsip Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses. Penelusuran jurnal dilakukan melalui database Pubmed, Clinical Key, Wiley Online Library, Sciencedirect, SAGE journals, dan Google Scholar. Analisis bias artikel dilakukan oleh dua reviewer dengan menggunakan The Joanna Briggs Institute Critical Appraisal Checklist. Hasil analisa pada enam belas jurnal didapatkan mayoritas pasien kanker mengalami depresi, ansietas dan stres serta mengalami penurunan kualitas hidup. Terdapat hubungan yang signikan antara depresi, ansietas dan stres dengan kualitas hidup pada pasien kanker.

Cancer is a chronic disease that is the second leading cause of death in the world. The impact of cancer can affect the physical and psychological factors that affect the quality of life of cancer patients. This article discusses the strenght of the relationship between psychological disorders (depression, anxiety, and stress) with quality of life in cancer patients. The method in this article is a literature review using the principles of Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses. Journals traced through the Pubmed, Clinical Key, Wiley Online Library, Sciencedirect, SAGE journals, and Google Scholar databases. The article bias analysis was assessed by two reviewers using The Joanna Briggs Institute Critical Appraisal Checklist. The results from analysis the journals obtained by patients experienced an increase in depression, anxiety, and stress and had decreased quality of life. There is a significant relationship between depression, anxiety, and stress with the quality of life in cancer patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutianingsih
"Gempa bumi merupakan bencana yang dapat berdampak pada berbagai aspek, salah satunya aspek psikologis, dimana lansia merupakan salah satu kelompok yang paling rentan mengalami dampak ini. Kesiapsiagaan psikologis merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak psikologis yang diakibatkan oleh gempa bumi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi kesiapsiagaan psikologis dan kecemasan pada lansia di daerah rawan bencana gempa bumi. Desain penelitian menggunakan cross sectional dengan sampel sebanyak 355 dan kriteria inklusi yaitu berusia 60-83 tahun, tidak mengalami gangguan kognitif, pernah mendapatkan penyuluhan gempa bumi, bisa membaca dan menulis, dan bersedia menjadi responden. Kuesioner yang digunakan pada penelitian ini telah melalui uji validitas dan reliabilitas dengan nilai nilai Cronbach Alpha untuk kuesioner Sense of Community Index yaitu 0,88; kuesioner Psychological Preparedness for Disaster Threat Scale (PPDTS) yaitu 0,87; dan kuesioner Geriatric Anxiety Inventory 0,89. Penelitian ini juga telah dinyatakan lolos uji etik. Hasil penelitian menunjukan ada hubungan yang signifikan antara kesiapsiagaan psikologis dengan kecemasan (p value = 0.041). Selain itu hasil penelitian juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara pendidikan (p value = 0.001), pengalaman (p value = 0.008) dan sense of community (p value =0.000) dengan kesiapsiagaan psikologis lansia. Faktor yang paling memengaruhi kesiapsiagaan psikologis adalah sense of community (OR = 2.620). Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk membentuk kelompok swabantu dalam upaya meningkatkan kesiapsiagaan psikologis dan sense of community pada lansia di daerah rawan bencana gempa bumi.

Earthquake is disasters can have an impact on various aspects, one of them is psychological aspect, where the elderly are one of the groups most vulnerable to this impact. Psychological preparedness is one effort that can be done to reduce the psychological impact caused by earthquakes. This study aims to determine the factors that influence psychological preparedness and anxiety in the elderly in earthquake-prone areas. The study design used cross sectional with a sample of 355 people. and the inclusion criteria were 60-83 years old, had no cognitive impairment, had received earthquake counseling, could read and write, and were willing to become respondents. The questionnaire used in this study has tested the validity and reliability with the value of Cronbach Alpha for the Sense of Community Index questionnaire which is 0.88; the Psychological Preparedness for Disaster Threat Scale (PPDTS) questionnaire, which is 0.87; and the Geriatric Anxiety Inventory questionnaire 0.89. This research has also passed the ethical test. The results showed a significant relationship between psychological preparedness with anxiety (p value = 0.041). Besides that, it was also found that there was a significant relationship between education (p value = 0.001), experience (p value = 0.008) and sense of community (p value = 0.000) with the psychological preparedness of the elderly. The factor that most influence psychological preparedness is the sense of community (OR = 2,620). The results of this study can be used as a basis for forming self-help groups in an effort to improve psychological preparedness and sense of community in the elderly in earthquake-prone areas.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
T52911
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Veeraraghavan, Vimala
London: Sage, 2002
616.85 VEE a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Josephine Chrestella Wang
"Emerging adulthood merupakan periode kehidupan yang rentan terhadap gangguan psikologis. Dengan prevalensi gangguan psikologis yang tinggi, namun tingkat pencarian bantuan psikologis profesional yang rendah, intensi untuk mencari bantuan psikologis profesional pada emerging adulthood menjadi penting untuk ditelusuri. Penelitian ini bertujuan untuk menguji korelasi antara intensi mencari bantuan psikologis profesional dan self-compassion pada emerging adults dengan gejala gangguan psikologis yang belum ditangani. Intensi mencari bantuan psikologis profesional diukur menggunakan Mental Help-Seeking Intention Scale (MHSIS) dan self-compassion diukur menggunakan Skala Welas Diri (SWD) versi pendek. Digunakan pula alat ukur Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9) dan Generalized Anxiety Disorder-7 (GAD-7) untuk menyaring gejala gangguan psikologis partisipan. Data yang diolah dalam penelitian ini berasal dari 129 individu (100 perempuan dan 29 laki-laki) berusia 18–29 tahun (M = 21,43 tahun) dengan gejala gangguan psikologis yang belum pernah menggunakan layanan kesehatan mental sebelumnya. Penelitian ini menemukan bahwa intensi mencari bantuan psikologis profesional tidak berkorelasi secara signifikan dengan self-compassion (r = -0,084, p > 0,05). Implikasi dari penelitian ini adalah untuk mengerucutkan populasi penelitian dan menilik faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi intensi mencari bantuan psikologis profesional.

Emerging adulthood is a life period in which the risk of experiencing psychological disorders is heightened. Given a high prevalence of psychological disorders, yet low tendencies to seek professional psychological help, the intention to seek professional psychological help in emerging adulthood becomes important to be studied. This study investigates the correlation between intention to seek professional psychological help and self-compassion in emerging adults with currently untreated symptoms of psychological disorders. Mental Help-Seeking Intention Scale (MHSIS) and the short version of Skala Welas Diri (SWD) were used to measure intention to seek professional psychological help and self-compassion respectively. Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9) and Generalized Anxiety Disorder-7 (GAD-7) were used to screen participants’ psychological disorders symptoms. Participants of this study consists of 129 individuals (100 females and 29 males) aged 18–29 years (M = 21,43 years) with symptoms of psychological disorders who had never used any mental health services. This study found no significant correlation between intention to seek professional psychological help and self-compassion (r = -0,084, p > 0,05). The implication of this study is to narrow the research population scope and to examine other factors that may influence intention to seek professional psychological help"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pohan, Joanna Soleta
"Pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan sebuah isu yang sedang marak dialami karyawan di Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Individu yang mengalami PHK ditemukan dapat mengalami distress psikologis. Distress psikologis penting untuk diteliti dalam konteks PHK karena keberadaannya berpotensi menghambat individu untuk mendapatkan pekerjaan lagi dan menjalankan aktivitas di kehidupan sehari-hari. Dengan ini, studi ini akan menggali hubungan korelasi antara fleksibilitas psikologis dan distress psikologis pada orang yang mengalami PHK untuk mencari strategi yang dapat dilakukan seseorang untuk mempertahankan kesehatan mentalnya dalam menghadapi kehilangan kerja dan belum mendapat pekerjaan lagi. Penelitian melibatkan karyawan yang mengalami PHK dalam kurun waktu 1 tahun terakhir (N = 59). Fleksibilitas psikologis diukur menggunakan Acceptance and Action Questionnaire (AAQ-II) dan distress psikologis diukur menggunakan General Health Questionnaire (GHQ-12). Data diolah dengan metode Pearson correlation mendapatkan hubungan korelasi antara kedua variabel. Hasil yang didapatkan menunjukkan korelasi signifikan antara fleksibilitas psikologis dan distress psikologis pada orang yang mengalami PHK, r(59) = -0,506, p < 0,01. Dengan ini, semakin tinggi fleksibilitas psikologis seseorang, maka semakin rendah distress psikologis yang akan dialaminya. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi yang bertujuan meningkatkan fleksibilitas psikologis dapat menjadi strategi yang efektif untuk mengurangi distress psikologis pada individu yang mengalami PHK.

Job displacement is an issue that has been increasingly experienced by employees in Indonesia over the last few years. Individuals who experience job displacement are found to experience psychological distress. Psychological distress has an urgency to be studied in the context of job displacement because it has the potential to disrupt individuals from getting re-employed and in carrying out activities in their lives. With that said, this study will explore the correlation between psychological flexibility and psychological distress in people who have experienced job displacement to look for strategies that a person can use to maintain their mental health in the face of losing their job and not having found another job. The research involved employees who experienced job displacement within the last year (N = 59). Psychological flexibility was measured using the Acceptance and Action Questionnaire (AAQ-II) and psychological distress was measured using the General Health Questionnaire (GHQ-12). The data is processed using the Pearson correlation to obtain a correlation relationship between the two variables. The results obtained show a significant correlation between psychological flexibility and psychological distress in people who have experienced job displacement, r(59) = -0.506, p < 0.01. With this, the higher a person's psychological flexibility, the lower the psychological distress they will experience. This shows that interventions aimed at increasing psychological flexibility can be an effective strategy for reducing psychological distress in individuals who experience job displacement."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asaelia Aleeza
"Prevalensi disordered eating symptoms atau gejala gangguan makan semakin meningkat dan terasosiasi dengan berbagai dampak negatif bagi kesehatan mental dan fisik termasuk berkembangnya gangguan makan. Salah satu faktor risiko gejala gangguan makan adalah trait anxietyTrait anxiety yang tinggi dapat memunculkan keinginan untuk menghindari kecemasan yang dialami. Perilaku penghindaran dari pengalaman sulit yang dilakukan terus menerus merupakan perilaku maladaptif yang dapat disebut sebagai infleksibilitas psikologis. Infleksibilitas psikologis ditemukan pada individu terlibat dalam perilaku makan maladaptif sebagai fungsi menghindari pengalaman sulit termasuk kecemasan. Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi hubungan antara trait anxiety dan gejala gangguan makan dengan peran infleksibilitas psikologis sebagai mediator. Penelitian ini merupakan studi kuantitatif dengan desain cross-sectional. Terdapat jumlah 150 wanita Indonesia yang berada pada rentang 18-29 tahun (M=22,9; SD=2,19). Partisipan mengisi tiga kuesioner, yakni Acceptance and Action Questionnaire-II, Tes Sikap Makan-13, dan State-Trait Anxiety Inventory-Trait untuk mengukur infleksibilitas psikologis, gejala gangguan makan, dan trait anxiety secara berurutan. Hasil analisis mediasi menunjukkan bahwa infleksibilitas psikologis sebagai mediator antara trait anxiety dan gejala gangguan makan signikan [b = 0,108; 95%CI: (0,02 - 0,22)]. Hasil penelitian dapat membantu para klinisi dan edukator mengembangkan inisiasi preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang menargetkan infleksibilitas psikologis di dalam individu rentan terhadap perilaku gangguan makan.

Disordered eating symptoms (ED symptoms) is increasingly prevalent in Indonesia and is commonly related with negative impacts on mental and physical health. One of its risk factor is trait anxiety. An individual with high level of trait anxiety appraise situations as more threatening, leading to more frequent experiences of anxiety. This experience of anxiety may then lead to avoidance behaviours, in which avoiding difficult internal thoughts or emotions can be referred to psychological inflexibility. Psychological inflexibility is seen in individuals who engage in ED symptoms, as a maladaptive approach to reduce anxiety. This quantitative research uses a a cross-sectional design. A total sample of 150 Indonesian emerging adult women aged 18-29 years (M=22,9;SD=2,19) participated in this study. Participants were asked to fill three questionnaires: Acceptance and Action Questionnaire-II, Eating Attitudes Test-13, and State-Trait Anxiety Inventory-Trait to measure psychological inflexibility, disordered eating symptoms, and trait anxiety respectively. Mediation analysis showed that psychological inflexibility fully mediate the relationship between trait anxiety and disordered eating symptoms [b=0.108; 95%CI:(0.02-0.22)]. This result may inform clinicians and educators to involve psychological inflexibility in efforts of developing programs, interventions, or treatments for emerging adult women with high levels of anxiety or those engaged in ED symptoms.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Luh Dwi Indrayani
"Depresi seringkali tidak terdeteksi, salah satunya diakibatkan karena kehilangan pasangan yang dapat menurunkan kualitas hidup lansia. Tujuan penelitian yaitu mengidentifikasi hubungan kehilangan pasangan hidup dengan tingkat depresi lansia di Kelurahan Depok. Metode penelitian menggunakan deskriptif koleratif dengan pendekatan cross sectional. Sampel penelitian berjumlah 80, dipilih menggunakan teknik stratified random sampling. Instrumen penelitian yaitu Geriatric Depression Scale (GDS) untuk mengukur tingkat depresi lansia. Hasil uji mann whitney menyatakan terdapat hubungan bermakna antara kehilangan pasangan hidup dengan tingkat depresi lansia ρ = 0,007 (< α = 0,05). Peneliti merekomendasikan perawat komunitas melakukan kunjungan keluarga untuk mencegah depresi dan melibatkan kader untuk membuat kegiatan kelompok pada lansia yang kehilangan pasangan.

Depression is often not detected, one of them caused by loss of spouse that can degrade the elderly quality of life. The aim of this research is to identify the correlation between loss of a spouse and level of depression in elderly in Depok. The descriptive-correlative method was used with cross sectional approach. The samples were 80 (stratified random sampling). The research instrument used Geriatric Depression Scale (GDS) to measure the level of depression. The results of Mann Whitney Test shows there is a significant relationship between the loss of spouse with level of depression in elderly p = 0,007 (< α = 0,05). Researcher recommend community nurse visits the family to prevent depression and engage cadres to make events in elderly group who lost spouse.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
S55069
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Agnes Gautama
"Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara grief dan dukungan sosial pada pria yang memiliki pasangan dengan pengalaman keguguran. Pengukuran grief dilakukan dengan menggunakan alat ukur Perinatal Grief Scale (PGS) (Toedter, Lasker, dan Alhadeff ,1988) dan pengukuran dukungan sosial dengan menggunakan Berlin Social Support Scale (BSSS) (Schwarzer dan Schulz,2003). Partisipan penelitian berjumlah 38 pria yang memiliki pasangan dengan pengalaman pregnancy loss, dimana 31 pria memiliki pasangan yang pernah mengalami keguguran dan tujuh pria memiliki pasangan yang pernah mengalami stillbirth. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan dan negatif antara grief dan dukungan sosial pada pria yang memiliki pasangan dengan pengalaman pregnancy loss.

This study aimed to examine the relationship between grief and social support among men whose partners experienced miscarriage The measurement of grief use Perinatal Grief Scale (Toedter, Lasker, and Alhadeff, 1988) and the measurement of social support use Berlin Social Support Scale (BSSS) (Schwarzer and Schulz, 2003). The participants for the research are 38 males whose partners have experienced pregnancy loss, in which 31 males have a partner who have experienced miscarriage and seven males have a partner who have experienced stillbirth. The result of these research indicate that there is no significant relationship and negative correlation among men whose partners have experienced pregnancy loss."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S52559
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>