Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 161817 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Theddeus Octavianus Hari Prasetyono
"Rangkaian penelitian ini ditujukan untuk mengkaji alternatif operasi tanpa turniket melalui upaya untuk mengetahui efektivitas, keamanan, dan kemamputerapan larutan tumescent one-per-mil.
Desain penelitian merupakan penelitian eksperimental, uji acak buta ganda dan seri kasus klinis penggunaan larutan tumescent yang mengandung epinefrin 1 : 1.000.000 dan lidokain 0,2% yang dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan RS Cipto Mangunkusumo selama periode Juli 2013-Desember 2017. Penelitian pada flap inguinal tikus Sprague-Dawley dilakukan untuk mengetahui kejelasan lapangan operasi, peran vasokompresi hidrostatik, dan kesintasan flap. Uji klinis dilakukan pada subjek normal melalui suntikan pada pulpa jari untuk mengetahui masa tunda optimal melalui pengukuran SpO2; serta mengenali peran vasokompresi hidrostatik. Terapan klinis operasi sadar penuh dikawal dengan uji klinis untuk mengetahui mula dan lama kerja lidokain. Kelompok seri kasus meliputi operasi tangan dan ekstremitas atas pada kelompok anak, operasi kontraktur pascaluka bakar, operasi yang melibatkan tulang dan sendi, operasi eksisi malformasi vaskular, rekonstruksi web dengan flap, serta operasi sadar penuh. Uji statistik dilakukan dengan metode Chi-square, Wilcoxon bertingkat, uji t-independen dan berpasangan, dan ANOVA. Tingkat kemaknaan ditetapkan sebagai p < 0,05.
Operasi pada flap inguinal tikus menghasilkan 63/63 lapangan operasi bebas perdarahan dengan 26/26 flap hidup walaupun diberi perlakuan iskemia sebelum disuntik. Tidak dijumpai perbedaan kesintasan flap antara teknik suntik acak dan teknik teratur. Walaupun kedua kelompok mengalami penurunan bermakna TcPO2, rerata TcPO2 pascaperlakuan iskemia kelompok tumescent lebih rendah daripada rerata kelompok kontrol. Hasil uji klinis menunjukkan rerata delta SpO2 pada kelompok epinefrin lebih besar secara bermakna daripada kelompok salin normal. Epinefrin menunjukkan masa tunda optimal 13,9 (SB 5,38) menit. Mula kerja lidokain 5 (1-9) menit dengan lama kerja 186,8 (SD 44.02) menit. Seluruh operasi pada 77 subjek bedah tangan dapat dikerjakan tanpa konversi turniket. Operasi sadar penuh efektif pada 20 dari 24 kasus. Lapangan operasi bebas perdarahan dapat dicapai sebesar 38,7%, baik pada subjek dewasa maupun anak.
Epinefrin bersama-sama dengan efek vasokompresi hidrostatik efektif dalam menghasilkan lapangan operasi bebas perdarahan pada tikus. Keberhasilan hidup 100% flap yang telah diberi perlakuan iskemia sebelumnya menunjukkan keamanan larutan one-per-mil. Nilai saturasi yang menurun namun masih dalam rentang normal menunjukkan tidak terjadinya efek iskemia pada jari. Hasil studi pada tikus maupun subjek normal menunjukkan bahwa epinefrin bersama-sama dengan efek vasokompresi hidrostatik berperan dalam penurunan perfusi tanpa mengakibatkan iskemia. Masa tunda optimal efek hiperfusi selama 14 menit menjadi referensi yang relevan untuk mendukung praktik klinis masa tunggu sebelum insisi selama 7-10 menit. Selain efektif, termasuk dalam operasi sadar penuh yang berlangsung tanpa konversi turniket, hasil pengamatan teknik tumescent one-per-mil pada operasi kontraktur pascaluka bakar mematahkan paradigma bahwa operasi harus dilakukan dengan turniket. Larutan one-per-mil juga aman diterapkan pada operasi kasus pediatrik dengan tidak dijumpainya nekrosis flap maupun jari anak. Berdasarkan evaluasi luaran fungsi pada seri kasus operasi pada kontraktur luka bakar dan spaghetti wrists, teknik tumescent one-per-mil menunjukkan potensinya untuk dapat diterapkan pada kasus-kasus kompleks.
Simpulan: Larutan tumescent one-per-mil aman, efektif, dan mampu terap untuk menggantikan turniket dalam operasi bedah tangan dan ekstremitas atas. Walaupun menyebabkan hipoperfusi, larutan one-per-mil tidak menyebabkan iskemia dan kematian jari. Masa tunda optimal sebelum insisi 13,9 menit, dengan mula dan lama kerja anestesi lokal masing-masing adalah 5 dan 186,8 menit.

The study series were aimed to delineate hand and upper extremity surgery without tourniquet by studying the efficacy, safety, and applicability of the one-per-mil tumescent solution.
Studies were designed as experimental studies, randomized clinical trials and clinical case series on the use of solution containing 1 : 1,000,000 epinephrine and 0.2% lidocaine. All the studies were conducted at Faculty of Medicine Universitas Indonesia and Cipto Mangunkusumo Hospital during the periode of July 2013-December 2017. Groin flaps in Sprague-Dawley rats were elevated to study the operative field clarity, the role of hydrostatic vasocompressive effect and flap survivals. Clinical trials were performed on normal subject’s fingers to know the optimal time delay by measuring SpO2, while also to delineate the role of vasocompressive effect. The practice of fully awake hand surgery was guided by clinical study to reveal the onset and duration of anaesthetic action. Case series were including grouped surgeries for the hand and upper extremity in children, post burn hand contractures, bone and joint related problems, vascular malformation, web reconstruction using flaps, and fully awake surgeries. Statistical analysis were performed using Chi-square test, Wilcoxon sign rank test, independent and pair t-test, and ANOVA. Significance was set at p < 0.05.
Studies on animal revealed 63/63 bloodless operative fields and 26/26 flaps survived even after given ischemic insult before injection. The random pattern injection technique was not significantly different from systematic pattern technique. The epinephrine group showed significantly lower TcPO2 than control group, although both experienced significant decrease of TcPO2. The mean delta of SpO2 of the epinephrine group was significantly higher than control group in the clinical study. Epinephrine showed optimal time delay 13.9 (SD 5.38) minutes. The average onset and duration of lidocaine actions were 5 (1-9) and 186.8 (SD 44.02) minutes respectively. Surgery on 77 subjects was successfully performed without tourniquet conversion. Fully awake surgery was effective in 20 out of 24 cases. Overall, bloodless operative field was achieved in 38.7%.
Epinephrine works together with hydrostatic vasocompressive effect in creating bloodless operative field in animal tissue. The safety was proven by the fact of 100% survival rate of flaps after surviving from ischemic insult. The decrease of SpO2, which was still within normal range, is an evidence of non-ischemic fingers. Both experimental and clinical studies showed that epinephrine and hydrostatic vasocompressive effect are responsible to create hypoperfusion without causing ischemia. The 14 minutes optimal time delay is relevant to the clinical practice of 7-10 minutes waiting time before incision. Besides its efficacy, the study outcome of one-per-mil tumescent technique to facilitate surgery on burn contracture breaks the old paradigm about surgery under tourniquet. The technique is also safe to be applied in paediatric patients as it showed no evidence of flap or finger necrosis. Based on the evaluation of functional outcome, one-per-mil tumescent technique is promising to be used in complicated surgeries.
In summary, one-per-mil tumescent solution is safe, effective and clinically applicable to substitute tourniquet in surgery for the hand and upper extremity. Although causing hypoperfusion, one-per-mil solution did not cause ischemia and subsequent finger necrosis. The optimal time delay is 13.9 minutes; the onset and duration of local anaesthesia is 5 and 186.8 minutes respectively.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Kusumastuti
"ABSTRAK
The use of epinephrine contained tumescent solution in hand surgery, which avoid the use of tourniquet, has been widely popular, with the lowest epinephrine concentration being “one-per-mil” or 1:1,000,000. The purpose of the study is to know the characteristics of “one-per-mil” tumescent solution regarding the time delay needed to get optimal visualization of the operation field in the hand digits.
Methods
This study is a prospective, randomized, double-blind study where 12 healthy volunteers are injected simultaneously in each ring finger with either saline added with 1:1,000,000 epinephrine (study group) in one hand, or plain saline (control group) in the contralateral hand. The relative hemoglobin concentration of the underlying skin and soft tissue, which is reflected by oxygen saturation in the fingertip, was then measured over time using pulse oximetry.
Results
The lowest point of oxygen saturation in the epinephrine group was obtained at the average time of 21.7 minutes after injection. (range, 02.00 minutes to 45.37 minutes). Epinephrine injection produced significant decrease in oxygen saturation (delta = 5 points) compared to saline only. Temperature decrease in epinephrine group was also significant. Fingertip sensibility did not change significantly in both group. No side effects or complication was found.
Discussion
The optimal time delay to produce maximal vasoconstriction depicted by the lowest oxygen saturation was 21.7 minutes in average. Epinephrine in “one-per-mil” tumescent solution was effective to produce finger vasoconstriction compared to saline injection, with the same safety as the saline only injection.

ABSTRACT
Penggunaan larutan tumesen yang mengandung epinefrin untuk bedah tangan tanpa torniket telah banyak dikenal, dengan konsentrasi epinefrin terendah yang dilaporkan adalah “one-per-mil” atau 1:1,000,000. Tujuan studi ini adalah mengetahui karakteristik larutan epinefrin “one-per-mil” tersebut terutama mengenai waktu tunggu optimal untuk mendapatkan lapangan operasi yang bebas perdarahan pada jari tangan.
Metode
Penelitian ini merupakan studi prospektif, acak, tersamar ganda dimana 12 sukarelawan sehat diinjeksi pada kedua jari manisnya dengan larutan saline yang ditambah epinefrin 1:1,000,000 (kelompok studi) atau larutan saline saja (kelompok kontrol). Vasokonstriksi optimal, yang dicerminkan oleh saturasi oksigen ujung jari yang terendah, diukur kontinyu terhadap waktu dengan pulse oximeter.
Hasil
Saturasi oksigen terendah pada grup epinefrin tercatat pada rata-rata menit ke 21.7 (rentang: 02.00 menit hingga 45.37 menit). Injeksi epinefrin menghasilkan penurunan saturasi oksigen yang signifikan (delta = 5 poin) dibanding larutan saline saja. Penurunan suhu jari setelah penyuntikan epinefrin (delta = 1.3oC) juga signifikan.Tidak ditemukan perubahan sensibilitas ujung jari yang signifikan pada kedua grup. Tidak ditemukan efek samping maupun komplikasi apapun pada semua subjek.
Diskusi
Waktu tunggu yang optimal hingga mencapai vasokonstriksi maksimal yang dicerminkan oleh saturasi oksigen terendah, adalah rata-rata 21.7 menit. Epinefrin dalam larutan tumesen “one-per-mil” efektif menghasilkan vasokonstriksi jari dibandingkan injeksi saline saja; dengan kemanan yang sama dengan suntikan saline."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59139
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puri Ambar Lestari
"ABSTRAK
Pendahuluan: Tujuan studi ini adalah untuk mengetahui awitan dan durasi kerja lidocaine dalam larutan one-per-mil tumescent.
Metode: Studi eksperimental dengan kontrol dan desain buta acak ganda (triple blind study) dilakukan pada 12 subjek sehat yang diinjeksikan larutan one-per-mil tumescent mengandung lidocaine 0,2% pada satu tangan atau lidocaine 2% pada tangan kontralateral. Awitan dan durasi kerja lidocaine diukur berkala dengan uji sensoris Semmes-Weinstein dan diskriminasi dua titik. Tingkat nyeri diukur dengan visual analogue scale (VAS)
Hasil: Awitan tercepat pada grup lidocaine 2% tercatat pada menit ke 1 (rentang: menit ke 1 hingga 6). Awitan rata-rata pada grup larutan one-per-mil tumescent adalah 4.67 menit (± 2.53 menit). Durasi kerja lidocaine 2% adalah 95.58 menit (± 29.82 menit), sedangkan durasi kerja larutan one-per-mil tumescent adalah 168.5 menit (± 45.1 menit) dengan uji diskriminasi dua titik dan 186.83 menit (± 44.02 menit) dengan uji sensoris Semmes-Weinstein. Terdapat perbedaan awitan dan durasi kerja yang signifikan pada kedua grup. Tidak ditemukan perubahan sensibilitas ujung jari yang signifikan pada kedua grup pada saat sebelum dan sesudah intervensi.
Kesimpulan: Studi ini menunjukkan awitan dan durasi kerja lidocaine dalam larutan one-per-mil tumescent adalah rata-rata 4,67 dan 168,5 menit. Lidocaine 0,2% dalam larutan one-per-mil tumescent menghasilkan awitan yang lebih lambat dan durasi kerja yang lebih panjang dibandingkan dengan lidocaine 2%.

ABSTRACT
Background: We aimed to profile the onset and duration of action of the lidocaine in one-per-mil tumescent solution.
Methods: A controlled, prospective, and randomized triple blind study was conducted on both hand of 12 healthy volunteers who were injected in two consecutive days in his ring finger with either one-per-mil tumescent solution containing 0.2% lidocaine (experimental finger) in one hand or 2% lidocaine (control finger) in the contralateral hand. The onset and duration of action of lidocaine were measured over time by Semmes-Weinstein and two-point discrimination test. The level of pain was evaluated using visual analogue scale (VAS).
Results: The fastest onset of action in 2% lidocaine group was in the first minute (range, minute 1 to 6). Average onset of action of one-per-mil tumescent solution was 4.67 minutes (± 2.53 minutes). Duration of action of 2% lidocaine was 95.58 minutes (± 29.82 minutes), meanwhile the duration of one per-mil tumescent solution was 168.5 minutes (± 46.4 minutes) by 2PD test and 186.83 minutes (± 44.02 minutes) by SW test. There were significant difference of the onset and duration of action of both groups. Fingertip sensibility before and after the intervention did not change significantly in both group.
Conclusion: This study shows that the onset and duration of action of lidocaine in the one-per-mil solution injected in the finger using tumescent technique subsequently at 4.67 and 168.5 minutes in average. 0.2% lidocaine in one-per-mil tumescent solution produced slower onset and longer duration of action compared to 2% lidocaine."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eliza Nindita
"ABSTRAK
Latar Belakang: Studi ini bertujuan untuk mengamati dampak aplikasi Tumescent ONEPERMIL dan segi keamanannya pada skin flap yang telah mampu pulih hidup dari cedera iskhemia sebelumnya.
Metode: Studi eksperimental dengan kontrol dan randomisasi dilakukan pada 40 groin flap dari 20 ekor Rattus novergicus strain Wistar yang sehat berbobot 220-270 gram. Infiltrasi Tumescent ONEPERMIL, infiltrasi salin normal dan grup kontrol dilakukan pada flap yang berhasil pulih vital 100% dari cedera iskhemia yang dikondisikan melalui pemasangan klem selama 15 menit pada pedikelnya. Perfusi flap dimonitor melalui pengukuran tekanan oksigen transkutaneous (TcPO2), sebelum dan sesudah infiltrasi dilakukan. Vitalitas flap dinilai secara klinis maupun menggunakan Analyzing Digital Images® di hari ke 7 paska prosedur infiltrasi dan resetting flap pada tempatnya. Analisa statistik dilakukan dengan test Chi-square (p<0,05).
Hasil: Penilaian akhir menunjukkan kepulihan hidup seluruh groin flap tanpa ditemukan tanda nekrosis. Pengukuran TcPO2 pada flap sebelum dan sesudah prosedur infiltrasi menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0,0001) namun masih berada dalam batasan prediksi flap akan pulih hidup.
Kesimpulan: Aplikasi Tumescent ONEPERMIL pada groin flap yang telah pulih hidup dari cedera iskhemia sebelumnya, tidak menimbulkan dampak nekrosis pada flap.

ABSTRACT
Background: To observe the effect of One-per-mil tumescent injection on viable skin flaps that previously had suffered from an ischemic insult, so as to ascertain One-per-mil tumescent safety application in the related theme.
Methods: 40 groin flaps from 20 healthy Wistar strained-Rattus novergicus weighing 220-270 grams were conditioned to acute ischemia by clamping the pedicle for 15 minutes. Merely totally survived and viable flaps on the seventh postoperative day were randomly divided into: One-per-mil tumescent infiltration group(A), normal saline infiltration group(B), and control group(C). Before and after the infiltration, transcutaneous oxygen tension (TcPO2) measurement was performed, and the changes values were calculated by statistical analysis using ANOVA and Paired T-Test. Viability of flaps was assessed clinically and by using AnalyzingDigitalImages® 7 days later.
Results: TcPO2 readings yielded a decreasing value significantly (p<0.001) following both One-per-mil tumescent and normal saline infiltration. However, all groin flaps survived with no signs of tissue necrosis.
Conclusion: One-per-mil tumescent injection into viable skin flaps is safe even though the flaps had previously suffered from an ischemic condition.
"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Prasasta Adhistana
"LATAR BELAKANG : Manajemen cidera dan penyakit pada tangan membutuhkan intervensi bedah dan non-bedah yang baik dan teliti untuk mencapai restorasi anatomi dan fungsional yang optimal. Saat ini penggunaan tourniquet kimia dengan epinephrin mulai mengantikan touniquet udara untuk operasi tangan sadar penuh menggunakan infiltrasi lokal ke tempat pembedahan sebagai metode dari pembiusan lokal. Berbagai jenis spuit dan jarum dapat digunakan untuk infiltrasi bius lokal. Untuk mengeluarkan larutan dari spuit ke jaringan membutuhkan gaya yang spesisfik. Ada 2 jenis gaya yg digunakan untuk mengeluarkan larutan dari spuit: (1) untuk gerakan awal dari piston (PBF: plunger-stopper break loose force), (2) gaya untuk mempertahankan laju piston (DGF: dynamic gliding force). Kedua gaya tersebut dipengaruhi oleh diameter spuit dan jarum, dan juga viskositas larutan. Tujuan dari studi ini untuk memberikan kombinasi yang terbaik antara spuit dan jarum suntik yang membutuhkan tenaga yang minimal untuk mengeluarkan larutan dari spuit.
METODE : Untuk menjelaskan aspek fisik dan mekanik mengenai gaya yang dibutuhkan untuk infiltrasi bius lokal pada kombinasi spuit dan jarum, kami mengunakan spuit 1cc, 3cc, 5cc, 10cc dan 20cc serta jarum suntik asli dari kemasan, jarum 27-Gauge, jarum spinal 27-Gauge, dan jarum 30-Gauge. Setiap kombinasi spuit dan jarum dilakukan sebanyak 3 kali. Kami telah melakukan total 60 tes pada kombinasi spuit dan jarum. Tes dilakukan dengan menggunakan mesin Instron 5940 dengan kecepatan 100mm/menit.
HASIL : Nilai PBF terdendah didapatkan pada kombinasi spuit 1cc dengan jarum 27-Gauge; nilai PBF tertinggi didapatkan pada kombinasi spuit 10cc dengan jarum 30-Gauge. Nilai DGF terendah didapatkan pada kombinbasi spuit 1cc dengan jarum pada kemasannya; nilai DGF tertinggi didapatkan pada kombinasi spuit 20cc dengan jarum 27-Gauge needle. Kombinasi spuit 20cc dengan jarum 27-Gauge membutukan gaya sebesar 25,33 N untuk PBF dan 113,367 N buat DGF. Gaya ini 33x lebih tinggi untuk PBF dan 324x lebih tinggi untuk DGF pada spuit 1cc. Ketika kita menggunakan spuit 3cc dengan jarum27-Gauge, makan akan membutuhkan gaya 5,8x lebih inggi pada PBF dan 24,8x lebih tinggi pada DGF. Pada spuit 5ccdenga kombinasi jarum 27-Gauge, perlu gaya 2,4 kali lebih tinggi pada PBF dan 5,8 kali lebih tinggi pada DGF. Untuk jarum suntik 10cc, maka akan membutuhkan gaya 5,8 lebih tinggi di PBF dan 2,6 lebih tinggi pada DGF.
SIMPULAN : Kombinasi terbaik dari spuit dan jarum suntik untuk memasukan larutan bius lokal adalah yang membutuhkan PBF dan DGF yang rendah yang terdapat pada spuit 1cc dan jarum yang berada pada kemasannya. Hal lain yang harus dipertimbangkan adalah kekuatan individual tangan dokter bedah untuk memenuhi beban fisiologis dan ergonomis bersama dengan gaya yang rendah untuk menjalankan operasi.

BACKGROUNDS : Management of hand injury or disease needs meticulous surgical intervention as well as tender loving non-surgical intervention to reach optimal goals which are anatomical restoration and good functional outcome. The application of chemical tourniquet using epinephrine has begun to replace the use of pneumatic tourniquet. Wide-awake hand surgery uses local infiltration to the surgical site as the method of anesthesia. Different types of syringe can be used to administer the tumescent solution. Injection of the tumescent solution in the syringe requires a specific force to eject the solution into the tissue. There are two types of power used in syringe: (1) for initial movement of the syringe?s piston which is known as plunger-stopper break loose force (PBF) and (2) the power to maintain the sustaining or the forward motion of the piston which is known as dynamic gliding force (DGF). Both of these forces are affected by the diameter of the needle and syringe, and also the viscosity of the tumescent solution as well. The purpose of this studyis to data for describing the best combination of syringe and needle which requires the least force.
METHODS : To elaborate the physical and mechanical aspect regarding the power and force in the combination of needle and syringe used for local anesthesia injection, we use 1cc, 3cc, 5cc, 10cc and 20cc syringe with original needle from packaging, 27-Gauge needle, 27-Gauge spinal needle, and 30-Gauge needle. We have performed 60 test of syringe and needle combination. Each combination was tested in triplet data using Instron 5940 Series testing systems, in 100mm/minute velocity.
RESULT : The lowest PBF value was performed by the combination of 1cc syringe and 27-Gauge Needle; and the highest PBF value was achieved by the combination of 10cc syringe and 30-Gauge Needle.The lowest DGF value was measured in the combination of 1cc syringe and original needle. And the highest DGF value was performed by the combination of 20cc syringe and 27-Gauge needle. The 20cc syringe needs 25.33 Newton for PBF and 113.367 Newton for DGF. These forces are 33 times higher for PBF and 324 times higher for DGF, if we use the 1 cc syringe. When we choose 3cc syringe and 27-Gauge needle, it will need 5,8 times higher in PBF and 24,8 times higher in DGF. Another option of syringe is 5cc syringe, that will need 2,4 times higher in PBF and 5.8 times higher in DGF. For 10cc syringe, it will need 5.8 higher in PBF and 2.6 higher in DGF.
CONCLUSIONS : The best combination of syringe and needle that required the least force (PBF and DGF) for hand and digit surgery are 1 cc syringe and original needle. Another thing to be considered is the individual power of the Surgeon?s hand to meet the physiologic and ergonomic burden along with the initial and maintenance force needed through the operations.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Penggunaan teknik tumescent yang mengandung epinefrin pada pembedahan penis belum pernah dilaporkan sebelumnya. Dua pasien dengan hipospadia menjalani operasi rekonstruksi menggunakan teknik tumescent menggunakan larutan ?One-per-Mil? yang mengandung epinefrin. Hasil yang didapatkan adalah lapangan operasi yang bersih, hampir tanpa pendarahan bermakna saat pemotongan dan tanpa komplikasi pada penis setelah suntikan epinefrin dengan sedikit edema. Larutan tumescent ?One-per-Mil? bertindak sebagai hydro-dissector yang menghasilkan lapangan operasi relatif avaskular yang memudahkan pengenalan jaringan serta mempercepat diseksi pada operasi hipospadia. Untuk sementara, epinefrin berdosis rendah disimpulkan aman untuk disuntikkan pada penis dalam praktek klinis di masa depan.

Abstract
The use of tumescent technique, which contains epinephrine, in penile surgery has not been reported previously. Two patients with hypospadias had reconstructive operation using tumescent technique with a ?One-per-Mil? tumescent solution containing epinephrine intra-operatively. The results was a clear operation field, almost bloodless during dissection, and no complication on the penis after epinephrine injection with minimal edema. Apparently, the ?One-per-Mil? tumescent solution acts as a natural hydro-dissector creating avascular anatomic tissue planes for easier and more rapid dissection in surgery for hypospadias. We suggest that epinephrine is safe to be injected in penis as a future area of clinical practice."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2012
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Seivilia Artanti
"ABSTRAK
Tesis ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas dan keamanan pada pemberian midriatika injeksi epinefrin intrastroma kornea dengan intrakamera pada vitrektomi pars plana. Sebelum vitrektomi dilakukan pengukuran diameter pupil serta diameter pupil optimal yang diperoleh. Ketebalan sentral dan densitas kornea diukur menggunakan spekular mikroskop Non Conrobo Konan sebelum vitrektomi, saat follow-up 1 hari dan 1 minggu paska vitrektomi. Perbedaan bermakna p=0.015 untuk delta perubahan diameter pupil kelompok injeksi epinefrin intrastroma dibandingkan kelompok intrakamera. Rerata mean pada injeksi epinefrin intrakamera terhadap Central Corneal Thickness CCT awal, 1 hari dan 1 minggu terdapat perbedaan bermakna p = 0.041. Delta diameter pupil pada pemberian injeksi epinefrin intrastroma lebih lebar dibandingkan dengan intrakamera pada vitrektomi pars plana. Ketebalan CCT 1 minggu setelah tindakan pada injeksi epinefrin intrastroma kornea lebih rendah dibandingkan dengan intrakamera.

ABSTRACT
This thesis is to determine the effectiveness and safety of intrastromal epinephrine injection with intracameral injection on pars plana vitrectomy. The measurement of pupil diameter was done before vitrectomy and optimal pupil diameter is obtained. Central corneal thickness CCT and Endothelial Cell Density ECD were measured using a specular microscope Non Conrobo Konan before vitrectomy, at follow up 1 day and 1 week after vitrectomy. Optimal pupil diameter no significant difference p 0.05 . The difference was significant p 0.015 for the delta changes in pupil diameter intrastromal epinephrine injection group compared to the group intracameral. Average mean in epinephrine injection group intrakamera the initial CCT, 1 day and 1 week there is a significant difference p 0.041. Delta pupil diameter in epinephrine injection intrastromal wider than intracameral injection. CCT thickness 1 week after the epinephrine corneal intrastromal injection is lower than intracameral injection. "
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yenny Rachmawati
"

ABSTRAK

 

Nama                   : Yenny Rachmawati

Program studi      : Dermatologi dan Venereologi

Judul                    : Perbandingan Efektivitas serta Keamanan antara Krim Pelembap Niasinamid 4% dan Virgin Coconut Oil 30% untuk Pencegahan Sekunder Dermatitis Tangan Akibat Kerja pada Perawat Intensive Care Unit : Uji Klinis Acak Tersamar Ganda

 

Latar belakang:  Dermatitis tangan akibat kerja (DTAK) sering terjadi pada perawat Intensive Care Unit (ICU) terutama pada individu yang rentan akibat pajanan iritan berupa hand rub alcohol dan aktivitas cuci tangan berulang. Penggunaan pelembap adalah salah satu rekomendasi untuk perawatan kulit pada DTAK. Niasinamid memiliki efek antiinflamasi dan dapat memperbaiki fungsi sawar kulit. Vigin coconut oil (VCO) kaya akan kandungan lipid dan asam laurat, serta memiliki efek oklusif. Sampai saat ini belum ada panduan dan referensi jenis pelembap untuk pencegahan sekunder pada DTAK.

 

Tujuan: Mengetahui perbandingan efektivitas serta keamanan antara krim pelembap niasinamid 4% dan VCO 30% untuk pencegahan sekunder dermatitis tangan akibat kerja pada perawat ICU.

 

Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda terhadap perawat ICU dengan DTAK pada bulan September hingga Oktober 2019. Pasien yang memenuhi kriteria penerimaan dan bersedia mengikuti penelitian, mendapat niasinamid 4% atau VCO 30% sesuai dengan randomisasi blok. Pengolesan pelembap dilakukan dua kali sehari selama 28 hari. Perbaikan klinis dinilai dengan parameter skor Hand Eczema Scoring Index (HECSI) dan penilaian sawar kulit dinilai dengan transepidermal water loss (TEWL) serta hidrasi kulit dengan skin capasitance (SCap) pada hari ke-14 dan hari ke-28. Keamanan dinilai berdasarkan efek samping selama penelitian.

 

Hasil: Didapatkan 46 SP pada masing-masing kelompok niasinamid 4% dan VCO 30%. Terdapat penurunan skor HECSI pada kedua kelompok perlakuan di hari ke-14 dan hari ke-28. Median skor HECSI  di kelompok niasinamid 4% dan VCO 30%  pada hari ke-14 yaitu 6,5 dan 6 (p 0,160), serta pada hari ke-28 yaitu 4 dan 3 (p 0,046). Pada hari ke-28, perbedaan skor HECSI kedua kelompok secara statistik bermakna, namun secara klinis tidak bermakna. Terdapat penurunan nilai TEWL pada kedua kelompok perlakuan di hari ke-14 dan hari ke-28 dibandingkan baseline, namun pada area palmar di kelompok niasinamid 4% terdapat sedikit peningkatan nilai TEWL pada hari ke-28. Terdapat peningkatan nilai SCap pada kedua kelompok perlakuan di hari ke-14 dan hari ke-28 dibandingkan baseline. Kedua pelembap dapat ditoleransi dengan baik dengan efek samping minimal.

 

Kesimpulan: Niasinamid dan VCO efektif memperbaiki klinis DTAK pada perawat ICU, walaupun tidak terdapat perbedaan bermakna antara krim pelembap niasinamid 4% dengan VCO 30% untuk pencegahan sekunder dermatitis tangan akibat kerja pada perawat ICU

 

Kata kunci: dermatitis tangan akibat kerja, efektivitas, keamanan, pelembap, niasinamid 4%, VCO 30%

 


ABSTRACT

 

Name                 : Yenny Rachmawati

Study Program : Dermatologi dan Venereologi

Title                   : Comparison of the Effectiveness and Safety between Moisturizing Cream Containing Niacinamide 4% and Virgin Coconut Oil 30% for Secondary Prevention of Occupational Hand Dermatitis in Intensive Care Unit Nurses: a Double Blind Randomized Clinical Trial

 

Background:  Occupational hand dermatitis (OHD) often occurs in intensive care unit (ICU) nurses, especially in individuals who are vulnerable due to irritant exposure e.g. hand rub alcohol and repeated hand washing activities. The use of moisturizer is one of the recommendations for skin care in OHD. Niacinamide which has anti-inflammatory effects and can improve the skin sawar function. Virgin coconut oil (VCO) is rich in lipids and lauric acid, and has an occlusive effect. Until now there are no guidelines and reference types of moisturizers for secondary prevention in OHD.

 

Objective: To assess the difference of effectiveness and safety between moisturizing cream containing niacinamide 4% and VCO 30%  for secondary prevention of occupational hand dermatitis in ICU nurses

 

Methods: A double blind randomized controled trial was performed in ICU nurses with OHD during September–October 2019. Patients who fulfilled inclusion criteria and willing to be involved in the study were allocated to niacinamide 4% or VCO 30% based on block randomization.  Moisturizer were applied twice daily for 28 days. Measurement of Hand Eczema Scoring Index (HECSI) scores were conducted to evaluate the clinical improvement . Measurement of transepidermal water loss (TEWL) were conducted to evaluate the barrier skin and skin capacitance (SCap) values were conducted to evaluate skin hydration on 14th and 28th day. Safety were assessed based on side effects during research.

 

Results: There were 46 subjects in each arms of intention, the niacinamide 4% arm and in the VCO 30% arm. There were a decrease in HECSI scores in both treatment groups on 14th and 28th  day. The median score of HECSI in niacinamide 4% and VCO 30% on 14th day were 6.5 and 6 (p 0.160), and on 28th day were 4 and 3 (p 0.046). On 28th day, the difference in HECSI scores of the two groups were statistically significant, but clinically not significant. There were a decrease in TEWL values in both treatment groups on 14th and  28th day compared to baseline, but there were a slight increase in TEWL values in the palmar area in the niacinamide group on 28th day. There were an increase in SCap values in both treatment groups on 14th and 28th day compared to baseline. Both moisturizers were well tolerated with minimal side effects.

 

Conclusion: Niacinamide 4% and VCO 30% were effective in improving clinical OHD in ICU nurses, although there were no significant difference between moisturizing cream containing niacinamide 4% and virgin coconut oil 30% for secondary prevention of occupational hand dermatitis in ICU nurses.

 

Keywords: occupational hand dermatitis, effectiveness, safety, moisturizer, niacinamide 4%, VCO 30%

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sweety Pribadi
"Pendahuluan: Tujuan studi ini adalah untuk menemukan teknik penyuntikan larutan tumescent ONEPERMIL yang aman dengan menghindari cedera pembuluh darah perforator pada flap kulit berbasis perforator.
Metode: Studi eksperimental dengan kontrol dan randomisasi dilakukan pada 20 ekor Rattus novergicus strain Wistar yang sehat dengan berat 220-270 gram. Tiga mL larutan tumescent ONEPERMIL disuntikkan 10 menit sebelum dilakukan elevasi islanded groin flap. Teknik penyuntikan yang dirancang secara sistematis dibandingkan dengan teknik penyuntikan acak yang berperan sebagai kontrol. Kejernihan lapangan operasi beserta diameter pedikel pembuluh darah dicatat. Luas flap yang vital diolah dengan program AnalyzingDigitalImages® pada hari ke-7 pascaperlakuan. Analisis statistik dilakukan dengan tes Chi-square (p<0,05).
Hasil: Larutan tumescent ONEPERMIL menghasilkan lapangan operasi yang bersih tanpa perdarahan pada semua subyek. Ditemukan nekrosis sebanyak 3 dan 4 flap masing-masing pada grup acak dan sistematik. Tidak terdapat hubungan yang signifikan secara statistik (p>0.05) antara kedua teknik penyuntikan larutan tumescent berdasarkan nekrosis flap.
Kesimpulan: Walaupun larutan tumescent ONEPERMIL menghasilkan lapangan operasi bersih tanpa perdarahan, namun teknik penyuntikan secara sistematis tidak menghasilkan perbedaan bermakna bila dibandingkan dengan teknik acak.

Background: We aimed to find a safe injection technique of ONEPERMIL tumescent solution to avoid injuring the vessels in perforator-based skin flap.
Methods: A randomized controlled experimental study was conducted on both groins of 20 healthy Wistar stained-Rattus novergicus weighing 220-270 grams. A systematic injection pattern was compared to the random injection pattern which serves as control. Three mL ONEPERMIL tumescent solution was injected subcutaneously before elevation of the islanded groin flap. Clarity of the operating field along with the size of the pedicle were recorded. The survival area of the skin flap was managed with AnalyzingDigitalImages® on post operative day-7. The data was analyzed with Chi-square test (p<0.05).
Results: Totally bloodless operative field was observed in all subjects. Three and four flaps turned into total or partial necrosis in random and systematic pattern group subsequently. No significant difference (p>0.05) was found between the injection technique groups in terms of flap necrosis.
Conclusion: Although the ONEPERMIL tumescent technique is advantageous in a way that it provides a totally bloodless operative field, but systematic patterned-technique of injection did not provide a different result in comparison to the custom random patternedmulti-passing needle injection technique.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Kusumawardhani
"Bedah kimia trichloroacetic acid (TCA) memiliki efek samping yang lebih banyak dibandingkan larutan bedah kimia lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas pelembap dalam mengurangi efek samping pasca-bedah kimia TCA. Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda dengan metode split face yang dilakukan di Poliklinik Dermatologi dan Venereologi Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo. Penilaian global peneliti (PGP), penilaian subjektif pasien (PSP), pemeriksaan indeks eritema (IE), transepidermal water loss (TEWL), dan skin capacitance (SCap) dilakukan pada hari ke-0, 3, dan 7. Subjek penelitian (SP) merupakan wanita dengan diagnosis penuaan kulit (rata-rata usia 46,7 tahun). Sebanyak 27 SP dirandomisasi untuk mendapatkan krim intervensi (krim campuran ekstrak spent grain wax, argan oil, dan shea butter) atau krim vehikulum pada salah satu sisi wajah pasca-tindakan bedah kimia TCA 15%. Terdapat penurunan nilai PGP, PSP, kadar TEWL, dan IE pada kelompok intervensi pada hari ke-3 dan 7 dibandingkan dengan kelompok vehikulum, namun tidak signifikan secara statistik. Kadar SCap meningkat signifikan pada hari ke-7 pada pasien yang mendapat krim intervensi dibandingkan dengan krim vehikulum. Tidak ada efek samping obat yang dilaporkan pada penelitian ini. Krim campuran ekstrak spent grain wax, argan oil, dan sheabutter  aman digunakan dan dapat mengurangi efek samping pasca-bedah kimia TCA.

TCA chemical peel has more side effects than other chemical peel solutions. This study aims to assess the effectiveness safety of a post-peel cream containing spent grain wax, argan oil, and shea butter in reducing TCA peel side effects. A randomized, placebo-controlled, double-blinded, split face trial on women undergoing TCA 15% chemical peels. Assessment for global investigator assessment (GIA), subject self-assessment (SSA), erythema index, transepidermal water loss (TEWL), and skin capacitance (SCap) was conducted on days 0, 3, and 7. Twenty-seven patients (mean age 46.7 years) were recruited. There were significant improvements in GIA and SSA scores on both groups, but it is not different between the treatment groups. There were erythema index and TEWL improvement on days 3 and 7 compared to baseline, however, there were no differences between groups. The SCap measurement showed significant improvement in skin capacitance on both groups on day 7, but it was better improvement within intervention group. No adverse effects were reported. Cream containing spent grain wax, argan oil, and shea butter showed higher skin capacitance levels but did not significantly affect erythema index, TEWL, clinical and subjective assessments after TCA chemical peeling. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>