Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 110928 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cut Mela Yunita Sari
"Latar Belakang: Penurunan kapasitas latihan dan kekuatan otot merupakan gambaran yang umum dijumpai pada pasien hemodialisis (HD) kronik. Perbaikan kadar hemoglobin (Hb) tidak memperbaiki secara optimal kapasitas latihan. Prevalensi kalsifikasi arteri tinggi pada pasien HD. Hal ini menyebabkan berkurangnya elastisitas pembuluh darah sehingga meningkatkan kekakuan arteri. Terdapat bukti klinis bahwa kekakuan arteri sentral memengaruhi kapasitas latihan pada pasien penyakit ginjal kronik (PGK). Kapasitas latihan dapat diprediksi dengan menilai kekuatan otot perifer.
Tujuan: Mengetahui korelasi kekakuan arteri sentral dengan kekuatan genggam tangan pada pasien yang menjalani HD kronik.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan subyek pasien HD kronik yang diambil dengan teknik consecutive sampling dengan rentang usia 18 – 59 tahun.  Analisis bivariat dilakukan untuk menilai korelasi kekakuan arteri sentral (dengan menilai central pulse wave velocity/cPWV) dengan kekuatan genggam tangan (KGT), kemudian dilakukan korelasi parsial terhadap variabel perancu (usia, dialysis vintage, Hb, dan aktivitas fisik).
Hasil: Terdapat 45 pria dan 40 wanita dengan median usia masing-masing 47 (19-59) dan 47 (18-59) tahun. Kedua kelompok mempunyai tingkat aktivitas fisik sedang. Tidak terdapat korelasi antara cPWV dengan KGT baik pada  pria (r = -0,046, p = 0,763) maupun wanita (r = -0,285, p = 0,113). Analisis stratifikasi pada wanita yang memiliki tinggi badan (TB) >150 cm menunjukkan korelasi negatif derajat sedang antara cPWV dengan KGT (r = -0,466; r2 = 0,217; p = 0,016). Nilai cPWV berperan sebesar 21,7% terhadap KGT, dan 78,3% diduga dipengaruhi oleh faktor perancu. Kelompok KGT rendah memiliki nilai cPWV yang meningkat pada semua kategori usia.
Simpulan: Kekakuan arteri sentral tidak berhubungan dengan kekuatan genggam tangan pada pasien yang menjalani HD kronik. Terdapat kecenderungan peningkatan nilai cPWV pada subjek yang memiliki KGT rendah.

Background: Exercise intolerance and muscle weakness are the common features in hemodialysis patients. However, correction of renal anemia by eritropoetin does not optimize the exercise capacity. The prevalence of arterial calcification among the hemodialysis patient is high. It thereby decreased the elasticity of the vessels and increased the arterial stiffness. Clinical evidence showed that central arterial stiffness affects the exercise capacity in chronic kidney disease (CKD). Exercise capacity can be predicted by assessing peripheral muscle strength.
Objective: To investigate the correlation between central arterial stiffness and handgrip strength in chronic hemodialysis patients.
Methods: This study use cross-sectional design which perform in chronic HD patients aged between 18 and 59 years old by consecutive sampling. Bivariate analysis was done to determine the correlation between central arterial stiffness (assessed using central pulse wave velocity /cPWV) and handgrip strength (HGS). Afterwards, partial correlation of confounding variables (age, dialysis vintage, Hb and physical activity) were also be analyzed.
Results: There were 45 men and 40 women with the median age of 47 (19-59) and 47 (18-59) years old, respectively. Both groups have moderate level of physical activity. There was no correlation between cPWV and HGS in men (r = -0.046, p = 0.763) and women (r = -0.285, p = 0.113). Stratified analysis in women with height over 150 cm showed a moderate negative correlation between cPWV and HGS (r = -0,466; r2 = 0,217; p = 0,016). cPWV accounted for 21.7% of HGS, while 78.3% were suggested to be influenced by the confounding factors. The group with low HGS had an increased cPWV in all age categories.
Conclusion: Central artery stiffness was not associated with HGS in chronic HD patient. There was a tendency of increased central arterial stiffness in the group of subjects who had low HGS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58576
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elizabeth Yasmine Wardoyo
"Pendahuluan: Kekakuan arteri merupakan prediktor mortalitas pasien hemodialisis. Hemodialisis merupakan proses yang menginduksi inflamasi, ditandai dengan peningkatan penanda inflamasi, Pentraxin 3 (PTX3), intradialisis. Rerata kekakuan arteri pada pasien HD dua kali seminggu di Indonesia menunjukkan hasil yang lebih rendah daripada literatur.
Tujuan: Mengetahui faktor risiko kekakuan arteri pada pasien hemodialisis kronik dengan berfokus pada frekuensi hemodialisis dan PTX3.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang di RS Cipto Mangunkusumo, RS Fatmawati, dan RS Medistra pada pasien yang menjalani hemodialisis minimal 1 tahun dengan frekuensi dua dan tiga kali seminggu. Kekakuan arteri diukur dengan carotid-femoral pulse wave velocity. Pemeriksaan PTX3 dilakukan sebelum hemodialisis dimulai.
Hasil: Penelitian dilakukan pada 122 subjek, 82 subjek diantaranya menjalani hemodialisis dua kali seminggu. Tidak ada perbedaan kekakuan arteri antara pasien HD 2x dan 3x seminggu. PTX3 > 2,3 ng/ml berhubungan dengan kekakuan arteri (p=0,021). Pada analisis multivariat, PTX3 berhubungan dengan kekakuan arteri (adjusted OR 5,18; IK 95% 1,07-24,91), demikian juga penyakit kardiovaskular (adjusted OR 3.67; IK 95% 1.40-10.55), kolesterol LDL (adjusted OR 3.10; IK 95% 1.04-9.24), dan dialysis vintage (adjusted OR 2.72; IK 95% 1.001-7.38).
Simpulan: PTX >2,3 ng/ml berhubungan dengan kekakuan arteri. Tidak terdapat perbedaan kekakuan arteri antara pasien HD dua kali dan tiga kali seminggu.

Introduction: Arterial stiffness is a mortality predictor in hemodialysis patients. Hemodialysis induces inflammation, marked by intradialysis increment of inflammatory marker, Pentraxin 3 (PTX3). The mean arterial stiffness in twice-weekly hemodialysis patients in Indonesia is lower than studies done in thrice-weekly patients.
Objective: To determine factors associated with arterial stiffness in hemodialysis patients, focusing on the role of hemodialysis frequency and PTX3.
Methods: This study is a cross-sectional study conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital, Fatmawati Hospital, and Medistra Hospital Jakarta in twice- and thrice-weekly hemodialysis patients. Arterial stiffness is measured by carotid-femoral pulse wave velocity.
Results: The study is conducted in 122 subjects, 82 of them undergo twice-weekly hemodialysis. There is no difference in arterial stiffness between twice- and thrice-weekly subjects. PTX3>2.3 ng/ml is associated with arterial stiffness (p= 0.021). In multivariate analysis, PTX3 is associated with arterial stiffness (adjusted OR 5.18; 95% CI 1.07-24.91), as well as cardiovascular disease (adjusted OR 3.67; 95% CI 1.40-10.55), LDL cholesterol (adjusted OR 3.10; 95% CI 1.04-9.24), and dialysis vintage (adjusted OR 2.72; 95%CI 1.001-7.38).
Conclusions: Predialysis PTX3 level above 2.3 ng/ml is associated with arterial stiffness. There is no difference in arterial stiffness between twice- and thrice-weekly hemodialysis patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maretha Primariayu
"Latar belakang: Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan penyakit kronis yang menjadi masalah kesehatan global. Hemodialisis (HD) adalah salah satu terapi pengganti ginjal pada PGK stadium akhir yang bersifat katabolik. Pasien PGK dengan HD rutin rentan mengalami protein energy wasting (PEW) apabila tidak mendapatkan asupan energi dan protein yang adekuat. Terapi medik gizi yang komprehensif dan holistik diperlukan untuk mencegah terjadinya atau bertambahnya progresivitas PEW yang memengaruhi
kualitas hidup pasien.
Kasus: Empat orang perempuan berusia 24-52 tahun dengan diagnosis PGK stadium akhir yang rutin menjalani HD. Selama menjalani HD, seluruh pasien memiliki riwayat asupan energi total <25 kkal/kg BB dengan protein <1 g/kg BB. Kekuatan genggam tangan pada seluruh pasien <18 kg dan kadar albumin tiga pasien <3,8 g/dL. Tiga pasien telah mengalami PEW dan satu lainnya berisiko PEW. Terapi medik gizi diberikan sesuai kondisi klinis masing-masing pasien dengan target protein 1,2-1,4 g/kgBB/hari.
Hasil: Asupan energi dan protein pada seluruh pasien meningkat pada akhir pemantauan. Rerata pasien dapat mencapai 90% KET dengan protein mencapai 1,3 g/kg BB/hari selama pemantauan. Kekuatan genggam tangan, kadar albumin, hemoglobin, dan komposisi tubuh pasien PGK dengan HD rutin yang mendapatkan terapi medik gizi mengalami perbaikan.
Kesimpulan:
Terapi medik gizi yang adekuat mendukung perbaikan klinis serta parameter
laboratorium pada pasien PGK dengan HD rutin sehingga dapat mencegah terjadinya atau bertambahnya progesivitas PEW.

Background: Chronic kidney disease (CKD) is a chronic disease that has become global health problem. One of renal replacement therapy in end-stage CKD is hemodialysis (HD) which is a catabolic procedure. CKD patients on maintenance HD (MHD) is susceptible to develop protein energy wasting (PEW) if they get inadequate energy and protein intake. Comprehensive and holistic nutritional medical therapy is needed to prevent development or rapid progression of PEW which affects the quality of life of patients.
Case:
Four women aged 24-52 years with end-stage CKD on MHD. All patients had total energy intake <25 kcal / kg BW with protein intake <1 g / kg body weight. Handgrip strength in all patients were less than 18 kg and three of them have albumin levels less than 3.8 g/dL. Three patients experienced PEW and the other had risk of PEW. Nutritional medical therapy is given according to the clinical conditions of each patient with target of protein from 1.2-1.4 g / kg BW / day.
Results: All patient showed increment intake of energy and protein. The average of energy intake patient can reach 90% total energy requirement with protein intake reached 1.3 g / kg / day during monitoring. Handgrip strength, albumin, hemoglobin levels, and body composition in CKD patient on MHD who received nutritional medical therapy were improved.
Conclusion: Adequate nutritional medical therapy supports improvement of clinical condition and laboratory parameters in CKD patients on MHD with the purposes of preventing development or rapid progression of PEW.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Kurnia Pratama
"Penuaan adalah proses alamiah yang dapat dilihat dari penurunan massa otot atau sarkopenia. Sarkopenia merupakan masalah karena terkait dengan peningkatan risiko jatuh. Oleh karena itu, kemampuan fisik orang usia lanjut perlu diketahui sejak awal. Pengukuran kekuatan genggam tangan digunakan untuk mengukur kekuatan otot tangan dan timed up and go test digunakan untuk mengukur mobilitas fungsional. Sampai saat ini korelasi keduanya belum diketahui sehingga korelasi keduanya perlu diteliti di samping mencari rerata keduanya. Penelitian ini dilakukan pada 73 pasien usia lanjut di Poliklinik Geriatri RSCM berupa pengukuran kekuatan genggam tangan dengan dinamometer Jamar dan TUGT dengan pengukur waktu. Uji normalitas data tersebut dilakukan dan diikuti dengan uji korelasi Spearmann. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang bermakna dengan hubungan menengah r=-0,568, p=0,000 . Rerata kekuatan genggam tangan dalam mean yang didapatkan adalah sebesar 19,1 kg sedangkan rerata mobilitas fungsional yang didapatkan dalam median adalah sebesar 12,8 5,9-30,9 s.

Aging is a normal process happened and can be viewed from muscle mass reduction or sarcopenia. Sarcopenia is problematic since it is correlated with higher fall risk. Based on that finding, early measurement of physical performance of elderly is a necessary. Hand grip strength can be measured to assess hand muscle strength while timed up and go test TUGT is used to assess functional mobility. However, correlation of both variable hasn rsquo t been clearly explained thus makes this research is needed. This research was also done to measure the average of hand grip strength and functional mobility on elderly patient. This research was done on elderly patient in Geriatric Policlinic of RSCM by measuring hand grip strength using Jamar dynamometer and measuring TUGT using stopwatch. Correlation between two variables are calculated by Spearmann correlation test after being tested their normality using normality test. The result showed there are significantly meaningful moderate correlation between hand grip strength and functional mobility p 0,000, r 0,568 . The average of the hand grip strength is 19,1 kg in mean and the average of the functional mobility is 12,8 5,9 30,9 s in median."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70308
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deka Viotra Kamaruddin
"Latar Belakang: Kekakuan arteri merupakan prediktor morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pasien menjalani dialisis. Beberapa studi yang membandingkan kekakuan arteri antara pasien yang menjalani hemodialisis dengan continuos ambulatory peritoneal dialysis CAPD masih kontroversi. Pelaksanaan hemodialisis yang dilakukan dua kali seminggu di Indonesia akan meningkalkan kekakuan arteri.
Tujuan: Membandingkan kekakuan arteri antara pasien menjalani yang CAPD dengan hemodialisis dua kali seminggu.Metode: Studi komperatif membandingkan kekakuan arteri pasien yang menjalani CAPD dengan hemodialisis. Penelitian ini terdiri dari 30 subjek CAPD dan 30 subjek hemodialisis selanjutnya dilakukan pemeriksaan kekakuan arteri menggunakan SphygmoCor.
Hasil: Karakteristik subjek yang menjalani CAPD dan hemodialisis tidak terdapat perbedaan pada usia, jenis kelamin, tekanan darah, lama menjalani dialisis dan diabetes melitus. Kadar fosfat subjek yang menjalani CAPD 5,09 1,83 mg/dL lebih rendah dibandingkan hemodialisis 6,07 1,83 mg/dL dan bermakna secara stastistik p = 0,046. Subjek yang menjalani CAPD mempunyai PWV 8,04 1,54 m/s lebih rendah dibandingkan hemodialisis 9,05 1,98 m/s dan bermakna secara stastistik p = 0,03.
Simpulan: Pasien yang menjalani CAPD mempunyai kekakuan arteri yang lebih rendah dibandingkan hemodialisis dua kali seminggu.

Background: Arterial stiffness is a predictor of cardiovascular morbidity and mortality in dialysis patients. Several studies comparing arterial stiffness among patients undergoing continuous ambulatory peritoneal dialiyis CAPD and hemodialysis are still controversial. In, Indonesia hemodialysis is still performed twice a week that can cause the arterial stiffness higher than CAPD.
Objective: This study is aimed to compare arterial stiffness between CAPD and hemodialysis that performed twice a week patients.
Method: The comparative study between CAPD and hemodialysis patients. This study consisted of 30 CAPD and 30 hemodialysis patients. The examination of arterial stiffness used SphygmoCor.
Result: The CAPD and hemodialysis patients were no different in age, sex, blood pressure, dialysis duration and diabetes mellitus. Phosphate levels in CAPD 5.09 1.83 mg/dL were lower than hemodialysis patients 6.07 1.83 mg/dL and stastically significant p = 0.046. CAPD patients have lower PWV 8.04 1.54 m/s than hemodialysis 9.05 1.98 m/s and stastically significant p = 0.03.
Conclusion: The CAPD patients have lower arterial stiffness than hemodialysis patients that performed twice a week."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tanya Herdita
"Latar Belakang: Penyakit ginjal tahap akhir (PTGA) memiliki mortalitas dan morbiditas yang utamanya disebabkan oleh gangguan kardiovaskular. Salah satu penyebab gangguan kardiovaskular tersebut adalah kekakuan arteri. Hemodialisis merupakan salah satu intervensi pada pasien PTGA. Namun, faktor-faktor yang memengaruhi kekakuan arteri pada pasien PTGA yang menjalani hemodialisis masih belum banyak diteliti.
Tujuan: Mengetahui proporsi kekakuan arteri pada pasien PGTA yang menjalani hemodialisis dua kali seminggu dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Studi observasional dengan desain potong lintang dilakukan di Unit Hemodialisis Divisi Ginjal-Hipertensi Rumah Sakit Umum Pusat dr. Cipto Mangunkusumo (RSUPN-CM) pada bulan April-Mei 2019. Pasien penyakit ginjal tahap akhir yang menjalani hemodialisis dua kali per minggu minimal selama 3 bulan terakhir diikutsertakan dalam penelitian. Pasien yang mengalami penyakit akut atau tidak kooperatif dieksklusi dari penelitian. Kekakuan arteri dinilai dalam bentuk Pulse Wave Velocity (PWV) menggunakan alat SphygmoCor dengan cutoff PWV 10 m/s.
Hasil: Sebanyak 83 subyek penelitian yang terdiri dari 22 (26,5%) subyek dengan kekakuan arteri dan 61 (73,5%) subyek tanpa kekakuan arteri diikutsertakan dalam studi. Faktor-faktor yang berhubungan secara indenden dengan kekakuan arteri adalah kadar gula darah puasa (odds ratio 6,842 (IK95% 1,66-28,24)) dan kadar LDL (odds ratio 4,887 (IK95% 1,59-16,58)).
Simpulan: Proporsi kekakuan arteri pada pasien PGTA yang menjalani hemodialisis dua kali seminggu adalah sebesar 26,5%. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kekakuan arteri pada pasien PGTA dengan hemodialisis kronik dua kali per minggu adalah kadar gula darah puasa dan kadar LDL.

Introduction: End stage renal disease (ESRD) mortalities and morbidities are mainly occurred in association with cardiovascular disease. One of which is arterial stiffness. Hemodialysis is one of the intervention for ESRD patients. However, factors affecting arterial stiffness in ESRD patients having hemodialysis have not been studied much in Indonesia.
Aim: Investigating the proportion of arterial stiffness in ESRD patients having hemodialysis two times a week and factors affecting it.
Methods: An observational study with cross-sectional design was performed in Hemodialysis Unit, Kidney and Hypertension Division, National General Hospital Cipto Mangunkusumo (RSUPN-CM) on April to May, 2019. ESRD patients having hemodialysis two times a week for at least 3 months were included in the study. Patients with acute disease or uncooperative were excluded from the study. Arterial stiffness was measured as pulse wave velocity (PWV) using SphygmoCor® with PWV cutoff of 10m/s.
Results: There were 83 study samples included in this study, 22 (26,5%) of which were patients with arterial stiffness and 61 (73,5%) of which were patients without arterial stiffness. Factors independently affecting arterial stiffness were fasting glucose level (odds ratio 6,842 (CI95% 1,66-28,24)) and LDL level (odds ratio 4,887 (CI95% 1,59-16,58)).
Conclusion: The proportion of arterial stiffness in ESRD patients having hemodialysis two times a week was 26,5%. Factors affecting arterial stiffness in ESRD patients were fasting glucose level and LDL level."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Luana Lidwina
"Latar belakang: Pasien kanker kepala leher (KKL) yang mendapatkan kemoradiasi berisiko mengalami malnutrisi dan meningkat hingga 88 % saat akhir kemoradiasi. Efek samping kemoradiasi berupa xerostomia, mukositis, mual atau muntah menambah penurunan status nutrisi dan kapasitas fungsional. Monitoring status nutrisi melalui penilaian berat badan (BB) dan kekuatan genggam tangan (KGT) sebagai cara sederhana dan minimal invasif dibandingkan alat pemeriksaan lain seperti pengukur komposisi tubuh dan Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DEXA). Belum diketahui frekuensi kunjungan optimal ke poli gizi selama menjalani kemoradiasi.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang, dilakukan di Radioterapi RSCM (IPTOR RSUPNCM).Penelitian ini bertujuan melihat korelasi frekuensi kunjungan pasien KKL yang menjalani kemoradiasi terhadap BB dan KGT, dengan kriteria inklusi adalah pasien KKL dewasa, usia 19 hingga 59 tahun, yang menjalani kemoradiasi pada 10 fraksi terakhir, dan bersedia masuk dalam penelitian. Pengukuran BB menggunakan timbangan merk Omron® Karada-HBF-375, kekuatan genggam tangan menggunakan Jamar® handgrip pada tangan kanan dominan subjek.
Hasil: Rerata BB 55,65±12,34 kg, rerata KGT 29,24±10,74 kg, dan rerata frekuensi 1 kali. Rerata asupan energi 1225,96±501,22 kkal, protein median 41 g, rerata lemak 33,5±18,8g dan KH 182,2±78,3g. Korelasi antara frekuensi kunjungan terhadap BB (r= 0,61, p= 0,66) dan KGT (r=0,06, p= 0,64).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara frekuensi kunjungan terhadap BB dan KGT.

Background: Head and neck cancer patients who get chemoradiated are at risk of malnutrition and an increase in malnutrition of up to 88% at the end of chemoradiation. Side effects of chemoradiation in the form of xerostomia, mucositis, nausea or vomiting add to the decrease : Luana Lidwina in nutritional status and functional capacity. Monitoring nutritional status, one of which is carried out by assessing body weight (BW) and hand-holding strength (HGS). BW and HGS assessments are a simple and minimally invasive way for people with head and neck cancer (HNC) compared to other examination tools such as body composition measuring devices, Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DEXA), and require high costs. It is not yet known the frequency of optimal visits of HNC patients to the nutrition poly during the moradiation period.
Methods: This study used the cross section method, conducted in RSCM Radiotherapy (IPTOR RSUPNCM). This study aims to see a correlation between the frequency of visits by HNC patients undergoing morbidity to BW and HGS. Subjects included as inclusion criteria were adult HNC patients, ages 19 to 59, who underwent chemoradiation in the last 10 fractions, and were willing to enter the study to be taken. BW measurements using omron® Karada- HBF-375 brand scales, hand grip strength using Jamar® handgrip on the dominant right hand of the subject.
Result: The weight of the subjects had an average of 55.6 5±12.34 kg, HGS had an average of 29.24±10.74 kg, and an average frequency of 1 time. Average energy intake 1225.96±501.22 kcal, median protein 41 g, average fat 33.5±18.8g and KH 182.2±78.3g. Correlation between the frequency of visits to BW (r= 0.61, p= 0.66) and HGS (r=0.06, p= 0.64).
Conclusion: There was no correlation between the frequency of visits to BB and KGT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Donnie Lumban Gaol
"

Latar Belakang: Salah satu faktor utama yang terlibat dalam gangguan mineral tulang dan muskuloskeletal pada pasien penyakit ginjal kronik (PGK) adalah Fibroblast Growth Factor-23 (FGF-23). Peningkatan kadar FGF-23 terjadi pada awal PGK dan semakin meningkat pada PGK tahap akhir terutama yang menjalani dialisis. FGF-23 mendapat perhatian khusus karena perannya terhadap otot skeletal pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis belum diketahui secara pasti. 

Tujuan: Mengetahui korelasi antara kekuatan genggam tangan(KGT) dengan kadar FGF-23 pada pasien yang menjalani hemodialisis kronis.

Metode: Penelitianinimerupakanstudipotong lintang. Penelitian ini dilaksanakan di unit Hemodialisis Divisi Ginjal-Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM Jakarta, pada 74 pasien dialisis 2 kali seminggu. Pengukuran FGF dengan pemeriksaan intactFibroblast Growth Factor-23 (iFGF-23) dan menilai KGT dengan dinamometer hidraulik tangan merek Jamar. Pemilihansubjekdilakukansecaraconsecutivesamplingsampaijumlah subyekyangdiperlukanterpenuhi.

Hasil: Subjek pada penelitian ini sebanyak 74 subjek dengan kadar pemeriksaan iFGF-23 pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan, (3276 [ min-maks; 41-6613]pg/ml dan1585 pg/ml, [min-maks; 21-4820])dan nilai KGT pasien laki-laki adalah 25 kg (min-maks; 11-48) dan perempuan adalah 20 kg (min-maks; 8-26). Setelah dilakukan penyesuaian dengan indeks komorbid charlson modifikasidan indeks massa tubuh, maka tidak didapatkan korelasi antara FGF-23 dengan KGT pada subjek laki-laki (r=-0.053, p=0.7) akan tetapi terdapat korelasi negatif bermakna pada subjek perempuan (r=-0.4, p=0.02). 

Kesimpulan: Kadar iFGF-23 memiliki korelasi negatif bermakna dengan KGT pada perempuan dan hal tersebut tidak ditemukan pada subjek penelitian laki-laki.


Background: Patients with chronic kidney disease (CKD) face with muscle atrophy, low muscle strength, and low physical activity. One of the main factors involved in bone mineral and skeletal muscle dysfunction in patients with chronic kidney disease (CKD) is Fibroblast Growth Factor-23 (FGF-23). Despite FGF-23 associated left ventricular hypertrophy, there are no prior studies assessing whether FGF-23 level is associated with skeletal muscle strength in hemodialysis patient. 

Objective: To determine the correlation between hand-grip strength (HGS) and FGF-23 levels in patients undergoing twice-weekly hemodialysis patients.

Patient and Method: This is a cross-sectional study, which was conducted on 74 twice-weekly hemodialysis patient at the Hemodialysis Unit at Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Before dialysis session, intact Fibroblast Growth Factor-23 (iFGF-23) were measured in singlicate from plasma samples and han-grip strength that measured by Jamar hydraulic hand dynamometer. Subject selection was done by consecutive sampling until the required number of subjects was fulfilled. 

Results: There were 74 subjects recruited in this study, which included 7 (18.9%) male and 3 (8.1%) female subject had body mass index (BMI) < 18.5 kg/m2. Level of iFGF23 were significantly higher in males than in females (3276 pg/ml [ min-max, 41-6613] and 1585 pg/ml, [min-max 21-4820], respectively). According to the Asian Working Group for Sarcopenia, the HGS value of male patients was lower than in females (25 kg [min-max; 11-48], (20 kg [min-max; 8-26], respectively). After adjusting to Modified Charlson Comorbidity index (mCCI) and BMI, we found a significant correlation iFGF-23 and HGS in the female subject (r = -0.4, p = 0.02 and no correlation between iFGF-23 and HGS in male subject (r = -0,053, p = 0.7). 

 

Conclusion: In twice-weekly hemodialysis patients, iFGF-23 has a significant correlation with HGS in women and this was not found in male subject.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Beatrice Cynthia Walter
"Latar Belakang: Laparotomi merupakan pembedahan mayor yang dapat menyebabkan penurunan massa otot rangka dan kapasitas fungsional, seperti kekuatan genggam tangan (KGT). Berbagai studi membuktikan penurunan KGT pascaoperasi menimbulkan komplikasi pascaoperasi, serta KGT berkorelasi erat dengan appendicular skeletal muscle index (ASMI). Pengaruh ASMI praoperasi terhadap KGT pascaoperasi belum banyak dilakukan penelitian, sehingga penelitian ini bertujuan menilai korelasi ASMI praoperasi dengan KGT pascaoperasi.
Metode: Studi observasional prospektif dilakukan pada subjek berusia 18 – 65 tahun di RS pendidikan tersier, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, yang dirawat untuk laparotomi elektif pada Maret sampai Juni 2023. Pengukuran ASMI praoperasi menggunakan bioimpedance analysis (BIA) multifrequency seca® mBCA 525 dengan cutoff laki-laki > 7,0kg/mg2 dan perempuan >5,7 kg/m2. Pengukuran KGT pada tangan kanan dan kiri pascaoperasi pada hari ke-6 pascaoperasi (POD-6) dengan dinamometer tangan spring-type CAMRY® dengan cutoff laki-laki >28 kg/m2 dan perempuan >18 kg/m2. Analisis bivariat dan multivariat digunakan untuk menilai hubungan variabel bebas dan terikat, serta mengidentifikasi faktor perancu yang berhubungan dengan KGT pascaoperasi.
Hasil: Pada 85 subjek penelitian, sebanyak 98,82% subjek memiliki ASMI praoperasi rendah, 72,94% subjek memiliki KGT pascaoperasi tangan kanan menurun, dan 80% subjek memiliki KGT pascaoperasi tangan kiri menurun dari cutoff. Didapatkan hasil signifikan pada korelasi ASMI praoperasi dengan KGT pascaoperasi tangan kanan (r=0,444, p<0,001) dan kiri (r=0,423, p<0,001). Analisis lanjutan dengan regresi linier untuk faktor perancu didapatkan indeks massa tubuh (IMT) adalah faktor paling signifikan meningkatkan KGT tangan kanan dan kiri pascaoperasi.
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik pada korelasi ASMI praoperasi dengan KGT pascaoperasi laparotomi elektif.

Background: Laparotomy is a major surgery that can lead to a decrease in skeletal muscle mass and functional capacity, such as handgrip strength (HGS). Various studies have shown that HGS is decreasing after surgery can result in postoperative complications, and HGS is closely correlated with the appendicular skeletal muscle index (ASMI). Research on the preoperative influence of ASMI on postoperative HGS is limited, so this study aims to assess the correlation between preoperative ASMI and postoperative HGS.
Top of Form
Methods: A prospective observational study was conducted on subjects aged 18-65 years at the tertiary education hospital, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, who underwent elective laparotomy from March to June 2023. Preoperative ASMI measurements were taken using multifrequency bioimpedance analysis (BIA) with seca® mBCA 525, with a cutoff for males > 7.0 kg/m2 and females > 5.7 kg/m2. Postoperative HGS measurements for the right and left hands on postoperative day 6 (POD-6) were conducted using a spring-type hand dynamometer CAMRY® with a cutoff for males > 28 kg/m2 and females > 18 kg/m2. Bivariate and multivariate analyses were employed to assess the association between independent and dependent variables, as well as to identify confounding factors associated with postoperative HGS.
Results: In 85 research subjects, 98.82% had low preoperative ASMI, 72.94% experienced a decrease in postoperative right HGS, and 80% had a decrease in postoperative left HGS from the cutoff. Significant results were obtained in the correlation between preoperative ASMI and postoperative right HGS (r=0.444, p<0.001) and left HGS (r=0.423, p<0.001). Further analysis with linear regression for confounding factors revealed that body mass index (BMI) was the most significant factor in increasing postoperative HGS for both right and left hands.
Conclusion: There is a statistically significant in the correlation between preoperative ASMI and postoperative HGS in elective laparotomy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhian Akbar
"ABSTRAK
Proses penuaan memberi dampak pada fungsi tubuh manusia, salah satunya adalah sarcopenia. Sarcopenia adalah pengurangan keseluruhan massa otot skeletal dan kekuatan secara progresif. Kondisi ini bisa berkembang menjadi lemah. Frailty akan menyebabkan perubahan keseimbangan energi yang malnutrisi. Pengurangan status Gizi biasanya ditemukan pada pasien usia lanjut. Jika tidak dirawat dengan benar, negara bisa progresif. Selain itu, kekuatan genggaman tangan yang dikenal memiliki beberapa kaitan dengan beberapa kondisi pada lansia seperti sarkopenia dan kerapuhan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kekuatan genggaman tangan dan status gizi. Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional yang dilakukan di Poliklinik Geriatrik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo untuk pasien geriatri antara Januari September 2016. Kekuatan genggaman tangan dan status gizi diukur menggunakan Jamar Dynamometer dan Mini Nutritional Assessment. Dari 98 pasien, median kekuatan genggaman tangan adalah 18. Ada 6 pasien 6,1 dengan malnutrisi dan 59 pasien 60,2 dengan risiko kekurangan gizi dan 33 pasien 33,7 dengan status gizi normal. Berdasarkan uji korelasi Pearson, kekuatan genggaman tangan berhubungan dengan status gizi p 0,008 dan r 0,268. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kekuatan genggaman tangan berhubungan dengan status gizi.

ABSTRAK
Process of aging give some impact to function of human body, one of them is sarcopenia. Sarcopenia is overall reduction of skeletal muscle mass and power progressively. This condition can develop become frailty. Frailty will lead to change of energy balance which is malnutrition. Reduction of Nutritional status is commonly found in elderly patient. If it is not treated properly, the state can be progressive. Besides, hand grip strength well known has some association to several condition in elderly such as sarcopenia and frailty. The aim of this research is to find the correlation between hand grip strength and nutritional status. This research using cross sectional design was conducted in Geriatric Policlinic of Cipto Mangunkusumo Hospital to geriatric patients between January September 2016. Hand grip strength and nutritional status was measured using Jamar Dynamometer and Mini Nutritional Assessment. From 98 patients, the median of hand grip strength was 18. There were 6 patients 6,1 with malnutrition and 59 patients 60,2 with risk of malnutrition and 33 patients 33,7 with normal nutritional status. Based on Pearson correlation test, hand grip strength has correlation with nutritional status p 0,008 and r 0,268 . The conclusion of this research is hand grip strength has correlation with nutritional status."
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>