Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1705 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hilman Zulkifli Amin
"ABSTRACT
Atherosclerosis is a chronic inflammatory disorder involving innate and adaptive immunity process. Effector T cell (Teff) responses promote atherosclerotic disease, whereas regulatory T cells (Tregs) have been shown to play a protective role against atherosclerosis by down-regulating inflammatory responses which include multiple mechanisms. Compelling experimental data suggest that shifting the Treg/Teff balance toward Tregs may be a possible therapeutic approach for atherosclerotic disease, although the role of Tregs in human atherosclerotic disease has not been fully elucidated. In this review, we discuss recent advances in our understanding of the roles of Tregs and Teffs in experimental atherosclerosis, as well as human coronary artery disease."
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2017
610 UI-IJIM 49: 1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Meiny Faudah Amin
"Background: Infeksi Endodontik dapat menjadi faktor prediktor penyakit jantung koroner (PJK) aterosklerosis. Penyakit ini terjadi karena merespon proses inflamatori akibat infeksi bakteri Porphyromonas endodontalis. Beberapa literatur mengatakan bahwa etiologi penyakit kardiovaskular disebabkan infeksi kronik. Diduga bakteri Porphyromonas endodontalis yang ada dalam Infeksi Endodontik (IE) dapat juga menjadi faktor prediktor PJK aterosklerosis. Objective: Mengetahui peran dan potensi IE sebagai faktor predikdi PJK aterosklerosis dan juga peran sitokin inflamatori, IL-1 , IL-6, hsCRP, TNF- dalam kaitannya akan hubungan IE dan PJK aterosklerosis. Method: Dilakukan riset rancangan kasus kontrol dengan mengamati ada terpaparnya IE pada penderita PJK aterosklerosis. Dibagi menjadi kelompok subjek PJK aterosklerosis dengan IE sebagai kasus dan kelompok subjek bukan PJK aterosklerosis dan tanpa IE sebagai kontrol. Subjek dilihat intra oralnya terutama jaringan periapikal dan jaringan periodontal, dicatat faktor-faktor tradisional penyebab PJK serta diukur kadar IL-1 , IL-6, hsCRP, TNF- di dalam darah sirkulasi. Dicatat juga adanya gastritis, psoriosis, dan periodontitis. Results: Dianalisis dengan regresi logistik terlhat ada peran yang potensial (p < 0,041) Infeksi Endodontik sebagai penyebab penyakit jantung koroner aterosklerosis. IL-1, IL-6, dan CRP di dalam darah sirkulasi tidak berbeda bermakna setelah dianalisis denam tes Mann- Whitney, walaupun median setiap kelompok variabel lebih tinggi pada kelompok kasus daripada kontrol. Hanya TNF- yang berbeda bermakna (p < 0,019) setelah danalisis dengan uji-t. Conclusion: Infeksi Endodontik mempunyai peran yang potensial menjadi faktor prediktor penyakit jantung koroner aterosklerosis dan mungkin hanya TNF- yang terlibat dalam mekanisme terjadinya PJK karena IE.

Endodontic infection can be a predictive factor of atherosclerosis coronary heart disease (CHD). This disease occurs because it responds to the inflammatory process caused by infection of Porphyromonas endodontalisbacteria. Several literature state that the etiology of cardiovascular disease is caused by chronic infection. Porphyromonas endodontalis bacteria inside Endodontic Infection (EI) is also assumed to be a predictive factor of atherosclerosis CHD. The purpose of this research is to determine the role and potential of EI as a predictive factor of atherosclerosis CHD as well as the role of inflammatory cytokines, IL-1 , IL-6, hsCRP, TNF- in relation to the relationship of EI and atherosclerosis CHD. This research used a case control design research method by observing EI exposure in atherosclerosis CHD patients. Subjects were divided into atherosclerosis CHD subjects with IE as case and non-atherosclerosis CHD subjects without IE as the control. On the subjects, their intraoral was observed, specifically the periapical tissue and periodontal tissue, the traditional factors causing CHD were recorded and the level of IL-1 , IL-6, hsCRP, TNF- in circulating blood was measured. The presence of gastritis, psoriasis, and periodontitis was also recorded. The results of data analysis in this research with logistic regression showed that there was a potential role (p <0.041) of endodontic infection as a cause of atherosclerosis CHD. IL-1, IL-6, and CRP in circulating blood do not differ significantly after being analyzed by Mann- Whitney test even though the median of each group was higher in the case than the control group. It was only TNF- that was significantly different (p <0.019) after being analyzed by t-test. Therefore, the researcher concludes that endodontic infection has a potential role as a predictive factor of atherosclerosis CHD and probably it is only TNF- that is involved in the mechanism of CHD incidence due to IE."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Aspar Mappahya
"Pemeriksaan invasif dengan arteriografi koroner selektif dapat memberi informasi akurat tentang lokasi dan luasnya proses aterosklorosis sekaligus memungkinkan visualisasi kolateral. Dengan pemeriksaan ventrikulografi kiri dapat diketahui kemampuan kontraksi ven trikel kiri dengan menganalisa kontraktilitasnya baik Secara regional maupun global.
Tujuan penelitian ini adalah memperoleh data awal tentang gambaran morfologi arteri koronaria termasuk distribusi, lokasi dan derajat stenosis serta hubungannya dengan beberapa parameter yang berkaitan erat pada penderita Penyakit Jantung Koroner di Indonesia umumnya dan di Rumah Sakit Jantung Hara pan Kita khususnya; dan menilai peranan sirkulasi kolateral pada penderita infark miokard anterior dengan obstraksi total dan subtotal pada arteri desendens anterior kiri.
Dilakukan penelitian retrospektif terhadap 821 penderita yang dirujuk ke Unit Pelaksana Fungsionil Invasif RSJHR dengan suspek atau pasti menderita PIK selama periode 1 Januari 1986 sampai dengan 31 Desember 1988. Terdapat 126 penderita dengan arteri koronaria yang normal dan sisanya, 695 penderita dianalisa lebih lanjut. Secara keseluruhan dari 821 penderita ditemukan 44,7% distribusi dominan kanan, 40,1% distribusi seimbang, dan 15,2% distribusi dominan kiri. Dari perhitungan berat dan luasnya stenosis ditemukan korelasi bermakna (p <0,01) antara skor stenosis cara AHA dan jamlah pembuluh yang sakit cara GLH. Dari segi umur tidak ada perbedaan skor stenosis yang bermakna antara kelompok umur dengan rata-rata keseluruhan (p>0,05). Tetapi ada perbedaan bermakna (
p <0,05) antara kelompok dibawah 39 tahun dan kelompok 40-69 tahun. Juga tidak ada perbedaan bermakna (p >0,05) diantara kelompok umur pada mereka dengan penyakit satu maupun dua dan tiga pembuluh.Berdasarkan jenis kelamin tidak banyak perbedaan distribusi jumlah pembuluh yang sakit. Obstruksi total lebih banyak dijumpai pada ke tiga arteri koronaria utama dibanding obstruksi subtotal pada semua kelompok umur kecuali pada kelompok diatas 70 tahun untuk Cx terjadi sebaliknya. Secara umum hipotesis tentang makin banyaknya faktor risiko koroner makin tinggi skor stenosisnya tidak terbukti pada penelitian ini dan hanya hipertensilah satu-satunya terbukti mempunyai pengaruh jelas terhadap beratnya stenosis . Dari gambaran radiologis, terbukti bahwa berat stenosis merupakan salah satu penyebab yang penting untuk timbulnya kardiomegali; selain itu adanya kardiomegali pada penderita PJX bisa meramalkan adanya asinergi dengan sensitivitas 64% dan spesifitas 57%. Berdasarkan gambaran EKG penderita yang diteliti lebih banyak yang telah mengalami infark (56,7%) dibanding yang tanpa infark; dan ada kecenderungan persentase penyakit satu pembuluh lebih dominan pada penderita tanpa infark dan persentase penyakit tiga pembuluh lebih dominan pada penderita infark, sementara penyakit dua pembuluh paling tinggi persentasenya pada kedua kelompok. Tidak ada perbedaan skor stenosis yang bermakna antara penderita infark transmural dan penderita infark non-Q meskipun skor stenosis pada infark transmural lebih tinggi. Stenosis bermakna pada LMCA lebih banyak ditemukan pada penderita PJK tanpa infark (55%) dibanding yang telah infark, juga persentase bermakna pada LMCA lebih banyak dijumpai.pada penyakit tiga pembuluh. Terdapat 5 (20,8%) dari penderita dengan aneurisma ventrikel yang menunjukkan elevasi. ST dan hany,a 11 (45,8%) yang disertai kolateral. Hasil ULJB pada 267 penderita memperlihatkan kecenderungan hasil positif ringan lebih banyak pada penyakit satu pem buluh dan hasil positif berat lebih banyak pada penyakit tiga pembuluh; sensitivitas pemeriksaan ULTB adalah 85%. Dari beberapa parameter yang berhubungan dengan ventrikulografi terlihat gambaran asinergi lebih sering dijumpai pada penyakit yang lebih luas sedangkan normokinesis lebih sering pada mereka dengan stenosis yang tidak begitu luas. Tnsufisiensi mitral sering dijumpai pada pemeriksaan ventrikulografi dan pada penelitian ini lebih banyak dijumpai (40,8%) pada asinergi inferior; juga paling sedikit ditemukan pada penyakit satu pembuluh.
Penilaian peranan sirkulasi kolateral terhadap PJK umumnya terlihat tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) persentase pemendekan hemi dan longaxis diantara keempat kelompok derajat kualitas kolateral pada 38 penderita PIK dengan obstruksi total dan subtotal -
tanpa infark anterior. Juga tidak ada perbedaan bermakna dalam hal FE, TDAVK dan VDA pada kelompok ini. Adapun pada kelompok penderita yang telah mengalami infark anterior, ternyata ada perbedaan persentase pemendekan hemi dan longaxis yang bermakna, (p<0.01 ), khususnya aksis yang sesuai dengan perfusi LAD, sehingga dapat disimpulkan bahwa makin baik kualitas kolateral makin baik pula fungal ventrikel kiri, meskipun persentase pemendekan tersebut masih lebih rendah dibanding yang ditemukan pada kelompok kontrol. Demikian pula ada perbedaan bermakna (p 0,01) dalam hal FE,dan TDAVK diantara keempat kelompok derajat kualitas kolateral yang selanjutnya memperkuat kesimpulan diatas.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa peranan sirkulasi kolateral pada penderita PJK baik yang belum maupun yang telah mengalami infark sangat penting dalam menilai hubungannya dengan fungsi ventrikel k iri serta sangat berguna untuk menentukan tindak lanjut baik yang bersifat konservatif maupun yang bersifat intervensi angioplasti dan bedah pintas koroner.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T 4126
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joko Rilo Pambudi
"Latar Belakang: Aterosklerosis dan penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama meningkatnya morbiditas dan mortalitas penderita artritis reumatoid (AR) Pemeriksaan ketebalan intima media (KIM) arteri karotis dengan ultrasonografi B-mode merupakan surrogate marker aterosklerosis dan penyakit kardiovaskular.
Metode: Dilakukan penelitian potong lintang pada 86 subyek penderita AR yang memenuhi kriteria EULAR/ACR 2010 yang berobat di Poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam FKUI/RSCM. Aterosklerosis didefinisikan jika ditemukan pada pemeriksaan ultrasonografi KIM ≥ 1,0 mm pada salah satu : a. karotis komunis, a. karotis interna atau bulbus karotis sisi kanan atau kiri. Plak aterosklerosis didefinisikan jika didapatkan abnormalitas pada tebal KIM, bentuk dan atau tekstur dinding arteri.
Hasil: Aterosklerosis dan plak aterosklerosis masing-masing didapatkan pada 47 subyek (47,7%) dan 25 subyek (29,0%).Usia ≥ 40 tahun, adanya hipertensi, lama sakit ≥ 24 bulan pada analisis multivariat mempergunakan regresi logistik didapatkan berhubungan bermakna dengan aterosklerosis dengan RO (95%KI) masing-masing 10,70 (2,93-39,10), 4,99 (1,15-21,61) dan 3,66 (1,11-11,99). Adanya hipertensi, adanya anti-CCP dan usia ≥40 tahun berhubungan bermakna dengan plak aterosklerosis dengan RO (95%KI) masing-masing 3,96 (1,15-13,57), 3,20 (1,11-9,24) dan 3,61 (1,03-12,63).
Kesimpulan: Proporsi aterosklerosis dan plak aterosklerosis masing-masing didapatkan 47,7 % dan 29 %. Usia ≥ 40 tahun, adanya hipertensi dan lama sakit ≥ 24 bulan berturut-urut merupakan prediktor adanya aterosklerosis sementara adanya hipertensi, antibodi anti-CCP dan usia ≥ 40 tahun merupakan prediktor adanya plak aterosklerosis.

Background: Atherosclerosis and cardiovascular diseases have been known as the cause of increasing mortality among rheumatoid arthritis (RA) patients. Carotid intima media thickness (CIMT) measurement by B-mode ultrasound have been used as surrogate marker of atherosclerosis and cardiovascular disease.
Method: A cross sectional study involving 86 RA patients fulfill EULAR/ACR 2010 critera was conducted at Rheumatology Clinic FMUI/Cipto Mangunkusumo Hospital. CIMT examinations were perform at right and left side of carotid artery. Atherosclerosis was define if we found CIMT ≥ 1,0 mm at one of CCA, or ICA or carotid sinus. Plaque atherosclerosis presence if 1 of the following 3 criteria were met: abnormal wall thickness, abnormal shape, and abnormal wall texture.
Result: Atherosclerosis and plaque was found in 47,7% and 29 % of patients. Age ≥ 40 years old, hypertension and duration of illness ≥ 24 months were associated with atherosclerosis in multivariate logistic regression analysis with OR (95%CI) 10.70 (2.93-39.10), 4.99 (1.15-21.61) and 3.66 (1.11-11.99) respectively. Whereas hypertension, presence of anti-CCP antibody and age ≥ 40 years old, were associated with plaque formation with OR (95%CI) 3.96 (1.15-13.57), 3.20 (1.11-9.24) and 3.61 (1.03-12.63) respectively.
Conclusion: Proportion of atherosclerosis and plaque atherosclerosis were 47.7% and 29%. Age ≥ 40 years old, hypertension and duration of illness ≥ 24 months was the predictors of atherosclerosis, while hypertension, presence of anti-CCP antibody and age ≥ 40 years old was the predictors of plaque atherosclerosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58701
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Masra Lena
"Latar belakang: Kejadian aterosklerosis pada pasien artritis reumatoid (AR) dilaporkan semakin lama semakin meningkat. Penyebab aterosklerosis pada AR tidak hanya disebabkan oleh faktor risiko tradisional, akan tetapi antibodi anti-CCP yang merupakan autoantibodi spesifik pada AR juga berperan dalam patogenesis aterosklerosis. Data prevalensi aterosklerosis dan penelitian mengenai hubungan antara antibodi anti-CCP dengan aterosklerosis belum pernah dilakukan pada populasi pasien AR di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui prevalensi aterosklerosis pada pasien AR dan menentukan asosiasi antara antibodi anti-CCP dengan aterosklerosis pada pasien AR.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dan pengambilan sampel dilakukan dengan metode consecutive. Subjek penelitian adalah pasien AR dewasa berusia diatas 18 tahun yang didiagnosis sesuai kriteria ACR/ EULAR 2010 yang datang berobat ke Poliklinik Reumatologi RSCM pada bulan September 2012 sampai Maret 2013. Antibodi anti-CCP diperiksa dengan metode ELISA. Adanya aterosklerosis ditentukan melalui pemeriksaan USG karotis bilateral yang dilakukan oleh satu orang operator dan tidak mengetahui latar belakang klinis pasien. Hubungan antara anti-CCP dengan aterosklerosis dinilai dengan menghitung crude odds ratio (OR) disertai interval kepercayaan (IK) 95%-nya. Peran variabel perancu dinilai dengan menggunakan analisis regresi logistik untuk mendapatkan adjusted OR.
Hasil: Dari 86 subjek penelitian didapatkan 90,7% berjenis kelamin perempuan dengan median usia 49,5 (rentang 20 sampai 70) tahun. Prevalensi aterosklerosis didapatkan sebesar 50% (IK95% 0,39 – 0,61). Proporsi aterosklerosis pada kelompok subjek dengan antibodi anti-CCP positif (51,5%) tidak jauh berbeda dengan kelompok antibodi anti-CCP negatif (49,1%). Setelah disesuaikan dengan beberapa variabel perancu, tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara antibodi anti-CCP dengan aterosklerosis (adjusted OR 1,197; IK95% 0,43 - 3,29).
Simpulan: Prevalensi aterosklerosis pada pasien AR sebesar 50% (IK95% 0,39 - 0,61). Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara antibodi anti-CCP dengan aterosklerosis pada pasien AR.

Background: Atherosclerosis is markedly increased in patients with rheumatoid arthritis (RA). Traditional risk factors not only account for atherosclerosis but also autoantibodies in RA especially anti-cyclic citrullinated peptides (anti-CCP) is the one of autoantibody highly specific for RA play a role in the pathogenesis of atherosclerosis. However, in Indonesia there was no data regarding the prevalence of atherosclerosis in RA patients.
Objectives: The aim of this study was to described the prevalence of atherosclerosis and to determine the association of anti-CCP antibodies with atherosclerosis in RA patients.
Methods: A cross sectional study was conducted in Rheumatology outpatient clinic Department of Internal Medicine, Cipto Mangunkusumo Hospital with consecutive sampling. Study subjects were recruited from September 2012 to March 2013 that RA patients diagnosed according to American College of Rheumatology (ACR)/ European League Againts Rheumatism/ (EULAR) 2010 criteria. Anti-CCP antibodies was determined by enzyme-linked immunosorbent assays (ELISA) test. Carotid intima-media thickness represent of atherosclerosis was measured by using Ultrasound (USG B-mode) and it was done by one independent operator without knowing clinical background of the patients. Association of anti-CCP with atherosclerosis was performed by chi-square test in order to get crude odds ratio (OR) with CI95% and logistic regression test was assigned to obtain adjusted OR.
Results: Out of eighty six RA patients aged 20 to 70 years old revealed in this study with median age 49.5 years and female gender as the commonest (90.7%). Fourty three (50%; CI95% 0.39 to 0.61) RA patients had carotid atherosclerosis. Atherosclerosis in RA patients with anti-CCP positive was seen in 51.5% and 49.1% in anti-CCP negative. After a set of adjustment towards the confounding factors, there was no significant association between anti-CCP antibodies and atherosclerosis (adjusted OR 1.197; CI95% 0.43 to 3.29).
Conclusion: This study demonstrates that the prevalence of atherosclerosis in RA patient is 50% (CI95% 0.39 to 0.61). The role of anti-CCP antibodies and atherosclerosis in patients with RA did not hold in this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmad Isnanta
"ABSTRAK
Latar belakang: Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan manifestasi penyakit jantung koroner yang dapat menyebabkan kematian mendadak. SKA kebanyakan terjadi pada usia di atas 45 tahun, Namun beberapa tahun terakhir ini angka kejadian infark miokard usia muda meningkat.
Tujuan: Mengetahui perbedaan karakteristik angiografi koroner pada pasien SKA usia ≤45 tahun dengan pasien SKA usia > 45 tahun.
Metode: Beratnya stenosis pembuluh darah diukur dengan Vessel Score (jumlah pembuluh darah koroner yang sakit dengan stenosis ≥ 70%) dan Stenosis Score.
Hasil: Diteliti sebanyak 322 pasien SKA yang telah menjalani angiografi koroner di ICCU RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta mulai Januari 2008 sampai Desember 2012. Pasien dibagi kedalam dua kelompok. Kelompok satu adalah pasien usia ≤45 tahun dan kelompok kedua pasien usia>45 tahun. Ditemukan 322 pasien SKA (72 kasus ≤45 tahun dan 250 kasus >45tahun). Distribusi jumlah pembuluh darah yang sakit (vessel score) 1 VD (single vessel diseases) terbanyak pada usia ≤ 45 tahun (43.1 % vs 26.0 % ), sedangkan 3 VD (triple vessel diseases) terbanyak pada usia > 45 tahun (31.6 % vs 18,1 %). Hasil skor stenosis menunjukkan lebih rendah pada usia ≤ 45 tahun dibandingkan usia  45 tahun (median skor stenosis 4 vs 8) dengan perbedaan yang bermakna (p<0,001). Pembuluh darah yang mengalami aterosklerosis yang terbanyak adalah Left Anterior Descending baik kelompok usia ≤ 45 tahun dan usia  45 tahun (65.3% and 74.0%). Pembuluh darah Left Circumflex dan Right Coronary Artery lebih sedikit pada usia ≤ 45 tahun dan bermakna secara statistik (26,4% dan 31,9% vs 46,4% dan 57,2%, p=0,002 dan 0,001).
Simpulan: Jumlah pembuluh darah koroner yang sakit (vessel score) dan skor stenosis lebih kecil pada usia ≤ 45 tahun dibanding usia > 45 tahun

ABSTRACT
Background: Acute Coronary Syndrome (ACS) is the manifestation of coronary heart disease which can cause sudden death. ACS mostly occurs at the age > 45 years, but recently the incidence of myocardial infarction increases in yong ages.
Objective: To determine compared between coronary angiography of acute coronary syndrome patients age ≤ 45 years with acute coronary syndrome patients age > 45 years.
Methods: The severety of coronary stenosis was determined by Vessel score and Coronary score. Significant vessel score was defined as stenosis of angiography of more or equal to 70% lumen stenosis by eyeball examination
Results :A total of 322 ACS patients who undergone coronary angiography in ICCU Cipto Mangunkusumo from January 2008 to December 2012. Patients were divided into two groups. One patient group is less or equal to the age of 45 years (72 cases) and the second group of patients over the age of 45 years (250 cases).
Distribution of number of blood vessels disease 1 VD (single vessel diseases) highest in the age group ≤ 45 years (43.1 % vs 26.0 % ), while 3 VD (triple vessel diseases) highest in the age group > 45 years (31.6 % vs 18,1 %). stenosis score was lower at age ≤ 45 years to compare age > 45 years (median stenosis score 4 vs 8) with statistical significant difference (p < 0.001 ). The Left Anterior Descending Artery significant lesion was found high at the both age groups (65.3% and 74.0%). But the significant stenosis lesion was less found in Left Circumflex and Right Coronary Artery at the age ≤ 45 years (26,4% and 31,9% vs 46,4% and 57,2%, p=0,002 and 0,001).
Conclusion :The number of coronary arteries diseases (Vessel score) and Stenosis score is lower at the age ≤ 45 years compared to patients age > 45 years."
2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akmal Alfaritsi Hamonangan
"Latar belakang: Bedah pintas arteri koroner (BPAK) adalah sebuah prosedur revaskularisasi koroner. Major adverse cardiovascular event (MACE) yang terjadi pascaprosedur BPAK merupakan kombinasi faktor risiko pasien, intraoperatif, dan pascaoperatif dengan insiden mencapai 33,3% Vasoactive Inotropic Score (VIS) adalah sebuah skor yang menilai jumlah topangan farmakologis kardiovaskular yang awalnya dikembangkan untuk pasien pediatrik. Penelitian ini bertujuan untuk menilai VIS sebagai prediktor terjadinya MACE pascaprosedur BPAK pada pasien dewasa.
Metode: Penelitian ini adalah studi observasional analitik dengan desain kohort retrospektif. Jumlah besar sampel minimal adalah 113 dengan metode sampling konsekutif. Variabel yang diteliti adalah usia, jenis kelamin, hipertensi, diabetes melitus, GDS, EF, lama operasi, durasi ventilasi mekanik, jenis operasi, nilai VIS, dan MACE (kematian, infark miokardium, gagal napas, gagal ginjal, sepsis). Batas nilai VIS tinggi yang digunakan adalah ≥10.
Hasil: Dari 120 subyek, 34,2% subyek mengalami MACE dan 78,3% memiliki nilai VIS tinggi. Durasi operasi, durasi ventilasi mekanik, jenis operasi, dan nilai VIS berhubungan secara bermakna terhadap MACE. Hubungan nilai VIS dengan ada tidaknya MACE pascaprosedur BPAK memiliki OR 11,6 (IK 95% 4,1 – 32,6, p = 0,001), sensitivitas 48.78% (IK95% 34,25 – 63,52%), dan spesifisitas 92,41% (IK95% 84,4 – 96,47%).
Simpulan: VIS secara tunggal belum dapat disimpulkan dapat memprediksi kejadian MACE dan faktor-faktor risiko MACE yang lain juga perlu dipertimbangkan dalam memprediksi MACE.

Introduction: Coronary artery bypass grafting (CABG) is a coronary revascularization procedure. Major adverse cardiovascular event (MACE) after CABG is a multifactorial process combining patient, intraoperative, and postoperative risk factors with the incidence of 33.3%. Vasoactive Inotropic Score (VIS) is a measurement of pharmacological cardiovascular support that was originally developed for pediatric patients. This study aims to evaluate VIS as a predictor for MACE after CABG in adults.
Methods: This study is a retrospective analytical observation study with minimal sample size of 113 subjects. The research variables are age, gender, hypertension, diabetes mellitus, blood glucose, ejection fraction, operation duration, mechanical ventilation duration, operation technique, VIS, and MACE (mortality, myocardial infarct, respiratory failure, kidney failure, sepsis). The cut off point for VIS used in this study is ≥ 10.
Results: From 120 subjects, MACE incidence is 34.2% and 78.3% of subjects had high VIS. Operation duration, mechanical ventilation duration, and operation technique were significantly associated with MACE. High VIS were significantly associated with MACE (OR 11.6, CI95% 4.1 – 32.6, p = 0.001). The sensitivity of VIS in predicting MACE is 48.78% (CI95% 34.25 – 63.52%) and its specificity is 92.41% (CI95% 84.4 – 96.47%).
Conclusions: VIS alone may not be enough to predict MACE after CABG in adults. Other risk factors should be taken into account to predict MACE.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hengky Gosal
"Latar Belakang: Carotid stiffness (CS) merupakan perubahan fungsional pada arteri karotis akibat aterosklerosis. Diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) akan mempercepat dan memperburuk aterosklerosis sehingga meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular. Sampai saat kini belum ada data di Indonesia tentang CS pada pasien penyakit jantung koroner (PJK) stabil dengan DMT2 yang menggunakan sistem otomatis echotracking ultrasound berbasis frekuensi radio. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan CS pada pasien PJK stabil dengan dan tanpa DMT2.
Metode: Comparative cross-sectional antara kelompok pasien PJK stabil dengan dan tanpa pasien DMT2. Pemeriksaan CS dilakukan dengan posisi pasien berbaring telentang secara non-invasif pada 1 cm sebelum bulbus arteri karotis kiri dan kanan menggunakan automatic echotracking radiofrequency-based ultrasound dengan probe linear 3-13 MHz. Pengukuran CS dilakukan sebanyak enam kali pada masing-masing sisi arteri karotis dengan nilai tertinggi rerata carotid Pulse Wave Velocity (car-PWV) sebagai nilai CS individu.
Hasil: Dari total 42 pasien (21 pasang) yang diperiksa didapatkan nilai rerata car-PWV pasien PJK stabil dengan DMT2 lebih tinggi dibandingkan pasien PJK stabil tanpa DMT2 (9,8±1,3m/s vs 6,7±1,3m/s, p< 0,001).
Kesimpulan: Nilai carotid stiffness pasien PJK stabil dengan DMT2 lebih tinggi dibandingkan pasien PJK stabil tanpa DMT2.

Background: Carotid stiffness (CS) represents the functional changes in carotid arteries due to atherosclerosis. Progression of atherosclerosis was more accelerated in type 2 diabetes mellitus (T2DM) compared to non-diabetic patient, thus increasing the risk of cardiovascular events. Until now there is no data of CS in stable coronary artery disease (CAD) with T2DM in Indonesia using automatic echotracking radiofrequency-based ultrasound. The aim of this study was to compare CS in stable CAD with and without T2DM patient.
Method: Comparative cross-sectional between group of stable CAD with and without T2DM patients. CS was measured in patient lying down non-invasively at 1 cm proximal to bulbus of the left and right carotid artery using automatICechotracking radiofrequency-based ultrasound system, 3-13 MHz linear probe. The highest mean carotid pulse wave velocity (car-PWV) value of six measurements of both side was used as an individual CS.
Result: Total 42 patients (21 pairs) was examined. Mean value of car-PWV stable CAD with T2DM patient is higher than stable CAD without T2DM patient (9.8 1.3 m/s vs. 6.7 1.3 m/s, p<0.001).
Conclusion: Carotid stiffness value of stable CAD with T2DM patient is higher than stable CAD without T2DM patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T55967
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwisetyo Gusti Arilaksono
"

Obesitas selama ini dikenal sebagai faktor risiko tradisional untuk penyakit kardiovaskular. Pada banyak studi tingginya indeks massa tubuh (IMT) justru memiliki efek protektif terhadap luaran klinis pasien dengan penyakit kardiovaskular, termasuk penyakit jantung koroner, khususnya infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) yang menjalani intervensi koroner perkutan (IKP). Namun, beberapa studi belum bisa membuktikan adanya fenomena obesitas paradoks ini pada semua populasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan indeks massa tubuh dengan luaran klinis jangka panjang pada pasien IMA-EST yang menjalani IKP. Studi observasional kohort retrospektif pada 400 pasien IMA-EST yang dilakukan intervensi koroner perkutan (IKP) yang diambil dari registri RSPJPDHK. Dilakukan pencatatan tinggi badan dan berat badan dari telaah rekam medis dan registri. Evaluasi luaran klinis setelah 2 tahun paska IKP dilakukan dengan menghubungi pasien dan keluarga serta penelusuran rekam medis. Analisa statistik dilakukan untuk membandingkan luaran klinis pada kelompok BB kurang-normal dengan BB lebih-obesitas. Dari 400 subyek penelitian, didapatkan jumlah laki-laki lebih banyak dari perempuan di kedua grup. Terdapat perbedaan bermakna rerata klirens kreatinin (65.99 vs 82.28; p <0.0001) dan fraksi ejeksi ventrikel kiri (43.82 vs 46.59; p 0.02) pada kelompok BB kurang-normal dan BB lebih-obesitas. Diameter stent dan usia pasien tidak ditemukan perbedaan bermakna di kedua kelompok. BB lebih-obesitas juga secara bermakna memiliki efek protektif pada MACE (OR 0.477 [95% IK 0.311-0.733]; p 0.001), kejadian infark berulang (OR 0.27 (0.142-0.516 [95% IK 0.142-0.516]; p <0.0001) serta kematian kardiovaskular (OR 0.549 [95% IK 0.3-1.003]; p 0.049). Analisis multivariat menunjukkan BB lebih-obesitas sebagai prediktor independen terhadap luaran klinis MACE dan kejadian infark berulang. Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara IMT dengan luaran klinis jangka panjang pasien IMA-EST yang dilakukan IKPP. BB lebih-obesitas memiliki kecenderungan luaran klinis MACE dan kejadian infark berulang setelah 2 tahun yang lebih baik dibandingkan BB kurang-normal

 


Obesity has been known as a traditional risk factor for cardiovascular disease. In many studies the high body mass index (BMI) actually has a protective effect on the clinical outcomes of patients with cardiovascular disease, including coronary heart disease, especially acute myocardial infarction with ST segment elevation (STEMI) underwent percutaneous coronary intervention (PCI). However, several studies have not been able to prove the existence of this paradoxical obesity phenomenon in all populations. This study aims to determine the association between BMI and long-term clinical outcomes in STEMI patients underwent PCI. A retrospective cohort observational study of 400 STEMI patients undergoing percutaneous coronary intervention (PCI) was taken from the RSPJPDHK registry. Height and weight were recorded from a review of medical records and the registry. Evaluation of clinical outcomes 2 years after PCI is done by contacting patients and families and tracking medical records. Statistical analysis was performed to compare clinical outcomes in the underweight-normal group with the overweight-obese. In 400 research subjects, there were more men than women in both groups. There were significant differences in creatinine clearance (65.99 vs 82.28; p <0.0001) and left ventricular ejection fraction (43.82 vs 46.59; p 0.02) in the underweight-normal group with the overweight-obese. No significant differences was found in stent diameter and age of the patients between the two groups. Overweight and obesity also has a significant protective effect on MACE (OR 0.477 [95% CI 0.311-0.733]; p 0.001), recurrent infarction events (OR 0.27 (0.142-0.516 [95% IK 0.142-0.516]; p <0.0001 ) as well as cardiovascular death (OR 0.549 [95% IK 0.3-1.003]; p 0.049) Multivariate analysis shows overweight-obesity as an independent predictor of clinical outcome of MACE and the incidence of recurrent infarction. In conclusion, there is an association between BMI and long-term clinical outcomes of STEMI patients undergoing PPCI. Overweight and obese group showed better outcome in MACE and reinfarction within 2 years compared to Underweight-Normal group.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Suci Yunita
"Latar Belakang: Penyakit jantung koroner (PJK) disebabkan penyempitan arteri koronaria jantung, terdapat hipotesis mengenai infeksi periodontal yang dapat meningkatkan faktor risiko terjadinya PJK. Alkaline phosphatase (ALP) sebagai penanda inflamasi akan meningkat pada aterosklerosis dan penyakit periodontal.
Tujuan: Menganalisis hubungan antara kadar ALP dalam saliva pada penderita PJK dan non PJK dengan status periodontal.
Metode: Saliva dari 104 subjek diambil sebanyak 1 ml, kadar ALP dianalisis menggunakan Abbott architect ci4100.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar ALP dalam saliva antara penderita PJK dan non PJK.
Kesimpulan: ALP dalam saliva pada penderita PJK lebih tinggi daripada non PJK dan tidak ada hubungan ALP dengan status periodontal.

Background: Coronary heart disease (CHD) is a disease that causes narrowing of the coronary arteries. Currently, there is a hypothesis regarding periodontal infection that increase risk for heart disease. Alkaline phosphatase (ALP) as a marker of inflammation will increase in atherosclerosis and periodontal disease.
Objective: To analyze the relationship between the levels of alkaline phosphatase in saliva with periodontal status in patients with CHD and non CHD.
Methods: saliva of 104 subjects were taken, each 1 ml, and levels of Alkaline Phosphatase was analyzed using Abbott ci4100 architect.
Results: No significant difference of Alkaline Phosphatase levels in saliva between CHD patients and non CHD.
Conclusion: The level of ALP in saliva was higher in patients with CHD and no association between ALP level and periodontal status.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>