Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 189485 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ferry Ferdian Nugraha
"ABSTRAK
Nama : Ferry Ferdian NugrahaProgram studi : Farmakologi klinikJudul : Survei Penggunaan Antipsikotika Oral dan Haloperidol Dekanoat pada Pasien Skizofreniadi Instalasi Rawat Jalan Departemen Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Periode 1 Januari 2017 - 31 Mei 2018Terapi farmakologi dengan antipsikotika sampai saat ini merupakan salah satu pilihan utama dalam penatalaksanaan skizofrenia. Penelitian pada tingkat kepatuhan pasien untuk datang berobat, ketepatan dari pemilihan terapi, penentuan dosis terapi, lama terapi, efektivitas terapi, berapa banyak pasien yang mendapatkan terapi obat anti ekstrapiramidal, ketepatan dosis serta kombinasi dari penggunaan suntikan antipsikotik jangka panjang dan menilai berapa biaya yang dikeluarkan untuk terapi skizofrenia selama satu bulan serta analisa hubungan di poli jiwa rumah sakit Cipto Mangunkusumo belum pernah dilakukan. Penelitian retrospektif dengan menggunakan data rekam medis didapatkan 58 pasien yang dianalisis, di dapatkan data demografik terbanyak berjenis kelamin laki-laki 69 , usia 26 ndash;45 tahun 58,6 , belum menikah74,1 , jenjang pendidikan perguruan tinggi 1,7 , status tidak bekerja 36,2 , dan pasien dengan jaminan kesehatan nasional sebesar 75,9 , Data karakteristik klinik terbanyak pasien dengan diagnosis skizofrenia tipe paranoid sebesar 84,5 dengan lama menderita kelainan ini kurang lebih 5 tahun, tingkat kepatuhan dan remisi paling baik tampak pada pasien skizofrenia yang mendapat terapi antipsikotika oral. Data penggunaan obat di dapatkan cara pemberian monoterapi risperidon dan kombinasi haloperidol dengan klozapin, terapi obat anti ekstrapiramidal lebih dari 50 . Tidak ada hubungan yang bermakna antara kepatuhan dan remisi, sedangkan tampak ada hubungan bermakna antara dosis dan remisi P=0,019 . Kejadian efek samping merupakan faktor yang bermakna mempengaruhi kepatuhan pasien untuk datang berobat P=0,005 .
ABSTRACT
AbstractName : Ferry Ferdian Nugraha Study Program : Farmakologi klinikTitle : A Survey of Oral Antipsychotic and Haloperidol Decanoate Long Acting Injection Usage in Out-Patient with Schizophrenia at Psychiatry Policlinic, Cipto Mangunkusumo Hospital in The Period of January 1, 2017 - May 31, 2018Pharmacological therapy with antipsychotics is currently one of the main options in the management of schizophrenia. There was no study about patient compliance rates to come for treatment, accuracy of therapy selection, therapy dosage determination, length of therapy, effectiveness of therapy, how many patients received anti-extrapyramidal drug therapy, dosage accuracy and combination of long-term use of antipsychotic injections, cost therapy assessment of schizophrenia for one month and analysis of the relationship in the Psychiatric Policlinic of Cipto Mangunkusumo Hospital.Retrospective study using medical record data obtained from 58 patients were analyzed. From demographic data, the majority of patients was men 69 , age 26-45 years 58,6 , single 74,1 , college education level 1,7 , unemployed status 36,2 , and national health insurance 75,9 . From clinical characteristic data, most patients were diagnosed with schizophrenia paranoid type 84,5 with duration of disorder was about 5 years. The level of compliance and remission is best seen in schizophrenia patients receiving oral antipsychotic therapy. From drug usage data, patients obtained monotherapy risperidon and combination therapy haloperidol and clozapine, anti-extrapyramidal drug therapy were more than 50 . There was no significant association between compliance and remission, while there was a significant association between dosage and remission P = 0.019 . The incidence of side effects was a significant factor which influenced patient compliance to come for treatment P = 0.005 ."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58610
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meyta Dwinarta
"Proses penuaan pada lansia akan mempengaruhi kondisi fisik maupun psikososial dari diri individu lansia. Penurunan fungsi tubuh cenderung merasa dirinya tidak dapat produktif seperti sebelum lanjut usia. Hal ini dapat memicu seorang lansia depresi. Depresi merupakan masalah kesehatan mental yang serius pada lansia. Diagnosa yang dapat diangkat untuk masalah depresi adalah ketidakberdayaan. Karya ilmiah ini memaparkan tentang asuhan keperawatan yang diberikan pada salah satu lansia dengan masalah ketidakberdayaan: depresi. Salah satu intervensi untuk menurunkan gejala depresi yang dialami lansia melalui terapi spiritual.
Salah satu bentuk terapi spiritual adalah dengan mendengarkan alunan ayat-ayat Al-Qur rsquo;an atau disebut murattal dan mendengarkan ceramah dari ahli agama. Intervensi murattal ini dilakukan selama 6 kali dalam satu minggu selama lima minggu dengan durasi 20-25 menit dan untuk ceramah oleh ahli agama dilakukan satu kali dalam seminggu. Evaluasi keperawatan didapatkan dengan menggunakan instrumen Geriatric Depression Scale GDS . Hasil yang didapatkan menunjukkan adanya penurunan tingkat depresi.

The aging process in the elderly will affect the physical and psychosocial condition of the elderly individual self. Decreased body function tends to feel itself unable to be as productive as before the elderly. This can trigger an elderly depression. Depression is a serious mental health problem in the elderly. The diagnosis that can be raised for the problem of depression is powerlessness. This scientific work describes about nursing care given to one elderly with the problem of powerlessness: depression. One of the interventions to reduce symptoms of depression experienced by the elderly through spiritual therapy.
One form of spiritual therapy is by listening to the strains of Qur 39;anic verses or called murattal and listening to lectures from religious experts. This murattal intervention is conducted six times a week for five weeks with a duration of 20-25 minutes and for lectures by religious experts done once a week. Nursing evaluation was obtained using the Geriatric Depression Scale GDS instrument. The results showed a decrease in depression levels.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Wijaya
"ABSTRAK
Antipsikotika adalah golongan obat psikotropika yang digunakan sebagai terapi utama penatalaksanaan skizofrenia. Antipsikotika di bagi menjadi dua golongan yaitu antipsikotika generasi pertama (Tipikal) dan antipsikotika generasi kedua (atipikal). Di Indonesia, hingga saat ini sedikit penelitian yang membahas mengenai pola penggunaan obat, khususnya mengenai rasionalitas penggunaan antipsikotika sesuai indikasi pada pasien skizofrenia. Penelitian retrospektif ini bertujuan untuk menganalisis survai penggunaan antipsikotika pada pasien skizofrenia yang di rawat inap meliputi karakteristik pasien, karakteristik klinis dan rasionalitas penggunaan antipsikotika. Data di ambil dari rekam medik pasien skizofrenia yang masuk ruang rawat inap Departemen Kesehatan Jiwa RSCM periode Juli 2014 hingga Juni 2015. Pada penelitian ini, dari 113 pasien yang di analisis, terdapat sebagian besar pemberian antipsikotika pasien skizofrenia yang di rawat tidak rasional (73,4%). Multifaktorial yang menyebabkan pengobatan tidak rasional menurut analisis penelitian seperti ketidaktepatan indikasi, tidak monoterapi, kombinasi yang tidak tepat, dan terjadinya efek samping pemberian antipsikotika pada pasien tersebut. Adanya hubungan antara keluaran klinis dengan frekuensi rawat inap, lama rawat inap dengan mono atau kombinasi terapi dan rasionalitas penggunaan antipsikotika dengan jaminan kesehatan pasien.

ABSTRACT
Antipsychotics are the class of psychotropic drugs that are used as primary therapy treatment of schizophrenia. Antipsychotics divided into two groups, first generation typical) and second generation (atypical). In Indonesian, recent data few studies discussing the patterns of drug use, especially regarding the use antipsikotika rationality as indicated in schizophrenic patients. This retrospective study aimed to analyze the survey antipsychotics use in schizophrenic patients were hospitalized include patient characteristics, clinical characteristics and rationality antipsychotics. Data were obtained from the medical records of patients with schizophrenia who came to Department of psychiatry RSCM during the period of July 2014 to June 2015. In this study, out of 113 patients evaluated, the frequency is higher treated schizophrenia patients are not rational (73.4%). Multifactorial causes irrational treatment according to the imprecision of the analysis as inaccuracies indication, not monotherapy, inaccuracies combination, and the occurrence of adverse reactions. The relationship between clinical output with a frequency of hospitalization, duration of hospitalization with mono or combination therapy and rationality antipsychotics use by healthcare patients.
"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ranindya Pramudita Aranira
"Jumlah warga Negara Indonesia yang melakukan bunuh diri adalah sebesar 11 juta orang dengan memiliki latar belakang depresi. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa sebanyak 50% orang yang mengalami adverse childhood experience akan berakhir memiliki gejala depresi di masa dewasa. Jenis attachment style di masa dewasa juga berhubungan dengan adverse childhood experience dan berkontribusi dalam memunculkan gejala depresi. Penelitian kali ini mencoba melihat hubungan antara adverse childhood experience, jenis attachment style di masa dewasa, dan gejala depresi. Gejala depresi diukur menggunakan Beck Depression Inventory-II (BDI-II), adverse childhood experience diukur dengan menggunakan Adverse Childhood Experience Questionnaire (ACE), dan attachment style di masa dewasa diukur dengan menggunakan Adult Attachment Scale (AAS). Penelitian kali ini dilakukan terhadap 482 orang dewasa muda di jabodetabek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara adverse childhood experience (r = 0,388, n = 482, p < 0,01). Adverse childhood experience memiliki hubungan yang signifikan dan paling besar dengan anxious attachment style di masa dewasa dibandingkan dengan jenis attachment lain (r = 0,271, n = 482, p < 0,01). Anxious attachment style di masa dewasa juga memiliki hubungan yang signifikan dan paling tinggi dengan gejala depresi dibandingkan dengan jenis attachment lainnya (r = 0,486, n = 482, p < 0,01). Penelitian ini memiliki limitasi yakni kriteria partisipan yang kurang terfokus terhadap orang-orang yang pernah mengalami adverse childhood experience dan proporsi sampel yang kurang merata.

The number of Indonesian citizens who commit suicide is 11 million people with a background of depression. Previous research has shown that as many as 50% of people who experience bad childhood experiences end up with depressive symptoms in adulthood. This type of stylistic attachment in adulthood is also associated with adverse childhood experiences and contributes to depressive symptoms. The current study looks at the relationship between adverse childhood experiences, types of attachment styles in adulthood, and symptoms of depression. Depressive symptoms were measured using the Beck Depression Inventory-II (BDI-II), adverse childhood experiences as measured using the Adverse Childhood Experience Questionnaire (ACE), and attachment style in adulthood measured using the Adult Attachment Scale (AAS). The current research was conducted on 482 young adults in Jabodetabek. The results showed that there was a positive and significant relationship between bad experiences during childhood (r = 0.388, n = 482, p <0.01). Adverse childhood experiences had a significant and greatest association with anxious attachment style in adulthood compared with other attachment types (r = 0.271, n = 482, p <0.01). Anxious attachment style in adulthood also had a significant and highest association with depressive symptoms compared to other types of attachments (r = 0.486, n = 482, p <0.01). The limitations of this study are, the criteria of participants are less focused on people who have experienced adverse childhood experience and the proportion of the sample is not evenly distributed."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Ketut Sudiatmika
"Tesis ini bertujuan mengetahui efektivitas cognitive behaviour therapy (CBT) dan rational behaviour therapy (REBT) terhadap perubahan gejala dan kemampuan klien perilaku kekerasan dan halusinasi di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Desain penelitian quasi eksperimental dengan jumlah sampel 60 responden.
Hasil penelitian ditemukan penurunan gejala perilaku kekerasan dan halusinasi lebih besar pada klien yang mendapatkan daripada yang tidak mendapatkan CBT dan REBT (p value < 0.05). Kemampuan kognitif, afektif dan perilaku klien yang mendapatkan CBT dan REBT meningkat secara bermakna (p value < 0.05). CBT dan REBT direkomendasikan sebagai terapi keperawatan pada klien perilaku kekerasan dan halusinasi.

This thesis aims to examine the effectiveness of cognitive behaviour therapy (CBT) and rational emotive behaviour therapy (REBT) to changes in symptoms and the client's ability to violent behaviour and hallucinations at Dr. H. Marzoeki Mahdi Hospital in Bogor. Quasi-experimental research design with a sample of 60 respondents.
The study found a decrease symptoms of violent behaviour and hallucinations greater gain than the clients that did not receiving CBT and REBT (p value < 0.05). Cognitive, affective and behavioral abilities the clients who receiving CBT and REBT have increased significantly (p value < 0.05). CBT and REBT is recommended as a therapeutic nursing at the client?s violent behaviour and hallucinations.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2011
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Wulandari
"Pengalaman-menyerupai-psikotik (Psychotic-like experience/PLE) merupakan pengalaman serupa halusinasi/delusi, bersifat non – klinis, dan cukup umum ditemui pada populasi sehat. PLE muncul sebagai hasil dari interaksi aspek kognitif dan aspek emosi yang diketahui berfluktuasi secara cepat. Namun, penelitian longitudinal terdahulu kurang dapat menangkap fluktuasi tersebut karena jeda waktu antar pengukuran yang panjang. Selain itu, belum banyak penelitian mengenai mekanisme terbentuknya PLE pada kelompok dengan kerentanan biopsikososial tinggi. Penelitian ini akan menguji peran afek negatif sebagai mediator atas pengaruh skema negatif-mengenai-diri terhadap PLE pada anggota keluarga pasien psikosis. Sebanyak 36 individu berpartisipasi dalam pengambilan data secara Experience Sampling Method (ESM). Pada hari pertama, pengukuran mencakup gejala depresi (PHQ – 9), kecemasan (GAD – 7), dan psikotik (CAPE – 42). Pada hari kedua sampai kelima belas dilakukan pengukuran skema negatif (BCSS), afek negatif (Momentary Affect Scale), dan PLE (Index of PLE). Data harian dianalisis dengan Multilevel Mediation Modeling. Skema negatif-mengenai-diri ditemukan memprediksi PLE, b = 0,378, p < 0,001, dan afek negatif memediasi secara parsial hubungan kedua variabel tersebut, b = 0,401, 95% CI [0,2501; 0,5714]. Fluktuasi harian dari skema yang disertai dengan keberadaan afek negatif akan mendorong interpretasi maladaptif atas pengalaman sehari – hari, sehingga memicu PLE, yang pada keluarga pasien dapat dijelaskan melalui tingginya behavioral sensitization.

Psychotic-like experience (PLE) is hallucination/delusion – like experiences, nonclinical, and quite common in healthy normal population. PLE is shaped by the interplay of cognitive and emotional aspects which are found to be fluctuated in daily life. However, most of the longitudinal studies have yet to capture the dynamic, due to the longer time gap between measurements. Studies in higher-than-average genetic risk-group were also still limited. This study examines the role of negative affect as a mediator to the effect of negative-self schema on PLE in first-degree relatives of psychotic patients. Data was collected from 36 individuals using Experience Sampling Method (ESM). On the first day, depression (PHQ – 9), anxiety (GAD – 7), and psychotic symptoms (CAPE – 42) were measured. On day two until fifteen, daily measurements on negative-self schema (BCSS), negative affect (Momentary Affect Scale), and PLE (Index of PLE) were completed twice a day. Multilevel Mediation Modeling was performed to analyze the data. Negative-self schema was found to predict PLE, b = 0,378, p < 0,001, and this effect was partially mediated by negative affect, b = 0,401, 95% CI [0,2501; 0,5714]. Day-to-day fluctuation of negative-self schema accompany by negative affect would induce maladaptive interpretation which then result in the PLE symptoms. In first-degree relatives, vulnerability to PLE could be explained by behavioral sensitization."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hardaya Suriatmaja
"Psikosis adalah salah satu gangguan psikopatologi yang kompleks, sehingga cocok untuk dianalisis menggunakan analisis jaringan agar tidak kehilangan kompleksitasnya. Analisis jaringan cross-sectional antara pengalaman psikotik, mood, dan kesepian menunjukkan bahwa ketiga variabel ini saling berkaitan namun tidak diketahui pola hubungan antar waktunya. Tujuan penelitian ini adalah memetakan bagaimana hubungan hari ke hari antara pengalaman psikotik terhadap mood dan kesepian. Pengukuran dilakukan dengan metode experience sampling dimana 72 partisipan yang berusia 18 tahun ke atas mengisi survei daring satu kali sehari dalam tujuh hari. Analisis jaringan intra-individu satu waktu, temporal, dan keseluruhan inter-individu dalam seminggu dilakukan. Pengalaman psikotik tidak memprediksi mood (b = -0,124, SE = 0,109, p = .256) dan kesepian (b = 0,006, SE = 0,051, p = .903), serta dirinya kembali (b = 0,091, SE = 0,072, p = .208). Jaringan intra-individu dalam satu hari menunjukkan hubungan antara pengalaman psikotik dengan kesepian dan depresi, tetapi tidak antara kesepian dan mood. Jaringan temporal menunjukkan ketiga variabel tidak saling memprediksi, namun kesepian konsisten memprediksi dirinya kembali. Hubungan antara pengalaman psikotik, mood, dan kesepian tidak ditemukan dalam kerangka waktu hari ke hari, antara mereka tidak berhubungan sebab-akibat atau berhubungan sebab-akibat tetapi dalam kurun waktu jam seperti ditunjukkan oleh hasil jaringan intra-individu dalam satu hari.

Psychosis is a complex psychopathological disorder which makes it suitable to be analyzed in its complexity using network analysis. Cross-sectional network between psychotic experiences, depression, and loneliness shows that they are interrelated, but its temporal relationship remains unknown. The purpose of this study is to examine daily temporal relationships between psychotic experiences, mood and loneliness. Measurements were conducted with an experience sampling method, 72 participants aged 18 years and over completed an online survey once a day for seven days. Network analysis was conducted to create contemporaneous, temporal, and between-subject networks. Psychotic experiences did not predict mood (b = -0.124, SE = 0.109, p = .256) and loneliness (b = 0.006, SE = 0.051, p = .903), as well as itself (b = 0.091, SE = 0.072, p = .208). The contemporaneous network showed that intra-individually within one day psychotic experiences were related with loneliness and depression, but not between loneliness and mood. The temporal network showed that they did not predict each other but loneliness consistently predicted itself. The temporal interrelationship between psychotic experiences, mood, and loneliness was not found indicating that they may not be causally interrelated or that the causal relationship may occur in terms of hours and not days."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meiliana Lindawaty Rambakila
" Latar Belakang: Layanan primer memiliki peran utama dalam mendeteksi adanya gangguan jiwa berat. Deteksi dini dan penatalaksanaan yang baik di tingkat pelayanan primer akan berdampak terhadap luaran orang dengan gangguan jiwa berat. Untuk meningkatkan penatalaksanaan gangguan jiwa berat di layanan primer, Kemenkes RI menyadur pedoman dari WHO tentang penanganan gangguan jiwa, neurologis, dan penyalahgunaan obat-obatan di layanan non spesialistik ke dalam bahasa Indonesia, salah satunya adalah dengan dibuatnya modul lsquo;Diagnosis dan Penatalaksanaan Gangguan Psikotik rdquo;. Tujuan penelitian ini adalah menilai efektivitas modul Diagnosis dan Penatalaksanaan Gangguan Psikotik dengan Modifikasi terhadap pengetahuan dokter untuk mengidentifikasi gejala psikotik, menegakkan diagnosis, dan memberikan tatalaksana psikofarmaka dan nonpsikofarmaka pada pasien psikotik di layanan primer. Metode Penelitian: Penelitian ini adalah penelitian dengan desain Quasi Experiment Pre-PosTest. Hasil: Sampel penelitian terbagi kelompok intervensi 17 subyek dan kelompok kontrol 20 subyek. Kelompok intervensi mendapatkan pelatihan modul Diagnosis dan Penatalaksanaan Gangguan Psikotik dengan Modifikasi. Peningkatan pengetahuan pada kedua kelompok intervensi dan kontrol secara keseluruhan dengan p=0,402, domain gejala p=0,630, domain diagnosis p=0,117, domain farmakologi p=0,2014, dan domain nonfarmakologi p=0,815. Kesimpulan:Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara peningkatan pengetahuan pada kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol.Kata Kunci: Efektivitas Pelatihan, Modul Diagnosis dan Penatalaksanaan Gangguan Psikotik, Pengetahuan Dokter Puskesmas.
ABSTRACT Background Primary services have a major role in detecting serious mental disorders. Early detection and good management at the primary care level will have an impact on the outcomes of people with severe mental disorders. To improve the management of severe mental disorders in primary care, RI Health Ministry adopted WHO guidelines on the handling of psychiatric, neurological, and drug abuse in non specialist services into the Indonesian language, one of which is the creation of Diagnosis and Management of Psychotic Disorders Module. The objective of this study was to assess the effectiveness of the Diagnosis and Management of Psychotic Disorders with Modification Module to physician knowledge to identify psychotic symptoms, diagnose, and administer psychopharmaceutical and nonpsychopharmaca management in psychotic patients in primary care. Research Methods This research used research type of Quasi Experiment Design Pre Post Test. Results The sample was divided into 17 subjects in the intervention group and 20 subjects in the control group. The training used Diagnosis and Management of Psychotic Disorders with Modification Module. Increased overall knowledge in the intervention group and in control group with p 0.402, symptom domain with p 0.630, diagnosis domain with p 0.117, pharmacological domain with p 0.2014, and nonpharmacological domain with p 0,815. Conclusion There was no significant difference between increased knowledge in the intervention group over the control group. Keywords Training Effectiveness, Module of Diagnosis and Management of Psychotic Disorder, Knowledge of Primary Care Doctor. "
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Dwinanti Amanda
"Latar Belakang: Perilaku kekerasan yang berpotensi membahayakan diri sendiri dan orang lain banyak dijumpai pada orang dengan gangguan psikotik. Salah satu penyebab terjadinya perilaku kekerasan adalah gejala positif yang dialami mereka. Dengan mengetahui hubungan antara gejala positif dan perilaku kekerasan, diharapkan dapat mencegah terjadinya perilaku kekerasan dan dapat dilakukan penatalaksaan yang sesuai. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara gejala positif dengan perilaku kekerasan pada gangguan psikotik.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian analitik potong lintang. Pengambilan sampel dilakukan dengan simple random sampling pada warga binaan Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2 Cipayung, sebanyak 90 orang, yang dirawat selama periode April-Mei 2014. Pada subyek penelitian dilakukan wawancara penapisan gejala psikotik menggunakan MINI ICD 10 yang dilanjutkan dengan pemeriksaan gejala positif menggunakan PANSS skala positif dan penilaian perilaku kekerasan menggunakan OAS.
Hasil: Pada hasil analisis, terdapat hubungan antara gejala positif dengan perilaku kekerasan (p<0,001; r = 0,629). Gejala positif yang memiliki hubungan sedang dengan perilaku kekerasan antara lain gaduh gelisah dan kejaran. Sedangkan waham, permusuhan dan perilaku halusinasi memiliki hubungan lemah dengan perilaku kekerasan. Gejala positif berupa kekacauan proses pikir dan waham kebesaran memiliki hubungan sangat lemah dengan perilaku kekerasan.
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara gejala positif dengan perilaku kekerasan pada gangguan psikotik.

Background: Violent behaviors which potentially harmful to self and others are found usually in people with psychotic disorder. One of the reasons for the behavior to take place is the positive symptoms experienced by these individuals. By determining the association between positive symptoms and violent behaviors, it is hoped that these behaviors can be prevented and managed appropriately. This research is conducted to find association between positive symptoms and violent behaviors in psychotic behavior disorder.
Method: This is an analytical cross sectional research. Samples were taken by means of simple random sampling from residents of Bina Laras Harapan Sentosa 2 Cipayung Social Rehabilitation center, with 90 subjects cared for during the period of April to May 2014. Subjects were given screening interview for psychotic symptoms using MINI ICD 10, then proceed to positive symptoms examination using positive scale of PANSS and rating of violent behavior using OAS.
Result: The coefficient correlation between positive symptoms and violent behaviors was r = 0,629 (p<0,001). Positive symptoms with moderat correlation with violents behaviors are agitation and paranoia. Meanwhile delusion, hostility and hallucinatoric behaviors have weak correlation with violent behaviors. Positive symptoms such as disorganized thought process and grandiose delusion have very weak correlation with violent behaviors.
Conclusion: Significant correlation is found between positive symptoms and violent behaviors in psycotic disorder.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shierlen Octavia
"ABSTRAK
Trauma masa kanak-kanak adalah faktor risiko yang mempengaruhi perkembangan gejala psikotik. Berbagai penelitian telah menjelaskan mekanisme hubungan antara keduanya
variabel. Skema diri negatif, respons psikologis terhadap trauma dan diketahui memiliki
dampak pada tingkat gejala psikotik, dipostulatkan untuk memediasi dua variabel ini. Ini
Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran skema negatif diri sebagai mediator antara masa kanak-kanak trauma dan gejala psikotik dengan mengendalikan gejala depresi sebagai kovariat. Itu Penelitian dilakukan pada 397 peserta (25,4% pria; Mage = 22,28, SD = 4,93).
Gejala psikotik diukur oleh Asesmen Komunitas terhadap Pengalaman Psikotik (AKPP), trauma masa kecil diukur dengan kuesioner berbasis laporan diri pada studi NEMESIS, dan skema negatif diri diukur dengan Skema Inti Singkat Timbangan (BCSS). Melalui analisis mediasi, hasilnya menunjukkan skema self-negative secara signifikan memediasi hubungan antara trauma masa kecil dengan positif gejala (ab = 0,08; SE = 0,04; 95% CI [0,01, 0,17]), serta gejala negatif dari gejala psikotik (ab = 0,08; SE = 0,03; 95% CI [0,03, 0,14]), dan juga langsung hubungan antara pengalaman traumatis masa kanak-kanak dan gejala positif juga
ditemukan. Ini menjelaskan pentingnya mempertimbangkan peran kognitif dalam menerjemahkan efek trauma masa kecil terhadap gejala psikotik.

ABSTRACT
Childhood trauma is a risk factor that influences the development of psychotic symptoms. Various studies have explained the mechanism of the relationship between the two
variable. Negative self schemes, psychological responses to trauma and are known to have
impact on the level of psychotic symptoms, postulated to mediate these two variables. This This study aims to examine the role of self-negative schemes as a mediator between childhood trauma and psychotic symptoms by controlling depressive symptoms as covariates. The study was conducted on 397 participants (25.4% male; Mage = 22.28, SD = 4.93). Psychotic symptoms were measured by the Community Assessment of Psychotic Experience (PPA), childhood trauma was measured by a self-report questionnaire based on the NEMESIS study, and a negative self-scheme was measured by the Short Core Scales Scheme (BCSS). Through mediation analysis, the results showed a self-negative scheme significantly mediated the relationship between childhood trauma with positive symptoms (ab = 0.08; SE = 0.04; 95% CI [0.01, 0.17]), as well as symptoms negative psychotic symptoms (ab = 0.08; SE = 0.03; 95% CI [0.03, 0.14]), and also a direct relationship between childhood traumatic experiences and positive symptoms as well
was found. This explains the importance of considering the cognitive role in translating the effects of childhood trauma on psychotic symptoms."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>