Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 185816 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tanod, Veronica Patricia
"Kusta merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan di dunia. Munculnya bakteri M.leprae yang resisten terhadap antibiotik semakin menyulitkan terapi. Diperlukan pemeriksaan untuk mendeteksi bakteri resisten agar penatalaksanaan penyakit kusta menjadi lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan uji genotipik untuk mengetahui resistensi M.leprae terhadap dapson, rifampisin, dan ofloksasin. Real time PCR dilakukan sebagai persyaratan analisis uji genotipik. Primer nested PCR dan sekuensing dirancang dengan Primer Designer software. Kondisi reaksi PCR yang dioptimasi yaitu suhu penempelan primer, volume cetakan DNA, dan jumlah siklus amplifikasi.
Hasil optimasi kemudian diterapkan pada spesimen kerokan jaringan kulit. Uji genotipik yang dikembangkan di penelitian ini dapat diterapkan pada spesimen kerokan jaringan kulit dengan nilai Ct real time PCR kurang dari 30. Suhu penempelan primer, volume cetakan DNA, dan jumlah siklus amplifikasi yang optimal yaitu 56 C PCR I dan II , 15 l cetakan DNA dalam volume reaksi 50 l PCR I dan 2 l cetakan DNA dalam volume reaksi 40 l PCR II , dan jumlah siklus amplifikasi PCR 40 PCR I dan 35 PCR II . Uji yang dioptimasi dapat menunjukkan genotipik 17 M.leprae dengan hasil 100 sensitif terhadap dapson dan rifampisin dan 5,9 resisten ofloksasin. PCR-direct sequencing pada penelitian ini dapat digunakan untuk mendeteksi resisten obat kusta dapson, rifampisin, dan ofloksasin.

Leprosy is a chronic infectious disease caused by Mycobacterium leprae and considered as health problem. Treatment of leprosy tends to complicated because of emergences of resistant M. leprae strains. Therefore, it is essential to have a test that can detect drug resistance M.leprae for better management of this disease. The aim of this study is to obtain a genotyping assay for detection of M.leprae resistant to dapsone, rifampicin, and ofloxacin. Real time PCR was performed for specimen requirement for genotyping analysis. Primers for nested PCR and DNA sequencing were designed by Primer Designer software and reaction condition of PCR was optimized including annealing temperature of primers, volume of DNA template, and number of thermal cycle.
The optimized nested PCR and DNA sequencing were applied for skin scrapings specimen. Genotyping assay developed in this study was applicable for skin scrap samples with real time PCR result of Ct less than 30. The optimal annealing temperature of primers, volume of DNA template, and number of thermal cycle were 56 C PCR I and II , 15 l DNA template in 50 l reaction PCR I and 2 l DNA template of 40 l reaction PCR II , and 40 PCR I and 35 PCR II thermal cycles, respectively. The optimized assay could genotype 17 M.leprae strains with 100 sensitive for dapsone and rifampicin and 5,9 resistant for ofloxacin. PCR direct sequencing in this study can be used to detect leprosy drug resistance dapsone, rifampicin, dan ofloxacin.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nie Nie
"Latar Belakang: Kusta atau Morbus Hansen (MH) merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae dan masih menjadi masalah kesehatan di dunia. Penelitian ini mengkaji beberapa faktor risiko yang berkontribusi pada kekambuhan kusta pada pasien di RS dr. Sitanala periode Juni-Desember 2020, disertai dengan analisis kepekaan M. leprae terhadap obat anti kusta rifampisin, dapson dan ofloksasin.
Tujuan: Mengetahui kepekaan M.leprae terhadap rifampisin, dapson dan ofloksasin menggunakan metode molekular dan faktor risiko yang berkonstribusi yaitu putus obat, indeks bakteri yang tinggi, riwayat penggunaan kortikosteroid dan kontak erat pada pasien kusta kambuh.
Metode: Seratus delapan puluh pasien dengan lesi multibasiler dan terapi kurang dari 2 bulan diikutkan dalam penelitian ini. Pemeriksaan PCR konvensional dilakukan untuk identifikasi M. leprae dan amplifikasi gen rpoB, folP dan gyrA terhadap 50 sampel kerokan kulit yang menunjukkan indeks bakteri >2+ melalui pemeriksaan mikroskopik BTA dengan pewarnaan Zeihl Neelsen. Perunutan gen resistansi dilakukan dengan metode sekuensing dan dilanjutkan dengan analisis sekuen menggunakan software sequence scanner v1.0 software Applied Biosystems dan BioEdit Sequence Alignment. Data faktor risiko pasien diperoleh dari hasil wawancara.
Hasil: Faktor risiko pada 180 pasien lepra yang berhubungan dengan kekambuhannya adalah lepra tipe LL, pengunaan kortikosteroid, kontak erat, riwayat putus obat dan indeks bakteri yang tinggi. Lima puluh sampel teridentifikasi sebagai M.leprae dengan metode PCR. Analisis sekuensing gen rpoB, folP dan gyrA dari 24 sampel tidak menunjukkan adanya mutasi, yang mengindikasikan M. leprae masih peka terhadap rifampisin, dapson, dan ofloksasin.
Kesimpulan: Dengan profil M. leprae yang peka berdasarkan analisis molekuler, kekambuhan leprae pada pasien lebih berkorelasi dengan faktor risiko.

Background: Leprosy or Morbus Hansen (MH) is a chronic disease caused by Mycobacterium leprae infection and is still a health problem in the world. This study examines several risk factors that contribute to the recurrence of leprosy in patients at dr. Sitanala for the period June-December 2020, accompanied by an analysis the susceptibility of M. leprae to anti-leprosy drugs rifampin, dapsone and ofloxacin.
Objective: To determine the susceptibility of M. leprae to rifampin, dapsone and ofloxacin using molecular methods and the risk factors that contribute to, default, high bacterial index, history of corticosteroid use and close contacts in relapsed leprosy patients.
Methods: One hundred and eighty patients with multibacillary lesions and less than 2 months of therapy were included in this study. Conventional PCR was performed for the identification of M. leprae and amplification of the rpoB, folP and gyrA genes on 50 skin scraping samples showing a bacterial index >2+ by microscopic examination of AFB with Zeihl Neelsen staining. Sequencing of resistance genes was carried out using the sequencing method and continued with sequence analysis using the software sequence scanner v1.0 software Applied Biosystems and BioEdit Sequence Alignment. Patient risk factor data obtained from interviews.
Results: The risk factors in 180 leprosy patients associated with recurrence were type LL leprosy, use of corticosteroids, close contacts, default and high bacterial index. Fifty samples were identified as M. leprae by PCR method. Sequencing analysis of the rpoB, folP and gyrA genes from 24 samples showed no mutations, which indicated that M. leprae was still sensitive to rifampin, dapsone, and ofloxacin.
Conclusion: Recurrence in leprosy patients is associated with several risk factors and does not occur due to mutations in the rpoB, folP, gyrA genes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Siskawati
"Latar belakang: Multidrug therapy (MDT) merupakan kombinasi obat yang aman dan efektif untuk pengobatan kusta, yang antara lain bertujuan untuk mencegah resistensi obat. Resistensi obat MDT, khususnya rifampisin, penting karena dapat menggagalkan program pengendalian penyakit kusta oleh WHO. Diduga salah satu faktor pencetusnya adalah kepatuhan pengobatan pasien yang buruk, sehingga perlu dilakukan penelitian guna mengetahui kejadian resistensi rifampisin pada pasien kusta tipe MB berdasarkan kepatuhan pengobatan baik dibandingkan kepatuhan kepatuhan pengobatan buruk.
Tujuan: Mengetahui perbandingan kejadian resistensi rifampisin pada pasien kusta tipe MB berdasarkan kepatuhan pengobatannya.
Metode: Dilakukan penelitian analitik dengan rancangan penelitian comparative cross sectional pada pasien kusta tipe multibasiler. Sampel diambil dari kerokan kulit pada pemeriksaan slit skin smear, kemudian dilakukan analisis dengan teknik PCRsequencing.
Hasil: Terdapat 57 subyek penelitian (SP) yang diikutsertakan pada penelitian ini. Pada kelompok kepatuhan pengobatan baik (29 SP), resistensi rifampisin terjadi pada 1 SP (3,4%). Sedangkan pada kelompok kepatuhan pengobatan buruk (28 SP), ditemukan 8 sampel (28,6%) dengan M. leprae yang resisten terhadap rifampisin. Kejadian resistensi M. leprae terhadap rifampisin pada kepatuhan pengobatan buruk lebih tinggi dibandingkan dengan kepatuhan pengobatan baik (OR= 11,2; 95% IK=1,296-96,787; p=0,012).
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan kejadian resistensi M. leprae terhadap rifampisin pada kepatuhan pengobatan buruk 11 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kepatuhan pengobatan baik.

Background: Multidrug therapy (MDT) is a combination of safe and effective drugs for the treatment of leprosy which have additional aim to prevent drug resistance. MDT resistance, especially to rifampicin, is very important as it could prevent the target to eliminate leprosy by the WHO. One of the suspected causes of resistance is poor drug compliance by the patient; therefore it is necessary to perform a study to assess the prevalence or rifampicin? resistance on multibacillary (MB) type leprosy patients based on good compare to poor drug compliance.
Purpose: To compare the prevalence of rifampicin? resistance on MB type leprosy patients based on drug compliance.
Methods: Analytical study was performed with comparative cross sectional design on MB type leprosy patients. Samples were taken from skin smear on slit skin smear examination, which then analyzed with PCR sequencing technique.
Results: 57 study subjects were enrolled in this study. On good drug compliance group (29 subjects), only 1 resistance (3,4%) was found. Meanwhile on poor drug compliance group (28 subjects), there are 8 resistance (28,6%) cases found. Mycobacterium leprae resistance to rifampicin? was found significantly higher on poor compliance patient group compared to the good compliance group. (OR= 11,2; 95% IK= 1,296-96,787; p=0,012).
Conclusion: This study revealed that the prevalence of Mycobacterium leprae resistance to rifampicin? group of patients with po.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kahlil Gibran
"Pseudomonas aeruginosa adalah bakteri Gram negatif penyebab berbagai infeksi oportunistik dan nosokomial. Bakteri ini tidak peka terhadap berbagai golongan antibiotik sehingga menjadi kendala utama dalam penanganan infeksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pola kepekaan Pseudomonas aeruginosa terhadap beberapa golongan antibiotik. Desain penelitian bersifat cross-sectional dengan analisis data sekunder dari isolat Pseudomonas aeruginosa yang terdapat di Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI dari tahun pertengahan 2013-2019. Dari 396 sampel yang didapat, Pseudomonas aeruginosa mengalami perubahan tingkat kepekaan terhadap 37 antibiotik yang diiuji dari tahun ke tahun. Berdasarkan hasil evaluasi diatas, dapat disimpulkan bahwa tingkat kepekaan tertinggi terdapat pada antibiotik golongan polimiksin. Adapun tingkat kepekaan yang rendah terdapat pada antibiotik ampicillin, ampicillin/sulbactam, amoxicillin, amoxicillin/a.clavulanat, cefazolin, cefoxitin, cefuroxime, cefotiam, cefotaxime, cotrimoxazole, chloramphenicol, dan nitrofurantoin. Kedepannya, penelitian mengenai evaluasi pola kepekaan antibiotik perlu dilakukan secara kontinyu agar mendapatkan pola terapi yang sesuai.

Pseudomonas aeruginosa is a Gram-negative bacterium that causes a variety of opportunistic and nosocomial infections. These bacteria are not sensitive to various classes of antibiotics so they become a major problem in infection management. This study aims to establish a pattern of Pseudomonas aeruginosa sensitivity to several antibiotic classes. The research design was cross-sectional with secondary data analysis of Pseudomonas aeruginosa isolates in the Clinical Microbiology Laboratory of the Faculty of Medicine UI from mid-2013-2019. Of the 396 samples obtained, Pseudomonas aeruginosa experienced changes in the level of sensitivity to 37 antibiotics tested from year to year. Based on the results of the evaluation above, it can be said that the highest level of sensitivity is in the polymyxin group antibiotics. The low level of sensitivity is found in the antibiotics ampicillin, ampicillin/sulbactam, amoxicillin, amoxicillin/clavulanic acid, cefazolin, cefoxitin, cefuroxime, cefotiam, cefotaxime, cotrimoxazole, chloramphenicol, and nitrofurantoin. In the future, research to evaluate the pattern of antibiotic sensitivity needs to be carried out continuously in order to obtain the appropriate therapy pattern."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syarifaha Ihsan
"Latar belakang: Hingga saat ini, Acinetobacter baumannii menjadi salah satu bakteri yang sulit untuk dikendalikan karena tingginya potensi untuk mengalami resistensi terhadap berbagai antibiotik. Informasi mengenai pola kepekaan antibiotik terhadap Acinetobacter baumannii perlu diketahui sebagai dasar penyusunan panduan pengobatan.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tren pola kepekaan isolat bakteri Acinetobacter baumannii terhadap beberapa antibiotik di Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI-RSCM Tahun 2013-2019.
Metode: Peneliti mengumpulkan data sekunder dari hasil uji kepekaan yang didapat dari laporan sebelumnya dan telah dimasukan ke dalam perangkat lunak WHONET dari periode tahun 2013-2019 lalu mengolahnya menggunakan Microsoft Excel.
Hasil: Total jumlah isolat keseluruhan periode tahun 2013-2019 yang didapatkan sebesar 292 isolat. Pada penelitian ini, terdapat 5 dari 15 antibiotik yang diujikan memiliki kepekaan diatas 50% antara lain amikasin, tigesiklin, trimethoprim/sulfamethoxazole, kolistin dan polimiksin B. Simpulan: Berdasarkan penelitian dari perbandingan data yang dilakukan selama 6 tahun di Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI-RSCM, terlihat bahwa tren pola kepekaan antibiotik relatif mengalami peningkatan pada sebagian besar golongan karbapenem, aminoglikosida, sefalosporin, tetrasiklin, dan sulfonamide, meskipun dengan kepekaan yang rendah, kurang dari 50%, sedangkan golongan lipopeptida dengan kepekaan yang tinggi. Antibiotik yang memiliki potensi besar yang dianjurkan dalam pengobatan adalah polimiksin B dan kolistin karena memiliki tren pola kepekaan antibiotik yang meningkat dan tingkat rata-rata kepekaan yang tinggi selama lima tahun terakhir.

Background: Until now, Acinetobacter baumannii is a difficult bacteria to control because it has high potential for resistance to various antibiotics. Information regarding the pattern of antibiotic sensitivity to Acinetobacter baumannii needs to be known in order to formulate a treatment guide.
Purpose: This study aims to determine the sensitivity pattern trend of Acinetobacter baumannii isolates to several antibiotics in the Clinical Microbiology Laboratory of FKUI-RSCM 2013-2019.
Methods: Researchers collected secondary data from the results of sensitivity tests obtained from previous reports and entered into the WHONET software from the 2013-2019 period and processed them using Microsoft Excel..
Results: The total number of isolates in the 2013-2019 period was 292 isolates. In this study, there were 5 out of 15 antibiotics tested to have a sensitivity above 50% including amikacin, tigesiklin, trimethoprim/sulfamethoxazole, kolistin and Polimiksin B.
Conclusion: Based on research from data comparisons carried out for 6 years in the Clinical Microbiology Laboratory FKUI-RSCM, this research shows that the trend of antibiotic sensitivity patterns has relatively increased in most of the carbapenems, aminoglycosides, cephalosporins, tetracyclines, and sulfonamides, although with a low sensitivity, less than 50%, while the lipopeptide group with high sensitivity. The antibiotics with high potential recommended for treatment are polymyxin B and colistine due to the trend of increasing antibiotic sensitivity patterns and high rates of sensitivity over the past five years.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadzira Zada
"Latar belakang: Mycobacterium tuberculosis (MTBC) menyebabkan TBC paru dan TBC ekstraparu (TBEP) yang infeksinya dapat menunjukkan angka morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Real-time polymerase chain reaction(RT-PCR) adalah metode molekuler yang digunakan dalam diagnosis dengan durasi pengerjaan yang singkat dan sensitivitas yang tinggi. RT-PCR dapat mempersingkat waktu diagnosis, inisiasi tata laksana pengobatan, dan upaya pengendalian transmisi TBC. Pada studi ini, dilakukan analisis prevalensi TBEP positif dengan diagnosis RT-PCR di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (LMK FKUI) pada tahun 2020-2021.
Metode: Penelitian ini bersifat cross-sectional menggunakan data rekam medis yang terdaftar di LMK FKUI pada tahun 2020-2021 secara consecutive sampling. Populasi penelitian merupakan spesimen klinis dengan permintaan pemeriksaan MTBC secara RT-PCR. Spesimen penelitian adalah spesimen dengan hasil positif MTBC beserta informasi usia dan jenis kelamin. Data disajikan dalam bentuk grafik dan dianalisis secara deskriptif, meliputi positivity rate TBEP dan persentase jenis spesimen klinis.
Hasil: Sebanyak 108 spesimen pemeriksaan TBEP pada tahun 2020, 33 diantaranya menunjukkan hasil positif MTBC (30,56% positivity rate) sementara di tahun 2021, terdapat 593 spesimen pemeriksaan TBEP dengan 42 diantaranya positif MTBC (7,08% positivity rate). Informasi usia dan jenis kelamin dari spesimen tidak dapat dianalis karena keterbatasan data. Spesimen jaringan dan LCS menduduki peringkat tertinggi TBEP positif pada tahun 2020 dan 2021.
Kesimpulan: Terjadi penurunan positivity rate TBEP positif sebesar 76,83 % dari tahun 2020 ke tahun 2021 dengan jenis sampel dominan jaringan dan LCS. Terjadi peningkatan jumlah sampel yang diterima LMK FKUI sebesar 449,074% (485 data) pada tahun 2021.

Background: Mycobacterium tuberculosis (MTBC) causes pulmonary TB and extrapulmonary TB (EPTB) whose infection can show significant morbidity and mortality rates. Real-time polymerase chain reaction (RT-PCR) is a molecular method used in diagnosis with a short duration and high sensitivity. RT-PCR can shorten the time for diagnosis, initiation of treatment, and efforts to control TB transmission. In this study, an analysis of the prevalence of positive EPTB with RT-PCR diagnosis was carried out at the Microbiology Laboratory, Faculty of Medicine, University of Indonesia (LMK FKUI) in 2020-2021.
Method: This research is cross-sectional using medical record data registered at LMK FKUI in 2020-2021 using consecutive sampling. The study population was clinical specimens with requests for MTBC examination using RT-PCR. Research specimens are specimens with positive MTBC results along with information on age and gender. Data are presented in graphical form and analyzed descriptively, including the EPTB positivity rate and percentage of clinical specimen types.
Results: A total of 108 EP TB examination specimens in 2020, 33 showed positive MTBC results (30.56% positivity rate) while in 2021, 42 showed MTBC positive out of 593 EPTB examination specimens (7.08% positivity rate). Age and gender information from the specimens could not be analyzed due to data limitations. Tissue and CSF specimens ranked highest in positive EPTB in 2020 and 2021.
Conclusion: There was a decrease in the positive TBEP positivity rate by 76.83% from 2020 to 2021 with the dominant sample types are tissue and CSF. There has been an increase in the number of samples received by LMK FKUI by 449.074% (485 data) in 2021.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melya Puspitasari
"Tuberkulosis merupakan penyakit yang masih menjadi masalah utama kesehatan bagi masyarakat di Indonesia. Berdasarkan Global TB Report 2021, Asia Tenggara merupakan wilayah dengan beban Tb paling tinggi dan Indonesia menyumbang sekitar 8% dari keseluruhan beban Tb didunia. Namun pasien Tb yang berhasil ditemukan, diobati dan dilaporkan kedalam sistem informasi nasional hanya sekitar 48%. Tb yang resisten terhadap obat terus menjadi ancaman kesehatan manusia. Resistensi terhadap obat anti tuberkulosis bisa terjadi akibat infeksi primer dengan bakteri Tb resisten atau bisa disebabkan oleh pengobatan yang tidak adekuat, sehingga muncul strain yang resisten akibat adanya perubahan atau mutasi pada gen-gen tertentu dalam genom Mycobacterium tuberculosis. Saat ini sudah banyak teknologi dan metode yang digunakan untuk mendeteksi resistensi terhadap obat anti tuberculosis. Salah satunya adalah Next Generation Sequencing. Next Generation Sequencing merupakan teknologi sekuensing akurat, hemat biaya dan throughput tinggi yang memungkinkan penyelidikan genom termasuk Whole Genome Sequencing untuk studi epidemiologi dan untuk mendeteksi penanda resistensi obat dan keragaman strain. Analisis Whole Genome Sequencing dapat digunakan untuk mendeteksi resistensi terhadap obat anti tuberkulosis lini pertama y a n g sangat menjanjikan sebagai pengganti uji kepekaan obat konvensional. Hasil dari analisis Whole Genome Sequencing pada Mycobacterium tuberculosis yang resisten rifampisin menunjukkan adanya mutasi-mutasi yang ada pada wilayah operon Rpo terutama pada gen RpoB dan RpoC. Mutasi yang paling dominan pada gen RpoB adalah perubahan S450L (36,45%) dan pada gen RpoC adalah G594E (30,95%). Dan analisis whole genome sequencing juga menunjukkan adanya mutasi baru yang berbeda dengan mutasi-mutasi yang ada berdasarkan penelitian sebelumnya.

Tuberculosis is a disease that is still a major health problem for people in Indonesia. Based on the Global TB Report 2021, Southeast Asia is the region with the highest burden of TB and Indonesia produces around 8% of the total burden of TB in the world. However, only about 48% of TB patients who have been found, treated and reported to the national information system. Drugresistant TB continues to be a threat to human health. Resistance to anti-tuberculosis drugs can occur as a result of primary infection with resistant TB bacteria or can be caused by inadequate treatment, resulting in the emergence of resistant strains due to the presence or mutations in certain genes in the genome of Mycobacterium tuberculosis. Currently there are many technologies and methods used to detect resistance to anti-tuberculosis drugs. One of them is Next Generation Sequencing. Next Generation Sequencing is an accurate, cost-effective and highthroughput sequencing technology that enables genomic investigations including Whole Genome Sequencing to study epidemiology and to detect markers of drug resistance and strain diversity. Whole Genome Sequencing analysis can be used to detect resistance to first-line anti-tuberculosis drugs which are very promising as a substitute for conventional drug sensitivity tests. The results of Whole Genome Sequencing analysis on rifampicin-resistant Mycobacterium tuberculosis showed that there were mutations in the Rpo operon region, especially in the RpoB and RpoC genes. The most dominant mutation in the RpoB gene was the change in S450L (36.45%) and in the RpoC gene was G594E (30.95%)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wiwiek Ernajanti
"[ABSTRAK
Latar Belakang: Kanker kolorektal merupakan tumor ganas ketiga di dunia.
Sembilan puluh lima persen kanker kolorektal merupakan adenokarsinoma yang
berasal dari lesi prekursor adenoma. Dilaporkan 15%-20% kanker terkait dengan
infeksi virus. Virus yang diduga berhubungan dengan kanker kolorektal adalah
human papilloma virus (HPV) dan tipe tersering adalah 16 dan 18. Hubungan
antara HPV dan kanker kolorektal masih menjadi perdebatan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui perbedaan prevalensi infeksi HPV pada adenoma dan
adenokarsinoma kolorektal di Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM
Jakarta dengan menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR). Bahan
dan Metode: Pemeriksaaan DNA HPV pada 33 kasus adenoma dan 33 kasus
adenokarsinoma kolorektal dengan teknik nested PCR MY/GP dan elektroforesis.
Pada kasus dengan hasil HPV positif, dilanjutkan PCR menggunakan primer
spesifik HPV 16 dan HPV 18. Subjek penelitian berasal dari Departemen Patologi
Anatomik FKUI/RSCM. Hasil: Satu dari 33 kasus (3,0%) adenoma dan 3 dari 33
kasus (9,1%) adenokarsinoma positif infeksi HPV. Satu kasus adenoma positif
HPV bukan merupakan tipe 16 dan 18. Satu kasus adenokarsinoma dengan
positif, HPV merupakan tipe 16, 2 kasus merupakan gabungan tipe 16 dan 18.
Kesimpulan: Prevalensi infeksi HPV pada adenokarsinoma lebih tinggi
dibandingkan adenoma kolorektal. Tipe HPV pada kasus adenokarsinoma
kolorektal merupakan tipe 16 dan 18.

ABSTRACT
Background : Colorectal cancer is the third malignant tumor in the world.
Ninety-five percent of colorectal cancers are adenocarcinomas derived from
precursor lesions adenoma. There are 15% -20% of cancers associated with viral
infections. Virus are suspected associated with colorectal cancer is the human
papilloma virus (HPV) and the most common types are 16 and 18. The
relationship between HPV and colorectal cancer is still being debated. This study
purpose to determine the prevalence differences of HPV infection in colorectal
adenomas and adenocarcinomas in the Department of Anatomic Pathology,
FKUI/RSCM Jakarta by using the polymerase chain reaction (PCR). Materials
and Methods : HPV DNA examination on 33 cases of adenoma and 33 cases of
colorectal adenocarcinoma by nested MY/GP PCR technique and electrophoresis.
In the cases with positive HPV results, continue by specific primers HPV 16 and
HPV 18 PCR. The subject of the study came from the Department of Anatomic
Pathology, FKUI/RSCM. Result : One (3.0%) adenomas and 3 (9.1%)
adenocarcinoma from 33 cases adenoma and adenocarcinoma are HPV positive.
One case of HPV positive adenomas are not types 16 and 18. HPV positive
adenocarcinoma, 1 case was type 16, two cases are combination of types 16 and
18. Conclusion : The HPV prevalence in adenocarcinoma was higher than
colorectal adenoma. HPV types on positive colorectal adenocarcinoma cases are
types 16 and 18., Background : Colorectal cancer is the third malignant tumor in the world.
Ninety-five percent of colorectal cancers are adenocarcinomas derived from
precursor lesions adenoma. There are 15% -20% of cancers associated with viral
infections. Virus are suspected associated with colorectal cancer is the human
papilloma virus (HPV) and the most common types are 16 and 18. The
relationship between HPV and colorectal cancer is still being debated. This study
purpose to determine the prevalence differences of HPV infection in colorectal
adenomas and adenocarcinomas in the Department of Anatomic Pathology,
FKUI/RSCM Jakarta by using the polymerase chain reaction (PCR). Materials
and Methods : HPV DNA examination on 33 cases of adenoma and 33 cases of
colorectal adenocarcinoma by nested MY/GP PCR technique and electrophoresis.
In the cases with positive HPV results, continue by specific primers HPV 16 and
HPV 18 PCR. The subject of the study came from the Department of Anatomic
Pathology, FKUI/RSCM. Result : One (3.0%) adenomas and 3 (9.1%)
adenocarcinoma from 33 cases adenoma and adenocarcinoma are HPV positive.
One case of HPV positive adenomas are not types 16 and 18. HPV positive
adenocarcinoma, 1 case was type 16, two cases are combination of types 16 and
18. Conclusion : The HPV prevalence in adenocarcinoma was higher than
colorectal adenoma. HPV types on positive colorectal adenocarcinoma cases are
types 16 and 18.]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mega Mirawati
"Resistensi terhadap obat anti tuberkulosis merupakan masalah yang memperberat suksesnya program penanggulangan dan pemberantasan tuberkulosis. Diperkirakan 90% isolat yang resisten terhadap rifampisin juga resisten terhadap isoniazid, sehingga resisten terhadap rifampisin dianggap sebagai "Surrogate marker" bagi resisten obat anti tuberkulosis Iainnya. Sekitar 95% isolat yang resisten rifampisin mengalami mutasi pada gen rpoB dan 70% mengalami mutasi pada kodon 531. Seiring dengan perkembangan teknik molekuler, hibridisasi dot blot dengan menggunakan pelacak oligonukleotida dapat digunakan untuk mendeteksi adanya mutasi pada gen. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi mutasi gen resisten rifampisin pada Mycobacterim tuberculosis dan mengembangkan teknik hibridisasi dot blot untuk deteksi resisten OAT. Sebanyak 30 sampel isolat Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap rifampisin telah diisolasi DNA dengan teknik boiling lalu diamplifikasi dengan PCR dengan menggunakan primer TR8 dan TR9. Setelah itu produk PCR dielektroforesis untuk mengetahui kebenaran hasil amplifikasi. Lalu dilakukan hibridisasi dot blot untuk dengan pelacak rpoB 531 mu untuk mengetahui adanya mutasi gen rpoB pada kodon 531 sebagai tanda terjadinya resistensi terhadap rifampisin. Hasil penelitian ditemukan 6 sampel (20%) Ban 30 sampel yang mengalami mutasi gen rpoB pada kodon 531. Berarti 6 sampel yang resisten terhadap rifampisin sedangkan 24 sampel lainnya yang tidak mengalami mutasi pada kodon 531 mungkin mengalami mutasi gen rpoB pada kodon lainnya yang akan terdeteksi dengan menggunakan pelacak lainnya. Dari penelitian juga didapat beberapa keuntungan penggunaan teknik ini yaitu hemat waktu, hemat biaya , sederhana dan akurat. Berdasarkan basic tersebut maka dapat disimpulkan bahwa telah ditemukan mutasi gen rpoB pada kodon 531 dan teknik hibridisasi dot blot sangat cocok dikembangkan sebagai teknik deteksi resisten terhadap rifampin dan OAT lainnya."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T 16202
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dafril Saaluddin
"ABSTRAK
Tumor ganas esofagus merupakan tumor ganas yang paling berbahaya, dangan angka kemungkinan hidup setelah 5 tahun kurang 5 % dari semua tumor ganas. Biaaanya gejala timbul setelah tumor berkembang menjadi stadium lanjut.
Mengingat hal tersebut di atas, penulis mencoba meneliti tentang penatalaksanaan tumor ganas esofagus yang telah dilakukan di FKUI/RSCM. Semoga dengan penelitian ini dapat dipakai untuk menyempurnakan penatalaksanaan tumor ganas esofagus di FKUI/RSCH ini.
Bahan yang diteliti diambil dari semua penderita tumor ganas esofagus yang datang berobat ke FKUI/RSGM dari Januari 1983 sampai dengan Juni 1985. Data-data diambil dari Bagian THT Subbagian Endoskopi FKUI/RSCM, Bagian Bedah Subbagian Bedah Digestif, Bagian Penyakit Dalam Subbagian Gastroenterologi, Bagian Radiologi Subbagian Radioterapi dan Bagian Patologi Anatomik yang merupakan anggota Kelompok Studi Khusus Esofagua FKUI/RSCM.
Dengan menganalisa data-data tersebut diharapkan akan didapatkan data yang lebih lengkap, sehingga dapat saling mengisi bila ada kekurangan-kekurangan, dan sebagai kontrol bila salah satu sumber data tidak ada lagi. Dari sumber data tersebut didapatkad tentang umur penderita, jenis kelamin, gejala-gejala atau keluhan penderita, gambaran radiologik, bentuk kelainan secara esofagoskopik, lokasi tumor, jenis tumor serta pengobatan dan penatalaksanaannya.

"
1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>