Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160045 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Khairiyadi
"Latar belakang: Pesantren dianggap sebagai tempat yang berisiko untuk penularan TB. Sampai saat ini belum ada penelitian proporsi TB aktif dan Infeksi TB laten ITBL di pesantren dan Hubungan faktor-faktor risiko TB dengan kejadian ITBL dan TB aktif di pesantren. Tujuan: untuk mengetahui proporsi ITBL dan TB aktif dan untuk mengetahui hubungan ITBL dan TB aktif dengan faktor risiko umur, status gizi, riwayat imunisasi BCG, riwayat kontak dengan pasien TB dewasa, durasi mondok di pesantren, dan kepadatan kamar. Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada 300 siswa pondok pesantren putra Darul Hijrah pada siswa SLTP periode September ndash;Oktober 2017. Pemeriksaan anamnesis, fisis, pemeriksaan sputum sewaktu dan uji tuberkulin dilakukan untuk mencari hubungan faktor risiko TB dengan ITBL dan TB aktif. Hubungan faktor risiko dengan kejadian ITBL atau TB aktif dianalisa dengan uji chi-square atau fisher dilanjutkan dengan regresi logistik. Hasil: Proporsi siswa dengan ITBL 11,4 dan tidak ditemukan TB aktif. Hubungan faktor risiko umur >14 tahun berhubungan dengan ILTB P = 0,015 ?OR 4,1 1,4-11,6 ; IK95 . Faktor risiko status gizi, riwayat imunisasi BCG, riwayat kontak dengan pasien TB dewasa, lama tinggal pesantren, kepadatan kamar dengan tidak berhubungan ITBL. Kesimpulan: Proporsi siswa pesantren dengan ILTB sebesar 11,4 dan tidak didapatkan TB aktif. Faktor risiko yang berhubungan dengan ITBL adalah umur lebih dari 14 tahun. Kata kunci: faktor risiko, hubungan, pesantren, proporsi, tuberkulosis
Background Islamic boarding school IBS is considered as a place that is at risk for TB transmission. There has been no research on the proportion of TB in IBS and association of risk factors to LTBI and active TB in IBS. Objectives To identify the proportion LTBI and active TB. To identify association of age, nutritional status, history of BCG immunization, contact history with TB patients, duration of stay in IBS, room density to LTBI and active TB. Methods Cross sectional study was conducted on 300 male students of Darul Hijrah IBS in junior high school on September ndash October 2017. Anamnesis, a physical examination, sputum examination dan tuberculin test was done to find the risk factor of TB. The association of risk factors with the incidence of TB or active TB was analyzed by chi square test or fisher test followed by logistic regression. Results The proportion of students with LTBI was 11.4 and there was no active TB. There was an association of age 14 years to LTBI with P 0.015 OR 4.1 1.4 11.6 IK95 . Another risk factors was not related with ILTB. Conclusion The proportion IBS of students with ITBL was 11.4 and the proportion of students active TB 0 . The risk factors associated with ITBL were age 14 years. Keywords Islamic boarding school proportion risk factors tuberculosis "
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muammar Emir Ananta
"Indonesia menempati peringkat kedua tertinggi insiden TB terbanyak di dunia, dengan prevalensi TB sekitar 0,24%. Tingginya kasus TB di Indonesia disebabkan oleh iklim Indonesia yang tropis, serta lingkungan yang padat, kotor, basah, kumuh, dan miskin sehingga memudahkan bakteri Mycobacterium Tuberculosis untuk tumbuh. Jenis TB yang banyak ditemukan di Indonesia adalah TB paru. Anemia penyakit kronis adalah salah satu komplikasi tersering dari TB paru. Berdasarkan beberapa penelitian, anemia ini dapat meningkatkan kejadian komplikasi dan mortalitas pada pasien TB paru sehingga perlu diteliti lebih mendalam. Jadi, dilakukan penelitian tentang hubungan anemia dengan durasi gejala TB.
Penelitian ini menggunakan desain studi studi potong lintang. Sampel penelitian dikumpulkan dari rekam medis pasien RSUP Persahabatan melalui teknik. Pasien TB paru dikelompokan menjadi tiga kelompok berdasarkan durasi gejala tuberkulosis yang dialam, dengan jumlah subjek pada setiap kelompok adalah 49, 57, dan 44 subjek. Data dianalisis dengan uji ki kuadrat, kemudian dikur Odds Ratio Prevalensi anemia pada 150 subjek penelitian. Tidak terdapat perbedaan bermakna kejadian anemia pada pasien TB paru dengan durasi gejala. Namun, terdapat perbedaan bermakna kejadian anemia antara pasien TB paru kelompok durasi gejala lebih dari 3 bulan terhadap < 1 bulan.
Tingginya prevalensi anemia pada pasien TB paru disebabkan oleh beberapa mekanisme. Pertama, TNF-alfa dan IL-6 pada infeksi TB paru menyebabkan disregulasi homeostasis ion Fe2+ melalui peningkatan hepcidin dan DMT 1, serta penurunan ferroportin 1. Hal ini menyebabkan malabsorpsi ion Fe2+ dan peningkatan oleh makrofag. Kedua, penurunan produksi eritropoetin akibat inhibisi oleh IFN-gamma. Ketiga, penurunan respon CFU terhadap eritropoetin. Akibatnya, terjadi penurunan produksi Hb yang semakin memburuk pada pasien dengan durasi gejala lebih panjang. Selain itu, terjadi penurunan IMT yang memperburuk anemia. Prevalensi anemia pada pasien TB paru termasuk tinggi. Pada kelompok durasi gejala yang lebih panjang, proporsi kejadian anemia meningkat. Oleh karena itu, edukasi pada masyarakat perlu dilakukan untuk meningkatkan pemahaman tentang gejala TB paru dan pentingnya datang ke rumah sakit sesegera mungkin apabila mengalami gejala TB paru.

Indonesia is the country with the second highest incidence of tuberculosis (TB) in the world, with an approximate prevalence of 0,24%. The high number of TB cases in Indonesia is due to its tropical climate and its dense, dirty and humid environment, which makes it easier for Mycobacterium tuberculosis (MTB) bacteria to grow. Lung tuberculosis is the most common form of TB in Indonesia. One of the most frequent complications of lung TB is anemia, which can increase the occurrence of complications and mortality among TB patients according to several studies. Therefore, a study about the relationship between anemia occurrence and duration of TB symptoms in lung TB patients in conducted.
This is a cross-sectional study that uses consecutive sampling. The data was taken from medical records of patients diagnosed with lung TB in Persahabatan Central General Hospital during the year 2014-2018. Lung TB patiens were grouped according to their duration of symptoms. The number of subjects enrolled in each group were 49, 57 and 44 respectively. The data was analysed with chi-square test and the Odds Ratio (OR) was calculated for each group. The prevalence of anemia in lung TB patiens in the study is 58,67%. The proportion of lung TB patients who had anemia in each group were 83,67%, 54,39% and 36,36% respectively. There is no significant relation between the duration of symptoms and anemia occurrence between the 1-3 month group and the <1 month group. However, there is a significant relation between the duration of symptoms and anemia occurrence.
The high prevalence of anemia in Lung TB patiens can be caused by several mechanism. The first mechanism is iron homeostasis dysregulation due to the high levels of TNF-alpha and IL-6. These cytokines increase hepcidin levels and DMT 1 transporter expression and decrease ferroportin 1 expression, which cause iron malabsorption and macrophage iron retention. The second mechanism is decreased erythropoetin production due to inhibiton by IFN-gamma. The third mechanism is decreased CFU response to erythropoetin. As a result, Hb production is decresed in lung TB patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Linggom Kurniaty
"ABSTRAK
Latar belakang: Pasien Tuberkulosis TB paru basil tahan asam BTA positif merupakan sumber penularan dan perlu penanganan secara baik untuk memutus rantai penularan TB. Indonesia melakukan program Direct Observed Treatment Short-Course DOTS untuk menanggulangi TB sejak tahun 1995, namun angka kesakitan TB dan angka kematian TB masih tinggi. Salah satu komponen DOTS ialah Pengawas Menelan Obat PMO yang berperan agar semua pasien menelan obat dengan benar dan teratur sampai sembuh. Saat ini dari 1.645 rumah sakit RS di Indonesia yang sudah mengikuti program DOTS baru 30 . Pasien TB yang berobat ke RS berdasarkan data Kementrian Keseharan RI sebanyak 42 . Angka keberhasilan TB di RS saat ini sekitar 50 . Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan kejadian efek samping obat dan peran PMO pasien TB paru terhadap keberhasilan pengobatan di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan RSUP Persahabatan yang merupakan salah satu rumah sakit yang melaksanakan program DOTS. Metode: Dilakukan 2 pendekatan untuk dua tujuan yang berbeda yaitu: 1. Studi kohort retrospektif, mendata pasien TB paru BTA positif yang mendapatkan pengobatan kategori I dan melihat kejadian efek samping yang timbul serta hubungan kejadian Efek samping dengan hasil pengobatan. 2. Studi kohort prospektif intervensi, peneliti memberikan pendidikan singkat terhadap satu kelompok PMO. Peneliti akan melihat hubungan peran PMO berdasarkan tingkat pengetahuan PMO kuisioner pre-tes / sebelum intervensi dan post-tes / setelah intervensi dengan kepatuhan pasien berobat juga dengan keberhasilan pengobatan TB dan hubungan intervensi PMO dengan kepatuhan pasien berobat dan keberhasilan terapi. Data dianalisis dengan uji Chi-Squre /Fisher. Hasil: Pada pendekatan pertama didapatkan 174 subjek. Angka kejadian efek samping dialami oleh 60/174 34.5 subjek. Derajat efek samping minor lebih banyak dibanding mayor 46/60; 14/60 . Angka keberhasilan terapi TB kelompok yang mengalami kejadian efek samping ialah 39/55 70.9 dan kelompok tanpa kejadian efek samping ialah 49/79 62 . Hasil uji statistik Chi-Squre p=0.29, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kejadian efek samping dengan keberhasilan terapi TB. Namun derajat efek samping berhubungan dengan angka keberhasilan pengobatan TB, RR 0.5 IK 95 0.2-1 p= 0.03 . Angka kepatuhan berobat kelompok dengan kejadian efek samping 73 40/55 dan kelompok tanpa efek samping ialah 65 50/77 . Pada pendekatan kedua, subjek penelitian ialah 94 PMO 47 diintervensi dan 47 kontrol . Tingkat pengetahuan pre-tes dan post-tes kedua kelompok seimbang. Pada post-tes tingkat pengetahuan yang baik ialah 88.9 di kelompok perlakuan dan 83.8 di kelompok kontrol. Pendidikan singkat yang diberikan pada kelompok perlakuan menunjukkan hasil yang bermakna, RR 1.5 IK 95 1.026-2 p=0.028 terhadap peningkatan pengetahuannya PMO. Tidak ada hubungan tingkat pengetahuan dengan kepatuhan dan keberhasilan pengobatan TB p>0.5 . Hasil intervensi PMO menunjukkan ada hubungan dengan keberhasilan pengobatan TB yaitu; kelompok perlakuan 34/38 89 dan kelompok kontrol 25/44 57 , hasil uji statistik p < 0.05. Ada hubungan intervensi PMO dengan kepatuhan pasien berobat yaitu kelompok perlakuan 35/39 90 sedangkan kelompok kontrol 28/44 64 , p < 0.05. Kesimpulan: Angka kejadian efek samping 34.5 pengobatan TB di RSUP Persahabatan, dengan efek samping minor lebih banyak dari mayor. Keberhasilan pengobatan berhubungan dengan derajat efek samping yang dialami pasien. Tidak ada hubungan kejadian efek samping dengan kepatuhan berobat dan keberhasilan pengobatan TB pada penelitian ini. Tingkat pengetahuan pada kelompok yang diintervensi meningkat secara bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol. Ada hubungan intervensi PMO dengan keberhasilan pengobatan TB dan kepatuhan berobat.

ABSTRACT<>br>
Introduction Patients lung Tuberculosis TB with sputum smear positive are a source of transmission and need good treatment in order to break the chain of TB transmission. Indonesia conducted Directly Observed Treatment Short Course DOTS program to eradicate TB since 1995, but TB morbidity and mortality rates are still high. One component of DOTS is Directly Observed Treatment DOT which can play a role for all patients to swallow medication properly and regularly until healed. Currently registered hospital in Indonesia who have followed program DOTS are 30 . The TB patient treated at the hospital based on The Ministry of Health rsquo s data are 42 . TB Success rate in hospital is about 50 . This study was conducted to determine the association of adverse drug reaction and the role of DOT of pulmonary with the success of treatment in Persahabatan hospital which is one of the hospitals that implement DOTS program. Method Two different approaches were conducted for two different purposes 1. Retrospective cohort study, recording positive pulmonary TB patients receiving category I treatment to see adverse drug reaction and the incidence of adverse drug reaction with treatment outcomes. 2. A prospective cohort study, the researchers gave a short term intervention education to one group of DOT rsquo s. The researcher will look at PMO role relationship based on knowledge level of DOT pre test questionnaire pre intervention and post test after intervention and association intervention DOT with patien adherence and treatment success. Data were analyzed by Chi Squre and Fisher test. Result In the first approach 174 subjects were obtained. The incidens of adverse events was experienced by 60 174 34.5 subjects. The degree of minor adverse effects is greater than the major 46 60 14 60 . The success rate of TB therapy in the group with adverse drug reaction was 39 55 70.9 and in the group without adverse drug reaction was 49 79 62 . Chi Squre statistical test result p 0.29, indicating that there is no relationship between the incidens of adverse drug reaction with the success of TB therapy. However, the degree of adverse drug reaction is related to the success rate of TB treatment. However, the degree of side effects is related to the success rate of TB treatment, RR 0.5 IK 95 0.2 1 p 0.03 . Treatment compliance rates of adverse events group with 73 40 55 and the group without side effects was 65 50 77 . The second approach, the subject of the study was 94 DOT 47 interventions and 47 controls . At post test a good level of knowledge was 88.9 in the treatment group and 83.8 in the control group. The short education given to the treatment group showed significant results, RR 1.5 IK 95 1.026 2 p 0.028 to the increase of knowledge. There was no correlation between knowledge level with TB treatment adherence and success p 0.5 . PMO intervention Results showed an association with successful treatment of TB that is treatment group 34 38 89 and control group 25 44 57 , statistic test p "
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ester Tarida Ulibasa
"Tuberkulosis sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Indonesia negara tertinggi kedua untuk kasus TB terbanyak, Kabaupaten Tangerang penyumbang paling tinggi di Provinsi Banten, penemuan kasus TB di Kabupaten masih belum mencapai target. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan faktor determinan petugas TB yang berpengaruh dalam pelaksanaan kasus tuberkulosis paru di Puskesmas Kabupaten Tangerang. predisposisi yaitu pengetahuan, motivasi, imbalan, dan pemahaman tugas; faktor pemungkin yaitu sumber daya, tugas rangkap dan pelatihan; maupun faktor penguat yaitu supervisi. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional dengan metode campuran. Populasi penelitian adalah seluruh petugas TB di Puskesmas se-Kabupaten Tangerang dengan total sebanyak 44 orang, maka seluruh populasi diambil sebagai sampel dengan kriteria inkulsi sebanyak 35 orang petugas. Tahapan analisis data yaitu univariat, bivariat dan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh sumber daya (p=0,003), supervisi (p=0,001), pelatihan (p=0,027), imbalan (p=0,001), tugas rangkap (p=0,001), tugas rangkap (p=0,001), pemahaman tugas(p=0,001), motivasi(p=0,001) dan pengetahuan (p=0,001) terhadap pelaksanaan penemuan kasus TB. Diharapkan puskesmas perlu berkomitmen dalam mendukung pelaksanaan penemuan kasus TB dengan cara menginstruksikan, melakukan supervisi, memberikan reward. Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang agar dapat melengkapi sarana maupun prasarana.

Tuberculosis is still a public health problem in the world, especially in developing countries including Indonesia. Indonesia is the second highest country for the most TB cases, Tangerang Regency is the highest contributor in Banten Province, the discovery of TB cases in the Regency has not yet reached the target. The purpose of the study was to determine the relationship between the determinants of TB officers who had an effect on the implementation of pulmonary tuberculosis cases at the Tangerang District Health Center. predisposition, namely knowledge, motivation, reward, and understanding of the task; enabling factors, namely resources, dual tasks and training; as well as the reinforcing factor, namely supervision. This study used a cross sectional approach with mixed methods. The study population was all TB officers at Puskesmas throughout Tangerang Regency with a total of 44 people, so the entire population was taken as a sample with inclusion criteria as many as 35 people. The stages of data analysis are univariate, bivariate and qualitative. The results showed that there was an influence on resources (p=0.003), supervision (p=0.001), training (p=0.027), rewards (p=0.001), multiple assignments (p=0.001), multiple assignments (p=0.001), understanding of tasks (p = 0.001), motivation (p = 0.001) and knowledge (p = 0.001) on the implementation of TB case finding. It is hoped that puskesmas need to be committed to supporting the implementation of TB case finding by instructing, supervising, and providing rewards. Tangerang District Health Office in order to complete the facilities and infrastructure."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Wijaya
"Latar belakang: Hemoglobin A1c HbA1c menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap tuberkulosis, mulai dari gejala klinis ,derajat keparahan dan respon terhadap terapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kadar HbA1c terhadap lama konversi dan perbaikan gejala klinis pada fase intensif pengobatan pasien TB paru kasus baru di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat BBKPM Bandung pada tahun 2015.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode kohort prospektif yang dilakukan pada bulan April 2015 hingga September 2015 di BBKPM Bandung. Kriteria inklusi untuk penelitian ini adalah pasien TB paru kasus baru berusia ge; 15 tahun dan bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini dengan menandatangani surat persetujuan. Kriteria eksklusi penelitian ini adalah pasien TB paru dengan diabetes mellitus dan kehamilan.
Hasil Penelitian: Jumlah subjek yang didiagnosis sebagai kasus baru TB paru bakteriologis dan klinis, kasus baruadalah 123 pasien, terdiri dari 63 51,2 perempuan dan 60 48,8 laki-laki. Pasien dengan nilai HbA1c. 6.5 sebanyak 111 subjek 90,2 dan HbA1c ge; 6,5 sebanyak 12 subjek 9,8. Subjek dengan BTA positif di 69 56,1 dan BTA negatif sebanyak 54 subyek 43,9. Pada subjek TB paru bakteriologis dengan nilai HbA1c ge; 6,5 dan waktu konversi sputum BTA lebih dari. bulan adalah 54,5 sedangkan subjek dengan HbA1c. 6.5 adalah 45,5.
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa prevalens DM pada pasien TB kasus baru adalah 9,8 dan kejadian waktu konversi lebih dari. bulan pada subjek TB paru kasus baru dengan HbA1c ge; 6,5 adalah 10 kali lebih tinggi dibandingkan pada pasien TB paru kasus baru dengan HbA1c. 6,5. Nilai HbA1c tidak menunjukan hubungan yang bermaknaterhadap perubahan klinis pada pasien TB paru kasus baru setelah pengobatan fase intensif.

Background: Haemoglobin A1c (HbA1c) causes increased susceptibility to tuberculosis, as well as clinical symptoms, severity, and response to therapy. This study aims to determine the influences of HbA1c levels toward sputum conversion time and clinical symptoms in a new case pulmonary tuberculosis new cases with intensive phase of TB treatment at the Community Center for Lung Health (BBKPM) Bandung in 2015.
Method: A prospective cohort study was conducted in April 2015 until September 2015 at BBKPM Bandung. Inclusion criteria for this study is a new case of pulmonary TB patients aged ≥ 15 years and willing to participate in the study by signing a letter of approval. The exclusion criteria of this study are pulmonary TB patients with diabetes mellitus and pulmonary TB patients with pregnancy. This study used Chi-square test to find relative risk of all variables which evaluated.
Results: The number of subjects who diagnosed as new cases of pulmonary TB were 123 patients, consists of 63 female and 60 male. Patients with HbA1c levels <6.5% at 111 subjects and levels of ≥ 6.5% by 12 subjects. Subjects with smear positive in 69 (56.1%) and negative AFB as many as 54 subjects (43.9%). Duration of sputum smear conversion time for more than 2 months were 11 subjects (8.9%) while the conversion time for 2 months were 112 subjects (91.1%). Subjects with HbA1c levels ≥ 6.5% were longer obtained sputum smear conversion of more than 2 months (54,5%) compared to subjects with HbA1c levels < 6.5% (45.5%). Level of HbA1c did not show significant result in clinical changes after intensive phase treatment either patient with HbA1c ≥ 6,5% or HbA1c < 6,5%.
Conclusion: This study shows that there are significant influences of HbA1c levels towards sputum smear conversion time in patients with new cases of pulmonary TB in BBKPM Bandung, however the level of HbA1c does not show significant difference in clinical changes in patient with tuberculosis after intensive phase treatment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55705
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Hardiningsih
"Menarche adalah perdarahan pertama dari uterus yang terjadi pada seorang remaja putri atau disebut menstruasi pertama. Penurunan usia menarche pada remaja putri diduga disebabkan oleh beberapa faktor seperti status gizi, genetik, asupan gizi, stimulan psikis, dan sosial ekonomi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status menarche pada siswi SD dan SMP Islam As-syafi’iyah Bekasi. Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional, teknik pengambilan sampel menggunakan metode total sampling. Sampel penelitian ini terdiri dari 105 siswi kelas 4, 5 SD dan 1, 2 SMP. Data dianalisis dengan uji chi-square dan uji t independen.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sebanyak 53,3% responden sudah menarche dengan rata-rata usia menarche 11,24±0,85 tahun, dengan usia menarche termuda adalah 9,6 tahun dan usia menarche tertua adalah 13 tahun. Penelitian ini juga menunjukan bahwa status menarche berhubungan dengan status gizi (IMT/U) (p-value = 0,004), asupan serat (p-value = 0,01), keterpaparan media cetak (p-value = 0,01), keterpaparan media elektronik (p-value = 0,002), pendidikan ayah (p-value = 0,01), dan pendidikan ibu (p-value = 0,011). Disarankan adanya program pendidikan kesehatan reproduksi remaja dimulai dari sekolah dasar dan diawasi oleh sekolah dan orang tua.

Menarche was first bleeding from uterus that occurs in adolescent girl called first menstruation. Decrease the age of menarche in adolescent girl thought to be caused by several factors such as nutritional status, genetic, nutrition intake, mental stimulant, and socio-economic. The purpose of this study was to determine the factors that associated with menarche status in adolescent girls at As-Syafi’iyah moslem elementary school and junior high school Bekasi. This study was conducted using cross-sectional study design, sampling technique using a total sampling methods. The study sample consisted of 105 students grades 4, 5 elementary school and 1, 2 junior high school. Data were analyzed by chi-square test and independent t test.
These results indicate that 53.3% of respondent had menarche at an average age of menarche is 11.24 ± 0.85 years, with the youngest age of menarche was 9.6 years and the oldest age of menarche was 13 years. This study also showed that menarche status associated with nutritional status (p-value = 0.004), fiber intake (p-value = 0.01), print media exposure (p-value = 0.01), electronic media exposure (p-value = 0.002), father's education (p-value = 0.01), and mother’s education (p-value = 0.011). Suggested the existence of adolescent reproductive health education program starting in primary school and supervised by the school and parents.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S52620
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Dianova
"Latar Belakang : Infeksi TB laten didefinisikan sebagai kondisi individu yang terinfeksi Mycobacterium Tuberculosis M.tb tetapi saat ini individu tersebut tidak sakit, tidak ada gejala dan gambaran foto toraks normal.
Tujuan : Mengetahui proporsi TB laten pada petugas kesehatan di RSUDZA Banda Aceh, Mengetahui karakteristik subjek dan hubungan antara usia, masa kerja, lokasi kerja dan status gizi dengan kejadian TB laten pada petugas kesehatan di RSUDZA Banda Aceh.
Metode : Penelitian ini adalah penelitian potong lintang dan mengidentifikasi TB laten menggunkan pemeriksaan uji tuberkulin TST pada petugas kesehatan di RSUDZA serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pada penelitian ini pengambilan sampel dilakukan pada bulan November 2015. Sampel terdiri dari petugas kesehatan di unit infeksi RS Zainoel Abidin yaitu : Poli DOTS, Poli Paru, Ruang Rawat Infeksi Paru PTT , Respiratory High Care Unit RHCU , Unit Bronkoskopi, Laboratorium Mikrobiologi dan Radiologi. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan tehnik consecutive sampling.
Hasil : Enam puluh lima petugas kesehatan di RSUDZA Banda Aceh dilakukan uji TST. 35 53,8 TST positif dan 30 46,2 TST negatif. Proporsi TB laten pada petugas kesehatan di RSUDZA Banda Aceh adalah 53,8. Tidak terdapat hubungan bermakna antara usia dengan kejadian TB laten p=0.727. Terdapat hubungan bermakna antara masa kerja dengan kejadian TB laten p=0,0001. Tidak terdapat hubungan bermakna antara lokasi kerja dengan kejadian TB laten p=0,324 dan tidak didapatkan hubungan bermakna antara status gizi dengan kejadian TB laten p=0,522.
Kesimpulan : Kejadian TB laten pada petugas kesehatan yang bekerja di tempat risiko tinggi TB di RSUDZA tidak dipengaruhi oleh usia, lokasi kerja, status gizi namun dipengaruhi masa kerja. Proporsi TB laten pada petugas kesehatan di RSUDZA Banda Aceh adalah 53,8.

Background : Latent TB infection is defined as the condition of individuals who are infected with Mycobacterium tuberculosis M.tb but this time the individual is no sick, no symptoms and have normal chest X ray.
Objective : To determine the proportion of latent TB among healthcare workers in RSUDZA Banda Aceh, knowing the characteristics of the subjects and the relationship between age, length of employment, work location and the nutritional status and the incidence of latent TB among healthcare workers at RSUDZA.
Methods : This research is an analytic observational study using cross sectional design. Sampling was conducted at RSUDZA during November 2015. The sample consisted of healthcare workers at Directly Observed Short Course Therapy Clinic, Pulmonary Clinic, Integrated Tuberculosis Care PTT, Respiratory High Care Unit RHCU, Bronchoscopy Unit, Microbiology Laboratory and Radiology at RSUDZA.
Results : The proportion of latent TB among healthcare workers in RSUDZA Banda Aceh was 53.8. There was no significant relationship between age and incidence of latent TB infection p 0.727. There is a significant relationship between length of employment incidence of latent TB infection p 0.0001. There was no significant relationship between work location and incidence of latent TB infection p 0.324 and there is no significant relationship between nutritional status and incidence of latent TB infection p 0.522.
Conclusion : The incidence of latent TB infection in health care workers who work in a high risk of TB at RSUDZA is not affected by age, location of work, nutritional status but affected with length of employment. The Proportion of latent TB among healthcare workers in RSUDZA Banda Aceh was 53.8.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Fauziah
"Masih buruknya praktik higiene menstruasi remaja dan rendahnya tingkat pengetahuan terkait higiene menstruasi di sekolah menengah pertama melatarbelakangi penelitian dengan desain studi potong lintang ini. Tujuan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan praktik higiene menstruasi di SMP Negeri dan MTS Negeri di Kota Jakarta Selatan tahun 2014. Data primer diambil pada bulan Mei 2014 menggunakan kuesioner sampel pada 194 orang. Hasil penelitian proporsi praktik higiene menstruasi yang baik pada siswi SMPN adalah 47.4% dan pada siswi MTSN 33%. Pada siswi SMPN dan MTSN terdapat hubungan yang signifikan antara faktor predisposisi (sikap dengan OR 1.963 dan kepercayaan dengan OR 2.465) faktor pemungkin (ketersediaan pembalut di rumah dengan OR = 5.325 dan keterpaparan informasi dengan OR= 1.810), faktor penguat (dukungan teman sebaya dengan OR = 3.085 dan dukungan petugas kesehatan dengan OR = 2.377) dengan praktik higiene menstruasi di SMPN dan MTSN kota Jakarta Selatan tahun 2014. Disarankan kepada sekolah untuk mengoptimalkan penyuluhan kesehatan reproduksi dengan bantuan dukungan guru dan orang tua.

Still poor menstrual hygiene practices of adolescents and low level of knowledge related to menstrual hygiene in middle school with a research background Design cross-sectional study. Objectives determine the factors associated with menstrual hygiene practices in SMP and MTS in South Jakarta in 2014. Primary data taken in May 2014 using a sample questionnaire in 194 people. The results of the study the proportion of good menstrual hygiene practices on SMPN students are 47.4% and 33% in girls MTSN. At SMPN ant MTSN student relationship exists menstrual hygiene practices with predisposing factors, namely attitude (OR = 1.963), trust (OR = 3,733), enabling factor is the availability of sanitary napkins at home (OR = 5,325), information exposure (OR=1.810), reinforcing factors peers support (OR = 3.085) and support health workers (OR = 1,810). Suggested to the school to optimize reproductive health education with the help of teacher support and parents."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S55303
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widyatuti
"Perilaku kekerasan menjadi masalah diberbagai negara seperti Amerika, Australia dan negara maju lainnya. Indonesia memiliki masalah yang sama terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Perilaku kekerasan banyak dilakukan oleh anak mulai berusia 10-17 tahun (Berkowitz, 1993). Usia tersebut masuk kedalam kelompok anak sekolah, yang di Indonesia berjumlah hampir sepertiga penduduk. Anak sekolah sebenarnya menjadi sumber daya manusia yang sangat besar untuk masa yang akan datang. Pencegahan dan pengendalian perilaku kekerasan akan berdampak pada kesehatan individu remaja dan kesejahteraan masyarakat secara umum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perilaku kekerasan pada siswa sekolah lanjutan tingkat atas di Jakarta Timur.
Metoda penelitian menggunakan analitik dengan pendekatan cross sectional. Pelaksanaan penelitian dilakukan di Jakarta Timur yang didapat sebanyak 32 sekolah yang memiliki riwayat kekerasan, selanjutnya dirandom dan diperoleh 10 sekolah berdasarkan 10 kecamatan yang ada di Jakarta Timur yang terdiri 9 SMK/STM dan 1 SMU, dan jumlah responden sebanyak 370 orang. Instrumen perilaku kekerasan dikembangkan dari penelitian Morrison (1993). Instrumen karakteristik individu: demografi, aspek psikologis, sosial, dan spiritual. Karakteristik lingkungan: lingkungan keluarga, teman, sekolah, masyarakat dan media di kembangkan oleh peneliti. Hasil uji coba instrurnen nilai Alpha Cronbach (reabilitas) berkisar 0,55-0,91 sedangkan validitas berkisar r=0,36-86 dari 30 sampel yang diuji cobakan. Analisis data dengan univariat, bivariat: analisis korelasi dan regresi sederhana, multivariat analisis regresi ganda.
Hasil penelitian menunjukan karakteristik siswa sekolah yang melakukan kekerasan terbanyak berusia I7 tahun, jenis kelamin Iaki-laki, dengan jumlah anak terbanyak didalam keluarga 3 orang, umumnya pernah mengalami riwayat kekerasan dengan tingkat kekerasan terbanyak katagori berat (fisik), dan pelaku kekerasan terbanyak oleh orangtua, guru, teman tidak sekelompok, masyarakat disekitar rumah, teman sekelompok, saudara dan masyarakat dilingkungan sekolah. Kondisi siswa, untuk aspek psikologis yang kurang sebesar 50,3%, aspek sosial yang kurang sebesar 38,4%, dan aspek spiritual sebesar 50,3%. Karakteristik lingkungan keluarga yang kurang sebesar 46,2%, lingkungan teman/kelompok yang kurang sebesar 47,6%, lingkungan sekolah yang kurang sebesar 54,1%, lingkungan masyarakat yang kurang sebesar 47,8%, dan media yang kurang menunjang sebesar 49,2%. Karakteristik perilaku kekerasan terbanyak adalah merusak lingkungan sebesar 45,4%, diikuti oleh mencederai orang lain sebesar 37,6% dan agresi secara verbal sebesar 37,3%. Terdapat hubungan yang negatif dan bermakna pada karakteristik individu dan lingkungan dengan perilaku kekerasan. Karakteristik individu berupa pengalaman jenis kekerasan (p value 0,0001, r =- 0,219), pelaku kekerasan (p value 0,0001, r = -O,241), aspek psikologis (p value 0,0001, r = -0,303), aspek Sosial (p value 0,026, r= -0,ll6). Karakteristik lingkungan keluarga (p value 0,001, r = -0,172), lingkungan teman/kelompok (p value 0,0001, r = -0,491), sekolah (p value 0,004, r = 0,1-48), lingkungan masyarakat (p value 0,0001, r = -0,203), dan media (p value 0,0001, r = -O,310). Faktor yang paling berkontribusi terhadap perilaku kekerasan secara berurutan adalah teman/kelompok, media, pengalaman kekerasan, psikologi, dan sosial dengan signifkan F = 0,001 dan R square 0,326.
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa karakteristik individu dan lingkungan sebagian kecil dapat mengambarkan faktor penyebab perilaku kekerasan pada anak sekolah. Untuk dapat mencegah dan mengendalikan perilaku kekerasan perlu disiapkan kondisi psikologis, sosial dan spiritual siswa di sekolah dan di rumah dengan memberikan pendidikan, menyediakan lingkungan yang sehat dan memberi contoh peran yang baik. Untuk pelayanan keperawatan meningkatkan peran perawat UKS dengan mengembangkan program kesehatan jiwa anak usia sekolah, mengembangkan perawat sekolah tidak hanya dari puskesmas tetapi khusus menjadi perawat sekolah, mengoptimalkan program pencegahan dengan kerjasama instansi terkait, menyusun program pencegahan dan pengendalian yang mudah dilaksanakan di sekolah seperti cara mengontrol marah, meningkatkan kemampuan perawat sekolah dengan pendidikan dan latihan berkelanjutan. Untuk institusi pendidikan meningkatkan peran serta pelaksanaan program UKS dengan memfasilitasi dan terlibat dalam konseling remaja di sekolah, bersama tenaga kesehatan menyusun program pencegahan dan pengendalian kekerasan, menghindari tindakan kekerasan pada siswa, menyediakan waktu bersama siswa untuk bertukar pikiran, menyediakan sarana untuk anak sekolah dan menetapkan anti kekerasan di lingkungan sekolah misalnya dengan poster. Untuk pemerintah agar mewajibkan pelaksanaan program UKS di setiap sekolah, mengatur dan mengendalikan semua jenis media yang akan mempengaruhi tumbuh kembang anak, menyusun program terpadu untuk mencegah perilaku kekerasan. Untuk keilmuan dapat mengembangkan intervensi keperawatan untuk menyusun pedoman pencegahan dan mengendalikan perilaku kekerasan. Perlu adanya penelitian lanjutan unluk mengetahui faktor-faktor yang lebih mendalam tentang aspek spiritual terhadap perilaku kekerasan siswa sekolah pada tahap perkembangan remaja Model untuk mengatasi kekerasan dapat dikembangkan melalui penelitian yang menggunakan metoda kualitatif dan kuasi eksperimental berdasarkan faktor-faktor yang telah teridentifikasi.

Violence has become a problem in many countries such as America, Australia, and other developed countries. Indonesia also has the same problem especially at big cities like Jakarta. Many violence was done by children at the age of 10-17 years old (Berkowitz,1993). This age group include in school age group, where in Indonesia almost one third of population are in the school age group. So they are a potential human resources for the fixture. Therefore, violence prevention will have an impact to the health of adolescent and the community as well. The purpose of this study is to identify the contributing factors of violence among the high school students at East Jakarta.
The cross sectional approach was applied in this study. There are thirty two schools in East Jakarta which have violence history. Ten schools were chosen randomly based on ten districts in East Jakarta. They consist of 9 technical schools and I high school, and the member of sample was 370. There were four instruments to collect data. The first, data demography. The second, psychological, family, and media mass. The third, social and spiritual aspect, environment characteristics; friends, schools, and society aspect. The fourth, violence, this instrument was developed from Morrison study (1993). While other instruments were developed by researcher. The trial of 30 samples results Alpha Cronbach value (reability) about 0,55-0,91, while the validity about r = >0,36-0,86. Data analysis used univariat, bivariat namely correlation analysis and simple regression, analysis multivariate with double regression.
The study results the characteristic of students who have done violence mostly at the age of 17, boy, have 2 brothers/sisters, experienced physical violence from parents, teacher, friends hom other group, society, friends from the same group, and people around schools. Furthermore, the results show that many students have a lot of deficiencies. For individual characteristic, it is found that 50,3% student have low score for psychological aspect, 38,4% students for social aspect, and 50,3 % for spiritual aspect. Then, for environment characteristics, it is found that 46,2% students have low score for family; 47,6% for friends/groups; 54,1% for school?s environment; 47,8 for society and 49,2% for media mass. Violence mostly are demonstrated by destroying environment (45,4%), hinting other people (37,6%) and verbally aggressive (37,3%). There is a significant negative correlation between individual & environment characteristic with violence. Individual characteristics cover experienced to violence (p value 0,0001, r =- 0,219), violen subjecs (p value 0,0001, r = -0,2411, psychological aspect (p value 0,0001, r = -0,303), and social aspect (p value 0,026, r= -0,1 16). The environment characteristic cover family environment (p value 0,001, r = -0,172), friends/groups environment (p value 0,000l, r = -0,49l), school environment (p value 0,004, r = 0,148), society environment (p value 0,0001, r = -0,203), and media mass (p value 0,0001, r = -0,310). The most contributed factors to violence orderly friends/groups, media mass, experienced to violence, phisicological and social, with significant value F = 0,001 and R square = 0,326.
It can be concluded that individual characteristics and environment have influences to violence among students. The stability of psychological, social, and spirituality status of the students need to be improved to prevent and control violence by giving education, preparing healthy environment and the good role modelling. Nursing care at schools also need to be improved by developing mental health program for students at schools, developing school health nursing especially at schools not only at the health center, optimalizing prevention program with collaborated sectors, developing prevention and controling program that simple to be applied at schools such as anger controling, increase the ability of school health nurses with continuing nursing education and or courses. Besider that, the schools? participation in implementing school health nursing program can be improve by fasilitating and involving high school student?s counselling at school, proposing prevention and controling of violence program with health care personels, avoiding violence to students, preparing time to share feeling and opinion with student, preparing and facility to students and exposing ?againts violence campaign? at school In order to reduce violence among students, the govemtent need to abligate every schools to apply school health program, manage and control all of the media mass which will influence students' growth and development and develop the collaborated program to prevent violence. Then, a guideline to prevent and control violence need to develop nursing intervention. Finally, there is a demand to conduct advanced research to in depth contributing factors of spiritual aspect to high school students. Nursing model to control violence can be developed through research that apply qualitatif and quasi experimental methods based on the identified factors."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2002
T9918
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eli Novi
"Anemia merupakan salah satu masalah utama di Indonesia Prevalensi anemia di Indonesia cukup tinggi terutama pada anak usia dibawah 5 tahun Pada umumnya prevalensi anemia lebih tinggi pada anak perempuan dibandingkan dengan anak laki laki Anemia memberikan dampak pada proses tumbuh kembang anak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi anemia dan faktor faktor yang berhubungan pada anak usia 3 9 tahun Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional Penelitian dilakukan di Pesantren Tapak Sunan Condet pada tanggal 19 januari 2011 Sampel pada penelitian ini adalah anak usia 3 9 tahun Pemilihan sampel dilakukan dengan total sampling dengan total sampel yang didapat yaitu 51 anak Data yang digunakan adalah data primer yaitu usia jenis kelamin dan kadar hemoglobin Variabel terikat yaitu anemia dan variabel bebas yaitu usia dan jenis kelamin Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada anak usia 3 9 tahun sebesar 25 5 dengan rincian pada anak usia 3 6 tahun sebesar 25 dan pada anak usia 7 9 tahun sebesar 28 6 sementara prevaleni anemia pada anak perempuan sebesar 39 1 dan anak laki laki sebesar 14 3 Berdasarkan uji statistik dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara usia dengan anemia Fisher p 1 000 tetapi terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan anemia Chi square p 0 043 Prevalensi anemia pada penelitian ini masih tinggi Oleh karena itu untuk mengurangi prevalensi tersebut perlu dilakukan upaya perbaikan gizi terhadap anak dengan memberikan zat gizi mikro seperti vitamin A vitamin B9 vitamin B12 dan zat besi

Anemia is a serious public health problem in Indonesia It is commonly affecting 1 to 4 years old children Generally prevalence of anemia is higher in girls than boys Anemia is negatively impacts children growth and develpoment This study aims to determine the prevalence of anemia and its associated factors This study used cross sectional survey The sample included 51 children aged 3 to 9 years old in Tapak Sunan Condet 2011 The data that used are age sex and hemoglobin concentration Dependent variable is anemia and independent variable are age and gender Result revealed that 25 5 of 3 to 9 years old chidren were anemia Anemia prevalence was lower in 3 6 years old children 25 than 7 9 years old children 28 6 The prevalence of anemia is higher in girls 39 1 than boys 13 9 Age of the children was not significantly associated with anemia Fisher p 1 000 Meanwhile sex of the children was significantly associated with anemia Chi square p 0 043 The control of anemia should be considered as serious health problem in Indonesia Micronutrient intake of children such as vitamin A vitamin B9 vitamin B12 and iron should be increased to overcome this problem"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>