Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160448 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Matondang, Faisal Abdi
"Penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan dan mengevaluasi manajemen gejala saluran kemih bawah LUTS laki-laki sugestif dari benign prostatic hyperplasia BPH oleh dokter umum di Jakarta. Penelitian cross-sectional observasional ini dilakukan pada periode Januari 2013 hingga Agustus 2013 di Jakarta. Peneliti mengembangkan kuesioner yang terdiri dari 10 pertanyaan yang menjelaskan manajemen LUTS laki-laki sugestif BPH oleh dokter dalam praktek sehari-hari pada bulan sebelumnya. Peneliti mengumpulkan kuesioner dari 200 dokter yang berpartisipasi dalam 4 simposium urologi yang diadakan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Sebagian besar dokter berusia antara 25 dan 35 tahun 71,5 dan telah bekerja selama lebih dari 1 tahun 87,5 . Satu sampai lima kasus LUTS pada pria sugestif BPH diobati oleh 81 dokter setiap bulannya. Saat diagnosis, gejala yang paling umum ditemukan adalah retensi urin 55,5 , frekuensi 48 , dan nokturia 45 . Pemeriksaan diagnostik yang lazim termasuk pemeriksaan colok dubur 65 , sistem skoring 44 , pengukuran tingkat antigen spesifik prostat PSA 23,5 , dan penilaian fungsi ginjal 20 . Kebanyakan dokter merujuk pasien pria dengan LUTS sugestif dari BPH ke dokter spesialis urologi 59,5 dan 46,5 dokter umum meresepkan obat-obatan sebagai terapi awal. Antagonis antagonis alfa-adrenergik 71,5 adalah obat yang paling umum diresepkan. Terapi kombinasi dengan antagonis -adrenergik dan inhibitor 5a-reduktase tidak rutin diresepkan 13 . Tiga puluh delapan persen dari dokter umum merujuk pasien ketika retensi urin berulang dan 33 ketika terjadi komplikasi. Penelitian ini memberikan bukti bahwa manajemen LUTS pada laki-laki sugestif BPH oleh dokter umum di Jakarta menyarankan sisitem rujukan sebagian untuk pedoman yang tersedia dalam hal metode diagnostik dan terapi awal. Namun, beberapa aspek dari pedoman, seperti pengukuran tingkat PSA, penilaian fungsi ginjal, urinalisis, pemeriksaan ultrasound, dan peresepan terapi kombinasi, masih jarang dilakukan.

This study was performed to describe and evaluate the management of male lower urinary tract symptoms LUTS suggestive of benign prostatic hyperplasia BPH by general practitioners GPs in Jakarta. This observational cross sectional study was performed between January 2013 and August 2013 in Jakarta. We developed a questionnaire consisting of 10 questions describing the management of male LUTS suggestive of BPH by GPs in their daily practice in the previous month. We collected questionnaires from 200 GPs participating in 4 urology symposiums held in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Most GPs were aged between 25 and 35 years 71.5 and had worked for more than 1 year 87.5 . One to 5 cases of male LUTS suggestive of BPH were treated by 81 of GPs each month. At diagnosis, the most common symptoms found were urinary retention 55.5 , frequency 48 , and nocturia 45 . The usual diagnostic workup included digital rectal examination 65 , scoring system 44 , measurement of prostate specific antigen PSA level 23.5 , and renal function assessment 20 . Most GPs referred their male patients with LUTS suggestive of BPH to a urologist 59.5 and 46.5 of GPs prescribed drugs as an initial therapy. Alpha adrenergic antagonist monotherapy 71.5 was the most common drug prescribed. Combination therapy with adrenergic antagonists and 5 reductase inhibitors was not routinely prescribed 13 . Thirty eight percent of GPs referred their patients when recurrent urinary retention was present and 33 when complications were present. Our study provides evidence that the management of male LUTS suggestive of BPH by GPs in Jakarta suggests referral in part to available guidelines in terms of diagnostic methods and initial therapy. However, several aspects of the guidelines, such as PSA level measurement, renal function assessment, urinalysis, ultrasound examination, and prescription of combination therapies, are still infrequently performed."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fadhil Ardiyansyah
"Latar belakang: Pembesaran Prostat Jinak (PPJ) merupakan masalah prostat yang umum terjadi pada laki-laki, Infeksi Saluran Kemih (ISK) dapat disebabkan oleh PPJ akibat dari obstruksi pada Bladder outlet, instrumentasi, bahkan akibat dari sistoskopi atau kateterisasi.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan pola kuman dan kuman terbanyak yang menyebabkan ISK pada pasien PPJ di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito
Metode: Data dikumpulkan secara retrospektif dari rekam medis pasien Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito mulai Januari 2001 sampai Desember 2011. Pola kuman dan sensitivitas obat dicatat.
Hasil: Terdapat 92 pasien dengan usia 46-95 tahun yang didiagnosis dengan PPJ dan Prostatitis. Didapatkan 81,40% merupakan bakteri gram negatif, 9,3% bakteri gram positif, dan 9,3% jamur. Kemudian didapatkan Streptococcusfaecalis (11,62%) merupakan bakteri gram positif terbanyak yang ditemukan di dalam kultur urin. Obat yang dipakai untuk sensitivitas melipuit : Amikacin, Ampicillin, Ampicillin/Sulbactam, Cefepim, Cefpiron, Ceftazidime, Ceftriaxone, Cefotaxime, Cefuroxime, Chloramphenicol, Fosfomycin, Gentamycin, Nalidixic acid, Imipenem, Netilmicin, Nitrofurantoin, Norfloxacin, Tetracyclin, Tobramycin, Vancomycine, Ciprofloxacine, Trimethoprim-Sulfamethoxazole.
Kesimpulan: Bakteri paling banyak yang ditemukan pada pasien dengan BPH adalah Pseudomonas aerogenosa (25.58%) dan bakteri yang paling jarang ditemukan adalah Citrobacterfreundii (2.32%). Menurut penelitian ini, 82.05% pasien BPH dengan infeksi saluran kemih sensitif terhadap pengobatan dengan Imipenem, diikuti dengan Amikacin (74.35%).

Background: Benign prostatic hyperplasia (BPH) is the most common condition in men with prostate problems. Urinary tract infection can be caused by BPH due to Bladder outlet obstruction, instrumentation either from cystoscopy or catheterization.
Objective: The aim of this study is to describe microorganism pattern and the most common caused urinary tract infection in BPH patient hospitalized in Dr. Sardjito general hospital.
Method: Data were retrospectively collected from Dr. Sardjito general hospital medical record patients from January 2011 to December 2011. Microorganism pattern and drug sensitivity data were collected.
Results: There were 92 patients age 46-95 years old diagnosed histophatologically as BPH and prostatitis. The 81.40% microorganism pattern were Gram negative bacteria, 9.3% Gram positive bacteria and 9.3% yeast. On the other hand , Streptococcus faecalis (11,62%)is the main gram positif bacteria found in the urine culture. The drug used for sensitivity including; Amikacin, Ampicillin, Ampicillin/Sulbactam, Cefepim, Cefpiron, Ceftazidime, Ceftriaxone, Cefotaxime, Cefuroxime, Chloramphenicol, Fosfomycin, Gentamycin, Nalidixic acid, Imipenem, Netilmicin, Nitrofurantoin, Norfloxacin, Tetracyclin, Tobramycin, Vancomycine, Ciprofloxacine, Trimethoprim, and Sulfamethocazole.
Conclusion: The most frequent bacteria found in BPH patients is Pseudomonas Aerogenosa (25.58%) and the least frequentbacteria is Citrobacter freundii (2.32%). According to this study, 82.05% UTI patients sensitive to Imipenem medication, followed by Amikacin (74.35%).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tommie Prasetyo Utomo Wiharto
"Tujuan Mengetahui hubungan antara nilai glukosa darah puasa, disfungsi ereksi DE, dan lower urinary tract symptoms LUTS pada pasien dengan pembesaran prostate jinak.Metode Terdapat 42 pasien berusia lebih dari 50 tahun dengan pembesaran prostat jinak. LUTS dan DE dievaluasi dengan menggunakan International Prostate Symptom Score IPSS and International Index of Erectile Function-5 IIEF-5. Diabetes mellitus ditegakkan jika gula darah puasa lebih dari 126 mg/dL. LUTS dikategorikan menjadi 3 grup; ringan, sedang, dan berat dimana DE dikategorikan menjadi 2; positif dan negative. Semua data dianalisa menggunakan SPSS ver. 22.Hasil Usia rata-rata pasien adalah 68,83 8,56 tahun dengan mayoritas menderita DE 83.33 dan LUTS 80.96. Diabetes mellitus ditemukan pada 26,19 pasien dengan rata-rata nilai gula darah puasa 108.3 21.1 mg/dL. Nilai IPSS didapati berhubungan signifikan dengan nilai gula darah puasa r = 0.879, p

Aims To discover the correlation between fasting glucose level, erectile dysfunction, and lower urinary tract symptoms LUTS in patients diagnosed with benign prostatic hyperplasia BPH .Methods There were 42 patients with BPH related LUTS aged over 50 years old enrolled in this study. LUTS and erectile dysfunction ED were evaluated using International Prostate Symptom Score IPSS and International Index of Erectile Function 5 IIEF 5 . Diabetes mellitus was established if fasting glucose level was above 126 mg dL. LUTS was classified into 3 groups mild, moderate, and severe LUTS while ED was classified into 2 groups ED positive and ED negative. Data were analyzed using SPSS ver. 22Results Patients rsquo mean age was 68.83 8.56 years old with most of them had ED 83.33 and also suffered from severe LUTS 80.96 . Diabetes mellitus was observed in 26.19 subjects with mean fasting glucose level was 108.3 21.1 mg dL. IPSS score were significantly correlated with fasting glucose level r 0.879, p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Pramaviri
"Gejala saluran kemih bawah LUTS pada laki laki seringkali dikaitkan dengan pembesaran prostat jinak BPH yang menyebabkan obstruksi infravesika yang sering diikuti oleh trabekulasi sehingga terjadi gangguan fungsi kandung kemih Reseksi prostat transuretra TURP adalah tindak baku emas yang bertujuan untuk menghilangkan obstruksi ini Namun gejala LUTS masih banyak dikeluhkan setelah dilakukan TURP Penelitian cross sectional ini dilakukan untuk mencari hubungan antara gejala LUTS pasca TURP dengan derajat trabekulasi dan volume kandung kemih di RSUP H Adam Malik Medan Selama tahun 2013 didapatkan 39 pasien BPH rata rata umur 68 36 7 638 tahun dengan retensi urin berulang yang dilakukan tindakan TURP Dari keseluruhan sampel kelompok yang terbanyak ditemukan adalah derajat trabekulasi sedang 35 9 dan volume kandung kemih 200 cc 46 2 Dua puluh dua sampel 56 4 mengeluhkan LUTS ringan dengan rerata IPSS total 6 28 3 986 Derajat trabekulasi dan volume mempunyai korelasi positif kuat 0 661 dan 0 723 p value.

Lower urinary tract symptoms LUTS in older male is often associated with benign prostate hyperplasia BPH and caused bladder outlet obstruction BOO with the consequential trabeculation that impair bladder contractility and viscoelasticity Transurethral resection of the prostate TURP is the gold standard for relieving BPH caused BOO Nevertheless many still complained of persisting symptoms even after undergoing TURP This cross sectional study was conducted to analyze the correlation between bladder volume and trabeculation in determining LUTS after TURP in BPH patient In 2013 bladder trabeculation and volume was measured during TURP from 39 BPH patients with recurrent urinary retention and were re evaluated 6 months after The most common findings were moderate trabeculation 35 9 bladder volume 200cc 46 2 and mild degree LUTS 56 4 after TURP with mean IPSS 6 28 3 986 Bladder trabeculation and volume are positively and strongly correlated with LUTS after TURP 0 661 and 0 723 respectively p value 0 01 Analytical linear regression found that these two variables are significant factors in determining LUTS after TURP with positive predictive value of 62 In conclusion bladder trabeculation and volume had strong significant correlation with LUTS after TURP although there are other possible determining factors that are not included in the study
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patandung, Richman
"Pendahuluan dan tujuan: Hiperplasia prostat jinak merupakan penyakit yang melemahkan yang menyebabkan 90% pria berusia 80 tahun menderita sindrom saluran kemih bagian bawah. Dalam studi ini, kami mencoba untuk mengevaluasi hasil dari reseksi transurethral prostat pada pasien hiperplasia prostat jinak untuk menguraikan manfaatnya.
Metode: Penelitian ini dilakukan secara retrospektif. Subjek dalam penelitian ini adalah pasien yang didiagnosis BPH. Pasien dibagi menjadi dua kelompok (<80gr dan> 80gr). Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara statistik menggunakan Independent T-Test dan Mann-Whitney.
Hasil: Kami tidak menemukan perbedaan yang signifikan pada skor IPSS dan QoL pada kedua kelompok. Skor IPSS dan kualitas hidup pasca operasi juga menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara pasien kelompok 1 dan 2.
Kesimpulan: Kami menemukan bahwa volume prostat tidak berhubungan dengan kualitas hidup pasien, yang diilustrasikan oleh indeks IPSS dan QoL setelah TURP. Selain itu, TURP dapat dilakukan pada semua pasien terlepas dari ukuran prostatnya. Lebih lanjut, TURP memiliki keuntungan komplikasi yang lebih rendah untuk pasien dengan ukuran prostat> 80 gr.

Introduction and objectives: Benign prostatic hyperplasia is a debilitating disease which causes 90% of 80 years old male suffers from lower urinary tract syndrome. In this study, we tried to evaluate the outcome of transurethral resection of the prostate in benign prostatic hyperplasia patients to elaborate its benefit.
Methods: This study is conducted retrospectively. Subject in this study are patients who are diagnosed with BPH. Patients is divided into two groups (<80gr and >80gr). Data obtained in this study is statistically analyzed using Independent T-Test and Mann-Whitney.
Results: We found no significant differences in the IPSS and QoL score in both groups. Postoperative IPSS and QoL score also showed no significant differences between group 1 and 2 patients.
Conclusion: We found that prostate volume is not correlated with patient quality of life, which illustrated by IPSS and QoL index after TURP. In addition, TURP can be conducted in any patients regardless of their prostate size. Furthermore, TURP has the advantage of lower complication for patients with prostate size >80 gr.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Retnoningrum
"Tujuan: Memperoleh data prevalensi perempuan dengan gejala saluran kemih bawah di RS Cipto Mangunkusumo, Indonesia.
Metode: Studi deskriptif dan analitik dengan pengumpulan data menggunakan kuesioner. Subjek penelitian yakni perempuan yang berada di poliklinik Ginekologi RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, menjalani wawancara menggunakan metode konvensional dan menggunakan International Consultation on Incontinence Questionnaire (ICIQ) Female LUTS long form yang divalidasi ke Bahasa Indonesia.
Hasil: Metode konvensional hanya menanyakan sebuah pertanyaan tentang gangguan berkemih tanpa menanyakan gejala yang lebih detail, menghasilkan prevalensi LUTS yang rendah sebanyak 17.3%. Pada sisi lain, dengan menggunakan kuesioner yang terstruktur menggunakan ICIQ- FLUTS long form, luaran prevalensi LUTS total adalah 95.3% pada populasi penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa LUTS mempunyai prevalensi yang tinggi pada populasi studi dengan faktor resiko yang teridentifikasi berupa persalinan pervaginam.
Kesimpulan: LUTS adalah kondisi yang dengan prevalensi tinggi pada populasi penelitian. Untuk mendapatkan prevalensi yang lebih akurat, metode skrining sangat penting. Penggunaan kuesioner terstruktur secara signifikan menapis LUTS lebih tinggi dari metode konvensional. Kuesioner ICIQ FLUTS long form adalah alat yang direkomendasikan untuk digunakan pada penelitian epidemiologi dan dan juga pada praktek klinik sehari- hari. Penelitian lanjutan dengan basis komunitas direkomendasikan untuk mendapatkan prevalensi nasional LUTS di Indonesia.

Objective: To obtain the prevalence of women with Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) in Cipto Mangunkusumo National Hospital, Indonesia.
Method: Descriptive and analytic study with questionnaire- based data collection. All of the subjects were interviewed using the conventional method and International Consultation on Incontinence Questionnaire (ICIQ) Female LUTS long form validated in Indonesian language at Gynecology outpatient clinic in Cipto Mangunkusumo Hospital.
Results: The conventional method which pose only one single question of urination disturbance without asking the detailed symptoms, low prevalence of LUTS obtained i.e. 17.3%. On the other hand, with a well structured questionnaire using ICIQ- FLUTS long form, the prevalence of LUTS was 95.3% prevalence of LUTS. This result revealed that LUTS was a common condition among Indonesian women in the study population with identified risk factor of vaginal delivery.
Conclusion: LUTS is a frequent condition in this population. To obtain a more accurate prevalence, method of screening is important. A structured questionnaire screened LUTS significantly higher than the conventional method. The ICIQ FLUTS long form questionnaire validated in Indonesian language is a robust questionnaire that recommended to be used in epidemiological research as well as routine clinical practice. Further community based research is warranted to obtain the national prevalence of LUTS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simatupang, Octaviyana Nadia Nitasari
"Latar belakang: Kehamilan dan persalinan merupakan faktor risiko utama terjadinya disfungsi dasar panggul. Manifestasi utama pada kelainan tersebut adalah gejala saluran kemih bagian bawah dan inkontinensia urin. Studi mengenai prevalensi dan faktor risiko kondisi-kondisi tersebut sangat penting untuk diagnosis dini dan tata laksana yang komprehensif. Namun, hingga saat ini belum terdapat studi mengenai prevalensi dan faktor-faktor risiko tersebut secara komprehensif pada ibu hamil di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui prevalensi inkontinensia urin dan gejala saluran kemih bagian bawah serta faktor-faktor yang memengaruhi.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan metode potong lintang (cross sectional). Subjek dari penelitian ini adalah ibu hamil yang datang untuk pemeriksaan rutin di Puskesmas Kecamatan Jakarta pada April 2021-Maret 2022. Pasien dengan riwayat inkontinensia, kehamilan ganda, diabetes tidak terkontrol, gangguan neurologis, atau riwayat operasi sebelumnya dieksklusi dari penelitian. Faktor risiko yang dinilai adalah usia ibu, usia kehamilan, paritas, indeks massa tubuh, dan riwayat obstetrik sebelumnya.
Hasil: Didapatkan sebanyak 236 subjek yang diikutsertakan dalam penelitian. Didapatkan inkontinensia urin tekanan 8,5%, inkontinensia urin desakan 14%, dan inkontinensia urin campuran 1,6%. Didapatkan keluhan berkemih berupa frekuensi (59,3%), nokturia (87,3%), urgensi (33,1%), hesitansi (8,9%), dan straining (0,8%). Hanya terdapat 5,1% subjek yang tidak memiliki keluhan berkemih sama sekali. Faktor risiko yang berpengaruh dengan keluhan berkemih dan inkontinensia urin adalah usia ibu dan trimester kehamilan.
Kesimpulan: Didapatkan prevalensi inkontinensia urin dan gejala saluran kemih bagian bawah yang tinggi pada ibu hamil di Indonesia. Faktor risiko terjadinya gangguan saluran kemih dan inkontinensia urin pada ibu hamil adalah usia ibu dan trimester kehamilan.

Background: Pregnancy and childbirth are the main risk factors for pelvic floor dysfunction. The main manifestations of this disorder are lower urinary tract symptoms and urinary incontinence. Studies on the prevalence and risk factors of these conditions are essential for early diagnosis and comprehensive management. However, until now there has been no comprehensive study of the prevalence and risk factors for pregnant women in Indonesia.
Objective: To determine the prevalence of urinary incontinence and lower urinary tract symptoms and the factors that influencing.
Methods: This research was an observational analytic study with cross sectional method. The subjects of this study were pregnant women who came for routine check-ups at the Jakarta Publics Health Center in April 2021-March 2022. Patients with a history of incontinence, multiple pregnancy, uncontrolled diabetes, neurological disorders, or a history of previous surgery were excluded from the study. The risk factors assessed were maternal age, gestational age, parity, body mass index, and previous obstetric history.
Results: There were 236 subjects who were included in the study. We found stress urinary incontinence 8.5%, urgency urinary incontinence 14%, and mixed urinary incontinence 1.6%. There were urinary complaints in the form of frequency (59.3%), nocturia (87.3%), urgency (33.1%), hesitancy (8.9%), and straining (0.8%). There were only 5.1% of subjects who did not have urinary complaints at all. The risk factors that influence lower urinary tract symptoms and urinary incontinence are maternal age and trimester of pregnancy.
Conclusions: We found a high prevalence of urinary incontinence and lower urinary tract symptoms in pregnant women in Indonesia. Risk factors for urinary tract disorders and urinary incontinence in pregnant women are maternal age and trimester of pregnancy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Bagus Oka Widya Putra
"Penelitian ini membandingkan kuesioner Visual Prostate Symptom Score VPSS yang jarang digunakan dengan kuesioner International Prostate Symptom Score IPSS dan parameter uroflowmetri di Indonesia pada pasien laki-laki yang berobat di Rumah Sakit Umum Nasional Cipto Mangunkusumo. Evaluasi menggunakan IPSS dalam bahasa Indonesia, VPSS, uroflowmetri dan ultrasonografi transabdominal dikerjakan pada pasien pria berusia lebih dari 45 tahun yang berobat ke Rumah Sakit Umum Nasional Cipto Mangunkusumo antara Februari 2014 dan Agustus 2015. Dari seluruh subyek, 24,2 dan 11,1 membutuhkan bantuan ketika menjawab kuesioner IPSS dan VPSS. Usia rata-rata, skor total IPSS, skor total VPSS, Q-max, volume berkemih, dan volume residu pasca berkemih masing-masing adalah 67,4 8,9 tahun, 13,4 7,8, 10,8 2,7, 13,6 8,6 mL / detik, 248 136 ml, dan 54,9 68,3 ml. Skor total, IPSS kualitas hidup QoL, IPSS pertanyaan Q 2, IPSS Q7, dan IPSS Q5, secara signifikan berkorelasi dengan skor total VPSS, VPSS QoL, VPSS Q1, VPSS Q2, dan VPSS Q3 koefisien korelasi r, nilai P masing-masing: 0,57.

This study aims to compare and correlate the novel Visual Prostate Symptom Score VPSS with International Prostate Symptom Score IPSS questionnaire and uroflowmetry parameters in Indonesian men who visited Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital. Male patients older than 45 years who visited Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital between February 2014 and August 2015 with LUTS were evaluated with Indonesian version of the IPSS, VPSS, uroflowmetry and transabdominal ultrasound. Appropriate statistical analysis was employed. Of all subjects, 24.2 and 11.1 require assistance when answering IPSS and VPSS questionnaires respectfully. The mean age, IPSS total score, VPSS total score, Q max, voided volume, and post void residual volume were 67.4 8.9 years, 13.4 7.8, 10.8 2.7, 13.6 8.6 mL sec, 248 136 ml, and 54.9 68.3 ml respectively. Total IPSS, IPSS quality of life QoL, IPSS question Q 2, IPSS Q7, and IPSS Q5, were significantly correlated with total VPSS, VPSS QoL, VPSS Q1, VPSS Q2, and VPSS Q3 correlation coefficient r P value 0.57.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyandra Parikesit
"Penelitian ini dibuat untuk mengevaluasi hubungan antara LUTS/BPH dan sindrom metabolik pada pria Indonesia. Dua ratus dua puluh tujuh pasien dengan BPH diinklusi dalam penelitian ini. Pengukuran indeks masa tubuh, lingkar perut, volume prostat, dan international prostate symptom score (IPSS) dilakukan pada semua pasien. Berbagai pemeriksaan laboratorium seperti prostate specific antigen, gula darah puasa, trigliserida, lipoprotein densitas tinggi telah diuji. Diagnosa sindrom metabolik disesuaikan dengan kriteria dari The National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult Treatment Panel III (ATP III). IPSS disubkategorikan menjadi nilai keluhan obstruktif dan iritatif dan sindrom metabolik di kelompokkan sesuai dengan jumlah komponen kriteria (kurang dari 3, 3, 4, dan 5). Uji korelasi Spearman digunakan untuk menganalisa hubungan antara seluruh data kontinyu. Nilai rerata antara kelompok faktor resiko dianalisa menggunakan One-way ANOVA untuk data dengan nilai distribusi normal dan Kruskall Wallis untuk data dengan nilai distribusi tidak normal. Pada penelitian ini didapatkan sindrom metabolik pada 87 pasien (38.3 %). Pasien dengan sindrom metabolik memiliki nilai indeks masa tubuh, lingkar perut, tekanan darah sistolik, trigliserida, gula darah puasa, gejala iritatif, dan total IPSS lebih tinggi, dan lipoprotein densitas tinggi lebih rendah secara signifikan. Pasien dengan obesitas sentral memiliki resiko mengalami gejala LUTS/BPH sedang-berat lebih tinggi secara signifikan (RR 1.16, 95% CI: 1.01-1.4, p = <0.05) dan resiko memiliki nilai PSA yang tinggi (PSA ³ 20) (RR 0.41, CI 95%: 0. 23 -0.74, P = <0.001). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sindrom metabolik memiliki dampak yang terbatas terhadap gejala LUTS/BPH pada pria Indonesia. Hubungan dan peningkatan resiko gejala LUTS/BPH hanya terlihat pada pasien dengan obesitas sentral.

This paper was made to evaluate the association between LUTS/BPH and MetS in Indonesian men. A total of 227 patients with histologic proven BPH were included in this study. Body mass index (BMI), waist circumference (WC), prostate volume, and international prostate symptom score (IPSS) were measured. Prostate specific antigen (PSA), fasting blood glucose (FBG), triglyceride (TG), high density lipoprotein (HDL) were tested. MetS were diagnosed using The National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult Treatment Panel III (ATP III). IPSS was subcategorized as irritative and obstructive scores and patients were classified into 4 groups according to the number of exhibited MetS components (less than 3, 3, 4, and 5). Spearman s correlation were used to analyses the association between all continuous variable. Mean difference between risk factor groups were analysed using One-way ANOVA for normally distributed variables and Kruskall Wallis for abnormally distributed variables. In this paper, MetS was diagnosed in 87 patients (38,3%). Patients with MetS have significantly higher BMI, WC, systolic blood pressure, triglyceride, fasting blood glucose, IPSS irritative score, total IPSS score, and lower HDL cholesterol. Patients with central obesity have significantly higher risk of having moderate-severe LUTS (RR 1.16, 95% CI: 1.01 -1.4, p = <0.05) and decreased risk in developing higher PSA level (PSA ³ 20) (RR 0.41, CI 95%: 0. 23-0.74, P = <0.001). From this paper we could conclude that MetS has limited impact towards LUTS/BPH in Indonesian men. Association and increase risk of LUTS/BPH were only seen in patients with central obesity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58543
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Iradita Islianti
"Latar Belakang: Transplantasi ginjal merupakan tata laksana utama pada pasien dengan end-stage renal disease. Salah satu perubahan pascatransplantasi ginjal adalah adaptasi fungsi penyimpanan (storage) dan pengosongan (voiding) dari traktus urinarius bagian bawah dalam enam bulan pertama pascatransplantasi ginjal dimana retensi urine dapat terjadi.
Tujuan: Penelitian ini bertujukan mengetahui prevalensi retensi urine pascatransplantasi ginjal dan untuk mendeskripsikan karakteristik urodinamik pasien pascatransplantasi ginjal dengan retensi urine.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian studi potong lintang yang dilaksanakan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 2011-2017. Data diambil dari pasien pascatransplantasi ginjal yang dilakukan pemeriksaan urodinamik Data diambil dari rekam medis pasien.
Hasil: Sebanyak 536 pasien menjalani transplantasi ginjal di RSCM, di antaranya terdapat 11 pasien (2%) disfungsi berkemih yang menjalani pemeriksaan urodinamik dengan rerata usia 41,4 (30,1±52,6) tahun, dimana dua orang diantaranya adalah perempuan. Enam pasien (55%) memiliki diabetes melitus (DM) tipe 2 dan 5 pasien (45%) memiliki hipertensi (HT). Sebanyak 6 dari 11 pasien (54%) mengalami retensi urine, empat pasien (36%) mengeluhkan keluhan frekuensi, dan satu pasien (10%) mengeluh adanya hesitancy dan perasaan tidak lampias setelah miksi. Sebanyak 50% pasien mengalami penurunan bladder compliance, dimana dua pasien (33%) di antaranya mengalami retnesi urine dengan normal bladder compliance. Overaktivitas detrusor ditemukan pada total empat pasien (36%) dan tiga pasien (50%) pada pasien dengan retensi urine. Sebanyak 4 pasien (36%) mengalami bladder outlet obstruction (BOO) dan 50% pasien dengan retensi urine mengalami BOO. Dua pasien juga didiagnosis mengalami instabilitas detrusor yang mana tidak disertai inkontinensia. Dua pasien (44%) memiliki kontraksi kandung kemih normal.
Kesimpulan: Disfungsi berkemih dan retensi urine ditemukan sebanyak 2% dan 1,1% dari 536 pasien pascatransplantasi ginjal. Sebagian besar pasien dengan retensi urine memiliki DM tipe 2. BOO dan overaktivitas detrusor ditemukan pada pasien dengan disfungsi berkemih dan retensi urine. Pemeriksaan rutin urodinamik pada pasien sebelum transplantasi ginjal juga disarankan.

Background: Kidney transplantation is the main treatment for patients with end-stage renal disease. After undergone kidney transplantation, changes in storage and voiding functions of the lower urinary tract in the first six months post-transplantation of the kidney is still occurring. During this period urinary retention can occur.
Objective: This study aimed to determine the prevalence of urinary retention after kidney transplantation and to describe the urodynamic characteristics of post-transplant kidney patients with urinary retention.
Method: This research is a cross-sectional study conducted at Cipto Mangunkusumo National General Hospital in 2011-2017. Data are collected from patients undergone urodynamic examination after kidney transplantation. Data are collected from the patient's medical record.
Results: A total of 536 patients underwent kidney transplants in RSCM, including 11 patients (2%) urinary dysfunction who underwent urodynamic examination with an average age of 41.4 (30.1 ± 52.6) years including 2 women. Six patients (55%) had type 2 diabetes mellitus (DM) and 5 patients (45%) had hypertension (HT). A total of 6 out of 11 patients (54%) experienced urinary retention, four patients (36%) complained of frequency complaints, and one patient (10%) complained of hesitancy and feeling of incomplete emptying. As many as 50% of patients experienced a decrease in bladder compliance, of which two patients (33%) experienced urine retention with normal bladder compliance. Detrusor overactivity was found in four patients (36%) from total sample and three subjects (50%) among patient with urinary retention. Four patients (36%) experienced bladder outlet obstruction (BOO) and 50% of patients with urine retention experienced BOO. Two patients were diagnosed with detrusor instability which was not accompanied by incontinence. Two patients (44%) had normal bladder contractions.
Conclusion: Urinary dysfunction and urinary retention
were found in 2% and 1.1% of 536 patients after renal transplantation respectively. Most
patients with urinary retention have DM type 2. BOO and detrusor overactivity are found
in patients with urinary dysfunction and urinary retention. Routine urodynamic
examinations in patients before a kidney transplant are also recommended.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>