Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 158189 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aveninta Maria Rosalin
"ABSTRAK
Hak terhadap kewarganegaraan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang wajib dipenuhi oleh subjek hukum internasional dengan mencegah dan mengurangi kasus statelessness. Ini selaras dengan tuntutan diaspora Indonesia agar pemerintah mengakui prinsip tersebut untuk memenuhi hak kewarganegaraan, dengan juga mendorong pembangunan negara secara sosial dan ekonomi. Skripsi ini adalah penelitian yuridis-normatif yang mengkomparasikan praktik-praktik negara dalam menerapkan kebijakan kewarganegaraan ganda dengan mengacu pada legislasi, peraturan, putusan pengadilan, serta hukum kebiasaan negara. Melalui studi komparasi dan analisa menggunakan sumber data dari kepustakaan dan wawancara, penelitian ini menemukan perkembangan kedudukan kewarganegaraan ganda dalam hukum internasional. Fenomena ini dahulu dianggap sebagai bentuk pengkhianatan dan keganjilan, sekarang digunakan oleh negara sebagai alternatif kebijakan untuk memenuhi hak kewarganegaraan dengan mematuhi hukum kebiasaan internasional dan prinsip hukum umum. Terdapat negara yang memberikan hak warga negara secara permisif atau justru membatasinya. Tulisan ini mengindikasi praktik umum dan karakteristik negara-negara tersebut dalam menerapkan kebijakan kewarganegaraan ganda serta implikasinya sebagai dasar pertimbangan apabila pemerintah Indonesia mengakui prinsip tersebut dengan tetap mempertimbangkan faktor sosial, ekonomi, dan politik.

ABSTRACT
The right to citizenship is a part of human rights that shall be complied by subject of international law by preventing and reducing statelessness. This is in line with Indonesia rsquo s diaspora demands in pushing the government to recognize this principle as a part of right to citizenship, whilst further encouraging social and economic development of the country. This thesis is a juridical normative study comparing state practices in the practices of dual citizenship policies with reference to legislation, rules, court decisions, and state customary law. Through comparative study and analysis using data sources from literature and interviews, this study found the development of dual citizenship in international law. The phenomenon of dual citizenship which was regarded as a form of betrayal and peculiarity is now known as an alternative policy to fulfill the right of citizenship. This paper indicates the general practice and characteristics of these states in practicing dual citizenship policies and the implications as a basis to learn as if Indonesian government would acknowledge the principle by additionally considering social, economic, and political factors."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harianja, Verawati
"ABSTRAK
Penentuan status kewarganegaraan yang dilakukan oleh para pembuat kebijakan belum
sepenuhnya dilandasi dasar hukum yang sesuai dengan kebutuhan permasalahan yang
berkembang pada masyarakat atau dengan kata lain belum dapat menjawab
permasalahan-permasalahan hukum terkait kewarganegaraan, seperti padakasus
Laurencia Vanty Febrina dan Sydney Elizabeth Van. Ada beberapa hal yang
mempengaruhi kasus tersebut antaralain tata cara pendaftaran kewarganegaraan ganda
terbatas, dan cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia serta hal-hal yang dapat
menghilangkan kewarganegaraan Indonesia. Hal ini dikarenakan belum terinformasi
dengan baik serta pemahaman di masyarakat tentang peraturan perundang-undangan
khususnya dalam hal kewarganegaraan.
Kasus dari 2 (dua) kakak-beradik bernama Laurencia Vanty Febrina (lahir di Georgia,
USA tanggal 06 Februari 2002) dan Sydney Elizabeth Van (lahir di Georgia, USA
tanggal 02 September 2003), dimana kedua kakak-beradik ini dilahirkan sebelum
Undang-Undang Kewarganegaraan No. 12 Tahun 2006 disahkan. Dikarenakan tidak
melaksanakan kewajiban untuk mendaftarkan diri untuk mendapatkan keputusan
menteri tentang perolehan kewarganegaraan Indonesia dalam jangka waktu 4 (empat)
tahun dari tanggal 01 Agustus 2006 sampai dengan 01 Agustus 2010 seperti yang
dimaksud dalam Pasal 41 Undang-Undang No. 12 tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia mengakibatkan anak tersebut tetap menjadi
warga negara asing dan diketahui anak tersebut masih dibawah umur serta kedua
orangtuanya adalah Warga Negara Indonesia.
Para penentu pengambilan kebijakan publik dari kasus tersebut, masih mengalami
permasalahan atau kendala-kendala dalam pengambilan keputusan. Hal tersebut
dikarenakan perbedaan persepsi mengenai peraturan mengenai kewarganegaraan.
Ketiadaan perangkat peraturan yang jelas dan mengikat, dapat menyebabkan sistem
pengambilan keputusan dari suatu pengambilan kebijakan akan mengalami multi tafsir
dan akan menjadi suatu permasalahan hukum dikemudian hari.

ABSTRAK
The determination status of citizenship by policy makers is not fully based on the basic
law in accordance with the needs of a growing problem in society or in other words
have not be able to answer the legal problems related to citizenship, as in the case of
Laurencia Vanty Febrina and Sydney Elizabeth Van. There are some things that affect
such cases among procedures for registration of citizenship, and how to obtain the
citizenship of Indonesia as well as can eliminate the Indonesia nationality. The
regulation is not properly informed and make people misunderstand about legislation
particularly in terms of citizenship.
The case of the 2 (two) sisters named Laurencia Vanty Febrina (born in Georgia, USA
dated 06 February 2002) and Sydney Elizabeth Van (born in Georgia, USA on
September 02, 2003), in which the two sisters were born before the nationality law No.
12 Year 2006 was passed. Because of not doing the obligation to register to get the
Minister's decision regarding the acquisition of citizenship of Indonesia for a period of
four (4) years from the date of August 1, 2006 to August 1, 2010, as referred to in
Article 41 of law No. 12 year 2006 regarding the Citizenship of the Republic of
Indonesia caused the child remains a citizen of a foreign country as well as their parents
is still a citizen of Indonesia.
The decision makers are still experiencing problems or constraints in decision making.
That is because the difference in perception regarding the rules on nationality. The
absence of a clear and binding rules, the decision-making system can result from an
acquisition policy will have multiple interpretations and would be a legal problem in
the future."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ariq Bachtera Putra
"Penelitian ini membahas mengenai peranan Sukarelawan dalam Konfrontasi Indonesia-Malaysia atau Operasi Dwikora di wilayah Kalimantan (1963-1966). Semenjak Pemerintah Inggris menetapkan pembentukan Federasi Malaysia pada tahun 1963, Indonesia merasa terancam dengan pembentukan Federasi Malaysia ini karena dianggap sebagai proyek neo kolonialisme Inggris yang bisa mengganggu kestabilan serta keamanan di Indonesia. Berbagai usaha meredakan ketegangan antara kedua negara dengan cara yang damai menemui kegagalan sehingga Indonesia melakukan konfrontasi terhadap Federasi Malaysia dengan dicanangkan Operasi Dwikora. Untuk melakukan Operasi Dwikora, Indonesia mengerahkan seluruh sumber daya yang dimilikinya. Mulai dari TNI/ABRI hingga rakyat biasa yang dihimpun dalam suatu barisan yang dinamakan Barisan Sukarelawan. Barisan Sukarelawan ini terdiri dari berbagai elemen masyarakat yang ada di Indonesia seperti Buruh, Tani, Pegawai Negeri, Mahasiswa, hingga Pemuda. Para sukerelawan bertugas untuk tugas-tugas tempur maupun non-tempur. Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang kebanyakan membahas mengenai keterlibatan TNI atau elite-elite politik dalam Operasi Dwikora, yang mana penelitian ini berfokus dalam keterlibatan para sukarelawan dalam Operasi Dwikora. Penelitian ini menggunakan sumber-sumber primer seperti surat-surat kabar sezaman, serta arsip dan sumber sekunder yang berupa buku-buku yang terkait dengan pembahasan Operasi Dwikora. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan menggunakaan empat tahapan dalam metode sejarah, yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi.

This paper discusses the role of Volunteers in the Indonesia-Malaysia Confrontation or Operation Dwikora in the Kalimantan region (1963-1966). Since the British Government established the formation of the Federation of Malaysia in 1963, Indonesia felt threatened by the creation of the Federation of Malaysia because it was considered a British neo-colonial project that could disrupt stability and security in Indonesia. Various attempts to ease tensions between the two countries in a peaceful manner failed, so that Indonesia confronted the Malaysian Federation with the launching of Operation Dwikora. To carry out Operation Dwikora, Indonesia mobilized all its resources. Starting from the TNI / ABRI to common people who are gathered in a line called the Volunteer Front. This volunteer line consists of various elements of society in Indonesia such as workers, farmers, civil servants, students, and youth. Volunteers serve both combat and non-combat tasks. This paper differs from previous papers which mostly discussed the involvement of the TNI or political elites in the Dwikora Operation, in which this paper focused on the involvement of volunteers in the Dwikora Operation. This paper uses primary sources such as contemporary newspapers, as well as archives and secondary sources in the form of books related to the discussion of Operation Dwikora. This research is analytical descriptive using four stages in the historical method, such as heuristics, criticism, interpretation and historiography.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hariyo Hanindary Dhurandhara
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas Sumber Pencemaran Laut Berbasis Darat mulai dari pengaturannya dalam berbagai instrumen hukum internasional, pihak-pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban, hingga bentuk pertanggungjawaban yang dapat dilakukan. Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian yuridis normatif normatif dengan menggunakan metode deskriptif analitik. International Law of the Sea memandang bahwa pencemaran laut yang bersumber dari darat terbatas pada aktivitas manusia di darat yang menyebabkan pencemaran laut, baik yang langsung dibuang ke laut, maupun yang bermuara ke laut. Berdasarkan teori akuntabilitas negara, tindakan suatu negara dapat dikatakan sebagai negara yang memiliki tanggung jawab internasional apabila negara yang bersangkutan telah memenuhi unsur tanggung jawab negara. Namun, meskipun UNCLOS adalah sumber utama hukum yang mengatur semua hal tentang lautan, ketentuannya mengenai tanggung jawab atas pencemaran lingkungan laut, harus dibaca dan dipahami bersama dengan Artikel Komisi Hukum Internasional tahun 2001 tentang Tanggung Jawab Negara untuk Tindakan yang Salah Secara Internasional. . Untuk mempertanggungjawabkan masalah ini dapat dibedakan menjadi tiga upaya yaitu dengan menggunakan atau membentuk regulasi, membentuk program atau badan khusus, dan menggunakan langkah-langkah lain yang terkait dengan upaya penanggulangan pencemaran laut. Penulis juga menyarankan agar ketiga bentuk pertanggungjawaban yang dibahas untuk mengatasi masalah ini belum cukup, harus dibarengi dengan kerjasama atau koordinasi antar negara dan internasional. Selain itu, penulis berpandangan bahwa bentuk-bentuk pertanggungjawaban yang dimaksud tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus saling mendukung bentuk usaha yang lain.
ABSTRACT
This thesis discusses the sources of land-based marine pollution starting from the regulation in various international legal instruments, the parties that can be held accountable, to the forms of accountability that can be carried out. The research method used in this thesis is normative juridical normative research using descriptive analytic method. The International Law of the Sea considers that marine pollution originating from land is limited to human activities on land which cause marine pollution, either directly discharged into the sea or which empties into the sea. Based on the state accountability theory, the actions of a state can be said to be a country that has international responsibility if the country concerned has fulfilled the element of state responsibility. However, although UNCLOS is the main source of laws governing all matters concerning the oceans, its provisions regarding responsibility for pollution of the marine environment, should be read and understood in conjunction with the International Law Commission Article 2001 on State Responsibility for Internationally Wrong Actions. . To account for this problem can be divided into three efforts, namely by using or forming regulations, forming special programs or agencies, and using other steps related to efforts to tackle marine pollution. The author also suggests that the three forms of accountability that are discussed to overcome this problem are not sufficient, it must be accompanied by cooperation or coordination between countries and internationally. In addition, the author is of the view that the forms of accountability in question cannot stand alone, but must mutually support other forms of business."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Netherlands: Sijthoff & Noordhoff, 1980
341 INT
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ammar
"ABSTRAK
Anggota direksi dalam melaksanakan tugasnya memiliki resiko bertanggung jawab secara pribadi. Saat ini terdapat kecenderungan anggota direksi melakukan perjanjian pisah harta untuk membatasi tanggung jawab pribadinya. Tesis ini mengkaji tentang keberadaan perjanjian pisah harta untuk membatasi pertanggung jawaban anggota direksi dalam hal perseroan terbatas merugi akibat kelalaian anggota direksi tersebut dan perlindungan hukum terhadap kreditur apabila anggota direksi tersebut memiliki perjanjian pisah harta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian pisah harta yang dilakukan anggota direksi yang bersalah atau lalai yang menyebabkan perseroan terbatas rugi dapat membatasi tanggung jawab anggota direksi tersebut apabila perjanjian pisah harta dibuat sebelum perkawinan dilakukan dan dalam bentuk akta notaries. Kreditur memang tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai dalam hal anggota direksi memiliki perjanjian pisah harta. Namun demikian kreditur tetap dapat melakukan upaya hukum lainnya agar kepentingannya terlindungi dengan meminta dibuatnya asuransi jabatan direksi atau melakukan gugatan Actio Pauliana. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif, dengan bahan hukum sekunder sebagai bahan utama

ABSTRACT
Board of directors in carrying out their duties have personal responsibility risk. Currently, there is a tendency of the directors entered into a separation of property agreement to limit personal liability. This thesis examines the existence of separate property agreement to limit liability of the directors in terms of a limited liability company lost due to the negligence of the directors and the legal protection of creditors if the board member has a separate property agreement. The results showed that the separation of property agreement of the members of the board of directors at fault or negligence which causes loss of limited liability may limit the liability of directors when the separation of property agreement made ​​before marriage done and in a notary deed. The lender did not obtain adequate legal protection in the event a director has an agreement separate property. However, lenders can still make other remedies that protected its interests by requiring insurers made ​​the position of directors or making claims Actio Pauliana. The research was conducted by using normative juridical, with secondary materials as the main materials"
Universitas Indonesia, 2013
T33138
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adelia Putri Zulkarnain
"Tesis ini membahas isu hak Self-determination yang digaungkan oleh Organisasi Papua Merdeka (atau yang dikenal sebagai OPM) dengan mengatasnamakan rakyat Papua Barat. Isu tersebut kembali menjadi sorotan pada Desember 2018, di mana OPM menembak para karyawan PT. Istaka Karya. Kehadiran hak selfdetermination dalam hukum internasional merupakan sebuah kesempatan bagi negara-negara yang terjajah untuk menjadi memperoleh kemerdekaan. Namun, pada perkembangannya, pelaksanaan hak self-determination tidak lagi dalam konteks dekolonisasi. Pergeseran makna dan tujuan ini sebabkan adanya perkembangan hukum internasional yang dipengaruhi oleh kasus internasional. OPM sejak kemunculannya di tahun 1965, terus gencar menyampaikan tuntutan tuntutan tersebut melalui teror dan hadir dalam forum internasional untuk meraih simpati internasional.

This thesis calls for the issue of the right of self-determination which echoed by Free Papua Movement (also known as OPM) on behalf of the West Papua people. The issue re-highlighted on December 2018, where the OPM shot the employees of PT. Istaka Karya. The presence of the right of self-determination in international law is an opportunity for colonized people to obtain its independence. However, the exercise of the right of self-determination is no longer in the context of decolonization. This shift in meaning and purpose is due to the development of international law that influenced by international cases. OPM since its emergence in 1965, continues to aggressively conveyed their demand through terror and present in international forums in order to gain the international sympathy."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54974
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adamant Aldo Ruddyard
"Sejak detonasi senjata nuklir pertama, komunitas internasional telah mengakukan potensi yang dimilikinya. Hal tersebut menimbulkan inisiatif untuk membentuk hukum internasional dan peraturan untuk meregulasi senjata-senjata tersebut. Perjanjian internasional pertama yang mengatur tentang senjata nuklir ini adalah Partial Test Ban Treaty 1963, yang melarang pengujian senjata nuklir dalam atmosfer. Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons 1968 melanjutkannya dan merupakan perjanjian penting dalam bidang pengendalian senjata nuklir. Perjanjian tersebut mengatur proliferasi senjata nuklir dan memberi kewenangan kepada IAEA untuk menjadi badan pengawas tenaga nuklir internasional. Pembuatan beberapa wilayah bebas senjata nuklir mengikuti semangatnya komunitas internasional dari suksesnya NPT ini. Tujuan komunitas internasional berikutnya adalah untuk membuat suatu perjanjian internasional yang melarang pengujian senjata nuklir secara komprehensif, yaitu yang tidak hanya melarang pengujian dalam atmosfer, tetapi juga dibawah tanah. Dari segi pelucutan senjata nuklir, Amerika Serikat dan Rusia telah mengadakan perundingan dengan tujuan melimitasi senjata nuklirnya SALT I dan II, dan pada akhirnya berhasil membetnuk perjanjian INF 1987 dan NEW START 2010, yang berhasil mengurangi senjata nuklir milik kedua negara tersebut. Selain itu, dalam skala global, Nuclear Weapons Prohibition Treaty 2017 bertujuan untuk mengurangi senjata nuklir secara multilateral dan komplit, walaupun kesuksesannya sangat terbatas. Penelitian ini menganalisis berbagai perjanjian internaional yang berlaku dan belum berlaku yang mengatur tentang non-proliferasi dan pelucutan senjata nuklir. Penulis juga akan menganalisis berbagai kasus tentang pelanggaran dan praktik negara terkait dengan perjanjian-perjanjian yang berlaku, dan menunjukkan efektifitas, atau ketidak efektifitas, perjanjian-perjanjian tersebut.

Since the first detonation of a nuclear weapon, the international community has recognized its dangerous potential. This sparked the initiative to form legal international regulations regarding such weapons. The first of these regulations came in the form of the Partial Test Ban Treaty 1963, which banned the testing of nuclear weapons in the atmosphere. The Non Proliferation Treaty followed and became a landmark treaty in the world of nuclear non proliferation and disarmament. Said treaty regulated the proliferation of nuclear weapons and gave power to the IAEA to become the international nuclear watchdog. The NPT would become the most adopted treaty to regulate nuclear weapons. The formation of numerous nuclear weapon free zones followed the renewed spirit of nuclear non proliferation caused by the implied success of the NPT. A Comprehensive Test Ban Treaty, a treaty which bans nuclear testing underground in addition to the atmosphere, became the next target for the international community, which as of now has not yet entered into force. The efforts to reach nuclear disarmament was continued by the owners of the largest nuclear weapon arsenals, U.S and Russia, through diplomatic talks on limitation of strategic arms SALT I and II and culminated in the Intermediate Nuclear Forces Treaty and the NEW START, which aimed to reduce nuclear weapons of all forms. On a global scale, the Nuclear Weapons Prohibition Treaty aimed to achieve nuclear disarmament multilaterally, although its success has been very limited. This Research analyzes the many treaties in force and subsequent treaties regarding nuclear non proliferation and disarmament. The Writer also discusses cases of violations and practice regarding nuclear non proliferation and disarmament and notes the effectiveness, and ineffectiveness, of the treaties."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Alda Mayo Panajam
"Crimes against humanity is one of the international crime which can be categorized as a jus cogens and evidently one of the most serious type of international crime. The concept of crimes against humanity first stemmed and codified in the post-World War 2 period, specifically from the Statutes of the International Military Tribunals of Nuremberg and Tokyo. The formulations set forth in the Tribunals? Statutes includes a set of chapeau or contextual elements which acts as a philosophical basis for the fulfilment crimes against humanity requirements. Further developments in crimes against humanity gave birth to a myriad of formulations, whether seen from the aspect of general definition and the contextual elements, like the ones formulated in the Statutes of ICTY, ICTR and ICC. This thesis will be focused on the contextual elements of crimes against humanity as stipulated in the ICTY Statute, and will be thoroughly related to the case Prosecutors v. Milan Martic to further boost the practical understanding for the matter of crimes against humanity.

Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan salah satu kejahatan internasional yang masuk ke dalam kategori jus cogens dan juga salah satu dari jenis kejahatan internasional paling serius. Konsep kejahatan terhadap kemanusiaan pertama kali muncul dan dikodifikasikan pasca-Perang Dunia ke-2 melalui Statuta Pengadilan Nuremberg dan Tokyo. Formulasi awal dari kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut selalu memiliki elemen-elemen chapeau atau kontekstual yang merupakan basis filosofis dari pemenuhan syarat kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam perkembangan lanjutan kejahatan terhadap kemanusiaan muncul berbagai variasi-variasi formulasi baik dari aspek definisi umum maupun elemen-elemen kontekstual, seperti pada ICTY, ICTR dan juga ICC. Tulisan ini akan berfokus pada elemen-elemen kontekstual seperti yang ada di dalam Statuta ICTY dan akan dikaitkan dengan kasus Prosecutors v. Milan Martic agar mempermudah pemahaman aplikatif dari konsep elemen-elemen kontekstual kejahatan terhadap kemanusiaan."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
S42997
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Antonius Satria Adinugraha
"The regulations regarding the Restoration of Cultural Heritage were established from the restriction of its removal. The main treaty providing the norm to restore the removed Cultural Heritage from the State of origin is 1970 UNESCO Convention on the Means of Prohibiting Illicit Import, Export, and Transfer of Ownership of Cultural Property. Through this convention, State, as a subject in international law, was given a set of Rights and Obligations to claim for its Restoration. Indonesia as a developing State has its own interest in the Restortion of Cultural Heritage after its independence, including from Netherlands. Through this thesis, the author analyses the practice in the case of the Restoration from Netherlands to Indonesia, Indonesian Law No. 11 of 2010 on Cultural Heritage, and the urgency of Indonesia to become a State party to 1970 UNESCO Convention on the Means of Prohibiting Illicit Import, Export, and Transfer of Ownership of Cultural Property.

Ketentuan mengenai Pengembalian Benda Cagar Budaya muncul dari ketentuan pelarangan pemindahan atasnya. Perjanjian Internasional yang terutama dalam mengatur Pengembalian Benda Cagar Budaya kepada Negara asal adalah 1970 UNESCO Convention on the Means of Prohibiting Illicit Import, Export, and Transfer of Ownership of Cultural Property. Dalam konvensi tersebut Negara sebagai subyek hukum internasional yang diberikan seperangkat Hak dan Kewajiban untuk mengajukan klaim Pengembalian. Indonesia sebagai Negara berkembang memiliki kepentingan Pengembalian Benda Cagar Budaya dari Negara-Negara maju pasca kemerdekaan, salah satunya dari Belanda. Penulisan ini melakukan analisis terhadap praktik Pengembalian yang selama ini telah dilakukan oleh Belanda ke Indonesia, UU Cagar Budaya No. 11 Tahun 2010, dan kepentingan Indonesia menjadi Negara peserta Konvensi 1970 UNESCO Convention on the Means of Prohibiting Illicit Import, Export, and Transfer of Ownership of Cultural Property."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
S61117
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>