Ditemukan 81193 dokumen yang sesuai dengan query
Jethro Julian
"Jaksa adalah yang oleh undang-undang diberikan wewenang untuk melaksanakan putusan pengadilan pidana. Putusan pengadilan yang dimaksud di dalamnya juga termasuk pidana mati yang merupakan salah satu bentuk pidana yang masih diatur dalam perundang-undangan di negara Indonesia. Pada praktiknya, pidana mati yang dijatuhkan kepada seseorang baru dapat dilaksanakan bertahun-tahun setelah putusan pidana mati tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri karena dengan adanya penundaan pelaksanaan pidana mati yang berlarut-larut sehingga muncul anggapan bahwa adanya ketidakpastian hukum.
Dalam penulisan ini penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang mana akan dikaitkan dengan peraturan hukum yang berlaku di Indonesia. Setelah melakukan penelitian didapatkan kesimpulan bahwa jika ditinjau dari kedudukannya sebagai dominus litis atau pengendali perkara maka seorang Jaksa yang melaksanakan putusan pengadilan dapat atas kebijakannya sendiri dapat menunda suatu pelaksanaan putusan pengadilan dalam hal ini pidana mati. Kebijakan untuk menunda pelaksanaan pidana mati sangat lekat juga dengan posisi Jaksa sebagai penegak hukum sehingga sebagai penegak hukum harus memerhatikan tidak hanya pada kepastian hukum namun juga kemanfaatan hukum dalam pelaksanaan pidana mati itu sendiri.
The prosecutor is the one who by law is authorized to execute a criminal court decision. The said court decision includes death penalty as it is one of the forms of punishment which is still used in the Indonesian law. In practice, death penalty when charged to a person the execuiton can carry out for many years after the death verdict is legally binding. It has become a problem because of the prolonged punishment the assumption of legal uncertainty also arises. In this study the author use normative juridical research methods which will be attributed to the applicable law in Indonesia. After conducting the research it is concluded that if viewed from his position as dominus litis or the case controller then a prosecutor who executes a court decision may in its sole discretion postpone an execution of a court decision in this case capital punishment. The policy to postpone the death penalty is also closely attached to the position of the Prosecutor as a law enforcer as a law enforcemer must pay attention not only to legal certainty but also the legal benefit in the execution of the death penalty itself. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Nabila Tsurayya
"Penuntut Umum memiliki peran penting dalam penegakan hukum, khususnya peradilan pidana. Salah satu peran penting tersebut adalah kewenangan untuk menuntut atau tidak menuntut suatu perkara ke pengadilan, yang dikenal dengan dominus litis atau pengendali perkara. dominus litis, peran aktif penuntut umum dimulai semenjak awal penyidikan, mengawasi penyidikan, mengawasi eksekusi putusan pengadilan, serta fungsi lainnya yang menyangkut kepentingan publik. Namun demikian, sistem peradilan pidana Indonesia cenderung mereduksi konsep dominus litis jaksa karena menganut sistem diferensiasi fungsional. Hal ini terlihat dari definisi penuntutan yang hanya dimaknai sebagai tindakan pelimpahan perkara ke pengadilan. Penelitian ini akan membahas tentang pengajuan tuntutan bebas oleh jaksa penuntut umum sebagai cerminan dari dominus litis. Penelitian ini berbentuk yuridis normatif yang akan dikaitkan dengan peraturan hukum di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa jaksa penuntut umum di Indonesia dapat mengajukan tuntutan bebas sesuai dengan Pedoman Jaksa Agung Nomor 24 Tahun 2021 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum. Tuntutan bebas dilakukan dalam hal kesalahan terdakwa tidak terbukti, unsur tindak pidana tidak terpenuhi, dan/atau pembuktian yang dihadirkan di persidangan tidak memiliki kekuatan pembuktian atau perolehan dua alat bukti dilakukan secara tidak sah. Salah satu faktor jaksa penuntut umum dalam mengajukan tuntutan bebas adalah karena adanya perubahan fakta persidangan dan fakta penyidikan. Selain itu, tuntutan bebas dilakukan dalam rangka supremasi hukum dan perlindungan hak asasi manusia.
Prosecutor has an important role in law enforcement, especially criminal justice. One of these important roles is the authority to prosecute or not prosecute a case to court, which is known as dominus litis or case controller. As a dominus litis, the prosecutor's active role starts from the beginning of an investigation, overseeing investigations, supervising the execution of court decisions, as well as other functions related to the public interest. However, the Indonesian criminal justice system tends to reduce the concept of prosecutor dominus litis because it adheres to a system of functional differentiation. This can be seen from the definition of prosecution which is only interpreted as an act of delegating cases to court. This research will discuss the subsmission of acquittal charges by the prosecutor as a reflection of dominus litis. This research is in the form of normative juridical which will be linked to legal regulations in Indonesia. Based on the research results, it was found that prosecutors in Indonesia can submit acquittal charges in accordance with the Pedoman Jaksa Agung Nomor 24 Tahun 2021 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum. An acquittal charge is made if the defendant's guilt is not proven, the elements of the crime are not fulfilled, and/or the evidence presented at trial does not have the strength of evidence or the acquisition of two pieces of evidence was carried out illegally. One of the factors of the prosecutor in submitting acquittal charges was due to changes in the facts of the trial and the facts of the investigation. In addition, acquittal charge are carried out in the framework of the rule of law and the protection of human rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Ibrahim Imaduddin
"Dalam perjalannya, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia kerap kali menghasilkan suatu hasil yang menimbulkan respon beragaram di kalangan masyarakat. seperti contohnya kasus nenek minah dan kasus kakek samirin yang dilimpahkan ke tahapan persidangan dan menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat. Kejadian tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah Sistem Peradilan Pidana di Indonesia sangat bersifat punitif atau mengedepankan pembalasan. Apabila kita melihat ke dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) diketahui bahwa Kejaksaan selaku dominus litis memiliki suatu wewenang untuk melakukan penyaringan atau menentukan apakah suatu perkara layak atau tidak untuk dilimpahkan ke tahapan persidangan. Proses ini kemudian dilakukan melalui suatu mekanisme penghentian penuntutan yang diatur di dalam Pasal 140 ayat (2) KUHAP. Meskipun begitu, belum terdapat standar dari layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilimpahkan ke tahapan persidangan. Saat ini, telah diterbitkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 (“PERJA 15 Tahun 2020”) yang mengatur mengenai pelaksanaan kewenangan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif. Penelitian ini akan membahas dua permasalahan. Pertama, membahas bagaimana pengaturan Peran dari Penuntut Umum dalam pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif selaku dominus litis dan kedua membahas mengenai bagaimana penerapan keadilan restoratif dalam PERJA 15 Tahun 2020 dan kepastian hukum yang diberikannya terhadap aparat penegak hukum dan para pihak terkait. Bentuk penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif dengan melakukan Analisa terhadap peraturan yang ada dan juga wawancara terhadap beberapa narasumber. Hasil penelitian yang didapatkan adalah bahwa Kejaksaan selaku dominus litis belum diatur lebih jelas mengenai pelaksanaan kewenangan penghentian penuntutan berdasarkan KUHAP, namun melalui PERJA 15 Tahun 2020 pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif telah diatur secara rinci bagaimana pelaksanaan dan persyaratan dalam melakukan kewenangan tersebut. Selain itu juga, diketahui bahwa terhadap aparat penegak hukum PERJA 15 Tahun 2020 telah memberikan kepastian hukum terhadap pelaksaan dari kewenangan tersebut dan terhadap para pihak yang menginginkan perdamaian PERJA 15 Tahun 2020 telah memberikan kepastian hukum tersebut. Meskipun begitu, didapatkan hasil bahwa penerapan konsep dari Keadilan Restoratif dalam PERJA 15 Tahun 2020 masih belum sempurna karena seakan-akan masih mengesampingkan pemulihan terhadap Pelaku dan Pihak lainnya yang terkait dan hanya memfokuskan pemulihan terhadap Korban saja.
In its journey, the criminal justice system in Indonesia often produces a result that raises mixed responses among the public. Such as the case of Minah and the case of Samirin which were transferred to the trial stage and caused negative reactions from the community. This incident raises the question of whether the criminal justice system in Indonesia is very punitive or prioritizes retaliation. If we look into the Indonesian criminal procedure code (KUHAP), it is known that the State Prosecutors as the dominus litis have the authority to filter or determine whether a case is appropriate or not to be transferred to the trial stage. This process is then carried out through a mechanism for stopping prosecution by the state prosecutors as regulated in article 140 paragraph (2) of the Criminal Procedure Code. Even so, there is no standard yet on whether or not a case is appropriate to be transferred to the trial stage. Currently, the Prosecutors Regulation Number 15 of 2020 (PERJA 15 of 2020) has been issued which regulates the implementation of the authority to terminate prosecution based on restorative justice. This research will discuss two problems. First, it discusses how the regulation on the role of the public prosecutor in implementing the termination of prosecution based on restorative justice as dominus litis and secondly discusses how the implementation of the restorative justice concept in PERJA 15 2020 and the legal certainty it provides to law enforcement officers and related parties. The form of research used is normative juridical with descriptive research by analyzing existing regulations and also interviewing several sources. The results of the research obtained are that the State Prosecutors as dominus litis has not been regulated more clearly regarding the implementation of the authority to terminate prosecution under the criminal procedure code, but through the implementation of PERJA 15 2020, the execution of termination of prosecution based on restorative justice has been regulated in details on how the implementation and requirements in exercising this authority. In addition, it is known that PERJA 15 2020 has provided legal certainty for the implementation of this authority by state prosecutors and for those who want to solve their problems with a restorative approach. Even so, It was found that the application of the restorative justice concept was still not perfect because it seemed as if it still ruled out the recovery or the restorative of the perpetrators and other parties involved and only focused on the restorative for the victim."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Inten Kuspitasari
"Pidana mati di Indonesia diberlakukan sejak zaman penjajahan Belanda hingga sekarang, tetapi dalam pelaksanaannya banyak penundaan eksekusi pidana mati yang cukup lama bahkan sampai bertahun-tahun lamanya, sehingga membuat asumsi tidak adanya kepastian hukum bagi penerapan pelaksanaan eksekusi pidana mati. Dan pejabat yang mempunyai kewenangan dalam pelaksanaan pidana mati adalah Jaksa. Metode yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum yuridis normative. Penundaan pelaksanaan eksekusi pidana mati dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya: Faktor Substansi Hukum (Perundang-undangan), Faktor Penegakan Hukum (Struktur Hukum) serta Faktor Sarana dan Fasilitas. Saran yang dapat diberikan yaitu agar pembuat undang-undang dan para penegak hukum agar segera membuat aturan yang mengatur tentang adanya batasan waktu dalam mengajukan pelaksanaan eksekusi pidana mati guna memperlancar eksekusi pidana mati sehingga memperoleh kepastian hukum yang jelas.
Capital punishment in Indonesia has been in effect since the Dutch colonial era until now, but in practice there are many delays in the execution of the death penalty which is quite long even for years, thus making the assumption that there is no legal certainty for the implementation of the execution of capital punishment. And the official who has the authority in carrying out capital punishment is the Prosecutor. The method used in writing this law is normative juridical research. Postponement of the execution of capital punishment can occur due to several factors, including: egal Substance Factor (Invitation Act), Law Enforcement Factor (Legal Structure) and Facilities and Facilities Factors. Suggestions that can be given are for lawmakers and law enforcers to immediately make rules governing the existence of time limits in proposing the execution of capital punishment in order to facilitate the execution of capital punishment so as to obtain clear legal certainty."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Kevin Yzaga
"Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional turut menyadari akan dampak dari narkotika dan psikotropika bagi kehidupan dan kelangsungan masa depan bangsa, secara nasional menyatakan perang terhadap narkotika dan psikotropika dengan membentuk aturan hukum untuk menjerat pelaku tindak pidana narkotika dan psikotropika ini. Terdapat dua undang-undang yang dapat menjadi rujukan berkaitan dengan Narkoba, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika selanjutnya disebut UU Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika selanjutnya disebut UU Narkotika. Eksekusi pidana mati terhadap 6 terpidana kasus narkotika pada tanggal 18 Januari 2015 menimbulkan reaksi pro dan kontra dari beberapa kalangan. Penerapan hukuman mati merupakan politik hukum nasional suatu negara. Politik hukum nasional adalah arah yang harus ditempuh dalam pembuatan dan penegakan hukum serta upaya menjadikan hukum sebagai proses guna mencapai cita-cita dan tujuan bangsa dan negara, cita hukum dan kaidah penuntun hukum di Indonesia sebagaimana terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut UUD NRI 1945 , yang menempatkan Pancasila sebagai paradigma politik hukum dan merupakan platform kehidupan bersama bagi bangsa Indonesia yang sangat majemuk dan tetap terikat erat sebagai bangsa yang bersatu.
Indonesia, as part of the international community is aware about the impact of narcotics and psychotropic to the life and future of the nation, it has declared war on narcotics and psychotropic by forming the rule of law to ensnare the narcotic and psychotropic crimes rsquo perpetrators. There are two laws that can be referred related to Narcotics Drugs, Law Number 5 Year 1997 on Psychotropic hereinafter referred to as Psychotropic Law and Law Number 35 Year 2009 on Narcotics hereinafter referred to as Narcotics Law .Narcotics and Psychotropic are included as Special Crime and the Court is still granted death penalty over criminal charges based on Narcotics and Psychotropic Laws. The execution of death penalty on 6 convicted drug cases on January 18, 2015 causing pro and contra reactions from several perspective.In national legal politics rsquo perspective, it defines as the direction that must be taken by law makers and in law enforcement as well as an effort to make the law as a process to achieve the goals of the nation and state, legal ideals and legal guiding principles in Indonesia as contained in the Preamble of the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 hereinafter referred to as UUD 1945 , which positions Pancasila as a legal political paradigm and is a platform of common life for a very diverse nation of Indonesia and remains closely bound as a unite nation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T49704
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Sidharta Praditya Revienda Putra
"Tesis ini membahas mengenai pro dan kontra yang muncul seiring dengan perdebatan mengenai pidana mati dilihat dari falsafah pemidanaan serta pelaksanaannya. Louk H.C. Hulsman, seorang sarjana hukum Belanda, menghubungkan pidana dan sistem peradilan pidana dengan menggunakan pendekatan kemanusiaan dan rasionalistik. Pendekatan Hulsman tersebut digunakan penulis untuk melihat apakah tujuan pemidanaan pidana mati sebagaimana the law on the books akan dapat diwujudkan dalam pelaksanaannya sebagai the law in action dan bagaimana pengaturan pidana mati dalam pembaharuan hukum Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif, yang mengumpulkan dan mengolah data dari data kepustakaan serta dianalisa menggunakan pendekatan filsafat hukum (legal philosophy approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konsep (conceptual approach) dengan metode analisa deskriptifkualitatif, sehingga hasil yang diperoleh setalah dilakukan analisa hasil penelitian adalah kesimpulan bahwa falasafah pemidanaan pidana mati adalah retributif dan untuk mencegah masyarakat (potential offender) agar tidak melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati (teori prevensi umum/general deterrence) yang diwujudkan oleh sistem peradilan pidana saat ini tidak akan pernah mencapai tujuannya. Pengaturan pidana mati dalam pembaharuan hukum Indonesia lebih rasional dan manusiawi serta dimungkinkan sistem peradilan pidana dapat mewujudkan tujuan pemidanaan dari pidana mati yaitu demi pengayoman masyarakat yang menitikberatkan pada pencegahan (deterrent) dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum.
The thesis examines pros and cons which often appearing along with the debate on death penalty seen from the philosophy and the punishment. Louk H.C. Hulsman, a Dutch jurist and criminologist, relates crimes and criminal justice system using humanitarian and rationalistic approach. The Hulsman approach was used to see whether the purpose of the death penalty as the aw on the books can be implemented as the law in action. In this case, the study sees criminal justice system as a process and death penalty arrangement in Indonesian law reform. The method used was normative research which collected and processed data taken from legal philosophy approach, statute approach, and conceptual approach with qualitative-descriptive analysis method. This study concluded that the philosophy of death penalty was retributive. In addition, it was to warn the society (potential offender) committing crimes charged with death sentence (general deterrence theory). The existing criminal justice system will never be able to reach the philosophy of death penalty mentioned above. The new Indonesian Criminal Law s more rational and humane and there is a possibility for the criminal justice system to actualize the purpose of death penalty that is the society protection emphasizing on the deterrence of committing crimes by upholding legal norms."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28576
UI - Tesis Open Universitas Indonesia Library
Hood, Roger G.
Oxford: Oxford Univesity Press, 2015
364.66 HOO d
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Risa Maulida Haekal Sani
"Relevansi hukuman mati masih menjadi pertanyaan besar dan masih menjadi kontroversi hingga saat ini, perkara ini memiliki pendukung dan penentang baik di kalangan ahli hukum pidana maupun para pendukung Hak Asasi Manusia dengan argumentasinya masing-masing. Tugas karya akhir ilmiah ini menggunakan metode analisis deskriptif dengan membahas konsep kekuasaan yang digagas Michel Foucault. Bagaimana kekuasaan bekerja dalam masyarakat, keterikatan antara relasi kuasa dan hukuman. Menganalisis proses evolusi terjadinya penghukuman hingga sampai pada penghukuman mati. Proses kognisi manusia menciptakan hukum melalui pelaksanaan hukuman, hingga sampai pada kesimpulan non-hukuman mati. Hukuman mati tidak memperkecil efek kriminalitas di masyarakat. Negara tidak layak dan tidak berhak untuk menghukum mati seseorang, hukuman seharusnya tidak menggunakan penderitaan sebagai tujuan sosial. Sebaliknya, hukuman seharusnya sebagai cara untuk memberi manfaat bagi mereka yang mengalaminya, sebagai cara untuk membantunya memperoleh pengetahuan moral.
The relevance of the death penalty is still a big question and is still controversial to this day, this case has supporters and opponents from both criminal law experts and human rights advocates with their respective arguments. This scientific final project uses descriptive analysis method by discussing the concept of power which was initiated by Michel Foucault. How power works in society, the relationship between power relations and punishment. Analyzing the evolutionary process of punishment to the death penalty. The process of human cognition creates law through the implementation of punishment, until it comes to a non-death penalty. The death penalty does not reduce the effect of crime on society. The state does not deserve and does not have the right to sentence someone to death, punishment must not use suffering as a social goal. Rather, punishment should be a way to benefit those who experience it, as a way to help them acquire moral knowledge."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Hood, Roger G.
New York: Clarendon Press Oxford, 1996
345 Hoo d
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Muhamad Fauzan Haryadi
"Tesis ini membahas tentang upaya hukum peninjauan kembali oleh korban dan penuntut umum. Praktik peradilan terkait upaya hukum peninjauan kembali telah dilakukan oleh korban baik dalam kualitasnya sebagai saksi korban, pihak ketiga yang berkepentingan maupun Penuntut Umum yang mewakili korban dan negara. Perbedaan dalam penafsiran ekstensif dari pemberian hak peninjauan kembali oleh MA khususnya terhadap upaya hukum peninjauan kembali oleh korban dalam kualitasnya sebagai saksi korban yang dinyatakan tidak dapat diterima mendorong penulis untuk melakukan penelitian terkait permasalahan kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, alasan apa yang mendasari Mahkamah Agung menyatakan permohonan upaya hukum peninjauan kembali oleh saksi korban tidak dapat diterima serta bagaimana peluangnya di masa mendatang.
Hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa secara teoritis dan praktik kedudukan korban masih sangat terasing dan diasingkan dalam sistem peradilan yang kita anut sekarang. Terhadap upaya hukum oleh korban dalam kualitasnya sebagai saksi korban Mahkamah Agung belum menerima secara formal atas dasar korban tidak mempunyai legal standing dalam perkara pidana. Berdasarkan atas pertimbangan rasa keadilan dan asas keseimbangan dengan menggunakan landasan perspektif posisi sentral korban dan pergeseran sistem peradilan pidana seharusnya selain Penuntut Umum dalam kapasitasnya mewakili korban, masyarakat umum, bangsa dan negara, serta korban dalam kualitasnya sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, maka korban dalam kualitasnya sebagai saksi korban juga beralasan untuk diberikan hak mengajukan peninjauan kembali. Guna memberi landasan yang kuat bagi korban agar dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali dikemudian hari, ketentuan Pasal 263 KUHAP sebagai dasar pengajuan permintaan peninjauan kembali perkara pidana perlu direvisi dan dilenturkan sedemikian rupa sehingga juga bisa memberikan hak kepada korban kejahatan maupun keluarganya untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.
This thesis discusses review appeals by victims and prosecutors. The practice of judicial review appeals have been made by the victim both in quality as witnesses, interested third parties and the public prosecutor representing the victims and the state. Differences in interpretation of the extensive granting review appeals by the Supreme Court in particular to effective judicial review appeals of the victim in the victim's quality as a witness cannot be accepted encourage writers to do some research problems related to the position of the victim in the criminal justice system in Indonesia, what is the underlying reason for the Supreme Court request review appeals of legal action by the victims cannot be accepted and how the chances in the future. The results concluded that the theoretical and practical position of the victim is very isolated and ostracized in the justice system that we embrace today. Against legal action by the victim in the victim's quality as a witness Supreme Court has not received a formal on the basis of the victim haven't a legal standing. According to the sense of justice and the principle of balance by using runway perspective of the central position of victims and the criminal justice system should shift other than prosecution General in his capacity representing the victims, the general public, state and nation, as well as victims in quality as an interested third parties, the victim in the victim's quality as a witness was also given the right reasons to submit a review. In order to provide a strong foundation for victims to apply for review appeals in the future, the provision of Article 263 of the Criminal Procedure Code as the basis for reconsideration filing criminal cases need to be revised and bent in such a way that it can also give rights to victims of crime or their families to apply for review appeals."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T33051
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library