Teknologi finansial sedang berkembang beberapa tahun belakangan, termasuk di Indonesia, yang juga telah meregulasi sektor jasa keuangan ini. Salah satu jenis teknologi finansial tersebut adalah layanan peer-to-peer lending, yakni skema pemberian pinjaman yang menggantikan peran bank konvensional sebagai lembaga perantara. Kendati demikian, jasa keuangan ini memiliki risiko seperti gagal bayar dan berhentinya kegiatan usaha penyelenggara. Meskipun angka non-performing loan peer-to-peer lending di Indonesia masih terbilang kecil, namun tetap menunjukkan peningkatan. Skripsi ini merupakan penelitian untuk meninjau dan memperbandingkan pengaturan tanggung jawab penyelenggara peer-to-peer lending di Indonesia dengan Inggris dan India dalam hal penerima pinjaman wanprestasi, dan dalam hal penyelenggara berhenti melakukan kegiatan usaha. Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif studi perbandingan hukum, dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder dengan didukung hasil wawancara dengan narasumber. Hasil penelitian menunjukkan ketiga negara tersebut memiliki persamaan dan perbedaan dalam mengatur tanggung jawab penyelenggara. Terdapat perbedaan, yakni dalam mengatur dasar tindakan penagihan utang, keterbukaan informasi, jaminan, tanggung jawab dalam hal penerima pinjaman wanprestasi, dan prosedur dalam hal kegiatan usaha berhenti. Setelah melakukan perbandingan, ditemukan bahwa pemerintah Indonesia harus mengadakan perubahan terhadap peraturan yang ada saat ini untuk memberikan ketentuan yang lebih spesifik mengenai tanggung jawab penyelenggara dalam hal penerima pinjaman wanprestasi maupun dalam hal penyelenggara berhenti beroperasi.
Financial Technology is emerging in the past several years, including in Indonesia, which also has regulated this financial service sector. One of the financial technology is peer-to-peer lending, a lending scheme which replace the role of coventional bank as an intermediary. However, this financial service has potential risk such as default or the closure of business operation. Although the number of non-performing loan is relatively small, it increases. This thesis is a study to review and compare peer-to-peer lending’s platform liability in Indonesia against those in UK and India in case of borrowers’ default and in case of platfom ceases to do its business activity. The method used in this thesis is juridical normatif comparative analysis, by conducting research to library materials or secondary data, and supported by interview with informants. The research result indicates the three countries have similarities and differences in regulating platform’s liability. There are differences in the provisions regarding debt collection, information disclosure, mortgage, platform’s liability India in case of borrowers’ default, and procedure in case of platfom ceases to do its business activity. After makung the relevant comparison, it is found that Indonesian government needs to ammend current regulation to provide provision on platform’s liability, both ex-ante and ex-post, in case of borrowers’ default and in case of platform ceases to operate.
"Pasal 1 Angka (1) Jo. Angka (10) Undang-undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatur bahwa OJK berwenang untuk mengawasi Lembaga jasa keuangan lainnya di Indonesia, yang salah satunya adalah Penyelenggara Peer to Peer lending (P2P lending) sebagaimana yang diatur berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) nomor 77 / POJK.01 / 2016 (POJK 77/2016). Dalam penelitian ini Penulis menggunakan contoh praktek bisnis Penyelenggara P2P lending untuk menentukan apakah POJK 77/2016 telah cukup untuk mengatur penyelenggaraan P2P lending di Indonesia, khususnya terkait hubungan hukum antara Penyelenggara, Pemberi Pinjaman, dan Penerima Pinjaman, serta peran dan tanggung jawab Penyelenggara sebagai perantara terhadap investor dan peminjam. Dalam penelitian ini Penulis menggunakan metode penelitian yuridis-normatif. Adapun penelitian ini telah menghasilkan kesimpulan bahwa POJK 77/2016 sebagai salah satu instrumen hukum yang khusus ditujukan untuk mengatur penyelenggaraan P2P lending di Indonesia hanya mengatur perihal pihak yang terlibat dalam perjanjian, yakni pemberi & penerima pinjaman, serta penyelenggara. Dengan demikian, masih diperlukan aturan yang mengatur secara lebih spesifik P2P lending di Indonesia, sehingga dapat mencegah kemungkinan terjadinya pelanggaran hukum akibat adanya “kekosongan hukum” dalam aturan yang ada.
Article 1 Number (1) Jo. Number (10) of Law Number 21 of 2011 concerning the Financial Services Authority (OJK) stipulates that the OJK has the authority to supervise other financial service institutions in Indonesia, one of which is the Operator of Peer to Peer Lending (P2P lending) as regulated under the provisions of Article 2 paragraph ( 1) Financial Services Authority Regulation (POJK) number 77 / POJK.01 / 2016 (POJK 77/2016). In this research, the Author uses examples of P2P lending Operator business practices to determine whether POJK 77/2016 is sufficient to regulate the implementation of P2P lending in Indonesia, specifically related to the legal relationship between the Operator, Lenders, and Loan Recipients, as well as the roles and responsibilities of the Operator as an intermediary against investors and borrowers. In this research the Author uses juridical-normative research methods. The research has concluded that POJK 77/2016 as one of the legal instruments specifically intended to regulate the implementation of P2P lending in Indonesia only regulates the parties involved in the agreement, namely the lender & recipient of the loan, as well as the organizer. Thus, rules are still needed that govern more specifically P2P lending in Indonesia, so that it can prevent possible violations of the law due to the "legal vacuum" in the existing rules.
"