Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 49364 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Edy Yuli Nurcahyono
"Masalah direktur nominee menjadi fenomenal karena dalam aturan hukum Indonesia belum mengakomodasi keberadaannya tetapi prakteknya digunakan. Rumusan masalah adalah bagaimana pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana, bagaimana pertanggungjawaban pidana direktur nominee dalam tindak pidana pencucian uang, bagaimana analisa terhadap putusan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh korporasi serta direktur nominee. Jenis penelitian dalam penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau doktrinal. Pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana, suatu korporasi dapat bertanggung jawab melaui pengurusnya maupun korporasinya berdasarkan teori coorporate organ. Disebutkan dalam Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung No 13 Tahun 2016 bahwa pertanggungjawaban dari korporasi sendiri didasarkan dari pada undang-undang yang mengaturnya. seorang direktur nominee walaupun namanya dipinjam tetap saja seorang direktur nominee tersebut melanggar Pasal 4 Undang-Undang No 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam hukum pidana direktur nominee adalah orang yang turut serta melkukan kejahatan sesuai dengan Pasal 55 Ayat 1 KUHP. Putusan Nomor :211/Pid/2012/Pt.Dki Dan Putusan Nomor : 76 Pk/Pid.Sus/201 terhadap tindak pidana pencucian uang tersebut, pelaku menggunakan korporasi untuk melakukan tindak pidana pencucian uang. Pertanggungjawaban pidananya semua diwakili oleh pengurus korporasi baik direktur biasa maupun direktur nominee tanpa adanya sanksi bagi korporasinya. Saran yaitu penegak hukum kesulitan memeriksa pelaku money laundering yang melibatkan korporasi, penegak hukum sebaiknya juga ikut memeriksa anggaran dasar perusahaan untuk membuka segala macam hal-hal yang tersembunyi di perusahaan tersebut.
Pertanggungjawaban Direktur Nominee Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Direksi dalam sebuah perusahaan dapat diibaratkan sebagai pemimpin perusahaan. Direksi dapat dijadikan sebagai ldquo korban rdquo apabila direksi tidak mengetahui sejauh mana pertanggung jawaban dari seorang direksi. Terlebih lagi, jika posisi direksi dalam perusahaan tersebut hanyalah sebagai ldquo direktur nominee rdquo . Direksi PT jelas bertanggung jawab penuh, tentunya akan membawa dampak munculnya implikasi hukum terhadap pertanggungjawaban Direksi ketika suatu korporasi melakukan tindak pidana baik pelanggaran maupun kejahatan. Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah 1 Bagaimana pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana, 2 Bagaimana pertanggungjawaban pidana direktur nominee dalam tindak pidana pencucian uang, Bagaimana analisa terhadap putusan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh korporasi serta direktur nominee, metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif. Korporasi privat dapat berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum. Korporasi yang berbadan hukum diwakili oleh pengurusnya dan tanggung jawab pemegang sahamnya sebatas modal yang dimiliknya. Untuk yang tidak berbadan hukum tanggung jawabnya tidak terbatas, serta sistem pertanggungjawabanya adalah secara tanggung renteng. Untuk pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana, suatu korporasi dapat bertanggung jawab melaui pengurusnya maupun korporasinya yang dapat berupa denda atau pembubaran korporasi tersebut. Dalam kedudukannya di Perseroan Terbatas tugas dan fungsi direktur nominee tidak disebutkan di dalam Undang Undang No 40 Tahun 2007. Dalam tindak pidana korporasi khususnya tindak pidana pencucian uang, seorang direktur nominee walaupun namanya dipinjam tetap saja seorang direktur nominee tersebut melanggar Pasal 4 Undang Undang No. 8 Tahun 2010. Ada tiga contoh putusan yang melibatkan korporasi, direktur nominee yaitu 1 Putusan Nomor 211 PID 2012 PT.DKI 2 Putusan Nomor 76 PK Pid.Sus 201. Saran penulis Direktur dalam pengurusan perusahaan sebaiknya lebih mementingkan kepentingan perusahaan di atas kepentingan lainnya. Dalam kasus direktur pinjam nama direktur nominee sebaiknya menggunakan perjanjian tertulis kepada orang yang meminjam nama tersebut."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T49724
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Ghozi
"Skripsi ini membahas pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana pencucian uang. Korporasi Tidak dikenal sebagai subjek hukum pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Namun Korporasi diakui sebagai subyek hukum pidana melalui undang-undang di luar KUHP. Salah satu undang-undang yang mengakui korporasi sebagai subyek hukum adalah Undang-Undang No. 08 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk dapat mengetahui penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam praktik, belum pernah ada putusan pengadilan yang menjadikan korporasi sebagai subyek hukum dalam tindak pidana pencucian uang. Walaupun hampir semua kegiatan pencucian uang melibatkan korporasi. Sebagai contoh dalam kasus PT. Ilhung Muliasarana, jika melihat uraian dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum maka sebenarnya PT. Ilhung Muliasarana dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana sebagai korporasi dalam kasus tindak pidana pencucian uang. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana bentuk keterlibatan korporasi dalam tindak pidana pencucian uang dan bagaimana penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana pencucian uang.

This study discusses corporate criminal liability in money laundering. Corporation is known not as the subject of criminal law in the Code of Penal (Penal Code), but Corporation is recognized as a subject of criminal law through legislation outside the Criminal Code. One law that recognizes corporations as subjects of law is Act No. 08 of 2010 on the Prevention and Combating of Money Laundering. The aim of this study was to ascertain the application of corporate criminal liability in Money Laundering. In practice, there has never been a court decision that makes corporations legal subjects in money laundering although almost all money laundering activities involve the corporation. In the case of PT. Ilhung Muliasarana, the description of the charges made by the public prosecutor, PT. Ilhung Muliasarana should actually be accountable for the crime as a corporation in the case of money laundering. This situation raises many questions, such as how to shape the corporation's involvement in money laundering cases and how corporate criminal liability is applied in money laundering."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S60472
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yunus Husein
"Money Laundering it considered as a transnational organized crime. T he logic of elimination money laundering it to omit the criminal motivation to enjoy their proceed of crime. The efforts to eliminate money laundering is much related to the issues of national jurisdiction. Thus, it requires international cooperation among countries, where international law is needed Even though there is still no specifyc convention about money laundering, but regulation about money laundering is* partially arranged in some conventions such os Wanna Convention l988 and in UN Convention on Transnational Organized Crimes 2000. ,indonesia has enected a regulation about money laundering that is' UU no. I5 year of.2000, which is amended by no. 25 year of 2003. This article will describe the implementation of international law on money laundering in Indonesia and the reason why Indonesia it still included in the list of non-cooperatives countries and territories (NCCI)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
JHII-1-2-Jan2004-342
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
T. Indra Junardi
"Penerbitan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 23. Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) ternyata belum dapat membatasi ruang gerak peredaran uang haram melalui perbankan yang beroperasi di Indonesia, namun disamping itu juga berdampak positif dan negatif terhadap Penanaman Modal Asing. Semua pihak masih pesimis apakah undang-undang ini akan mampu mengurangi praktik pencucian uang di Indonesia. Pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah apa hubungan Undang-Undang No.15 Tahun 2002 jo Undang-Undang No.25 Tahun 2003 dengan PMA di Indonesia, dan apa yang menjadi dampak Positif dan Negatif dari pemberlakuan Undang-Undang anti Money Laundering terhadap Penanaman Modal Asing, dan bagaimana cara memecahkan masalah tersebut. Tujuan penulisan ini adalah: mencoba untuk memberikan data dan analisa tentang investasi oleh Penanaman Modal Asing di Indonesia; bagaimana upaya untuk mempertahankan dan menarik Penanaman Modal Asing di Indonesia. Penulisan ini dilakukan dengan metode penelitian yang bertitik tolak pada penulisan secara desktiptif analitis. Data yang diperoleh meliputi literature hukum, data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), data dari BPS, pendapat ahli hukum yang ditulis dalam Koran ataupun buku serta peraturan perundang¬undangan yang berkaitan dengan masalah Tindak Pidana Pencucian Uang dan wawancara langsung dengan narasumber di BKPM. Penanggulangan dampak negatif UU Money Laundry yaitu dengan menjaga investasi asing yang ada dan menarik investasi asing yang baru dengan melaksanakan kebijakan yang menyeluruh, menjamin para investor yang menanamkan modal, membangun hubungan yang baik dengan investor, memberikan jaminan keamanan, dan menetapkan kebijakan moneter yang menjamin kestabilan mata uang."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T18889
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Gani Jaya
"Kejahatan kerah putih (white color crime), layaknya dunia bisnis, sudah tidak lagi mengenal batas negara. Bahkan uang hasil kejahatan dari sebuah negara dapat ditransfer ke negara lain dan diinvestasikan ke dalam berbagai bisnis yang sah. Kegiatan ini disebut sebagai praktik pencucian uang (money laundering). Dengan dimungkinkannya praktik pencucian uang maka memberi peluang bagi pelaku kejahatan untuk terus melakukan tindakan kejahatannya. Untuk mencegah ini maka setiap negara diharapkan mempunyai aturan yang melarang uang hasil kejahatan untuk ditanamkan di berbagai bidang usaha yang sah. Indonesia menjadi salah satu negara yang dari para pelaku kejahatan kerah putih untuk melakukan pencucian uang. Hal ini disebabkari karena pertama, Indonesia selama ini belum memiliki ketentuan yang mengatur larangan bank atau pelaku bisnis untuk menerima uang hasil kejahatan. Tidak ada ketentuan yang membolehkan pelacakan dari mana uang tersebut diperoleh tetapi justru memiliki sistem kerahasiaan perbankan yang ketat, dan kedua, para pelaku kejahatan melihat banyaknya peluang bisnis yang sah yang mereka dapat masuki. Apalagi dengan keterpurukan perekonornian Indonesia belakangan ini dan kebutuhan Indonesia untuk mendatangkan investor asing yang telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang menarik untuk dimasuki. Praktik kejahatan pencucian uang selalu dikaitkan atau dihubungkan dengan institusi perbankan dan proses pencucian uang ini dilakukan melalui tiga fase, yaitu: placement, layering, dan integration. Fase pertama, placement, dimana pemilik uang tersebut menempatkan dana haramnya ke dalam sistem keuangan (financial system), melalui bank. Dan satu bank kemudian dipindahkan ke bank yang lain (acount to acount}, dan dari satu negara ke negara yang lain (state to state) maka uang haram tersebut telah menjadi bagian dalam satu jaringan keuangan global (global finance). Dengan demikian bank merupakan pintu utama dari fase pertama tindak kejahatan money laundering. Fase kedua, layering, dimana pemilik dana telah memecah uang haramnya ke dalam beberapa rekening dan antar negara. Hal dilakukan untuk menghindari kecurigaan otoritas moneter mengenai jumlah uang yang demikian besar menjadi beberapa rekening dengan nilai nominal yang relatif, tidak mencurigakan juga diatasnamakan beberapa nasabah yang tidak saling mengenal satu sama lain. Pemecahan ke dalam beberapa lapis nasabah melalui beberapa lapis rekening antarbank antarnegara maka tindakan ini disebut pelapisan dengan maksud menyamarkan atau menyembunyikan asal-usul dana tersebut. Fase ketiga integration, dilakukan setelah proses layering berhasil mencuci uang haram tersebut menjadi uang bersih (clean money), untuk selanjutnya dapat digunakan dalam kegiatan bisnis atau kegiatan membiayai organisasi kejahatan (crime organization) yang mengendalikan uang tersebut."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
T17285
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aya Yahya Maulana
"Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) semakin marak dibahas karena praktiknya sudah masuk ke berbagai sektor, termasuk non perbankan seperti organisasi kemasyarakatan. Di lain sisi, wakaf uang menjadi wacana yang sangat menarik dan banyak diperbincangkan karena potensinya yang sangat besar dan fleksibilitasnya dalam memudahkan siapa saja untuk berwakaf. Akan tetapi dalam praktiknya, wakaf uang tidak luput dari adanya potensi pencucian uang. Wakaf uang yang dilakukan melalui Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) dinilai lebih aman dari pencucian uang karena regulasi yang memadai. Di sisi lain, wakaf uang yang dilakukan secara langsung tanpa melalui bank, dan dilakukan dalam bentuk tunai memiliki potensi terjadinya pencucian uang karena belum ada aturan khusus mengenai hal ini. Dalam melakukan penelitiannya, peneliti menggunakan metode yuridis-normatif.
Peneliti melihat penting adanya aturan khusus untuk mencegah pencucian uang pada wakaf uang yang dilakukan secara langsung, seperti adanya aturan untuk mengenal pemberi wakaf, dan aturan pelaporan nazhir kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa dinilai sukses untuk mencegah terjadinya Pencucian Uang pada transaksi Wakaf uang yang dilakukan melalui perbankan. Akan tetapi, wakaf uang yang dilakukan secara langsung memiliki celah untuk disalahgunakan sebagai sarana melakukan pencucian uang. Dalam hal ini PPATK memiliki peran penting untuk mencegah terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang, baik dalam transaksi wakaf uang yang dilakukan melalui bank ataupun yang dilakukan secara langsung.

Money Laundering increasingly prevalent discussed because it has entered into various sectors, including non-banks, such as community organizations. On the other side, cash waqf became a very interesting discourse and a lot of discussion because its potential is huge and the flexibility makes it easier to do so. However, in practice, cash waqf is not spared from the potential for money laundering. Cash waqf made through Islamic Financial Institutions Recipients of Cash Waqf (LKS-PWU) is considered more secure from money laundering for adequate regulation. On the other side, cash waqf made directly without going through a bank, and done in cash has the potential for money laundering because there are no specific rules on this matter. In conducting the study, researcher used a method of juridical-normative.
Researcher looked at the importance of establishing specific rules to prevent money laundering in cash waqf which made directly, such as the rule to recognize donors and reporting rules to the Financial Transaction Reports and Analysis Centre (PPATK). Applying know your customers principle assessed a success in order to prevent money laundering in cash waqf transactions conducted through banks. However, cash waqf made directly have a gap to be abused as a means of money laundering. In this case, PPATK has an important role to prevent Money Laundering, in both cash waqf transactions, conducted through banks or conducted directly.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46215
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Citra Nugraheni
"Tindak pidana pencucian uang adalah suatu kejahatan yang disamping dapat sangat merugikan masyarakat juga sangat merugikan negara karena dapat merusak stabilitas perekonomian nasional serta dapat meningkatkan berbagai kejahatan lainnya. Penegakan hukum terhadap kegiatan pencucian uang ini selain dengan telah ditetapkannya undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang mana diubah dengan undang-undang No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan kemudian saat ini telah diganti dengan undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, juga dilakukan dengan proses penyidikan, penuntutan dan persidangan di pengadilan yang pada akhirnya berujung pada sebuah putusan hakim. Penelitian ini adalah penelitian penelitian hukum doktrinal (normatif) dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa Putusan Pengadilan (hakim) dianggap penting bagi para pencari keadilan, masyarakat, korban, pelaku dan juga bagi negara. Dalam bidang perekonomian penegakan hukum melalui putusan Pengadilan (hakim) ini sangat berpengaruh, putusan pengadilan (hakim) yang dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat dan para pihak dapat mempengaruhi minat para investor yang ingin menanamkan modalnya di suatu negara. Penegakan hukum melalui putusan hakim ini dibuat berdasarkan penafsiran yang berbeda-beda antara hakim yang satu dengan yang lainnya, perbedaan ini disebabkan banyaknya faktor-faktor (internal dan eksternal) yang dapat mempengaruhi hakim dalam membuat sebuah putusan, khususnya masalah tindak pidana pencucian uang.
Pada hakikatnya hakim memiliki kemandirian yang penuh dalam menjatuhkan putusan namun kemandirian tersebut haruslah dengan mengusahakan menjalankan profesinya dengan baik agar walaupun tidak dapat menciptakan suatu keadilan seratus persen mutlak tetapi setidaknya ia dapat memuaskan para pencari keadilan dengan alasan dan pertimbangan yang rasional dan bijaksana. Perbedaan penafsiran beserta faktorfaktor yang mempengaruhi hakim tersebut mengakibatkan pula terjadinya disparitas hukuman dalam putusan hakim yang mana sampai saat ini menjadi suatu permasalahan. Masalah disparitas ini tidak dapat dihilangkan, yang dapat dilakukan adalah meminimalisir disparitas tersebut agar tercipta keadilan yang dianggap serasi bagi masyarakat, pencari keadilan, korban dan pelaku itu sendiri.

Money Laundering is a crime which injures not only the society, but also injures the state interest because it could undermine the stability of national economy and could give birth to another crimes. The law enforcement on money laundering has been done by promulgating The Law No. 15 Year 2002 concerning Money Laundering, which had been revised by The Law No. 25 Year 2003 and the latest by The Law No. 8 Year 2010 concerning The Prevention and The Elimination on Money Laundering, investigating, prosecuting, and commencing trial by the court on Money Laundering which later ended up with a court decision. This research is a doctrinal (normative) research which takes qualitative-descriptive analysis.
This research concludes that court (judges) decisions are considered importantly by justice seekers, societies, victims, offenders, and also the state. In the economic sector, the law enforcement through Court (judges) Decisions are influential significantly, court decisions which are considered unreflective of the sense of justice of the society and the concerned parties could affect the pretension of the investors to invest in a country. The law enforcement through court decisions are made by varying interpretations among the judges. These variations are caused by some factors (internal and external) which can affect judge in decision making process, this also occurs in money laundering cases.
Fundamentally, a judge is at full independent when making a decision, even though his independent must be taken coherently to the noble profession of the judge so that he can satisfy the justice seekers, rationally and wisely. Different interpretation along with the judge affecting factors also constitute disparities of sentence on court decisions, which until now still remain a problem. This problem cannot be eliminated, but can be minimized so that a harmonious justice for the societies, justice seekers, victims, and the offenders themselves, can be achieved.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35433
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Athilda H. Sahetapy
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T37586
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haryo Kusumobroto
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan prinsip kerahasian bank di Indonesia dan pelaksanaan prinsip ini dalam kaitanya dengan Tindak Pidana Pencucian Uang.dan bentuk pengecualian ketika terdapat indikasi Tindak Pidana Pencucian Uang yang berkaitan dengan bank serta fungsi PPATK sebagai salah lembaga yang berfungsi untuk mencegah terjadinya praktik Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia.
Penelitian tesis ini menggunakan metode penelitian yang bersifat yuridis normatif. Dengan pendekatan deskriptif analitis. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan, penelitian ini juga menggunakan bahan hukum sekunder yang terdiri dari berbagai macam bahan bacaan yang terkait dengan judul penelitian seperti buku-buku mengenai tindak pidana pencucian uang, artikel - artikel, jurnal - jurnal, literatur lain sebagai pendukung dan peneliti melakukan wawancara dengan kepada pihak yang dianggap kompeten memberikan keterangan mengenai objek yang diteliti.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan penulis, dapat diperoleh kesimpulan bahwa Keberhasilan penerapan Customer Due Diligence (CDD) dan pemenuhan kewajiban pelaporan transaksi keuangan mencurigakan oleh perbankan dan lembaga keuangan lainnya pada dasarnya merupakan penentu awal dari keberhasilan penanganan tindak pidana money laundering. PPATK sebagai lembaga intelijen keuangan sangat membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh aparat yang berwenang melalui analisis laporan-laporan yang diterima PPATK.

The purpose of this research is to understand the implementation of confidentiality principle in Indonesian banks and its implementation with respect to money laundering activities and its exception and the function of Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Center (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan/PPATK) as a governmental body that enforces prevention of money laundering practice in Indonesia.
The nature of this thesis research is normative-judicial while utilizing an analytical-descriptive approach. The primary data collection method is from bibliographical sources, whilst also utilizing data from secondary sources that include books on money laundering subject, articles, journals other supporting literatures and interviews with sources of sufficient competency on the subject.
Analysis conducted by the author concludes that the successfulness of Customer Due Diligence (CDD) and implementation and fulfilment of suspicious financial transaction reporting by banks and other financial institutions basically functions as a preliminary indicator for the successfulness in tackling money laundering activities. PPATK, as a financial intelligent body is nothing short of being helpful in preventing and combating money laundering activities carried out by the authority officials through report analysis received by PPATK.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Cahyaning
"ABSTRAK
Pelaku pencucian uang berusaha menyembunyikan atau menyamarkan
harta kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara
agar sulit ditelusuri oleh aparat penegak hukum. Dalam penulisan tesis ini
terdapat tiga pemasalahan yang dikaji, yaitu: apakah yang dimaksud dengan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dalam tindak
pidana pencucian uang, bagaimanakah pembuktian perbuatan menyembunyikan
atau menyamarkan asal usul harta kekayaan serta bagaimana tipologi perilaku dan
pertimbangan hakim dalam putusan pengadilan terhadap pelaku yang didakwa
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dalam tindak
pidana pencucian uang. Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian yuridis
normatif serta dalam pengolahan dan analisis data menggunakan metode bersifat
kualitatif dengan menguraikan persoalan dan fakta secara tertulis dari bahan
kepustakaan serta didukung oleh wawancara narasumber sebagai penunjang yang
pada akhirnya akan ditarik sebuah kesimpulan. Hasil penelitian menunjukan
terdapat perbedaan antara keduanya namun perbuatan menyembunyikan dan
menyamarkan dapat merupakan suatu gabungan dua kata yang memiliki satu
makna gramatikal yang mana tujuan utamanya adalah menjadikan harta kekayaan
yang berasal dari tindak pidana seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah
sehingga perbuatan tersebut tidak mempunyai daftar limitasi sedangkan
pembuktian perbuatan tersebut dilakukan melalui pendekatan follow the money
yang membutuhkan sumber informasi keuangan. Tipologi perilaku dalam
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dilakukan melalui
pola placement, layering, dan integration serta terdapat ketidakonsistenan hakim
dalam putusan pengadilan terkait dengan perbuatan menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan

ABSTRACT
The criminals tried to conceal or disguise the origin of the assets proceeds
of crime in various ways so it will be difficult to be traced by law enforcers. In
this thesis, three issues were reviewed: what are the elements to conceal or
disguise the origin of the assets in money laundering and how to prove the
elements with the intention to conceal or disguise the origin of the assets in
money laundering, as well as how the typologies of money laundering and the
judge?s consideration in the sentence against the perpetrators charged on
concealing or disguising the origin of the assets in money laundering. This thesis
applied juridical normative research methodology, and applied qualitative method
to process and analyze data by outlining the written issues and facts from
literatures with supported by resource person interviews and analyzing them
which eventually a conclusion will be drawn. The results showed that the meaning
of the act of concealing or disguising, and the author concluded there is a
difference between both of them but deeds of conceal and disguise could be a
combination of two words that have a grammatical meaning which the main
purpose of the act is to make derived-assets from the offense as if it originated
from legitimate activities, so that such actions do not have limitation list, while
the proving of the deeds will be done through ?follow the money? approach that
requires information of financial accounts. Typology of criminal in hiding or
disguising the origin of the assets was carried out through patterns such as
placement, layering and integration, as well as the judges? inconsistency in a
court ruling related to the act of concealing or disguising the origin of the assets"
2016
T45821
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>