Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116919 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lenny Syarlitha Virgasari Sriyanto
"Klausul fair and equitable treatment FET merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap kegiatan investasi asing. Klausul FET tersebut muncul dalam hampir seluruh perjanjian penanaman modal asing antar negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Akan tetapi, klausul FET masih menjadi kontroversi karena definisi dan ruang lingkupnya yang belum diatur secara tegas dalam hukum internasional, sehingga dalam penerapannya, majelis arbitrase yang memeriksa dan memutus sengketa investasi tentang pelanggaran klausul FET menafsirkan klausul FET secara luas. Akibatnya, klausul FET dianggap hanya memihak kepada kepentingan investor asing yang mayoritas merupakan negara maju, dan merugikan kepentingan host state selaku negara yang menerima investasi, yang mayoritas merupakan negara berkembang. Oleh karena itu, diperlukan pembatasan terhadap klausul FET dengan menentukan komponen-komponen yang terkandung dalam klausul FET dan memasukannya ke dalam ketentuan-ketentuan yang lebih spesifik. Selain itu, diperlukan juga keseimbangan antara penerapan klausul FET terhadap negara maju dan negara berkembang, dengan menyesuaikan pada tahap pembangunan negara terkait.

Fair and equitable treatment FET is one of the protection clauses in foreign investment. The FET clause exists in almost all international investment agreements between countries, whether in developed countries or developing countries. However, the existence of the said clause is still an object of controversy, since the meaning and scope of the clause have not been stipulated strictly in international law. As a result, during the implementation, the arbitrators who examine and rule the investment cases regarding breach of the FET clause could interpret the clause widely, resulting in bias that the arbitrators only side with the foreign investors from developed countries, and harm the interest of host states from developing countries. Therefore, the limitation of the FET clause is needed, by deciding the components contained in the FET clause and specify the components into more specific rules. Besides, balance is also needed when implementing the FET clause between developed countries and developing countries, to adjust with the development level currently take place in related countries.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T49485
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Klager, Roland
"A breach of fair and equitable treatment is alleged in almost every investor-state dispute. It has therefore become a controversial norm, which touches many questions at the heart of general international law. Roland Klager sheds light on these controversies by exploring the deeper doctrinal foundations of fair and equitable treatment and reviewing its contentious relationship with the international minimum."
New York : Cambridge University Press, 2011
346.092 KLA f (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Diehl, Alexandra
The Netherlands: Woltrs Kluwer, 2012
346.092 DIE c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Mira
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis prinsip dan standard fair and equitable treatment FET dalam kerangka hukum investasi internasional dan menganalisis interpretasi prinsip FET pada sengketa investasi internasional terutama dalam sengketa yang melibatkan Indonesia untuk kemudian dijadikan suatu pembelajaran dan materi evaluasi bagi kebijakan hukum Indonesia mengenai investasi asing di masa yang akan datang. Prinsip FET sebagai prinsip fundamental dalam hukum investasi internasional sudah dipraktekkan secara global. Tetapi, prinsip yang bertujuan untuk menjaga dan memberikan perlakuan sama rata dan non-diskriminatif terhadap investor dan investasi asing ini tidak luput dari permasalahan hukum. Ragam klausula FET di tiap perjanjian investasi internasional menimbulkan multiinterpretasi mengenai standard keberlakuan FET terutama dalam sengketa investasi internasional. Dalam kerangka hukum investasi internasional terdapat beberapa klasifikasi standard FET: FET sebagai ldquo;FET unqualified rdquo;/FET sebagai autonomous/ independent standard, FET sebagai customary international law minimum standard dan FET mencakup standard lainnya seperti salah satu contohnya full protection and security FPS . Metode penelitian yang digunakan adalah metode doktrinal melalui studi kepustakaan. Melalui penelitian ini, kesimpulan yang diraih adalah klasifikasi FET sebagai customary international law minimum standard merupakan standard yang menjadi preferensi investor dan juga host States dan pengaturan hukum Indonesia mengenai investasi asing masih lemah dan belum berhasil mengakomodir perkembangan hukum investasi internasional. Langkah strategis untuk memperbaiki dan memperkuat pengaturan hukum investasi asing di Indonesia diperlukan agar posisi dan kepentingan Indonesia sebagai host States lebih solid tanpa melanggar hak-hak investor asing terutama hak asasi yang mendasar.

This research aims to scrutinize and to provide answers to three matters the workings of principle of fair and equitable treatment FET within the framework of international investment law, the rationale and approach of FET interpretation in investment disputes, especially those involving Indonesia, and also possible update s or reform s for Indonesia rsquo s future investment policies. Without a doubt, FET has become and is a fundamental principle in international investment law hence its global practice. Contemporary international investment law recognises some FET classifications ldquo FET unqualified rdquo FET as autonomous independent standard, FET as customary international law minimum standard and FET that embraces other standards of treatment such as full protection and security FPS among others. However, FET existence to guard and guarantee equitable and non discriminative measures toward foreign investor and investment is inevitably exposed to legal problem s . Due to different wordings and classifications of FET, different arbitral tribunals subsequently produced multiple interpretations of FET. In essential, the research employs doctrinal method and library based research method. As reflected in the research, one may see that FET as customary international law minimum standard is a much favoured standard by host States and foreign investors alike. One may also see that there are weaknesses in Indonesia foreign investment policies thus strategic moves are necessary to be made in order to update and strengthen Indonesia rsquo s interests and position as host States without putting basic rights of foreign investor in jeopardy.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T47115
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Iqbal Hasan
Depok: Rajawali Pers, 2019
346.092 MUH p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Harkin S. Manta
"ABSTRAK
Kerjasama ekonomi antar negara yang melibatkan perdagangan dan investasi didalamnya akan semakin meningkat. Salah satu pemicu meningkatnya pengaturan perdagangan dan investasi dalam satu perjanjian internasional adalah munculnya NAFTA pada tahun 1993. Ketentuan NAFTA menimbulkan konsekuensi hukum kepada Host State yakni untuk melaksanakan prinsip non-diskriminasi. Dalam Kasus penerapan pajak produk HFCS, Meksiko melakukan tindakan yang tidak konsisten dengan NAFTA terkait ketentuan National Treatment dan Fair and Equitable Treatment (FET). Berdasarkan tindakan tersebut maka muncul sengketa di bidang perdagangan dan investasi dalam kasus yang sama. Kasus ini akan menjadi suatu pembelajaran yang menarik dalam melakukan kerjasama antar negara di bidang ekonomi.

ABSTRACT
Economic Partnership between countries that involved to trade and investment will be increase more. One of the trigger of many agreement that carried trade and investment in it was appears of NAFTA on January 1st 1994. The content of NAFTA caused legal obligation to the Party especially Host State to applied the nondiscrimination principle. In the application of HFCS tax, Mexico did inconsistent action to the NAFTA which are to National Treatment obligation and Fair and Equitable Treatment (FET) obligation. Based on Mexico?s action, that arise conflict both in trade and investment. This case would be interesting lesson in doing economic partnership between countries.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T44843
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anassari Salsabiil
"Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (“IA-CEPA”), adalah perjanjian perdagangan yang baru-baru ini disimpulkan, yang mencakup ketentuan Persyaratan yang Adil dan Berkeadilan, Fair and Equitable Treatment, (“Persyaratan FET”)
sebagai standar perlakuan bagi investor asing, dan klausula Penyelesaian Sengketa Investor-Negara (“PSIN”) sebagai metode penyelesaian sengketa yang disepakati dalam hal timbul perselisihan di antara para pihak. Ada dua poin utama IA-CEPA yang dibahas dalam tesis ini.
Pertama, tesis ini meneliti perbedaan dalam menggunakan Hukum Kebiasaan Internasional tentang Perlakuan Standar Minimum (“PSM”),sebagai standar Persyaratan FET, dan Persyaratan FET hanya terbatas pada Penolakan Keadilan, sebagai dua standar yang
disebutkan dalam IA-CEPA. Kedua, penelitian tentang bagaimana efek yang berbeda dari Persyaratan FET akan mempengaruhi konsistensi antara Persyaratan FET dengan Klausa PSM di IA-CEPA. Melalui metode penelitian hukum normatif yuridis, ditemukan bahwa pertama, Hukum Kebiasaan Internasional PSM akan memberikan cakupan yang lebih luas dari Persyaratan FET di luar hanya penolakan keadilan, dan kedua, bahwa setiap perselisihan
sehubungan dengan Persyaratan FET di IA- CEPA terlepas dari formulasinya akan konsisten dengan Klausa PSIN di IA-CEPA. Dengan demikian, reformulasi tentang Persyaratan FET dalam IA-CEPA disarankan untuk menetapkan batasan yang jelas tentang ruang lingkup Persyaratan FET.

The Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement is a trade agreement recently concluded, which includes the provisions of Fair and Equitable Requirements (“FET Requirements”) as the standards of treatment for foreign investors, and Investor-State Dispute Settlement (“ISDS”) Clause as an agreed dispute resolution in the case that a dispute arise between the parties. There are two key points of the IA-CEPA that is discussed in this thesis. Firstly, this thesis researches the difference in using International Customary Law of the Minimum Standard Treatment as the standards of FET Requirements, and FET Requirements to only limited to a Denial of Justice, as the two standards mentioned in the IA-CEPA. Secondly, the researches on how the different effects of FET Requirements would affect the consistency between the FET Requirements with the ISDS Clause in the IA-CEPA. Through a juridical normative legal research method, it was found that first, the International Customary Law of MST would render a wider scope of FET Requirements beyond only denial of justice, and second, that any dispute in relation with the FET Requirements in the IA-CEPA irrespective of its formulation would be consistent with the ISDS Clause in the IA-CEPA. Thus, a reformulation on the FET Requirements in the IA-CEPA is suggested establish clear limitations on the scope of FET Requirements."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pohan, Mohamad Anindya
"Perawatan yang Adil dan Adil (FET) adalah prinsip yang dikenal di dunia internasional hukum investasi dan juga dikenal dalam hukum perdagangan internasional. FET adalah prinsip itu mengatur tingkat perlakuan pemerintah terhadap investasi dari investor asing. Penelitian ini akan menguraikan FET dengan kebijakan Pemerintah Indonesia yang mensyaratkan divestasi perusahaan modal asing di pertambangan mineral dan batubara menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 beserta peraturan turunannya. Ini Penelitian ini bertujuan untuk: (i) Menentukan pemahaman FET dan penerapan FET dalam hukum investasi; (ii) Mengetahui mekanisme divestasi saham PT perusahaan mineral dan batubara, dan; (iii) Mengakui pelanggaran terhadap prinsip FET tentang perubahan dalam pengaturan divestasi untuk pertambangan mineral dan batubara perusahaan. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif. Secara hukum, kewajiban divestasi harus dilihat sebagai kebijaksanaan dan kewajiban pemerintah dalam melaksanakan mandat konstitusi. Melalui FET, Pemerintah Indonesia secara konsisten menghormati dan menjaga keefektifan
Prinsip FET. Untuk menjaga keseimbangan antara tujuan saham divestasi dan kewajiban untuk menjaga kepastian hukum bagi investor asing, Pemerintah Indonesia perlu menyeimbangkan kewajiban untuk mengeksploitasi alamnya sumber daya sebanyak mungkin dengan kewajiban untuk memberikan kepastian hukum untuk investor. Oleh karena itu, perubahan peraturan yang berkelanjutan akan membuka risiko a arbitrase mengklaim dasar tidak adanya kepastian hukum.

Fair and Just Care (FET) is an internationally recognized principle investment law and also known in international trade law. FET is that principle regulates the level of government treatment of investment from foreign investors. This research will elaborate on FET with the policies of the Government of Indonesia which
requires divestment of foreign capital companies in mineral and coal mining according to Law Number 4 of 2009 and its derivative regulations. This This study aims to: (i) Determine FET understanding and application FET in investment law; (ii) Knowing the mechanism for the divestment of shares of PT mineral and coal companies, and; (iii) Recognize violations of FET principles
about changes in divestment arrangements for mineral and coal mining company. The research method used is juridical-normative. Legally, divestment obligations must be seen as discretion and obligation the government in carrying out the constitutional mandate. Through FET, The Indonesian government consistently respects and maintains effectiveness FET principle. To maintain a balance between stock goals divestments and obligations to maintain legal certainty for foreign investors, The Indonesian government needs to balance the obligation to exploit its nature as many resources as possible with an obligation to provide legal certainty for investor. Therefore, continuous regulation changes will open up risks a Arbitration claims the basis of the absence of legal certainty."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tentiana Rusbandi
"Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji dan menganalisis penerapan grandfather clause dalam pelaksanaan perluasan penanaman modal pada bidang-bidang usaha yang diatur secara lebih restriktif dalam Peraturan Presiden mengenai Daftar Negatif Investasi (DNI), bidang usaha yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang dan bidang usaha yang disyaratkan dengan kemitraan (dengan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)). Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah dapatkah konsep grandfather clause (Pasal 9 Perpres DNI 2014) menjamin kepastian hukum bagi penanaman modal. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum empiris sekaligus. Pemerintah dalam menentukan kebijakan penanaman modal diharapkan dapat menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam kegiatan penanaman modal di Indonesia, dapat dikatakan bahwa DNI merupakan acuan pertama kali dan terpenting bagi calon penanam modal, baik penanam modal asing maupun penanam modal dalam negeri sebelum melakukan penanaman modal. Di dalam DNI dikenal istilah grandfather clause yang sebenarnya merupakan pasal peralihan. Dengan adanya grandfather clause, penanam modal khususnya penanam modal asing tidak perlu khawatir untuk menjalankan usahanya meskipun ada pengaturan di dalam DNI yang lebih restriktif/tertutup bagi bidang usaha yang dijalankannya. Namun demikian, untuk bidang usaha yang diatur secara khusus dalam bentuk Undang-Undang, grandfather clause dalam DNI tidak dapat diterapkan. Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa konsep grandfather clause dalam DNI telah mampu memberikan jaminan kepastian hukum terutama bagi penanam modal yang bidang usahanya diatur secara lebih restriktif/tertutup, meskipun masih menyisakan potensi conflict of law terkait dengan bidang usaha yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang dan program pemberdayaan UMKM melalui kemitraan. Selanjutnya penulis menyarankan agar Pemerintah dalam menyusun DNI harus lebih memperhatikan keterkaitan antara pengaturan bidang usaha yang diatur secara khusus melalui Undang-Undang. Selain itu, dalam membentuk Undang-Undang yang mengatur bidang usaha tertentu sebaiknya tidak diberlakukan retroaktif karena akan memberikan dampak negatif pada iklim investasi dan tidak memberikan kepastian hukum.

This study is intended to examine and analyze the application of the grandfather clause in granting investment licenses in the areas of business that is set in a more restrictive manner in the Negative Investment List (NIL), business sector which is specifically regulated in Law and business sectors which are being required to have partnership (with Micro, Small and Medium Enterprises (SMEs)). Furthermore, the main question in this study is whether the concept of grandfather clause (Article 9 of Presidential Decree concerning NIL 2014) can ensure legal certainty for investment. To answer this question, this study using normative legal research methods and empirical legal research methods as well. Government in determining the investment policy is expected to ensure legal certainty; certainty sought, and seeks security for investors since the licensing process until the end of the investment activities in accordance with the law and regulations. In investment activities in Indonesia, it can be said that the NIL is the first and most important reference for investors, both foreign investors and domestic investors before making an investment. In the NIL there is the term grandfather clause, which is actually a transitional clause. With the grandfather clause, investors, especially foreign investors do not have to worry to run its business even though there is a more restrictive/closed regulation in the NIL for the line of business being operated. However, for the business sector which is specifically regulated by Law, grandfather clause in the NIL is not applicable. Based on this study it can be concluded that the concept of grandfather clause in the NIL has been able to provide legal certainty, especially for investors who set up its business in a more restrictive/closed business sectors, although it still leaves a potential conflict of law related to business sector which is specifically regulated by Law and the empowerment of SMEs through partnership programs. Furthermore, the authors suggest that the Government in preparing the NIL should pay more attention to the relationship with the regulation in the business sectors that are specifically regulated by Law. Moreover, in forming a Law to regulate certain sectors should not be applied retroactively because it will have a negative impact on the investment climate and does not provide legal certainty.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T45417
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Doloksaribu, Carolina T. Vienna
"Tesis ini membahas mengenai Perjanjian Kerjasama Penjualan yang dilakukan oleh Manajer Investasi dengan Bank sebagai agen penjual dalam pemasaran produk investasi unit Kontrak Pengelolaan Dana, dan perlindungan hukum bagi manajer investasi ketika agen penjual bertindak melebihi kapasitasnya dalam pelaksanaan Perjanjian Kerjasama Penjualan. Dalam Perjanjian Kerjasama Penjualan ini, bank sebagai agen penjual mewakili perusahaan efek sebagai Manajer Investasi untuk menjual produk investasi berupa unit Kontrak Pengolaan Dana yang dilaksanakan oleh bank berdasarkan info memo yang diterbitkan oleh manajer investasi. Perjanjian Kerjasama Penjualan pada hakekatnya merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, terpisah dan terlepas dari Kontrak Pengelolaan Dana. Apabila agen penjual berhasil memasarkan produk investasi Kontrak Pengelolaan Dana, maka barulah dibuatkan Kontrak Pengelolaan Dana antara Manajer Investasi dengan masing-masing investor. Kontrak Pengelolaan dana pada saat ini merupakan salah satu bentuk investasi yang sedang berkembang pesat. Adapun yang dimaksud dengan Kontrak Pengelolaan Dana adalah bentuk pengelolaan dana investor yang dibentuk dengan perjanjian bilateral antara investor dengan Manajer Investasi, dimana untuk selanjutnya Manajer Investasi akan menginvestasikan uang investor tersebut dalam portofolio efek. Namun ternyata penggunaan agen penjual dalam pemasaran Kontrak Pengelolaan Dana dapat menimbulkan masalah hukum baru. Tanggung jawab Agen Penjual yang tidak diatur dan dibatasi oleh regulator pasar modal mengakibatkan Perjanjian Kerjasama Penjualan menjadi sangat penting peranannya untuk mengatur tugas dan tanggung jawab Agen Penjual secara terperinci.

This thesis discusses Selling Agreement between Investment Manager as the issuance and the management of the Discretionary Fund and Bank as Selling Agent of Discretionary Fund, and the legal protection for Investment Manager when Selling Agent fortress it's capacity as stated in Selling Agreement. In this Selling Agreement, Securities Company as Investment Manager represent by Bank as their investment product's Selling Agent, therefore Bank obliged to sell the investment product such as Discretionary Fund based on The Info Memo issued by Investment Manager. Discretionary Fund is made by the Investment Manager and the investor after the Selling Agent managed to sell the Discretionary Fund. Currently, Discretionary Fund is one of the most rapidly growing forms of investment. Essentially, Selling Agreement is an independent contract, separated and detached from Discretionary Fund. The definition of Discretionary Fund itself is investors fund management formed by bilateral agreement between the investors and Investment Manager, where for further more the Investment Manager will invest the investors fund in securities portfolios. Where in practise, another legal issue still arise from Discretionary Fund's managed by selling agent. The capital market regulation does not explicitly address the marketing and selling activities of Discretionary Fund by selling agent, and caused Discretionary Fund Unit Selling Agreement have an important role to regulate the work scope and responsibility activity of selling agent.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T34945
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>