Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 196224 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Rahmah
"ABSTRAK
Nama : Siti RahmahProgram Studi : Kajian Administrasi Rumah SakitJudul : Analisis Strategi Pemasaran Tindakan Operasi Katarak DenganTeknik Fakomulsifikasi Pada Era Jaminan Kesehatan NasionalDi Rumah Sakit ABC JakartaPembimbing : Puput Oktamianti, SKM., MM.Tindakan operasi katarak dengan teknik fakoemulsifikasi adalah layananunggulan yang dimiliki oleh Rumah Sakit ABC Jakarta. Namun pemanfaatan yangbelum maksimal serta idle capacity yang besar merupakan alasan untuk dilakukan suatuanalisis strategi pemasaran yang dilakukan dengan mengeksplorasi faktor lingkunganinternal dan eksternal kemudian dilakukan formulasi tujuan dan formulasi strategisehingga didapatkan alterntif strategi pemasaran terpilih yang dapat digunakan untukmeningkatkan pemanfaatan tindakan operasi katarak dengan teknik fakoemulsifikasi diRumah Sakit ABC Jakarta. Dengan masuknya era JKN, Rumah Sakit ABC Jakartatentunya harus menemukan cara pemasaran yang sesuai dengan kondisi yang ada.Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah metode kualitatifdengan menggunakan data primer dan sekunder. Data primer didapatkan dariwawancara mendalam, observasi dan survey, sedangkan data sekunder didapatkan daritelaah dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi pemasaran terpilih untuktindakan operasi katarak dengan teknik fakoemulsifikasi adalah dengan cara: 1 Optimalisasi kegiatan pemasaran, 2 Pengembangan produk tindakan operasi katarakdengan ldquo;One Stop ServiceCataract rdquo;, 3 Pengelolaan dana pemasaran dengan baik, 4 Memperbaiki physical facilities dan 5 Penguatan SDM dalam pelayanan.Kata Kunci : katarak, fakoemulsifikasi, idle capacity, faktor lingkungan internal,faktor lingkungan eksternal, analisis strategi pemasaran, era jaminankesehatan nasional, Rumah Sakit ABC Jakarta.

ABSTRACT
Name Siti RahmahStudy Program Hospital Administration StudyTitle Marketing Strategy Analysis of Cataract Surgery withPhacoemulsification Technique in National Health Insurance Era inABC Hospital JakartaCounsellor Puput Oktamianti, SKM., MM.Cataract surgery with phacoemulsification technique is an excellent service byABC Hospital Jakarta. However, lack of maximum utilization and large idle capacity isthe reason for analysis of marketing strategy that is done by exploring internal andexternal environment factors, then made the formulation of objectives and strategy so asto obtain alternatives of selected marketing strategy that can be used to improve theutilization of cataract surgery with phacoemulsification technique at ABC HospitalJakarta. Within the National Health Insurance NHI era, ABC Hospital Jakarta mustfind a way of marketing in accordance with existing conditions.The research method used in this thesis is a qualitative method by using primaryand secondary data. Primary data obtained from in depth interviews, observation andsurvey, while secondary data obtained from document review. The result of thisresearch indicates that the chosen marketing strategy for cataract surgery withphacoemulsification technique is by 1 Optimazation of marketing activities, 2 Development of cataract surgery with ldquo One Stop Service Cataract rdquo , 3 Goodmanagement of marketing fund, 4 Improve physical facilities, and 5 Strengtheningof human resources in service.Key Words cataract, phacoemulsification, idle capacity, internal environment factor,external environment factor, marketing strategy analysis, national healthinsurance era, ABC Hospital Jakarta."
2018
T49412
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maulia Fitra Purnama
"Tujuan: mengetahui tingkat efisiensi dan keamanan antara teknologi Ellips FX-Peristaltik dengan Ellips FX-Venturi pada fakoemulsifikasi katarak derajat sedang-keras.
Desain: Penelitian ini merupakan uji klinis randomisasi.
Metode: sebanyak 48 pasien dilakukan randomisasi untuk dilakukan fakoemulsifikasi. Setiap subjek diukur densitas sel endotel dan ketebalan kornea sentral. Efisiensi dinilai dari effective phaco time EFX . Mesin fakoemulsifikasi yang digunakan adalah Signature Ellips FX.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk median phaco time, penurunan densitas sel endotel dan peningkatan ketebalan kornea sentral. Tidak terdapat komplikasi pada penelitian ini.
Kesimpulan: tidak ada perbedaan efisiensi dan keamanan antara sistem Ellips FX-Peristaltik dengan Ellips FX-Venturi.

Purpose: To know the level of efficiency and safety of the technology Ellips FX peristaltic with Ellips FX Ventury in phacoemulsification of moderate to hard grade cataract.
Methods: 48 outpatients were eligible selected by RCT at CM hospital in periods of January 2016 ndash June 2016. Impacts of pumps system setting difference were observed by objective measurement of endothelial cell density ECD and central corneal thickness CCT. Efficiency was recorded as effective phaco time EFX. Signature Ellips FX were used as phacoemulsification machine.
Result: The total sample that has been analyzed was 46 patients. There is no significant difference in median phaco time, a decrease in endothelial cell density and an increase in central corneal thickness. There were no complications in this study.
Conclusion: There is no difference between the efficiency and safety of Ellips FX peristaltic with Ellips FX Ventury systemKeywords peristaltic, Ventury, Ellips FX, efficiency and safety
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sylvia Sugito
"Katarak adalah kekeruhan lensa mata yang dapat disebabkan oleh penumpukan mukopolisakarida. Hyaluronan adalah salah satu mukopolisakarida yang ditemukan menumpuk pada lensa mata penderita katarak. Enzim yang digunakan untuk mendegradasi hyaluronan adalah hyaluronidase (EC 3.2.1.35). Gen yang mengkode enzim Hyal-1 adalah HYAL1, yang terletak pada lokus 3p21.3-3p21.2. HYAL1 terdiri dari tiga ekson. Ekson yang diteliti dalam penelitian ini adalah ekson 1 yang terbentang sebesar 1511 bp. Untuk mencari dengan teliti mutasi yang terjadi pada sampel, gen HYAL1 ekson 1 dibagi menjadi tiga bagian. Untuk itu diperlukan tiga pasang primer. Primer ke 1 digunakan untuk mengamplifikasi ekson 1 nt 1-551 (forward primer. 5'-GACCCCCTACAAAAGCTCA-3' (20 bp) dan reverse primer. 5' AAGTCTCCGATTCCCCCACT-3' (20 bp)). Primer ke 2 digunakan untuk mengamplifikasi ekson 1 nt 355-1053 (forward primer. 5'-AGTCCTGTGGGAGATGGCAGA 3' (21 bp) dan reverse primer. 5'-CGGTAAATGTCCTTGGTGTCC-3' (21 bp)). Primer ke 3 digunakan mengamplifikasi ekson 1 nt 956-1516 (forward primer. 5'-GCCATACCTGCTCCTGACTT-3' (20 bp) dan reverse primer. 5'-ACAAGGTGGGCAGGTTACAG-3' (20 bp)). PCR dilakukan dengan tiga pasang primer tersebut. Masing-masing primer digunakan untuk mengamplifikasi 75 sampel (50 sampel katarak dan 25 sampel normal) yang berhasil diisolasi_ Elektroforesis dilakukan untuk memastikan DNA hasii PCR merupakan satu pita tunggal sebesar 597 bp, 699 bp, dan 584 bp pada sampel-sampel yang diamplifikasi dengan primer ke 1, primer ke 2, dan primer ke Setelah itu hasil PCR dipurifikasi sebelum melakukan sekuensing_ Hasil sekuensing dianalisa dengan menggunakan CfustaIW version 1.7 dan BioEdit version 7.0.4.1. Sampel yang disekuensing sebanyak 34 sampel yang dipilih secara acak, yaitu K3 (juvenil), K5 (juvenil), K6 (juvenil), K8 (infantil), K10 (kongenital), K27 (kongenital), K37 (kongenital), K40 (infantil), N8 (normal), N9 (normal), N11 (normal) [primer ke 1], K20 (infantil), K30 (juvenil), K33 (juvenil), K36 (kongenital), K38 (kongenital), K43 (juvenil), K44 (juvenil), N12 (normal), N13 (normal), N15 (normal) [primerke 2], sampel K1 (juvenil), K2 (kongenital), K14 (juvenil), K15 (kongenital), K19 (infantil), K23 (infantil), K25 (infantil), K28 (juvenil), k35 (kongenital), K46 (kongenital), Ni (normal), N2 (normal), N4 (normal) [primer ke 31. Dari semua
hasil sekuensing, sampel katarak yang mengalami mutasi adalah K6, K8,
K27, K20, K43, K33, K36, K38, K1, K2, K14, K15, K19, K23, K25, K28, K35.
Region yang diapit oleh primer ke 3 merupakan daerah yang paling banyak mengalami mutasi. Region ini juga merupakan tempat ditemukannya dua mutasi pada penderita MPS IX, yang disebabkan oleh defisiensi hyaluronidase. Dua mutasi itu diperkirakan merusak aktivitas hyaluronidase pada pasien. Mutasi 1412 G-A yang terjadi pada penderita MPS IX tidak ditemukan pada penderita katarak, tetapi pada nukleotida yang sama terjadi delesi I G pada sampel K20. Sedangkan mutasi 1361 de137ins14 pada penderita MPS IX jugs tidak terjadi pada sampel katarak, tetapi pada daerah yang terinsersi dan terdelesi tersebut ditemukan beberapa mutasi pada sampel K1 dan K2. Pada sampel katarak ditemukan banyak mutasi pada gen HYAL1 ekson 1, tetapi tidak dapat dikatakan bahwa mutasi-mutasi ini yang mengakibatkan katarak pada anak-anak, karena untuk mendapatkan kesimpulan seperti itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T17651
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Windy Kusuma
"Latar Belakang : Anestesia regional dengan blok peribulbar merupakan teknik anestesia alternatif pada operasi katarak dengan teknik phacoemulsification. Umumnya anestetika lokal yang paling sering dipakai adalah campuran bupivakain yang mempunyai durasi panjang dan lidokain yang mempunyai onset cepat. Di rumah sakit kami, median waktu sejak dimulainya blok hingga dimulainya operasi adalah lebih dari 20 menit dan temuan ini menunjukkan bahwa untuk peribulbar anestesia tidak diperlukan anestetika lokal dengan onset yang cepat. Tujuan studi ini untuk mengetahui keefektifan blok peribulbar inferotemporal menggunakan anestetika tunggal bupivakain 0.5% dibandingkan dengan campuran bupivakain 0.5% dan lidokain 2% untuk blok peribulbar pada pasien yang menjalani operasi katarak dengan teknik phacoemulsification.
Metode : Penelitian ini dilakukan pada 70 pasien yang menjalani operasi katarak dengan teknik phacoemulsification. Secara random 35 pasien menggunakan anestesia blok peribulbar dengan anestetika campuran bupivakain 0.5% dan lidokain 2% (kelompok 1) dan 35 pasien menggunakan anestesia blok peribulbar dengan anestetika tunggal bupivakain 0.5% (kelompok 2). Skor akinesia bola mata dinilai pada menit ke 5, 10, 15 dan 20 setelah penyuntikan anestetika lokal. Analgesia, waktu antara dimulainya blok hingga dimulainya operasi, lamanya operasi, penambahan anestetika topikal intraoperatif dan insidens efek samping terkait blok peribulbar dicatat.
Hasil: Skor akinesia pada menit ke 5 dan 10 setelah penyuntikan lebih rendah secara bermakna pada kelompok 1 (p<0.05). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kedua kelompok dalam hal skor akinesia pada menit ke 15 dan 20 setelah penyuntikan. Analgesia, total lamanya operasi, penambahan anestetika topikal intraoperatif dan efek samping terkait blok peribulbar tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok.
Simpulan : Kecuali onset yang lebih cepat pada kelompok anestetika campuran bupivakain 0.5% dan lidokain 2%, bupivakain tunggal 0.5% sama efektif dibandingkan campuran bupivakain 0.5% dan lidokain 2% untuk blok peribulbar pada operasi katarak dengan teknik phacoemulsification. Data tersebut didapatkan bahwa bupivakain tunggal 0.5% dapat digunakan pada kasus dimana blok dengan onset yang cepat tidak diperlukan.

Background : Regional anesthesia provided by a peribulbar block is an alternative anesthetic technique in cataract surgery. Generally, the most frequently used local anesthetic agent is a mixture of bupivacaine which has a long duration of effect and lidocaine which has a rapid onset of action. In our centre, the median time from the start of peribulbar blockade to start surgery was more than 20 minutes and these findings suggest that it is not necessary to use a local anesthetic with a quick onset of action for peribulbar anesthesia. The purpose of this study was to determine the effectiveness of single injection inferotemporal peribulbar block using 5 mL of plain bupivacaine 0.5% compared with a 1:1 mixture of bupivacaine 0.5% and lidocaine 2% in patients underwent cataract surgery with phacoemulsification.
Methods : A total of 70 patients scheduled for phacoemulsification cataract surgery with peribulbar anesthesia were randomly allocated into two groups of 35 patients each, to receive 5 ml of a 1:1 mixture of bupivacaine 0.5% and lidocaine 2% (group 1), or plain bupivacaine 0.5% (group 2). Ocular movement scores were evaluated at 5, 10, 15 and 20 minutes after injection. Analgesia, time from block to start surgery, duration of surgery, need for supplementary anesthesia and the incidence of perioperative complication were recorded.
Results: The ocular movement scores at mins 5 and 10 were significantly lower in group 1 (p<0.05). There were no significant difference among the groups in ocular movement scores at mins 15 and 20. Analgesia, time from block to start surgery, duration of surgery, need for supplementary anesthesia and the incidence of perioperative complication did not differ among the groups.
Conclusion : Except for a significantly faster onset of peribulbar block with a mixture of bupivacaine 0.5% and lidocaine 2%, 0.5% bupivacaine as the sole agent was equally effective in inducing satisfactory peribulbar anesthesia for phacoemulsification cataract surgery. These data suggest that plain bupivacaine 0.5% may be suitable where the rapidity of onset of block is not necessary.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isfyanto
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menilai perubahan parameter bilik mata depan BMD dan penurunan tekanan intraokular TIO pasca fakoemulsifikasi lensa intraokular LIO pada pasien katarak senilis imatur dan katarak senilis imatur dengan glaukoma primer sudut terbuka GPSTa . Penelitian ini merupakan uji klinis intervensi non-random. Sebanyak 15 mata dengan katarak senilis imatur tanpa glaukoma dan 14 mata katarak dengan GPSTa dilakukan fakoemulsifikasi. Pemeriksaan TIO dan anterior segment optical coherence tomography AS-OCT dilakukan sebelum dan 1 bulan setelah fakoemulsifikasi. Parameter yang dinilai adalah central corneal thickness CCT , lens vault LV , angle opening distance AOD dan trabecular-iris space area TISA pada jarak 500 dan 750 ?m dari scleral spur kuadran nasal dan temporal. Pasca fakoemulsifikasi terjadi penurunan TIO sebesar 2.70 mmHg pada kelompok katarak tanpa glaukoma, dan sebesar 8.05 mmHg pada kelompok katarak dengan GPSTa. Penambahan nilai parameter sudut BMD signifikan terjadi pada kedua kelompok. Kesimpulan penelitian ini adalah fakoemulsifikasi dapat menurunkan TIO pada kedua kelompok, namun penurunan TIO lebih besar pada kelompok katarak dengan GPSTa dibandingkan dengan kelompok katarak tanpa glaukoma. Tidak terdapat korelasi penurunan TIO dengan penambahan parameter BMD. Kata Kunci: katarak senilis imatur, glaukoma sudut terbuka, tekanan intraokular, sudut bilik mata depan, fakoemulsifikasi.

ABSTRACT
This study evaluated the changes in the anterior chamber AC parameters and decrease in intraocular pressure IOP after phacoemulsification intraocular lens IOL in patients with senile immature cataract and senile immature cataract with primary open angle glaucoma POAG . A total of 15 eyes with senile cataract immature without glaucoma and 14 eyes with GPSTa performed phacoemulsification. Examination of IOP and anterior segment optical coherence tomography AS OCT performed before and 1 month after phacoemulsification. The parameters assessed were central corneal thickness CCT , lens vault LV , angle opening distance AOD and trabecular iris space area TISA at distances of 500 and 750 m from the scleral spur nasal and temporal quadrants. Post phacoemulsification occurs IOP reduction of 2.70 mmHg in the group cataract without glaucoma, and by 8.05 mmHg in the group with POAG. Increasing the value of the AC angle parameter significant in both groups. As conclusion phacoemulsification can lower IOP in both groups, the decrease in IOP greater in the group cataract with GPSTa than the group without glaucoma, however, there is no correlation IOP reduction with increased AC parameters.Keywords Senile immatur cataract, Primary open angle glaucoma, intraocular pressure, anterior chamber angle, phacoemulsification."
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eni Dwijayanti
"ABSTRAK
Kemajuan teknologi dalam peralatan kedokteran menciptakan alternatif baru
dalam pelayanan kedokteran, termasuk di oftalmologi. Salah satu cara operasi
katarak yang baru disebut fakoemulsifikasi (Fako) yang memberikan hasil lebih
baik dibandingkan dengan cara konvensional yaitu Ekstraksi Katarak Ekstra
Kapsular (EKEK).
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi efektivitas biaya dari dua
metode operasi katarak yaitu Fako dan EKEK yang dilakukan di RSUP Fatmawati
di Jakarta. Penelitian ini deskriptif, namun beberapa pendekatan analitis juga
digunakan. Pengambilan data secara cross sectional dengan sampel sebanyak 192
pasien operasi katarak (96 pasien Fako dan 96 pasien EKEK) yang dipilih secara
acak dari 300 populasi. Data sekunder diperoleh dari rekam medis pasien yang
menjalani operasi katarak pada tahun 2009 di rumah sakit untuk mengetahui tiga
indikator keberhasilan operasi.
Activity-based costing (ABC) digunakan untuk menghitung biaya dari
setiap metode, dan teknik pembobotan oleh duabelas dokter mata dari RSUP
Fatmawati dan RSU Dr. Sardjito dilakukan untuk mendapatkan nilai tunggal
(indeks komposit) dari efektivitas operasi katarak. Biaya yang dihitung adalah
biaya langsung yang berhubungan dengan operasi katarak, yaitu biaya
pemeriksaan mata, biaya laboratorium, biaya rontgen thorax, biaya konsultasi,
biaya operasi, biaya pelayanan farmasi, dan biaya administrasi. Efektivitas
diperoleh melalui pembobotan tiga indikator keberhasilan operasi katarak, yaitu
ketajaman visus pasca operasi, tidak adanya astigmat pasca operasi, dan tidak
adanya komplikasi intra-operasi dan pasca-operasi. Perhitungan efektivitas
operasi katarak dilakukan dengan modifikasi metode Bayes.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya satuan normatif operasi Fako
sebesar Rp. 4.419.755,17, yang lebih mahal dibandingkan EKEK (Rp.
3.369.549,24). Biaya obat-obatan dan bahan medis adalah komponen biaya
terbesar pada operasi katarak di RSUP Fatmawati. Hasil penelitian menunjukkan
ketajaman visus pasca-operasi untuk grup Fako secara signifikan lebih baik
daripada kelompok EKEK (p <0,05 dan odds ratio = 28.5). Dalam hal tidak
adanya astigmat pasca-operasi, kelompok Fako secara signifikan lebih baik
daripada kelompok EKEK (p <0,05, rasio odds = 22.7). Namun, tidak ada
perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok untuk tidak adanya komplikasi
intra-operasi dan pasca-operasi (p> 0,05).
Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa Average Cost-effectiveness
Ratios (ACER) metode Fako lebih rendah (Rp.1.379.326,08) dibandingkan
dengan ACER EKEK (Rp. 1.485.113,49). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa, dalam penelitian ini metode Fako lebih cost effective daripada metode
EKEK.
Disarankan penelitian lebih lanjut yang mencakup seluruh biaya yang
dikeluarkan untuk pasien operasi katarak dengan menggunakan jumlah sampel
yang lebih besar, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif
terhadap dua teknik operasi katarak dan pilihan yang lebih baik terhadap teknik
operasi yang dapat ditawarkan untuk populasi yang lebih luas

Abstract
Technological advancement in medical equipment has created new
alternatives in medical care, including in ophthalmology. One of the new cataract
operation called Phacoemulsification (Phaco) provides better results as compared
to conventional Extracapsular Cataract Extraction (ECCE).
This study aimed at exploring the cost-effectiveness of two methods of
cataract surgeries i.e. Phaco and ECCE done at Fatmawati General Hospital in
Jakarta. It was a descriptive inquiry in nature; however, some analytical
approaches were also used. A cross sectional examination of a sample of 192
cataract surgery patients (96 phaco patients and 96 ECCE patients) was randomly
selected from 300 populations. Secondary data were obtained from patients?
medical records undergoing cataract surgeries in 2009 at the hospital to explore
three success indicators of the surgeries.
Activity-based costing (ABC) was used to calculate the costs of each
method, and weighing technique of twelve peer ophthalmologists from Fatmawati
General Hospital and Dr. Sardjito General Hospital was done to obtain a single
value (composite index) of the effectiveness indicators of the cataract surgery.
The costs were calculated for direct costs relevant to cataract surgery, i.e. the costs
of eye examinations, laboratory tests, thorax roentgen, consultation, surgical fees,
pharmaceutical services, and administrative costs. The effectiveness were
obtained through the weighing of three success indicators of cataract surgery, i.e.
post-operative visual acuity, the absence of post-operative astigmatism, and the
absence of intra-operative and post-operative complications. The calculation of
effectiveness of cataract surgery was performed by modified Bayes Method.
The findings of the study showed that the normative unit cost of Phaco
surgery was Rp. 4.419.755,17, which was more expensive than that of ECCE (Rp.
3.369.549,24). The costs of medicines and medical supplies were the largest cost
components in cataract surgery in Fatmawati General Hospital. The result of study
showed that post-operative visual acuity for Phaco group was significantly better
than ECCE group (p <0.05 and odds ratio = 28.5). In terms of the absence of
post-operative astigmatism, Phaco group was significantly better than ECCE
group (p<0.05, odds ratio = 22.7). However, there was no significant difference
between the two groups in the absence of intra-operative and post-operative
complications (p>0.05).
The result of this study also found that the average cost-effectiveness ratio
(ACER) of Phaco method was lower (Rp.1.379.326,08) than that of ECCE (Rp.
1.485.113,49). Therefore, it was concluded that, in this study, Phaco method was
more cost effective than ECCE method.More rigorous studies covering all the costs incurred to patients of cataract
surgeries using a bigger sample size were suggested, so that a more
comprehensive understanding of the two cataract surgery techniques could be
obtained and a better choice of the surgery technique could be offered for wider
population."
2010
T31393
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Tujuan : membandingkan efektifitas dan keamanan antara teknik fakofragmentasi dan fakoemulsifikasi yang dilakukan pada katarak senilis matur.
Metoda : penelitian ini merupakan penelitian prospektif dengan metoda tersamar ganda terhadap 32 pasien katarak senilis matur putih yang dilakukan bedah katarak insisi kecil dengan pemasangan lensa intra okular (LIO). Pasien dibagi menjadi 2 kelompok secara acak,16 pasien menjalani bedah katarak dengan teknik fakofragmentasi (kelompok I) dan 16 pasien lain dengan teknik fakoemulsifikasi (kelompok II). Parameter keamanan adalah perubahan diameter pupil sesaat sebelum pembedahan dan sesaat sebelum implantasi LIO, ketebalan kornea dan jumlah suar di bilik mata depan (BMD). Lama waktu mengeluarkan nukleus, tajam penglihatan tanpa koreksi (TPTK) dan surgically induced astigmatism (SIA) yang terjadi dipakai sebagai parameter efektifitas. Tindak lanjut dilakukan pada hari ke-1, ke-7, ke-15 dan ke-30 pasca bedah.
Hasil : tidak terdapat perbedaan bermakna pada variabel usia, tajam penglihatan, ketebalan kornea dan jumlah suar sebelum pembedahan antara kedua kelompok. Rerata diameter pupil sebelum pembedahan dan sebelum implantasi LIO tidak berbeda bermakna, serta tidak didapatkan perubahan konstriksi pupil yang signifikan pada kedua kelompok. Lama waktu mengeluarkan nukleus lebih lama pada kelompok II (4.38+2.51 mnt) dibanding kelompok I (1.98+1.61 mnt). Perbedaan bermakna hanya terjadi pada TPTK (p=0.00067) dan ketebalan kornea (p=0.0044) pada tindak lanjut hari pertama. Namun, tidak didapatkan lagi perbedaan bermakna pada tindak lanjut selanjutnya. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada variabel jumlah suar dan SIA selama tindak lanjut.
Kesimpulan : teknik fakofragmentasi dan teknik fakoemulsifikasi yang dilakukan pada katarak senilis matur memberikan hasil keamanan dan efektivitas yang sama baik. Teknik fakofragmentasi tampaknya dapat merupakan suatu alternatif bedah katarak insisi kecil dan dapat menggantikan bedah katarak konvensional, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas bedah katarak. (Med J Indones 2003; 12: 94-102)

Purpose : To compare the effectiveness and safety of phacofragmentation and phacoemulsification techniques on senile white mature cataract.
Methods : Prospective, double masked, randomized study comprises 32 eyes of senile white mature cataract randomly divided into 2 groups, 16 eyes had phacofragmentation (group I) and 16 eyes had phacoemulsification (group II). The evaluated safety parameters were pupil diameter pre surgery and prior to intra ocular lens (IOL) implantation, corneal thickness and flaremeter. Nucleus delivery, uncorrected visual acuity (UCVA) and surgically induced astigmatism (SIA) were the effectiveness parameters. Follow-up were scheduled for post-operative day 1,7,15 and 30.
Results : prior to the surgery there were no significant differences in age, visual acuity, corneal thickness and flaremeter between two groups. Pre surgical and prior to IOL implantation mean pupilarry diameters in both groups were not significantly different. There was no significant difference in pupillary constriction on both groups. The mean of time to deliver the nucleus was significantly longer in the group II (4.38+2.51 min) than in the group I (1.98+1.61 min). There was significant difference on UCVA (p= 0.00067) and corneal thickness (p=0.0044) only on the first post-operative day. However, there was no significant difference on further evaluations (p>0.05). There were also no significant difference on flaremeter and SIA during follow-up.
Conclusion : Both phacofragmentation and phacoemulsification techniques were effective and safe for cataract surgery on senile white mature cataract. Phacofragmentation technique therefore could be an alternative small incision cataract surgery. (Med J Indones 2003; 12: 94-102)
"
Medical Journal of Indonesia, 12 (2) April June 2003: 94-102, 2003
MJIN-12-2-AprilJune2003-94
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Buratto, Lucio
Grove Road : SLACK , 2003
617.742 PHA
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: UI Publishing, 2022
617.742 BAS
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Soefiandi Soedarman
"Tujuan : Untuk mengetahui perubahan ketebalan makula sebelum dan sesudah operasi fakoemulsifikasi pada pasien dengan NPDR ringan-sedang dengan dan tanpa profilaksis tetes mata nepafenac 0.1%.
Metode : Penelitian ini adalah uji klinis acak tidak tersamar. Sebanyak 36 subyek yang memenuhi kriteria inklusi menjalani fakoemulsifikasi. Secara acak 18 subyek mendapatkan tetes mata nepafenac 0,1 % dan sisanya mendapatkan tetes mata plasebo yang dipakai 3 hari pre fakoemulsifikasi hingga 14 hari pasca fakoemulsifikasi. Ketebalan fovea dan volume makula diukur dengan SD-OCT pre-fakoemulsifikasi dan minggu ke-4 pasca fakoemulsifikasi. Dilakukan juga pengukuran tajam penglihatan dengan koreksi (TPDK) dan tingkat peradangan di bilik mata depan.
Hasil : Didapatkan peningkatan ketebalan fovea pada kelompok plasebo 4 minggu pasca fakoemulsifikasi secara statistik berbeda bermakna (uji-t berpasangan, p=0,022). Pada kelompok nepafenac tidak didapatkan perubahan ketebalan fovea yang bermakna 4 minggu pasca fakoemulsifikasi (uji-t berpasangan, p = 0,538). Didapatkan 1 pasien pada kelompok plasebo mengalami CME. Pada penilaian perubahan volume makula 4 minggu pasca fakoemulsifikasi, terdapat peningkatan volume makula pada ke-2 kelompok yang bermakna secara statitistik (uji-t berpasangan, p<0,05) tetapi antar kedua kelompok tidak bermakna (uji-t tidak berpasangan, p= 0,621). Secara klinis presentase tingkat peradangan di bilik mata depan pada kelompok plasebo lebih besar dibandingkan kelompok nepafenac pada hari-1 pasca fakoemulsifikasi (38,9% : 5,6%) walaupun secara statistik antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (uji Kolmogorov-Smirnov, p=0,27). Kelompok nepafenac secara klinis mendapatkan TPDK yang lebih baik dibandingkan kelompok placebo 4 minggu pasca fakoemulsifikasi walaupun secara statistik tidak berbeda bermakna (uji t tidak berpasangan, p=0,991).
Kesimpulan : Pemberian tetes mata nepafanac 0,1% dapat mencegah penebalan fovea secara bermakna (klinis dan statistik) 4 minggu pasca fakoemulsifikasi pada penderita NPDR ringan-sedang. Secara klinis pemberian tetes mata nepafenac 0,1% dapat mengurangi resiko peradangan di bilik mata depan, resiko terjadinya CME, dan penurunan tajam penglihatan meskipun tidak mencapai kemaknaan secara statistik bila dibandingkan dengan plasebo.

Aim : To evaluate the effect of prophylactic nepafenac eye drops on macular thickness changes after phacoemulsification surgery in mild to moderate NPDR patients.
Method : This study is an open label randomized clinical trial. Thirty-six subjects who met the inclusion criteria underwent phacoemulsification. One group (18 subjects) were given nepafenac 0,1% eye drops and the rest were given placebo; both products were used 3 days before phacoemulsification until 14 days after phacoemulsification. Foveal thickness and total macular volume were measured by SD-OCT before surgery and the fourth week after phacoemulsification. Best corrected visual acuity (BCVA) and degree of inflammation in the anterior chamber were also being assessed.
Result : There was a statistically significant increase foveal thickness in the placebo group 4 weeks after phacoemulsification (paired t-test, p=0,022). In the nepafenac group there was no significant changes in the foveal thickness 4 weeks after phacoemulsification (paired t-test, p = 0,538). One patient in the placebo group had CME. There was an increased in total macular volume, which were statistically significant in both groups (paired t-test, p<0,05) although not significantly different between the two groups (unpaired t-test, p= 0,621). Clinically, percentage degree of inflammation in anterior chamber in placebo group was higher than nepafenac group (38,9% : 5,6%) but not significantly different between 2 groups (Kolmogorov-Smirnov test, p=0,27). Nepafenac group achieved clinically better BCVA than the placebo group 4 weeks after phacoemulsification, although statistically there was no significant difference between two groups (unpaired t-test, p=0,991).
Conclusion : Nepafenac 0,1% eye drops could prevent foveal thickening 4 weeks after phacoemulsification in mild to moderate NPDR patients. Clinically, nepafenac 0,1% eye drops could decrease the risk of inflammation in the anterior chamber, risk of CME, and vision deterioration although did not reach statistically significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>