Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 93603 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gabriela Ekklesia
"ABSTRAK
Tindak kekerasan yang terjadi terhadap etnis Rohingya di Myanmar telah terjadi
sejak tahun 1970-an dan masih terjadi di tahun 2017. Perdana Menteri Malaysia
Najib Razak menyatakan bahwa tindak kekerasan terhadap etnis Rohingya harus
dihentikan. Malaysia juga mengajak anggota ASEAN untuk mengabaikan prinsip
non-interferensi terhadap isu Rohingya ini. Hal ini menarik untuk ditelaah
mengingat Malaysia merupakan salah satu negara pendiri ASEAN dan pertanyaan
kemudian muncul apakah tanggapan Malaysia terhadap isu Rohingya
menampakkan pergeseran dari norma yang disepakati. Dengan demikian,
pertanyaan penelitian pada tesis ini adalah: Mengapa Perdana Menteri Malaysia
Najib Razak mengabaikan prinsip non-interferensi ASEAN dalam isu Rohingya?
Untuk menjawab pertanyaan penelitian, tesis ini menggunakan teori kebijakan
luar negeri Valerie M. Hudson sebagai dasar dalam menjelaskan penyebab
tindakan dan perkataan seorang pemimpin (agen-oriented) sebagai decision maker
yang dapat mempengaruhi kebijakan luar negerinya. Untuk menjelaskan faktor
penyebab tindakan dan perkataan agen oriented tersebut, maka tesis ini
menggunakan operasionalisasi teori dari Evi Fitriani, yang dijelaskan dalam tiga
faktor; yaitu: motivasi, emosi dan representasi masalah.
Hasil analisis, menunjukkan bahwa Najib Razak memiliki kepentingan pribadi
melalui sikapnya sebagai Perdana Menteri Malaysia terhadap isu Rohingya.
Najib Razak berusaha menjaga eksistensi posisinya sebagai Perdana Menteri yang
sempat tergoyahkan karena tuduhan keterlibatan dirinya dalam kasus 1MDB.
Najib Razak mengkhawatirkan masalah keamanan dengan adanya kasus ini,
karena dengan bertambahnya jumlah pengungsi Rohingya, dapat mengganggu
stabilitas regional keamanan di Asia Tenggara. Selain itu, Najib Razak juga
mengusung tema kemanusiaan dan HAM dalam isu Rohingya ini.
Dengan demikian, Perdana Menteri Najib Razak menunjukkan sikap yang telah
mengabaikan prinsip non-interferensi ASEAN. Hal ini dapat menimbulkan
keretakan dalam tubuh ASEAN dan dapat mengganggu stabilitasnya kawasan,
karena nilai yang diabaikan yaitu prinsip non-interferensi adalah nilai yang
diharapkan dapat menjaga stabilitas institusi ASEAN.

ABSTRACT
Violent acts against Rohingyas in Myanmar have occurred since the 1970s and
still occured in 2017. Malaysian Prime Minister Najib Razak stated that violence
against Rohingyas must be stopped. Malaysia also invites ASEAN members to
ignore the ASEAN non-interference principle on Rohingya issue. This is
interesting to be reviewed as Malaysia is one of the founding countries of ASEAN
not the less the question has arisen whether Malaysia's response to the Rohingya
issue reveals a shift from the agreement.
Thus, this thesis aim at reviewing why Malaysian Prime Minister Najib Razak
neglects the ASEAN non-interference principle in the Rohingyas issue. To do so,
this thesis applies Valerie M. Hudson's foreign policy theory as the basis for
explaining the cause of action and the words of a leader (agent-oriented) as a
decision maker that can influence its foreign policy. In order to explain the cause
and action factor of the oriented agent, this thesis using the theory
operationalization from Evi Fitriani, described in three factors; namely:
motivation, emotion and problem representation.
The results of the thesis analysis indicate that Najib has a personal interest
through his attitude as Prime Minister of Malaysia against Rohingya case. Najib
tried to maintain the existence of his position as Prime Minister who had been
shaken because of his alleged involvement in the case of 1MDB. Najib is
concerned about security issues in this case, as the growing number of Rohingya
refugees can disrupt regional security stability in Southeast Asia. In addition,
Najib also carries the theme of humanity and human rights in Rohingya issue.
Thus, Prime Minister Najib Razak shows an attitude of being an ignorance to the
ASEAN principle of non- interference. This can create problem within ASEAN
institution and can disrupt their stability, because ASEAN non-interference
principles has been neglected which it was the value to maintain the stability of
ASEAN the negligible value of ASEAN non-interference principles is the value
that expected to maintain the stability southeast regional."
2018
T49044
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chamil Wariya
Selangor: MPH Group Publishing Sdn Bhd, 2009
923.259 5 CHA n (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Datin Omi Habibah Shariff
Kuala Lumpur: Ketua Pengarah Jabatan Penerangan Malaysia, 2010
320.959 5 DAT n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Chamil Wariya
"Biography of Najib Razak, a Malaysian politician and prime minister since April 3, 2009"
Petaling Jaya: Media Global Matrix, 2009
923.2 CHA n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kuala Lumpur: Director-General Information Department of Malaysia, 2011
351.595 NAJ
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tobing, Rian Fachmi
"ABSTRACT
ASEAN merupakan sebuah organisasi regional di sebelah tenggara benua Asia yang dibentuk melalui Deklarasi Bangkok 1967. ASEAN memiliki sebuah prinsip penting yaitu Non-Interference Principle, dimana setiap negara anggota tidak boleh melakukan suatu tidakan yang bisa mengganggu kedaulatan negara anggota lainnya. Namun prinsip ini dapt menjadi pertanyaan apabila disangkutkan dengan Hak Asasi Manusia, apa tindakan yang seharusnya diambil oleh negara anggota? ASEAN sebagai organisasi yang dianggap sangat baik dalam banyak hal tidak tinggal diam, perlindungan HAM di ASEAN sebagai organisasi secara menyeluruh dimualai pada tahun 1993 sehingga pada puncaknya yaitu ASEAN Charter 2008. Daripada mengubah prinsip yang sudah puluhan tahun dilaksanakan ASEAN membuat komisi untuk mempromosikan dan melindungi HAM bernama AICHR serta membuat deklarasi tentang HAM melalui ADHR.

ABSTRACT
ASEAN is a regional organization in Southeast Asian established by Bangkok Declaration 1967. ASEAN has an important principle called Non-Interference Principle, where every member states may not conduct any action that might cause interference to the other member’s sovereignty. However, the principle could be questioned if it relates with Human Rights issue, what action should ASEAN member states take? ASEAN, as an organization that deemed very well in handling many issue by international community, not remain silent in protecting Human Rights. As organization ASEAN started pay attention to the issue in 1993 until the ASEAN Charter 2008. Instead of change the principle that has been practiced in decades, ASEAN established a commission to protect and promote Human Rights named AICHR and declared a declaration regarding Human Rights named ADHR."
2014
S56061
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tobing, Rian Fachmi
"ASEAN merupakan sebuah organisasi regional di sebelah tenggara benua Asia yang dibentuk melalui Deklarasi Bangkok 1967. ASEAN memiliki sebuah prinsip penting yaitu Non-Interference Principle, dimana setiap negara anggota tidak boleh melakukan suatu tidakan yang bisa mengganggu kedaulatan negara anggota lainnya. Namun prinsip ini dapt menjadi pertanyaan apabila disangkutkan dengan Hak Asasi Manusia, apa tindakan yang seharusnya diambil oleh negara anggota? ASEAN sebagai organisasi yang dianggap sangat baik dalam banyak hal tidak tinggal diam, perlindungan HAM di ASEAN sebagai organisasi secara menyeluruh dimualai pada tahun 1993 sehingga pada puncaknya yaitu ASEAN Charter 2008. Daripada mengubah prinsip yang sudah puluhan tahun dilaksanakan ASEAN membuat komisi untuk mempromosikan dan melindungi HAM bernama AICHR serta membuat deklarasi tentang HAM melalui ADHR.

ASEAN is a regional organization in Southeast Asian established by Bangkok Declaration 1967. ASEAN has an important principle called Non-Interference Principle, where every member states may not conduct any action that might cause interference to the other member’s sovereignty. However, the principle could be questioned if it relates with Human Rights issue, what action should ASEAN member states take? ASEAN, as an organization that deemed very well in handling many issue by international community, not remain silent in protecting Human Rights. As organization ASEAN started pay attention to the issue in 1993 until the ASEAN Charter 2008. Instead of change the principle that has been practiced in decades, ASEAN established a commission to protect and promote Human Rights named AICHR and declared a declaration regarding Human Rights named ADHR."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aizuddin Muhammad Muaz
Kuala Lumpur: Creative Learning Mind, 2009
R 923.259 5 AIZ n
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Kuala Lumpur: Pepustakaan Negara Malaysia, 2010
R 016.923 9 MAL b
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Ng Hooi-Sean
"The increasing prominence of China on the world stage has sparked scholarly interest in studying the country’s representation in the media. Also driving the enthusiasm is the global expansion of Chinese state media, which some refer to as an attempt to export Chinese propaganda. Research on the topic in Southeast Asia remains lacking despite the region’s being in China’s backyard. This qualitative study aims to narrow the knowledge gap by looking at China’s representation in Malaysia. Using content analysis and in-depth interviews, it examines specifically the coverage of former Prime Minister Najib Razak’s 2016 visit to China by the Malay, Mandarin, and English bulletins on public and private television. The results show that China’s portrayal in the coverage is positive, notwithstanding the stories indicating concerns about the implications of China’s rise. The outcome points to the dominance of the state narrative, with instances of the press breaking the authorities’ restrictions to inform the audience. It appears that the reportage was not much impacted by Chinese media’s efforts to go global. Drawing on the Hierarchy of Influences model, the study demonstrates that the representation of China in Malaysian media coverage is a product shaped by intertwined social, cultural, and political factors as complex as Malaysian society."
Kyoto : Nakanishi Printing Company, 2022
050 SEAS 11:3 (2022)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>