Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 161635 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wardhana
"Latar belakang: Enterokolitis nekrotikans EKN merupakan inflamasi pada saluran cerna yang sering terjadi pada bayi prematur. Lactobacillus reuteri merupakan mikroorganisme hidup yang dilaporkan dapat mencegah kejadian EKN, intoleransi minum dan menurunkan angka mortalitas.
Tujuan: Mengidentifikasi kejadian EKN pada bayi prematur yang mendapat Lactobacillus reuteri DSM 17938 dan sekunder kejadian sepsis, intoleransi minum, waktu mencapai full feeding, lama hari perawatan, efek samping dan kematian.
Metode: Uji klinis acak tersamar ganda membandingkan pemberian Lactobacillus reuteri dengan plasebo pada neonatus usia gestasi 28-34 minggu dan berat lahir 1000-1800 gram di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. Masing-masing kelompok terdiri dari 47 subjek.
Hasil: Kejadian EKN stadium 2 dan 3 didapatkan 3 subjek 6,4 pada kelompok plasebo dan tidak ada ada pada kelompok probiotik RR 1,07 IK 95 0,99-1,15, p=0,24 . Intoleransi minum berupa muntah, kembung, atau keduanya lebih rendah pada kelompok probiotik dibandingkan plasebo 8,5 vs. 25,5 , RR 0,33 IK 95 0,12-0,96, p=0,03 . Proven sepsis pada kelompok probiotik dan plasebo tidak berbeda bermakna 2,1 vs. 6,4 , p=0,62 . Waktu mencapai full feeding dan lama perawatan tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok. Efek samping yang diobservasi berupa diare tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok 2,1 vs. 4,3 , p=1,00 . Kematian tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok 2,1 vs. 8,5 , p=0,36.
Simpulan: Kejadian EKN terjadi pada kelompok plasebo sebesar 6,4 dan tidak ada pada kelompok probiotik. Intoleransi minum secara bermakna lebih rendah pada kelompok probiotik dibandingkan plasebo. Luaran sekunder proven sepsis, waktu mencapai full feeding, lama perawatan, efek samping diare dan kematian tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok.

Background: Necrotizing enterocolitis NEC is an inflammatory disorder of the gastrointestinal tract that often occurs in preterm infants. Lactobacillus reuteri is a living microorganism that has been reported to prevent NEC.
Objectives: Identify the NEC prevalence in preterm infants receiving Lactobacillus reuteri DSM 17938 with secondary outcomes including sepsis, feeding intolerance, time to reach full feeding, length of stay, adverse effects, and mortality.
Methods: Double blind randomized controlled trial of Lactobacillus reuteri DSM 17938 versus placebo in 28 34 weeks of gestational neonates and birth weight 1000 1800 grams at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. Each group consisted of 47 subjects.
Results The prevalence of NEC stages 2 and 3 were found in three subjects 6,4 of the placebo whereas none occurred in the probiotic RR 1.07, 95 CI 0.99 1.15, p 0.24 . Feeding intolerance vomiting, distension, or both were found to be lower in the probiotic compared to the placebo 8.5 vs 25.5 RR 0.33 95 CI 0.12 0.96, p 0.03. No significant differences were found between both groups for the proven sepsis, time to reach full feeding, length of stay, and adverse effects of diarrhea. Mortality rates were 2.1 in the probiotic and 8.5 in the placebo, p 0.36.
Conclusion 6,4 of the placebo group experienced NEC whereas none occurred in the probiotic group. Feeding intolerance was found to be significantly lower in the group receiving probiotics compared to the placebo group. Secondary outcomes including proven sepsis, time to reach full feeding, length of stay, adverse effect diarrhea , and mortality were also not found to be significantly different between both trial groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T57649
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dandan Marthadani
"Latar belakang. Enterokolitis nekrotikan (EKN) merupakan penyakit inflamasi akut pada saluran cerna neonatus, terutama neonatus kurang bulan (NKB). Penyebab terjadinya EKN hingga saat ini belum diketahui tetapi terdapat beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan kelainan tersebut.
Tujuan. Mengetahui rerata usia dan faktor risiko terjadinya EKN pada NKB.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif berdasarkan data rekam medis NKB yang dirawat selama periode Januari 2017-Desember 2019 di Divisi Neonatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Analisis faktor risiko menggunakan analisis bivariat dan multivariat.
Hasil. Sampel yang didapatkan sebanyak 160 subyek. Rerata usia terjadinya EKN adalah 11,38 hari. Analisis bivariat didapatkan faktor risiko berat lahir <1500 gr (p=0,006, RR 2,623, IK 95% 1,302-5,282), usia gestasi <32 minggu (p=0,009, RR 2,531, IK 95% 1,246-5,141), dan pemberian antibiotik ≥5 hari (p=0,007, RR 4,831, IK 95% 1,391-16,780) meningkatkan risiko terjadinya EKN. Hasil analisis multivariat pada faktor risiko berat lahir, usia gestasi, pemberian antibiotik, dan jenis nutrisi enteral tehadap terjadinya EKN, tidak didapatkan hasil yang bermakna secara statistik. Faktor prenatal dan intrapartum tidak dapat diketahui karena keterbatasan data.
Kesimpulan. Rerata usia terjadinya EKN adalah usia 2 minggu pertama kehidupan neonatus. Faktor risiko terjadinya EKN bersifat multifaktorial dan terdapat kecenderungan dipengaruhi oleh berat lahir rendah, usia gestasi yang muda, serta pemberian antibiotik ≥5 hari.

Background. Necrotizing enterocolitis (NEC) is an acute inflammatory disease of gastrointestinal tract that commonly occurs in newborns, particularly with preterm birth. To date, the cause of NEC is not known, however several risk factors contribute to the occurrence of this disease.
Objective. To investigate mean age and risk factors of NEC in premature newborns.
Methods. A retrospective cohort study was conducted using secondary data from medical records of premature infants hospitalised since January 2017 until December 2019 in Neonatology Division, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Risk factors was analysed using bivariate and multivariate analysis.
Results. A total of 160 subjects were obtained and analysed. Mean age of NEC occurrance is 11,38 days. Bivariate analysis showed birth weight <1500 gram (p=0,006, RR 2,623, 95% CI 1,302-5,282), gestational age <32 weeks (p=0,009, RR 2,531, 95% CI 1,246-5,141), and antibiotics administration ≥5 days (p=0,007, RR 4,831, 95% CI 1,391-16,780) were associated with increased risk of NEC. However multivariate analysis revealed birth weight, gestational age, antibiotics administration, and enteral nutrition type showed no association with NEC occurrence. Prenatal and intrapartum factors were not studied due to lack of data.
Conclusion. Mean age of occurrence is within the first 2 weeks of life. Risk factors of NEC are multifactorial and tend to be related with smaller gestational age, low birth weight, and antibiotic use ≥5 days.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rafindhra Adhitya Prihastama
"Latar belakang. Bayi kurang bulan merupakan masalah yang masih sering menghantui dunia kedokteran akibat komplikasi jangka pendek, jangka panjang, maupun kematian secara langsung. Salah satu komplikasi yang dapat muncul adalah enterokolitis nekrotikans, sebuah penyakit kegawatdaruratan gastrointestinal bersifat fatal. Enterokolitis nekrotikans sendiri dapat dicegah dengan pemberian ASI, salah satu metodenya adalah meneteskan ASI secara orofaringeal atau biasa disebut sebagai care.
Tujuan. Mengetahui perbandingan antara pemberian oral care dengan kejadian enterokolitis nekrotikans pada bayi kurang bulan, mengetahui sebaran karakteristik subjek penelitian (jenis kelamin, usia gestational, berat lahir, dan usia ibu, mengetahui angka kejadian enterokolitis nekrotikans pada bayi kurang bulan yang mendapat oral care, mengetahui angka kejadian enterokolitis nekrotikans pada bayi kurang bulan yang tidak mendapat oral care, dan mengetahui perbandingan angka kejadian enterokolitis nekrotikans antara bayi kurang bulan yang mendapat oral care dengan bayi yang tidak mendapat oral care.
Metode penelitian. Penelitian dilakukan dengan metode crosssectional komparatif pada bayi kurang bulan yang dirawat di NICU RSCM pada tahun 2016-2017 dengan jumlah total subjek sebanyak 144 orang dan dipilih secara random sampling. Sumber data merupakan rekam medis dan pengambilan data dilakukan selama 6 bulan dari Januari hingga Agustus 2018.
Hasil penelitian. Dari 144 pasien, didapatkan 72 bayi kurang bulan mendapat oral care dan 72 bayi kurang bulan tidak mendapat oral care. Dari kedua kelompok tersebut, ditemukan adanya perbedaan pada masa gestasi (p=0,006) dan berat lahir bayi (p=0.042). Pada 72 bayi kurang bulan yang mendapat oral care, terdapat 19 bayi kurang bulan yang mengalami enterokolitis nekrotikans dan pada 72 bayi kurang bulan lainnya yang tidak mendapatkan oral care, terdapat 9 bayi kurang bulan yang tidak mendapatkan oral care. Perbandingan kedua kejadian enterokolitis nekrotikans pada kedua kelompok tersebut adalah 26.4% banding 12.5%. Dengan menggunakan analisis kategorik, didapatkan hubungan antara oral care dengan kejadian enterokolitis nekrotikans (p=0.036).
Kesimpulan. Terdapat hubungan antara pemberian oral care dengan angka kejadian enterokolitis nekrotikans. Namun penelitian lebih lanjut dengan skala yang lebih besar harus untuk menentukan melihat hasil lebih spesifik dan lebih lanjut mengenai sebab-akibat.

Introduction. Premature infants still pose a big problem in the medicine due to its association with high morbidity and mortality. Necrotizing enterocolitis, or NEC, a gastrointestinal emergency case, is one of the complications that rises from prematurity. NEC can be prevented with breast milk, especially mothers own milk, through oropharyngeal administration, or in other words, oral care.
Objectives. To determine comparison between oral care administration with necrotizing enterocolitis incidence on preterm infants, to determine the distribution of subjects based on characteristic (gender, gestational age, birth weight, and mothers age), to determine the incidence of necrotizing enterocolitis on preterm infants with oral care administration, to determine the incidence of necrotizing enterocolitis on preterm infants without oral care, and to compare the incidence of necrotizing enterocolitis between preterm infant with and without oral care.
Methods. A cross-sectional study was conducted on preterm infants who were treated in Neonatal Intensive Care Unit of Cipto Mangunkusumo Hospital between 2016 and 2017. There were 144 subjects chosen by simple random sampling. Medical record from Perinatology Division was the source of data and data was taken from January until August 2018.
Result. From 144 Premature infant, there were 72 premature infants with oral care and 72 premature infants without oral care. In those two groups, two characteristics, gestational age (p=-0.006) and birth weight (p=0.042), were significantly different. There were 19 preterm infants with oral care and 9 preterm infants without oral care who suffered from necrotizing enterocolitis. The proportion of necrotizing enterocolitis in these two groups is 26.4%:12.5% The difference is significant (p=0.036).
Conclusion. There is a significant association between oral care and the incidence of necrotizing enterocolitis, though further larger studies must be conducted to obtain more detailed results.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Charissa Devania Pramita
"Latar Belakang: Sepsis Awitan Dini (SNAD) merupakan salah satu penyebab terbesar mortalitas neonatus prematur. Riset mengenai SNAD mengatakan bahwa ada faktor ibu yang berasosiasi dengan kemungkinan kasus SNAD. Faktor tersebut adalah, paritas, umur ibu, kelahiran Bedah Kaisar, frekuensi kunjungan antenatal, keputihan patologis, infeksi saluran kemih, ketuban pecah dini, leukositosis ibu, dan preklampsia. Meskipun tinggi angka kelahiran prematur di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), belum ada studi yang mempelajari faktor ibu terhadap SNAD di bayi prematur. Sehingga peneliti berusaha untuk membuat riset yang akan menyajikan data deskriptif dari faktor ibu yang berasosiasi dengan SNAD pada bayi prematur di RSCM pada tahun 2020. Metode: Penilitian kohort retrospeltif ini mengumpulkan 101 kasus kelahiran prematur pada tahun 2020 di RSCM. Dengan persetujuan komite etik, data akan dikumpulkan dari rekam medis dan infromasi mengenai faktor ibu akan diulas. Penelitian ini akan melakukan analitik untuk faktor maternal yang berhubungan dengan SNAD. Hasil: Hasil desrkiptif penilitian ini menunjukan, kelahiran Bedah Kaisar(79.2%), paritas primipara (60.4%), Umur ibu diatas 30 tahun (45.5%), Kunjungan antenatal tidak lengkap (8.9%), ketuban pecah dini (40.4%), preklampsi (26.7%), keputihan patologis (44.6%), infeksi saluran kemih (44.6%) dan jumlah leukosit ibu (27.7%). Studi analitik menunjukan bahwa tidak hubungan faktor maternal yang berhubungan bedasarkan statistik secara signifikan dengan SNAD pada bayi prematur. Konklusi: Tidak ada hubungan faktor maternal paritas, umur ibu, kelahiran bedah kaisar, frekuensi kunjungan antenatal, keputihan patologis, infeksi saluran kemih, leukositosis ibu, dan preklampsia, dengan kejadian SNAD pada bayi prematur di RSCM pada tahun 2020.

Background: Early onset Neonatal Sepsis (EOS) is one of the biggest cause of morbidity in neonates, especially premature neonates. Previous researches stated that there are maternal risks that are associated with EOS. These risks are parity, maternal age, route of birth, completion antenatal care, presence of pathological vaginal discharge, urinary tract infection, premature rupture of membrane, maternal leukocytosis and preeclampsia. Despite the high numbers of premature births in CMH, there hasn’t been a study about maternal risks associated with EOS in preterm neonates. Hence the writer proposes a study on EOS on preterm neonates association with maternal risks. Method: This retrospective cohort study is conducted on 101 preterm neonates CMH Neonatal Unit, on the year of 2020. With the approval of the ethics committee, information regarding presence of maternal risk associated is reviewed. Results: The descriptive result of the maternal risk associated with shows caesarean section (79.2%), primiparity (60.4%), advanced maternal age (45.5%), incomplete antenatal care (8.9%), premature rupture of membrane more than 18 hours (40.4%), preeclampsia (26.7%), pathological vaginal discharge (44.6%), urinary tract infection (31.7%), and maternal leukocyte (27.7%). The analytical study shows, none of these maternal risks associated with EOS have statistical significance to preterm neonates with EOS. Conclusion: There is no significance of maternal risk associated with EOS, primiparity, advanced maternal age, incomplete antenatal care, premature rupture of membrane more than 18 hours, preeclampsia, pathological vaginal discharge, UTI and maternal leukocytes to the incidence of EOS in preterm neonates in CMH Neonatal Unit in the year 2020."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmawati Kusumastuti Roosadiono
"Latar belakang: Angka kelahiran dan kesintasan bayi prematur mengalami peningkatan. Prematur memiliki morbiditas 7 kali lipat dari bayi cukup bulan. Gangguan pendengaran merupakan salah satu morbiditas yang masih tinggi insidensnya dengan 6 kasus per 1000 kelahiran di negara berkembang. Deteksi dini dan identifikasi faktor risiko dilakukan agar tidak terjadi keterlambatan diagnosis dan intervensi.
Tujuan: Mengetahui prevalens dan faktor risiko disfungsi auditorik pada bayi prematur.
Metode: Penelitian deskriptif-analitik dengan metode potong lintang dilakukan selama bulan Oktober 2016 sampai Januari 2017 pada bayi prematur usia 48 jam-3 bulan yang dirawat di Divisi Perinatologi Departemen IKA FKUI/RSCM. Sampel dipilih secara consecutive sampling. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara orangtua pasien, pengumpulan data retrospektif dari rekam medis, uji tapis DPOAE dan AABR. Analisis bivariat disfungsi auditorik dengan faktor risiko dinilai dengan uji chi-square dan fischer sebagai uji alternatif. Analisis multivariat dilakukan untuk menilai interaksi faktor risiko dengan regresi logistik.
Hasil: Sejumlah 100 subyek memenuhi kriteria inklusi dan sebesar 25 subyek pernah mendapat perawatan intensif. Prevalens disfungsi auditorik pada bayi prematur sebesar 14 . Analisis multivariat faktor risiko yang berhubungan dengan disfungsi auditorik adalah usia gestasi OR 3,824; IK 95 1,109-13,179; p=0,034 . Faktor risiko lain seperti berat lahir, pertumbuhan janin terhambat, hiperbilirubinemia, proven sepsis, pemakaian aminoglikosida, ventilasi mekanik lebih dari 5 hari, nilai Apgar yang rendah, abnormalitas lingkar kepala, riwayat gangguan pendengaran di keluarga tidak memiliki hubungan bermakna dengan disfungsi auditorik.
Simpulan: Prevalens disfungsi auditorik pada bayi prematur sebesar 14 . Usia gestasi merupakan faktor risiko disfungsi auditorik pada bayi prematur."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Juliana Dewi
"Latar belakang: Kelahiran hidup bayi prematur di Indonesia mencapai 675.700 kasus (15.5%) tiap tahun. Peningkatan insidens gangguan minum dan menelan pada bayi ditemukan terbanyak pada kelompok bayi prematur. Dampaknya akan meningkatkan komplikasi pasien berupa infeksi saluran napas, gangguan nutrisi, dan tumbuh kembang. Keadaan tersebut berisiko memperpanjang konversi pemberian makan per oral, perawatan, serta pembiayaan perawatan. Penelitian terdahulu belum melaporkan prevalensi dan karakteristik gangguan menelan serta gangguan koordinasi siklus isap-telan-napas (ITN) sebagai salah satu bentuk gangguan minum pada bayi prematur. Tujuan: Menilai prevalensi ganguan minum dan menelan pada bayi prematur, serta menilai karakteristik dan faktor risiko yang berpengaruh terhadap kemampuan minum dan menelan pada bayi prematur.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada bayi prematur dengan riwayat perawatan di NICU yang dilakukan Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES) di Klinik Disfagia Terpadu  Departemen THT-KL RSCM periode Oktober 2020-Oktober 2022. Parameter yang dinilai adalah faktor karakteristik kelahiran, karakteristik paska lahir, karakteristik oromotor dan tonus postural, serta karakteristik pemeriksaan FEES.
Hasil: Prevalensi gangguan menelan sebesar 25% dengan karakteristik temuan disfagia fase oral mekanik, disfagia fase faring neurogenik, dan disfagia fase orofaring neurogenik. Prevalensi gangguan koordinasi siklus ITN sebesar 62,5%. Faktor risiko penyakit refluks gastro esofagus (PRGE) berhubungan dengan gangguan menelan pada bayi prematur (p=0,015) dengan menggunakan uji chi-square. Parameter lain seperti kelompok PMA, high arched palate, standing secretion, nutritive sucking, penetrasi dan aspirasi memiliki hubungan terhadap gangguan menelan pada bayi prematur (p<0,05).
Kesimpulan: Karakteristik gangguan minum dan menelan pada bayi prematur ditemukan prevalensi gangguan koordinasi siklus ITN lebih banyak dibandingkan gangguan fungsi menelan (disfagia). Kelompok PMA, PRGE, high arched palate, standing secretion ditemukan sebagai faktor risiko yang berhubungan dengan gangguan menelan pada bayi prematur. Nutritive sucking, penetrasi, dan aspirasi  ditemukan sebagai faktor menentu diagnosis disfagia pada bayi prematur.

Background: Preterm birth in Indonesia reaches 675,700 cases (15.5%) each year. This condition is the etiologic feeding difficulty and swallowing disorders in preterm babies. The impact will increase patient complications, such as respiratory tract infections, nutritional disorders, and growth and development. It precedes the risk of prolonging the conversion of oral feeding, and treatment, as well as a financial burden related to hospitalization. Previous studies have not reported the prevalence and characteristics of swallowing disorder or dysphagia and suck-swallow-breath (SSB) coordination disorder as a form of feeding difficulty in premature infants.
Objective: To assess the prevalence of feeding difficulty and swallowing disorders in premature babies and analyzed characteristics and risk factors that affect the ability to feed and swallow in premature babies.
Method: A cross-sectional study in preterm babies with a history of treatment in the NICU using a flexible endoscopic evaluation of swallowing (FEES) for swallowing evaluation at the Dysphagia outpatient clinics Department of ORL-HNS RSCM for the period October 2020-October 2022. The parameters assessed were birth characteristics, postnatal characteristics, oro-motor characteristics, and postural tone, as well as FEES examination characteristics.
Results: The prevalence of swallowing disorders was 25% with characteristics of mechanical oral phase dysphagia, neurogenic pharyngeal phase dysphagia, and neurogenic oropharyngeal phase dysphagia. The prevalence of SSB cycle coordination disorders was 62.5%. The risk factor associated with dysphagia in preterm babies was gastroesophageal reflux disease (GERD) with a p-value = 0.015. Other parameters such as post-menstrual age (PMA) group, high arched palate, standing secretion, nutritive sucking, penetration, and aspiration have an association with swallowing disorders in premature infants (p<0.05).
Conclusion: Characteristics of feeding difficulties and swallowing disorders in preterm babies were found to have more prevalence of SSB cycle coordination disorders than impaired swallowing function (dysphagia). The PMA, GERD, high-arched palate, and standing secretion group were found to be risk factors associated with swallowing disorders in premature infants. Nutritive sucking, penetration, and aspiration were found to be the erratic factors of dysphagia diagnosis in premature babies.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abellia Auriel Ashilah
"Salah satu penyebab utama kematian pada neonatal di Indonesia disebabkan oleh kelahiran prematur. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui determinan kejadian kelahiran prematur di Indonesia. Data berasal dari Riset Kesehatan Dasar Indonesia 2018 dengan menggunakan desain studi potong lintang. Sampel terdiri dari 72.602 anggota rumah tangga perempuan berusia 10-54 tahun dengan status kawin/cerai hidup/cerai mati yang pernah bersalin dan memiliki anak hidup. Analisis menggunakan model uji regresi logistik. Hasil penelitian ini menemukan prevalensi kelahiran prematur di Indonesia sebesar 33%. Hasil penelitian juga menemukan terdapat hubungan antara faktor iatrogenik yaitu preeklampsia (aOR: 1,71; 95% CI: 1,22-2,38), perdarahan antepartum (aOR: 1,39; 95% CI: 1,23-1,57), dan plasenta previa (aOR: 1,30; 95% CI: 1,07-1,57), faktor maternal yaitu frekuensi kunjungan antenatal care (aOR: 1,56; 95% CI: 1,50-1,62) dan kehamilan kembar (aOR: 1,56; 95% CI: 1,33-1,82), faktor riwayat reproduksi ibu yaitu paritas (aOR: 1,07; 95% CI: 1,03-1,11), faktor penyakit dan keadaan kehamilan yaitu hipertensi (aOR: 1,26; 95% CI:1,16-1,37) dan hidromnion (aOR: 1,34; 95% CI: 1,22-1,46), serta faktor sosiodemografi yaitu usia ibu (aOR: 1,04; 95% CI:1,00-1,08) dan daerah tempat tinggal (aOR: 1,21; 95% CI:1,17-1,25). Diharapkan pemangku kebijakan dapat mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam menurunkan prevalensi kejadian kelahiran prematur di Indonesia.

One of the main causes of neonatal death in Indonesia is preterm birth. This study aimed to determine the risk factors of preterm birth in Indonesia. Data were obtained from the Indonesia Basic Health Research (Riskesdas) 2018 and a cross-sectional design was used. The sample consisted of 72,602 female household members aged 10-54 years with married/divorced status who had given birth and had living children. The logistic regression model was used in the analysis. This study found that the prevalence of preterm birth in Indonesia was 33%. The results showed that there was a relationship between iatrogenic factors e.g., preeclampsia (aOR: 1,71; 95% CI: 1,22-2,38), antepartum hemorrhage (aOR: 1,39; 95% CI: 1,23-1,57), and placenta previa (aOR: 1,30; 95% CI: 1,07-1,57), maternal factors e.g., frequency of ANC visits (aOR: 1,56; 95% CI: 1,50-1,62 ) and twin pregnancy (aOR: 1,56; 95% CI: (1,33-1,82), maternal reproductive history factor, namely parity (aOR: 1,07; 95% CI: 1,03-1,11), disease factors and pregnancy conditions, namely hypertension (aOR: 1,26; 95% CI: 1,16-1,37) and hydromnios (aOR: 1,34; 95% CI: 1,22-1,46), as well as sociodemographic factors e.g., maternal age (aOR: 1,04; 95% CI: 1,00-1,08) and area of residence (aOR: 1,21; 95% CI: 1,17-1,25) Therefore, policy makers should consider these factors to reduce the prevalence of premature births in Indonesia."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia;Fakultas Teknik Universitas Indonesia;Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia;Fakultas Teknik Universitas Indonesia;Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia;Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alifa Rahma Rizqina
"Latar belakang: Persalinan prematur adalah persalinan pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018, sebanyak 29,5 persen bayi Indonesia terlahir secara prematur. Kelahiran prematur menjadi salah satu penyebab utama kematian bayi dan memiliki berbagai komplikasi jangka panjang bagi anak. Anemia merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya prematur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara anemia dan persalinan prematur. Metode: Penelitian dilakukan dengan metode case-control dengan uji statistik Chi square dan uji Fisher jika syarat Chi square tidak terpenuhi. Sampel penelitian ini berjumlah 100 sampel yang terdiri dari 50 sampel ibu yang bersalin secara prematur dan 50 sampel ibu yang tidak menjalani persalinan prematur. Pengambilan sampel menggunakan metode consecutive sampling. Data yang digunakan adalah data sekunder berdasarkan pencatatan pada rekam medis ibu melahirkan pada tahun 2021 di Rumah Sakit Umum Bhayangkara Brimob, Depok. Hasil: Dari 100 subjek, sebanyak 69 persen memiliki usia 20-34 tahun, 73 persen memiliki IMT >24,9 kg/m2, 36 persen memiliki paritas 1, dan 33 persen mengalami anemia. Ibu dengan anemia yang menjalani persalinan prematur adalah 16 persen dari keseluruhan ibu. Hasil uji analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara anemia dan persalinan prematur dengan nilai p 0,832, 95%CI 0,397-2,103, OR 0,913. Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan bermakna antara anemia dengan persalinan prematur di Kota Depok pada tahun 2021.

Introduction: Preterm birth is a term to describe a birth that takes place before the 37th week of gestational age. According to Indonesian Basic Health Research (Riset Kesehatan Dasar) 2018, the incidence of preterm birth in Indonesia is as high as 29.5% of live births. Preterm birth is one of the leading causes of neonatal mortality and one of many factors of long-term health complication of children. Anemia is a factor that could possibly increase the risk of preterm birth incidence. This study was conducted to determine the correlation between anemia and preterm birth incidence. Method: Case-control study was conducted using clinical record information of 100 subjects consisting of 50 women with preterm delivery and 50 women with term delivery at Rumah Sakit Umum Bhayangkara Brimob, Depok in year 2021. The number of samples was determined with consecutive sampling. The correlation between variables were then analyzed with the Chi-square test or Fisher’s exact test, if the assumptions for the Chi-square test were not met. Result: Within the 100 subjects studied, 69% were 20-34 years old, 73% had BMI >24,9 kg/m2, 36% were primiparous, and 33% had anemia in pregnancy. As many as 16% of the subjects had anemia in pregnancy and preterm deliveries. Bivariate analysis showed no significant correlation between anemia in pregnancy and preterm delivery (p=0.832; 95%CI: 0.397-2.103; OR=0.913) Conclusion: There is no significant correlation between anemia in pregnancy and preterm birth incidence in Depok in 2021."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devita Sari
"Latar belakang: Persalinan prematur semakin banyak dan memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Prematur menyumbang angka kematian tertinggi selain asfiksia, infeksi dan kelainan kongenital. Korioamnionitis merupakan salah satu penyebab persalinan prematur dan berhubungan dengan kejadian sepsis neonatal awitan dini pada bayi prematur atau berat lahir rendah. Penelitian dilakukan untuk mengetahui korioamnionitis sebagai prediktor sepsis neonatal awitan dini.
Metode : Penelitian kohort prospektif dilakukan bekerja sama dengan Departemen Obstetri dan Ginekologi RSCM dan RSUD Koja. Pengumpulan sampel dilakukan selama periode Maret-September 2022. Dilakukan evaluasi terhadap gejala klinis dan pemeriksaan penunjang ibu yang terkait korioamnionitis, dihubungkan dengan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang bayi terkait sepsis neonatal awitan dini yang dirawat di NICU.
Hasil : Insidens korioamnionitis sebesar 90% dan sepsis neonatus awitan dini 16%. Jenis persalinan spontan dan section caesarea dengan KPD tidak berhubungan dengan kejadian korioamnionitis (RR:1,049; IK 95% 0,982-1,120; p=1,000) and (RR:1,091; IK 95% 0,967-1,231; p=1,000).Korioamnionitis tidak berhubungan dengan sepsis neonatal awitan dini dengan p=0,358. Demam pada ibu berhubungan dengan kejadian SNAD EONS (RR:3,333: CI 95% 1,399-7,942; p=0,022)
Simpulan : Korioamnionitis bukan prediktor sepsis neonatal awitan dini pada bayi usia gestasi ≤32 minggu atau bayi berat lahir ≤ 1500 gram.

Background: Increasing number of preterm birth correlated with high morbidity and mortality rates. Prematurity contributed in high mortality rates alongside asphyxia, infections and congenital malformations. Chorioamnionitis were associated with preterm birth and early onset sepsis in preterm or low birth weight infants. Research was aimed to determine chorioamnionitis as a predictor of early onset neonatal sepsis (EONS) in preterm or low birth weight.
Methodes : Multicentre, Cohort prospective study conducted in collaboration with Obstetrics and Gynaecology Department of Cipto Mangunkusumo National Hospital (CMH) and Koja General Hospital. Samples were obtained in NICU Unit during March - September 2022. Maternal clinical symptoms and diagnostic tests for chorioamnionitis evaluated as a predictor to early onset neonatal sepsis.
Results : The incidence of chorioamnionitis and early onset neonatal sepsis were 90% and 16% respectively. Spontaneous and caesarean section delivery with PPROM is not associated with the incidence of chorioamnionitis (RR:1,049; CI 95% 0,982-1,120; p=1,000) and (RR:1,091; CI 95% 0,967-1,231; p=1,000). Chorioamnionitis is not a predictor of early onset neonatal sepsis with p=0,358. Maternal fever is associated with the incidence of EONS (RR:3,333: CI 95% 1,399-7,942; p=0,022).
Conclusion : Chorioamnionitis is not a predictor on early onset neonatal sepsis in gestational age ≤32 weeks or birth weight of ≤ 1500 grams.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Iis Indriayani
"Ketuban pecah prematur adalah suatu kondisi yang berhubungan dengan ketuban spontan pecah sebelum tanda-tanda persalinan aktif dibawah usia kehamilan 37 minggu. Ketuban pecah prematur dapat meningkatkan risiko komplikasi pada kesehatan ibu dan janin. Pengelolaan pada ibu hamil ketuban pecah prematur dengan mengaplikasikan teori Konservasi Levine dan Kenyamanan Kolcaba bertujuan untuk mempertahankan kehamilan sampai aterm dan mengatasi ketidaknyamanan. Pendekatan proses keperawatan mulai dari pengkajian sampai evaluasi  diterapkan  pada  kelima  ibu  hamil dengan  ketuban pecah prematur.  Beberapa  masalah keperawatan  yang  muncul  adalah  risiko  infeksi , risiko cidera  janin, kesiapan  peningkatan  kenyamanan, ansietas,  dan  peningkatan  support  sistem. Melalui  konservasi  energi,  konservasi  integritas  struktur,  konservasi  integritas personal dan konservasi integritas sosial kelima ibu hamil dengan ketuban pecah prematur dapat terhindar dari komplikasi  dengan  perawatan  konservatif.  Hasil  ini  dapat  digunakan  untuk  mengelola  ibu  hamil ketuban pecah prematur pada area maternitas.

Preterm Premature Rupture of Membranes is a condition associated with spontaneous rupture before signs of active labor under 37 weeks of gestation. Premature rupture of membranes can increase the risk of complications in maternal and fetal health. Management of premature rupture of amniotic mothers by applying the theory of Levine Conservation and Comfort Kolcaba aims to maintain pregnancy to term and overcome discomfort. The nursing process approach from assessment to evaluation is applied to the five pregnant women with Preterm Premature Rupture Of Membranes. Some nursing problems that arise are the risk of infection, the risk of fetal injury, readiness for increased comfort, anxiety, and increased support for the system. Through energy conservation, structural integrity conservation, personal integrity conservation and social integrity conservation of five pregnant women with Preterm Premature Rupture Of Membranes can avoid complications with conservative care. This result can be used to manage pregnant women Preterm Premature Rupture Of Membranes in the maternity area."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>