Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 85914 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Rahmah Sari Ramadhani
"ABSTRAK
UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang UUK-PKPU merupakan penyempurnaan dari Peraturan Kepailitan yang lama yaitu Faillissementsverordening dan UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan UUK . Penyempurnaan tersebut dilakukan agar dapat memenuhi kebutuhan dan mengatasi masalah yang timbul berkaitan dengan kepailitan. Namun walaupun telah terjadi perubahan dan penyempurnaan terhadap peraturan tersebut masih dijumpai masalah-masalah yang timbul terutama menganai percepatan waktu penagihan utang akselerasi . Dalam UKK dan Faillissementsverordening percepatan waktu penagihan utang akselerasi tidak diatur secara normatif. Sehingga hakim mempunyai diskresi untuk melakukan penemuan hukum secara berbeda-beda dalam setiap kasus. Dalam UUK-PKPU ditemukan ketentuan mengenai percepatan waktu penagihan utang akselerasi yatu pada penjelasan Pasal 2 ayat 1 UUK-PKPU namun ketentuan tersebut dirasakan masih kurang memadai. Hal ini terlihat dari pertimbangan hakim dalam putusan-putusan pada masa berlakunya UUK-PKPU yang melakukan interpretasi secara berbeda-beda dalam hal mengakui adanya percepatan waktu penagihan utang akselerasi . Sehingga tidak tercipta kepastian hukum bagi para kreditor maupun para debitor. Kata kunci: percepatan, penagihan, utang, akselerasi, kepailitan.
"
"
"ABSTRACT
"
Law Number 37 of 2004 UUK PKPU is a refinement of the old bankruptcy regulation of Faillissementsverordening Fv and Law Number 4 of 1998 UUK . Completion is done in order to meet the needs and solve problems that arise in connection with bankruptcy. However, despite the changes and improvements to the regulation, there are still problems that arise, especially in accelerating the timing of debt collection acceleration . In the UKK and Fv acceleration is not regulated normatively. So the judge has the discretion to make the discovery of the law differently in each case. In UUK PKPU acceleration found in the explanation of Article 2 paragraph 1 of UUK PKPU, but the provision is felt still inadequate. This can be seen from the judges consideration during the validity period of UUK PKPU which interpret differently about acceleration. Therefore that does not create legal certainty for the creditors and the debtors. Keywords billing, debt, acceleration, bankruptcy."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shanti Prameshwara Sotyaningtyas
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai pembuktian sederhana dalam kepailitan yang terdapat dalam pasal 8 ayat 4 UUK-PKPU serta penerapannya dikaitkan dengan prinsip utang dan hubungan hukum antara kreditor dan debitor pada putusan Pengadilan Niaga Nomor 18/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst. Utang merupakan dasar untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan utang tersebut harus dapat dibuktikan secara sederhana. Dalam penelitian ini penulis mengajukan pokok permasalahan, yaitu 1 Apakah majelis hakim dalam putusan Pengadilan Niaga Nomor 18/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst telah sesuai menerapan pembuktian sederhana menurut pasal 8 ayat 4 UUK-PKPU? dan 2 Bagaimana penerapan prinsip utang dan hubungan hukum antara debitor dan kreditor dikaitkan dengan pembuktian sederhana menurut pasal 8 ayat 4 UUK-PKPU pada putusan Pengadilan Niaga Nomor 18/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst?. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif dan mono disipliner. Berdasarkan hasil analisa penulis, diperoleh kesimpulan bahwa, majelis hakim telah sesuai menerapkan pembuktian sederhana dalam pasal 8 ayat 4 UUK-PKPU dan juga telah sesuai menerapkan prinsip utang dikaitkan dengan pembuktian sederhana tersebut. Oleh sebab itu, putusan majelis hakim yang menolak permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh Para Pemohon dalam kasus tersebut sudah sesuai dengan UUK-PKPU.
"
"
"ABSTRACT
"
he focus of this thesis is on the simple justification in bankruptcy contain in Article 8 paragraph 4 UUK PKPU and its application related to the principle of debt and the legal relationship between creditors and debtor in the decision of Commercial Court Number 18 Pailit 2012 PN.Niaga.Jkt.Pst. Debt is the basis for filling petition for a declaration of a bankcruptcy and in bankruptcy that debt must be proven simply. In this study the writer proposed the main issues, which are 1 Are the panel of judges in the decision on Commercial Court Number 18 Pailit 2012 PN.Niaga.Jkt.Pst has been consistent to implement the simple justification accrording to Article 8 paragraph 4 UUK PKPU and 2 How the application of the principle of debt and the legal relationship between creditor and debtor associated to the simple justification according to Article 8 paragraph 4 UUK PKPU in the decision on Commercial Court Number 18 Pailit 2012 PN.Niaga.Jkt.Pst . This research used normative juridical method with a descriptive and mono dicipliner tipology. Based on the results of the writer rsquo s analysis, the writer came to conclusion that the panel of judges has been consistent to apply the simple justification in Article 8 paragraph 4 UUK PKPU and also has consistent apllying the principle of debt associated with simple justification. Therefore, the decision of the panel of the judges who refused the petition for a declaration of a bankcruptcy filled by the Petitiones in cases accordance with the UUK PKPU. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Vidina Wulan Asri
"Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan salah satu prosedur hukum penyelesaian masalah utang oiutang yang menghimpit seorang debitor, dimana debitor tersebut sudah tidak mampu membayar utang-utangnya kepada para kreditornya. Sehingga Undang-Undang omor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU cenderung melindungi kepentingan kreditor konkuren. Dalam kasus ini, konstruksi hukum adanya utang, perlindungan hukum kreditor, dan penjatuhan putusan pailit menjadi pokok permasalahan utama yang dibahas. Oleh karena itu, untuk dapat menjawab pokok permasalahan maka harus melihat pada perjanjian yang melandasi utang, fakta-fakta dan pertimbangan hakim dalam putusan, dan teori mengenai hukum kepailitan.

Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations is a legal procedure on debt solving for debtor who faces financial problem. Therefore, the Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations Law No. 37 in 2007 tends to protect the preferent creditor. In this case, the existence of debt, legal protection of creditor, and the court decision are the important object to be analysed. Therefore, to analyse the objects, we need analyse the agreement between debtor and credtors, the fact according to the court decision, judge legal consideration, and some bankruptcy theories."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michaell Yose Andersen
"Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) merupakan badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat. Keberadaan BUM Desa tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, Namun terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam pengaturan tentang BUM Desa dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tersebut yakni terkait dengan konstruksi yuridis dari BUM Desa sebagai suatu subyek hukum di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dikarenakan dikarenakan penelitian ini mencoba untuk mengkaji norma hukum yang terdapat dalam peraturan-peraturan perundangan yang berlaku terkait dengan BUM Desa serta terkait dengan kepailitan badan usaha yaitu Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan bahwa: Pertama, BUM Desa merupakan badan usaha yang tidak berbadan hukum, namun dalam perkembangannya BUM Desa dapat menjadi badan usaha yang berbadan Hukum. Kedua, BUM Desa dapat diajukan Pailit berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepalitian dan PKPU.

Village Owned Enterprises (BUM Desa) are business entities whose capital is wholly or partly owned by the village through direct investment originating from separated village assets aimed at the welfare of the community. The existence of BUM Desa is regulated in Law Number 6 of 2014 concerning Villages. However, there is a legal deficiency or vacuum in the regulation regarding BUM Desa in Law Number 6 of 2014 which is related to the juridical construction of BUM Desa as a legal subject in Indonesia. . This study uses a normative juridical research method because this research tries to examine the legal norms contained in the applicable laws and regulations related to BUM Desa and related to bankruptcy of business entities, namely Law Number 6 of 2014 concerning Villages and Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations. The results of the research that has been carried out can be concluded that: First, BUM Desa is a business entity that is not a legal entity, but in its development BUM Desa can become a legal entity. Second, BUM Desa can be filed for bankruptcy based on Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations (Bankruptcy Law and PKPU.)"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raisha Priskilla Romauli
""ABSTRACT
"
Skripsi ini membahas mengenai syarat kepailitan di Indonesia yang terdapat dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dan juga syarat kepailitan di Singapura serta perbedaan diantara keduanya, dan bagaimana penerapan syarat-syarat tersebut pada kasus kepailitan PT Telkomsel. Pada bagian analisis akan dibahas mengenai penerapan syarat kepailitan dalam kasus kepailitan PT Telkomsel dalam Putusan Pengadilan Niaga Nomor 48/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst dan juga Putusan Mahkamah Agung Nomor 704 K/Pdt.Sus/2012 dimana putusan pailit terhadap PT Telkomsel dibatalkan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dengan studi kepustakaan sebagai cara menganalisis kasus yang sudah dalam bentuk putusan pengadilan. Dari hasil penelitian, penulis mendapat kesimpulan bahwa perbedaan antara syarat kepailitan di Indonesia dan Singapura terkait jumlah minimal kreditor, jumlah minimal utang, dan keadaan tidak mampu membayar utang, serta bahwa penulis setuju dengan putusan Mahkamah Agung yang membatalkan kepailitan PT Telkomsel karena Majelis Hakim di Pengadilan Niaga kurang tepat dalam menerapkan syarat-syarat kepailitan.
"
"
"ABSTRACT
"
This thesis discusses the terms of bankruptcy in Indonesia contained in Article 2 paragraph 1 of Law Number 37 Year 2004 and also the condition of bankruptcy in Singapore and the difference between the two, and how the application of those conditions in the bankruptcy case of PT Telkomsel. In the analysis section will be discussed the application of bankruptcy requirements in the bankruptcy case of PT Telkomsel in the Commercial Court Decision Number 48 Bankrupt 2012 PN.Niaga.Jkt.Pst and also the Supreme Court Decision Number 704 K Pdt.Sus 2012 where the decision to put PT Telkomsel in bankruptcy is canceled. In this study, the author uses normative juridical research methods, with literature study as a way of analyzing cases that have been in the form of court decisions. The author concludes that the difference between bankruptcy requirements in Indonesia and Singapore is related to the minimum number of creditors, the minimum amount of debt, and the inability to pay the debt, and that the authors agree with the decision of the Supreme Court to cancel the bankruptcy of PT Telkomsel because the Panel of Judges in the Commercial Court did not apply the terms of bankruptcy appropriately."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeremiah Ernest Doloksaribu
"Terdapat beberapa model bisnis yang dapat digunakan oleh seorang pengusaha dalam membangun bisnisnya. Salah satunya adalah menggunakan jenis Induk-Anak Perusahaan (Perusahaan Grup). Menggunakan model bisnis apa pun, sering kali kegagalan tidak dapat dihindari. Kesulitan finansial dengan berbagai faktor, menjadi alasan dari gagalnya suatu bisnis. Kepailitan hadir sebagai solusi bagi seorang pengusaha untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut. Tetapi kehidupan ekonomi di Indonesia masih banyak ditemukan kekurangan. Kosongnya pengaturan mengenai Induk-Anak Perusahaan menjadi salah satunya. Padahal praktik Induk-Anak Perusahaan bukan hanya satu atau dua entitas di Indonesia, tetapi banyak sekali digunakan bagi pengusaha. Selain itu juga dalam hukum kepailitan di Indonesia tidak luput dari segala kekurangannya. Tidak hadirnya tes insolvensi, membuat suatu perusahaan dapat dengan mudah pailit selama memenuhi persyaratan pailit yang diatur dalam UUKPKPU, padahal perusahaan tersebut masih mampu untuk membayar utang-utangnya. Tulisan ini hadir membahas masalah-masalah tersebut, mulai dari urgensi tes insolvensi di Indonesia, studi kasus penerapan insolvensi tes dalam kasus kepailitan PT Hanson International Tbk yang menjadi contoh semrawutnya hukum ekonomi di Indonesia, serta eksekusi kepailitan yang dalam hal terjadinya kepailitan Induk-Anak Perusahaan di Indonesia. Tulisan ini menggunakan metode pendekatan dalam bentuk kualitatif, yang kemudian menyimpulkan bahwa PT Hanson International Tbk belum dalam keadaan insolven, serta menyimpulkan eksekusi harta pailit dalam bentuk saham yang dimiliki Induk Perusahaan terhadap Anak Perusahaannya.

There are several business models that can be used by an entrepreneur in building his business. One of them is using the Parent-Subsidiary type (Group Company). Using any business model, failure is often inevitable. Financial difficulties with various factors become the reason for the failure of a business. Bankruptcy comes as a solution for an entrepreneur to be able to solve these problems. However, economic life in Indonesia still has many shortcomings. The absence of regulations regarding the Parent-Subsidiary Company is one of them. Whereas the practice of Parent-Subsidiary Company is not only one or two entities in Indonesia but is widely used for entrepreneurs. In addition, Indonesian bankruptcy law is not free from shortcomings. The absence of an insolvency test means that a company can easily go bankrupt as long as it meets the bankruptcy requirements stipulated in the UUKPKPU, even though the company is still able to pay its debts. This paper discusses these issues, starting from the urgency of the insolvency test in Indonesia, a case study of the application of the insolvency test in the bankruptcy case of PT Hanson International Tbk, which is an example of the chaos of economic law in Indonesia, as well as the execution of bankruptcy in the event of Parent-Subsidiary bankruptcy in Indonesia. This paper uses a qualitative approach, which then concludes that PT Hanson International Tbk is not yet insolvent and concludes the execution of bankruptcy assets in the form of shares owned by the Parent Company against its Subsidiaries."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Randy Suwenli
"Skripsi ini membahas mengenai analisis yuridis pertimbangan hakim dalam putusan perkara 01/Pdt.Sus.Actiopauliana/2014/PN.Niaga.Jkt.Pstdan02/Pdt.Sus.Actiopauliana/2014/P N.Niaga.Jkt.Pst berdasarkan UUK-PKPU.dan perbandingan antara pengaturan Actio pauliana di Indonesia dengan Belanda dan Amerika Serikat. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat eksplanatoris. Actio pauliana menurut undang-undang adalah hak yang diberikan kepada seorang kreditor melalui kurator untuk mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk pembatalan segala perbuatan yang tidak diwajibkan untuk dilakukan oleh debitor terhadap harta kekayaan yang diketahui oleh debitor perbuatan tersebut akan merugikan kreditor.
Berdasarkan analisis pada putusan perkara putusan perkara nomor 01, majelis hakim sudah tepat dalam menerapkan hukum dan unsur-unsur actio pauliana, hanya saja dalam pembuktian unsur kerugian seharusnya perbuatan debitur merugikan karena hanya menguntungkan kreditur tertentu saja, Kemudian pada analisis putusan perkara nomor 02, masih permasalahan dalam penerapan hukumnya, terutama karena hakim terlalu berpatokan pada 'titel recht' milik tergugat, dan tidak melihat pada barang bukti lainnya yang menunjukkan adanya indikasi bahwa debitur bertujuan merugikan kreditur lainnya. Pengaturan Actio pauliana di Indonesia secara materil sama dengan di Belanda, hanya berbeda secara formil. Tetapi Indonesia bisa banyak belajar dari Pengaturan Actio pauliana di Amerika Serikat yang lebih membantu kurator dan pengadilan dalam menangani pembatalan perbuatan debitur pailit yang merugikan kreditur.

This thesis discusses the analysis of judicial consideration from the judge in the Court Judgement 01/ Pdt.Sus.Actiopauliana/ 2014/ PN.Niaga.Jkt.Pst and 02/ Pdt.Sus .Actiopauliana/ 2014/ PN.Niaga.Jkt.Pst under the UUK-PKPU.dan comparison between the regulation ofActio pauliana in Indonesia and the regulation of Actio paulianain the Netherlands and the United States. This research is a normative juridical research. The type of the research is explanatory.Actio pauliana is a statutory rights that are granted to a creditor through a curator to apply to the court for avoidance of all the action that are voluntarily done by the debtor towards the assets of the debtor that by such actions the debtors realize the debtors would harm the rights of the creditors.
Based on the analysis of court judgement number 01, the judge has applied the law and the elements of actio pauliana properly, but when proving the element of loss , the debtor action should be proven to have harm the creditors because his action gave benefit just to certain creditors, so that other creditors harmed. Then in the analysis fromcourt judgement number 02, there are still many problems in implementing the law, especially since the judge is too focused on the "title recht", and did not look at other evidence that indicates the debtor has real intents to harm the creditors right. The regulation of Actio pauliana in Indonesia is materially the same as in the Netherlands, differ only formally. But Indonesia can learn a lot from the regulation of Actio pauliana in the United States because it is more pratical for curator and judges in handling the avoidance of debtor action which intent to harm the creditors.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S58145
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Friska Anastasia Asyifa
""ABSTRAK
"
Skripsi ini membahas mengenai kepailitan Sindu Dharmali yang berkedudukan hukum sebagai personal guarantor. Dewasa ini, perjanjian utang-piutang seringkali diikuti oleh perjanjian jaminan, salah satunya adalah personal guarantee. Dengan adanya perjanjian jaminan ini, personal guarantor dibebankan tanggung jawab untuk memenuhi perikatan debitor manakala debitor itu sendiri tidak memenuhinya. Apabila personal guarantor tersebut juga tidak dapat memenuhinya, maka kreditor dapat mengajukan permohonan kepailitan terhadap personal guarantor tersebut. Di Indonesia sendiri belum ada peraturan yang mengatur secara tegas mengenai kepailitan guarantor, sehingga menimbulkan perbedaan pendapat mengenai guarantor yang dapat dipailitkan. Namun apabila mengacu pada ketentuan KUHPerdata dan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang maka personal guarantor dimungkinkan untuk dipailitkan. Salah satu kasus kepailitan terhadap personal guarantor adalah kasus yang dibahas dalam tulisan ini yaitu kasus kepailitan Sindu Dharmali dalam Putusan No. 04/PAILIT/2012/PN.NIAGA.SMG. Kata kunci: kepailitan, personal guarantor, perjanjian jaminan
<"
"
"ABSTRACT
"
This thesis discusses the bankruptcy of Sindu Dharmali whose legal position as personal guarantor. Nowadays, debt agreement often followed by guarantee agreement, for example is personal guarantee. With this guarantee agreement, personal guarantor is charged with responsibility to fulfill the debtor rsquo s engagement when he does not fulfill it. If the personal guarantor also can not fulfill it, then the creditor may propose bankruptcy against the personal guarantor. In Indonesia, there has been no firm regulation regarding guarantor bankruptcy, thus causing differences of opinion regarding guarantor who bankrupted. But if it refers to the provisions of Indonesian Civil Code and Indonesian bankruptcy law, then the personal guarantor is possible to bankrupt. One of the personal guarantor bankruptcy cases is the case discussed in this thesis, the bankruptcy case of Sindu Dharmali in the Supreme Court Decision No. 04 PAILIT 2012 PN.NIAGA.SMG. Keywords bankruptcy, personal guarantor, guarantee agreement"
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayodhia Primadarel
"Penulisan ini menganalisis putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung pada tahun 2009. Terdapat sebuah perkara utang-piutang yang terjadi antara P.Suparmo, Sisnawati, Surya Teja, dan David Hamadi sebagai kreditur dan Ny.Susanti sebagai debitur. Sebagai debitur, Ny.Susanti telah lalai dalam melunasi utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Belum lagi Ny.Susanti melunasi utang-utang tersebut, dirinya meninggal dunia dan meninggalkan tiga orang ahli waris. Untuk melindungi kepentingan para kreditur, mereka mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap boedel waris dan juga para ahli waris untuk melindungi piutang mereka yang ada di dalam harta kekayaan Ny.Susanti. Tulisan ini akan menganalisis mengenai kapasitas ahli waris dalam menggantikan kedudukan dari pewaris sebagai debitur ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan juga Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Selain itu juga mengenai upaya hukum apa saja yang dapat dilakukan baik oleh kreditur maupun oleh debitur. Permasalahan-permasalahan yang akan dibahas disini menggunakan metode penelitian normatif yang menghasilkan kesimpulan bahwa walaupun debitur telah meninggal dunia, namun kreditur masih memiliki perlindungan hukum terhadap piutang nya dan salah satu perlindungan hukum tersebut adalah melalui permohonan pernyataan pailit.

This thesis analyzes supreme court judgement on 2009. There was a doubtful debts case between P.Suparmo, Sisnawati, Surya Teja, and David Hamadi as creditors and Mrs.Susanti as a debtor. As a debtor, she has neglected to pay her debts which has been due. However, before she paid off her debts, she passed away and left three of her heirs. To protect the interests of creditors, they filed a petition for bankruptcy declaration on Mrs. Susanti?s inheritance and the heirs. They filed the petition to protect their credits which were on Mrs. Susanti?s inheritance. This thesis will analyze the capacity of the heirs to substitute the position of Mrs. Susanti as a debtor reviewed by Civil Code and Law of The Republic of Indonesia Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Obligation for Payment of Debts. Furthermore, it will analyze the alternatives which can be done by creditors and also debtors. Problems which will be discussed in this thesis are using normative research method which concludes that even though the debtor has passed away, but the creditors still have a legal protection for their credits and the one of the protections is they can file the petition for bankruptcy declaration."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Vidi Galenso Syarief
"Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Niaga, dikarenakan debitor tersebut tidak dapat membayar utangnya. Pernyataan pailit mengakibatkan debitor demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak pernyataan kepailitan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji status hukum putusan pengadilan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku atas upaya perdamaian pada kasus kepailitan, serta putusan pengadilan telah memenuhi asas kepastian hukum, sederhana, cepat dan murah apabila dibandingkan dengan upaya perdamaian yang dilakukan di luar Pengadilan dalam rangka memenuhi asas kemanfaatannya.
Pendekatan terhadap permasalahan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan melalui penelitian kepustakaan dengan cara studi dokumen terhadap bahan-bahan hukum untuk memperoleh data sekunder sebagai data utamanya.
Hasil dari penelitian ini adalah (1) Status hukum putusan pengadilan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku atas upaya perdamaian pada kasus kepailitan adalah tetap berlaku dan sah menurut hukum, karena perdamaian dalam kepailitan bukan untuk mengakhiri sengketa atau mencegah suatu sengketa, karena perkara kepailitan tidak termasuk dalam jurisdiksi contentius sebagaimana halnya perkara gugatan perdata biasa, akan tetapi termasuk dalam jurisdiksi voluntair karena merupakan permohonan putusan pernyataan pailit.
Dalam kepailitan tidak ada sengketa, oleh karenanya perdamaian dalam kepailitan (i) dilakukan setelah perkaranya diputus (putusan pernyataan pailit telah diucapkan) dan tidak dilakukan sebelum perkara diajukan ke Pengadilan ataupun setelah para pihak didamaikan menurut ketentuan Pasal 130 HIR, dan (ii) bertujuan menyelesaikan kewajiban utang debitor pailit kepada para kreditornya secara sebaik-baiknya; dan (2) Putusan pengadilan telah memenuhi asas kepastian hukum, sederhana, cepat dan murah apabila dibandingkan dengan upaya perdamaian yang dilakukan di luar pengadilan dalam rangka memenuhi asas kemanfaatannya.
Studi Kasus kepailitan BTID yang disidangkan kembali di Pengadilan Niaga berdasarkan akte perdamaian diluar pengadilan setelah adanya putusan pailit ditingkat Kasasi, MA, yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) adalah terobosan dalam hukum acara/ prosedur Kepailitan yang memberikan solusi yang memenuhi asas-asas diatas dan yang terkandung dalam HIR ps.130 dan Hukum Perdata dimana kesepakatan adalah Undang-undang bagi para pihaknya.

Bankruptcy is a process in which a debtor who has financial difficulties to pay its debts declared bankrupt by the court, the Commercial Court in this case, because the debtor is unable to pay its debts. Bankruptcy debtor void resulting in loss of the right to control and take care of his wealth are included in the bankruptcy, since the bankruptcy declaration.
The purpose of this study was to determine and assess the legal status according to the court ruling legislation applicable to a reconciliation effort in a bankruptcy case, and the court decision meets the principle of legal certainty, simple, quick and inexpensive when compared to the reconciliation effort that undertaken outside court in order to satisfy the benefit principle.
The approach to the problem of this research, are the legislation approach (statute approach) and the case approach. This research is a normative legal research, indeed, a research that done through a literature research in a way of document study on legal materials to obtain the secondary data as the main data.
The results of this research is (1) the legal status of the court decision according ruling legislation that applicable to the reconciliation effort on the bankruptcy case is still valid and lawful, because reconciliation in bankruptcy is not to end a dispute or to prevent a dispute, yet the bankruptcy court did not included in contentius jurisdiction like ordinary civil lawsuits, but included in voluntair jurisdiction because it is a decision of the bankruptcy petition.
In bankruptcy there is no dispute, therefore reconciliation in bankruptcy (i) is conducted after the case is decided (the decision of bankruptcy has been spoken) and not before the case filed to the Court or after the parties reconciled in accordance with the provisions of Article 130 of HIR, and (ii) aimed at finalizing the debt obligations of insolvent debtors to their creditors as proper as possible; and (2) The court's decision meets the principle of legal certainty, simplicity, quick and inexpensive when compared to the reconciliation effort made outside the court only in order to satisfy the benefit principle.
Bankruptcy case study of BTID which was retrial at the Commerce Court based on the Reconciliation Agreement outside the court just right after there was a bankruptcy final and binding court decision (inkrahct van gewijsde) by the Supreme Court was a breakthrough in the Bankruptcy trial procedure, that has given the solution which fulfills the above principles and stipulated in the HIR article.130, and Private Law as well, where the Agreement is the Act for the Parties.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T34943
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>