Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 31699 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alfian Anditya
"ABSTRAK
Peralihan kepemilikan atas benda yang difidusiakan oleh seorang debitur kepada kreditur menjadi alasan dari tidak dimungkinkannya bagi debitur yang bersangkutan untuk memfidusiakan ulang benda yang sama kepada kreditur lainnya. Perbuatan debitur tersebut dilarang secara tegas dalam UU No. 42 Tahun 1999 guna melindungi hak milik dari kreditur pertama atas benda yang difidusiakan kepadanya. Dalam hal larangan tersebut dilanggar, debitur yang bersangkutan tidak hanya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana tetapi juga dapat digugat secara perdata oleh kreditur yang haknya dirugikan melalui gugatan perbuatan melawan hukum. Penelitian ini menelaah tentang larangan fidusia ulang dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku serta mengkaji pelanggaran atas larangan tersebut sebagai suatu perbuatan melawan hukum. Penjelasan mengenai perbuatan melawan hukum dalam permasalahan fidusia ulang ini juga dianalisa dari ketepatan suatu putusan dan pertimbangan hakim dalam perkara perdata nomor 410/PDT.G/2013/PN.Jkt.Sel. antara Sumatra Partners LLC melawan ABNR.

ABSTRACT
Transfer of assurance objects ownership from a debtor to his her creditor makes the debtor unable to ensure the same assurance object to another creditor. This act is prohibited by Act 42 1999 in order to protect first secured creditors ownership on the assurance object. If the prohibition violated, the debtor could be prosecuted in a criminal court and also he she could be suited by his her creditor whose right was violated with a tort suit. This research examined about dual fiduciary prohibition based on Indonesia law and its violated as a tort. Description about tort problem in a dual fiduciary also analyzed of the decision and judgment of the court judges on the civil case with registered number 410 PDT.G 2013 PN.Jkt.Sel. between Sumatra Partners LLC against ABNR. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melody Akita
"Maraknya kasus peletakan jaminan fidusia atas benda milik pihak ketiga dalam perjanjian pembiayaan dalam praktik penjaminan fidusia telah menjadi permasalahan krusial terkait perlindungan hukum terhadap para pihak, yakni pemilik asli benda dan kreditur sebagai Penerima Fidusia, salah satunya adalah sebagaimana dalam Putusan No. 975 K/Pdt/2020. Tulisan ini menganalisis bagaimana keabsahan peletakan jaminan fidusia atas benda milik pihak ketiga dalam perjanjian pembiayaan dan bagaimana hakim menyikapi kasus penjaminan fidusia atas benda milik pihak ketiga dalam perjanjian pembiayaan pada Putusan No.975 K/Pdt/2020 serta bagaimana tindakan dalam putusan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum dalam perspektif hukum perdata. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal dengan pendekatan analitis. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa penjaminan fidusia atas benda milik pihak ketiga dalam perjanjian pembiayaan adalah sah apabila dilakukan berdasarkan persetujuan pemilik benda sebagaimana ditafsirkan dari Pasal 1 angka 5 UU Jaminan Fidusia. Kemudian, tindakan Para Tergugat menjaminkan fidusia atas benda milik pihak ketiga dalam Putusan No. 975 K/Pdt/2020 sudah tepat dinyatakan bukan merupakan perbuatan melawan hukum, tetapi alasan pertimbangan hakimnya keliru karena seharusnya yang mendasari perbuatan tersebut dinyatakan bukan melawan hukum adalah karena pada waktu proses pembiayaan dijalankan objek tersebut bukanlah milik Penggugat.

The rise in cases of placing fiduciary guarantees on objects belonging to third parties on financing agreements in the practice of fiduciary guarantees has become a crucial problem related to legal protection for the parties, namely the original owners of the objects and creditors as Fiduciary Recipients, one of which is as in Decision No. 975 K/Pdt/2020. This paper analyzes the validity of placing fiduciary guarantees on objects belonging to third parties in financing agreements and the judges respond to cases of fiduciary guarantees on objects belonging to third parties in financing agreements in Decision No. 975 K/Pdt/2020 and how the actions in this decision can be qualified as tort from a civil law perspective. This article is conducted using doctrinal research methods with an analytical approach. The results of the research conclude that fiduciary guarantees for objects belonging to third parties in financing agreements are valid if carried out based on the agreement of the object owner as interpreted from Article 1 point 5 of the Fiduciary Guarantee Law. Then, the actions of the Defendants in placing fiduciary guarantees to objects belonging to third parties in Decision No. 975 K/Pdt/2020 were rightly declared not to be unlawful, but the reason for the judge's consideration was wrong because the basis for the action to be declared lawful was because at the time the financing process was carried out the object did not belong to the Plaintiff."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Friska Anggia Ifriwati
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai akibat hukum dari melakukan fidusia ulang dan
pendaftaran jaminan fidusia yang berlaku di Indonesia sekarang ini. Penelitian ini
adalah penelitian preskriptif dimana penelitian ini bertujuan untuk memberikan
jalan keluar atau saran untuk mengatasi suatu permasalahan. Hasil penelitian ini
menyarankan bahwa perlunya amandemen atau direstrukturisasi terhadap
Undang-Undang Jaminan Fidusia karena sudah tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan masyarakat sekarang ini dimana terdapat beberapa pasal yang tidak
konsisten antara yang satu dengan yang lainnya dan walaupun sudah dibuat
pendaftaran Jaminan Fidusia secara online untuk mempermudah pendaftaran
tetapi masih saja sistem tersebut memiliki kelemahan sehingga perlu untuk
ditinjau ulang agar para pihak dapat mengakses database mengenai Jaminan
Fidusia secara lengkap. Sehingga perlu dengan segera Undang-Undang Jaminan
Fidusia untuk diamandemen agar tercapainya kepastian hukum bagi para pihak

ABSTRACT
This thesis discusses about legal consequences oh the dual fiduciary and fiduciary
registration that applicable in Indonesia nowadays. This research is prescriptive in
which this research aims to provide solutions or suggestions to overcome a
problem. The results of this research suggest that need for amendment or
restructuring of the Fiduciary Law because it is no longer relevant to the needs of
today's society where there are several chapters that are not consistent between
each other and despite being made Fiduciary online registration to facilitate
registration but the system still has flaws that need to be reviewed so that the
parties can access the database of Fiduciary fully. So it needs to immediately
Fiduciary Law to be amended in order to achieve legal certainty for the parties"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42270
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diptanala Dimitri
"Setiap warganegara memiliki hak untuk memperoleh informasi. Untuk mendukung hal tersebut, keberadaan pers menjadi penting di dalam memenuhi informasi yang berkaitan dengan kepentingan umum. Namun, tidak jarang pengungkapan informasi yang dilakukan pers dalam suatu karya jurnalistik melanggar hak privasi yang jelas dilindungi oleh Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945. Skripsi ini membahas bagaimana perlindungan hak privasi yang terdapat di Indonesia dengan melakukan perbandingan terhadap Amerika Serikat dan Prancis. Selain itu, akan dibahas pula mengenai pertanggungjawaban pers secara perdata atas pelanggaran hak privasi yang dilakukan dikaitkan dengan Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum.
Pokok permasalahan tersebut dijawab dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang menghasilkan kesimpulan bahwa Indonesia memang mengakui keberadaan hak privasi dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Namun pengaturannya, khususnya terkait dengan pers, masih belum spesifik dan perlu diatur lebih lanjut. Pengungkapan terhadap hal-hal yang berkenaan dengan hak privasi memang diperbolehkan, namun harus diatur dalam undang-undang. Pers yang melanggar hak privasi dapat dituntut ganti rugi dengan Pasal 1365 KUHPerdata, terutama atas dasar melanggar kepatutan dan pihak yang bertanggung jawab tidak terbatas pada Perusahaan Pers saja.

Each citizen has the right of information. In order to support this matter, the role of the press has become important to give any information related to public interest. However, in certain cases, the disclosure of information which had been gathered by press within journalistic works violates the right of privacy which is protected under Article 28 G section 1 Indonesia's Constitution 1945. This thesis discusses the protection of privacy right in Indonesia compared to those in the United States of America and France. Furthermore, this thesis discusses the civil liability if the press regarding violation of privacy right which associates with Article 1365 of Indonesia's Civil Code concerning tort claim.
The principal problem is answered by using normative judicial method which brings into conclusion that Indonesia has recognized the right of privacy through several regulations. However, there is no exact rule about the right to privacy itself and it is important to make further regulation. The disclosures against matters related to privacy are allowed as long as it is governed by law. Press who violates someone's right to privacy can be liable for damages as it is stated under Article 1365 of Indonesia's Civil Code, especially on the basis of violation of equity (appropriateness).
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S269
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Prita Anindya
"Skripsi ini membahas gejala penipisan perbedaan konsep wanprestasi dengan konsep perbuatan melawan hukum yang ditandai dengan penggunaan konsep perbuatan melawan pada pembatalan perjanjian sepihak. Di dalamnya akan dibahas mengenai bagaimana suatu konsep perbuatan mealwan hukum dapat diterapkan pada sengketa pembatalan perjanjian sepihak, selain itu juga akan dibahas mengenai konsep ganti rugi yang digunakan. Untuk lebih memahami penerapan gugatan perbuatan melawan hukum ini, akan dianalisa beberapa putusan dari sengketa pembatalan perjanjian sepihak yang digugat dengan perbuatan melawan hukum. Penelitian ini adalah penelitian yuridisnormatif, yaitu penelitian dengan lebih mengutamakan data sekunder, khususnya terhadap bahan hukum primer berupa putusan pengadilan.

The focus of this study is discussing the differences decrease phenomenon of the default concept and the tort concept which indicated by the application of the Tort concept in some disputes of agreement partially cancellation. This study also discuss about how a concept of tort can be applied in such cases and what compensation concept can be applied. To see the application of this tort, this study also included some decrees of the agreement partially cancellation dispute using tort concept, completed with the analyses. This is a juridical - normative research which means that this research is more emphasize to the secondary data, specially the primary material law, such as court decrees."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S21405
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adrian Rizki Ramadhan
"Tesis ini membahas penyalahgunaan dana investasi sebagai perbuatan melawan hukum, apabila dalam suatu perbuatan yang kemudian memberi kerugian terhadap seseorang, maka hal tersebut termasuk perbuatan melawan hukum, kemudian yang menjadi pokok permasalahan tesisi ini adalah syarat-syarat Perbuatan Melawan Hukum; penyalahgunaan dana investasi yang dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum; Dalil Perbuatan Melawan Hukum diterapkan dalam perkara Ayunda Prima Mitra melawan PT Adi Karya Visi. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan normatif yuridis. Hasil penelitian menyarankan para pihak yang mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum harus tepat dalam menguraikan unsur-unsurnya serta dapat membuktikan hal tersebut memang benar merupakan perbuatan melawan hukum, terhadap tindakan penyalahgunaan dana investasi harus dapat dideskripsikan jumlah kerugiannya.

This thesis elaborates the misuse of investment fund as tort. If such misuse results in the losses suffered by someone, it constitutes tort. The main legal issues under this thesis are the elements of tort; the misuse of investment fund which can be categorized as tort; application of the arguments on tort in the case of Ayunda Prima Mitra v. PT. Adi Karya Visi. The method of research used in this thesis is qualitative with a normative-juridical approach. The result of the research suggests that the parties who submit a tort law suit must accurately elaborate the elements and must be able to prove that the alleged conduct can be categorized as tort. The amount of losses resulting from the misuse of investment fund must be describable."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28080
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Wini Noviarini
"ABSTRAK
Perbuatan melawan hukum merupakan genus dari spesies wanprestasi yang dapat mengakibatkan kerugian pihak yang mengadakan perjanjian. Apabila kerugian telah terjadi pada salah satu pihak yang berasal dari hubungan kontraktual maka dapat dijadikan dasar gugatan. Namun pencampuran gugatanan tarawan prestasi dan perbuatan melawan hukum dalam yurisprudensi tidak diperkenankan, tetapi pada prakteknya pengertian wanprestasi dan perbuatan melawan hukum telah mengalami pergeseran. Bentuk-bentuk perbuatan melawan hukum dalam kontrak adalah: pembatalan perjanjian secara sepihak, pengalihan perjanjian secara sepihak dan perjanjian dalam klausula baku, sehingga gugatan yang didasari oleh kontrak dapat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum. Pemulihan keadaan dalam perbuatan melawan hukum dengan pendekatan economic analysis of law akan menjadi rasionalisasi dari konsep-konsep abstrak mengenai keadilan.

ABSTRACT
Tort is a genus of species a breach of contact that may have adverse defaulting parties entered into the agreement. If the loss has occurred on one side that comes from the contractual relationship, it can be used as the basis of a lawsuit. But mixing a lawsuit between a breach of contact and the tort jurisprudence is not allowed, but in practice the notion a breach of contact and tort has undergone a shift. Forms in contract tortare: cancellation of the agreement unilaterally, diversion agreements unilaterally andstandard clause in the agreement, so the lawsuit is based ona contract may file a lawsuit against the law. State recovery in tort approach to economic analysis of law will be the rationalization of the abstract concepts of justice."
Universitas Indonesia, 2013
T32162
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ramon Wahyudi
"Suatu perusahaan eksport dan import yang menggunakan valuta asing dalam melakukan transaksi akan mengalami resiko perubahan nilai tukar mata uang asing yang dapat mempengaruhi keuntungan usahanya, resiko ini dapat dikelola dengan menggunakan lindung nilai (hedging) dengan transaksi derivatif yang bernama callable forward. Callable forward adalah transaksi pembelian dan penjualan valuta asing yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan berlaku pada waktu yang akan datang. Produk perbankan ini ditawarkan diluar bursa (over the counter), tujuannya adalah untuk lindung nilai, dibuat berdasarkan perjanjian International Swap Dealers Associations (ISDA) yang terdiri dari Master agreement, schedule dan confirmation.
Perjanjian ini berjalan lancar sampai suatu ketika muncul krisis keuangan tahun 2008, dimana USD mencapai Rp. 13.000,-. Dalam perjanjian ada klausula yang merugikan nasabah yang sebelumnya tidak di informasikan oleh bank kepada nasabah. akibatnya perjanjian yang disusun atas transaksi lindung nilai dibatalkan dan perjanjian Callable forward menjadi perbuatan yang melawan hukum dengan mendalilkan bermacam-macam alasan seperti perjanjian tidak seimbang, tidak ada itikad baik, force majeur, penyalah gunaan keadaan. Akibatnya perjanjian dibatalkan oleh pengadilan.

An export and import companies that use foreign currency in the transaction will run the risk of changes in foreign currency exchange rates that may affect the business profits, the risk can be managed by using hedging with derivative transactions called callable forward. Callable forward is purchases and sales of foreign currency whose value is determined at the present time and the effect on the future. Banking products are over the counter, the aim is to hedge, made ​​under the contract International Swap Dealers Associations (ISDA), has three section is master agreement, schedule and confirmation.
The agreement running well until one day the financial crisis emerged in 2008, when USD reached Rp. 13,000, -. There is a clause in agreement that harm customers about the risks that were not informed by the bank to its customers. Consequently hedging contract transactions was terminated. Callable forward contract against the law to postulate a variety of reasons such as the contract is not balanced, there is no good faith, force majeure, misuse of state. As a result, the agreement was terminated by the court.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T32506
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmandika
"Pada dasarnya peraturan eksekusi objek jaminan fidusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang memungkinkan penerima fidusia secara sepihak untuk mengeksekusi objek jaminan fidusia karena melekat kekuatan eksekutorial yang bermakna eksekusi langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak. Dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 mengubah makna kekuatan eksekutorial tersebut sehingga eksekusi sertifikat jaminan fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali terdapat kerelaan debitur untuk menyerahkan objek jaminan fidusia dan terdapat kesepakatan tentang cedera janji. Selanjutnya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 menegaskan bahwa eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui pengadilan bersifat alternatif apabila tidak ada kesepakatan antara kreditur dan debitur baik berkaitan dengan wanprestasi maupun penyerahan secara sukarela objek jaminan dari debitur kepada kreditur. Kemudian, frasa “pihak yang berwenang” dalam Penjelasan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia diubah oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIX/2021 sehingga bermakna “pengadilan negeri.” Penelitian ini bermaksud meninjau peraturan eksekusi objek jaminan fidusia sebelum dan setelah keberlakuan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, Putusan Nomor 2/PUU-XIX/2021, dan Putusan Nomor 71/PUU-XIX/2021, serta meninjau eksekusi objek jaminan fidusia sebagai suatu perbuatan melawan hukum dalam Putusan Nomor 167/Pdt.G/2021/PN Mdn dan Putusan Nomor 93/PDT/2022/PT TJK. Bentuk penelitian ini adalah yuridis-normatif yang bersifat deskriptif-analitis dan menggunakan pendekatan kualitatif sebagai metode penelitian. Hasil penelitian ini adalah bahwa eksekusi objek jaminan fidusia yang terdapat keberatan dari debitur untuk menyerahkan objek jaminan fidusia merupakan perbuatan melawan hukum. Andaipun terdapat cedera janji pada pihak pemberi fidusia, maka penerima fidusia tidak dibenarkan untuk mengeksekusi objek jaminan fidusia dalam hal pemberi fidusia keberatan dalam menyerahkan objek jaminan fidusia.

Basically the provisions for the execution of fiduciary security objects are regulated in Law Number 42 of 1999 on Fiduciary Security which allows fiduciary obligee to unilaterally execute fiduciary security objects based on the inherent executorial title which means execution can be directly exercised without going through a court and is final and binding on the parties. In its development, the Constitutional Court through Decision Number 18/PUU-XVII/2019 changed the meaning of the executorial title so that the execution of the fiduciary security certificate must be exercised and apply the same as the execution of a court decision that has permanent legal force, unless there is a willingness of the debtor to handing over the object of fiduciary security and there is an agreement about default. Furthermore, the Constitutional Court Decision Number 2/PUU-XIX/2021 states that the execution of the fiduciary security certificate through the court is an alternative if there is no agreement between the creditor and the debtor both with regard to default and with regard to handing over the security object from the debtor to the creditor. Then, the phrase "authorized parties" in Elucidation of Article 30 of Law Number 42 of 1999 on Fiduciary Security was changed by Constitutional Court Decision Number 71/PUU-XIX/2021 so that it means "district court." This study intends to review the execution of fiduciary security objects before and after the Constitutional Court Decision Number 18/PUU-XVII/2019, Decision Number 2/PUU-XIX/2021, and Decision Number 71/PUU-XIX/2021, as well as reviewing the execution of fiduciary security objects as an unlawful act in Decision Number 167/Pdt.G/2021/PN Mdn and Decision Number 93/PDT/2022/PT TJK. The form of this research is juridical-normative which is descriptive-analytical and uses a qualitative approach as a research method. The results of this study found that the execution of fiduciary security objects where there are objections from the debtor to handing over the fiduciary security objects is an unlawful act. Even if there is an event of default on the fiduciary guarantor, the fiduciary obligee is not justified in executing the fiduciary security objects in the event that the fiduciary guarantor refuses to hand over the fiduciary security object."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Christin Novalia
"

Topik utama dalam skripsi ini adalah mengenai gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan terhadap penggantian kerugian akibat tidak dilaksanakannya janji untuk menikahi ditinjau dari hukum perkawinan Indonesia. Penulisan skripsi ini dilatarbelakangi oleh maraknya kasus ingkar janji untuk menikahi yang menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil bagi pihak yang dibatalkan secara sepihak. Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai pengaturan perundang-undangan di Indonesia mengenai perbuatan ingkar janji untuk menikah sebagai perbuatan melawan hukum, serta membahas mengenai analisis pertimbangan hukum hakim dalam mengabulkan gugatan perbuatan melawan hukum akibat ingkar janji untuk menikah pada putusan pengadilan nomor 897/Pdt.G/2017/PN.Tng dimana kedua permasalahan tersebut akan di analisis menggunakan hukum perkawinan Indonesia. Penelitian dalam skripsi ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan jenis data kualitatif, serta skripsi ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada masyarakat bahwa ingkar janji untuk menikahi yang menimbulkan kerugian dapat dituntut menggunakan dalil perbuatan melawan hukum. Kesimpulan dari penulisan skripsi ini adalah bahwa menurut hukum perdata Indonesia, seseorang yang merasa dirugikan karena janji kawin dapat mengajukan gugatan dengan menggunakan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai perbuatan melawan hukum, namun tidak semua perbuatan ingkar janji untuk menikah secara langsung dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum, harus dilakukan tinjauan lebih lanjut dengan melihat fakta hukum yang ada.

 

 


The main topic of this thesis is about the application of law on claiming for compensation due to false promises of marriage according to Indonesian Marriage Law. Writer's background of thought in choosing this topic is because the increasing of false marriages promises cases that results both material and immaterial loss. There are two problems that will be discussed in this thesis. First, is about how Indonesian Marriage Law regulate the act of false promises upon marriage as an act of tort, and second, about the law consideration used by the judge on court decision number 897/Pdt.G/2017/PN.Tng. All of the problems will be analyzed using Indonesian Marriage Law. Juridical-normative approach will be used for analyzing qualitative data taken. The purpose of this research is to give useful information that someone who is disadvantaged by false promise of marriage can claim for compensation according to Indonesian Marriage Law because it might be considered as an act of Tort. The conclusion of this thesis, according to tort theory in Indonesian Law, is that someone who is disadvantaged by false promise of marriage can claim for compensation, but at the end its all in the hand of judges so the judge needs to see what happened infact.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>