Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 174860 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hendra
"ABSTRAK
Cedera kepala traumatik merupakan penyebab kematian tersering pada kecelakaan. Trauma tumpul pada kepala dapat menimbulkan contusio cerebri berupa lesi coup dan contrecoup. Namun, mekanisme dari terjadinya lesi coup dan contrecoup belum diketahui dengan jelas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara letak trauma tumpul pada kepala dengan terjadinya lesi coup dan contrecoup.Metode: Sampel penelitian diambil dari rekam medis jenazah dengan trauma tumpul pada kepala yang diotopsi di Departemen Forensik dan Medikolegal RSCM pada tahun 2012-2016. Peneliti kemudian mencari tahu mengenai letak trauma tumpul dan temuan contusio cerebri pada rekam medis jenazah.Hasil: Dari 97 sampel dengan trauma tumpul pada kepala, didapatkan proporsi lesi coup sebesar 5,2 , 11,3 , dan 2,1 , dan proporsi lesi contrecoup sebesar 1,0 , 15,5 , dan 2,1 pada trauma tumpul yang terjadi di depan, samping, dan belakang kepala secara berturut-turut. Hasil uji chi square menunjukkan hubungan yang bermakna antara trauma tumpul pada sisi depan p=0,005 dan samping p=0,002 kepala dengan lesi contrecoup.Pembahasan: Terjadinya lesi coup tidak selalu diikuti oleh terjadinya lesi contrecoup, dan berlaku juga sebaliknya. Hubungan bermakna antara trauma tumpul pada sisi samping kepala dengan lesi contrecoup secara teori dapat dikaitkan dengan teori sistem suspensori otak.Kesimpulan: Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara trauma tumpul pada sisi depan dan samping kepala dengan lesi contrecoup.

ABSTRACT
Traumatic brain injury remains the most common cause of mortality in accidents. Blunt trauma in the head may cause cerebral contusion, which includes coup and contrecoup contusion. However, the mechanism of coup and contrecoup contusion formation remains unknown. This research aims to know the relationship between the position of head blunt trauma with coup and contrecoup contusion.Methods Research samples were taken from corpse medical records with head blunt trauma who had undergone autopsy in Forensics and Medicolegal Department of Cipto Mangunkusumo Hospital from 2012 2016. The position of head blunt trauma and findings of cerebral contusions were recorded.Results Out of 97 samples with head blunt trauma, the proportions for coup contusion were 5,2 , 11,3 , and 2,1 , while the proportions for contrecoup contusion were 1,0 , 15,5 , and 2,1 in blunt trauma happening at the front, side, and back part of the head respectively. Chi square tests showed significant relationships between blunt trauma of front p 0,005 and side p 0,002 part of the head with contrecoup contusion.Discussion Coup contusion is not always followed by contrecoup contusion, and vice versa. The significant relationship between blunt trauma of the side part of the head and contrecoup contusion can be explained by the theory of brain suspensory system.Conclusion This research concludes that blunt trauma of the front and side part of the head is related to contrecoup contusion."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"[Pendahuluan: Trauma akibat benda tumpul pada kepala adalah salah satu trauma
yang dapat bersifat fatal, berkaitan dengan organ intrakranial yang bersifat vital
bagi kehidupan. Namun, luka kekerasan tumpul pada kepala tidak seluruhnya dapat
menyebabkan kerusakan organ intrakranial, berkaitan dengan berbagai faktor yang
menyebabkan luka, antara lain lokasi, besar gaya, arah gaya. Pada penelitian ini
akan dilihat hubungan antara luka kekerasan tumpul dengan adanya kerusakan otak.
Penelitian epidemiologi forensik ini digunakan untuk menunjang opini ahli dokter
forensik pada temuan luka akibat kekerasan tumpul di kepala dengan kerusakan
organ intrakranial. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional
dengan data sekunder yang berasal dari visum et repertum pasien di Departemen
Forensik dan Medikolegal FKUI-RSCM. Hasil: Sebanyak 1% hubungan antara
memar pada kepala memiliki hubungan yang bermakna dengan kerusakan otak, 1%
hubungan antara ekskoriasi pada kepala memiliki hubungan yang bermakna dengan
kerusakan otak, sebanyak 82% hubungan antara laserasi pada kepala memiliki
hubungan yang bermakna dengan kerusakan otak, dan sebanyak 95,3% hubungan
antara fraktur pada kepala memiliki hubungan yang bermakna dengan kerusakan
otak. Diskusi: Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat variasi hubungan
antara luka kekerasan tumpul dengan adanya kerusakan otak berdasarkan jenis serta
lokasi luka luar dan lokasi kerusakan intrakranialnya. Variasi hasil ini terjadi karena
luka kekerasan tumpul, yaitu memar, ekskoriasi, laserasi, dan fraktur, masingmasing
memiliki mekanisme yang berbeda, dan timbul akibat besar gaya yang
berbeda. Memar dan ekskoriasi, luka kekerasan tumpul yang disebabkan oleh gaya
yang kecil dan menyebabkan diskontinuitas jaringan luar hanya sedikit hanya
memiliki sedikit hubungan dengan kerusakan otak. Laserasi dan fraktur memiliki
banyak hubungan dengan kerusakan otak oleh karena gaya penyebab luka
kekerasan tumpul tersebut bersifat lebih besar, Introduction: Blunt head trauma had a high fatality rate, as the head protects
intracranial organs that are vital to the continuity of life. However, not all blunt
head trauma cause the same damage to intracranial organs, due to the various
factors such as location, the strength of the force, and the direction from which the
striking force came. This forensic epidemiological study is designed to support
expert opinions in forensic practice regarding the findings of blunt head trauma and
intracranial organ damage. In this study, the correlation between blunt head trauma
and traumatic brain injury were analyzed. Methods: This study is a cross-sectional
study with secondary data from patients’ visum et repertum in the Forensic and
Medicolegal Department of Cipto Mangunkusumo General Hospital. Results:
Results show that 1% of the correlations between bruise findings on the head had
significant association with traumatic brain injury, 1% of the correlations between
excoriation findings on the head had significant association with traumatic brain
injury, 82% of the correlations between laceration findings on the head had
significant association with traumatic brain injury, and 95,3% of the correlations
between fracture findings on the skull had significant association with traumatic
brain injury. Discussion: This study showed that the relationship between blunt
head injury with traumatic brain injury varied based on the location and type of the
external injury and the location of the intracranial organ. This variation in results
happened as external blunt head trauma such as bruise, excoriation, laceration, and
fracture each had different mechanisms, and were caused by various force intensity.
Bruising and excoriation, which were usually caused by smaller force and only
caused little damage externally, were found to have little correlation with traumatic
brain injury findings. On the other hand, laceration and fracture were found to have
more correlation with traumatic brain injury findings, since both traumas were
usually caused by a greater force.]"
[, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zharifah Fauziyyah Nafisah
"Pendahuluan: Di Asia Tenggara, angka kecelakaan merupakan peringkat ke-9 pada daftar penyebab kematian. Kekerasan akibat benda tumpul sendiri menyebabkan hampir tiga ribu kematian di Amerika pada tahun 2007-2011. Kekerasan tumpul, terutama pada dada dapat menyebabkan komplikasi pada organ dalam seperti jantung, paru, pembuluh, saraf, bahkan tulang dan otot. Komplikasi inilah yang dapat menjadi penyebab kematian seseorang. Akan tetapi, tidak semua jenazah yang ada selalu diotopsi sehingga penyebab kematian korban tidak dapat diketahui dengan benar. Epidemiologi forensik sebagai cabang ilmu kedokteran forensik yang baru berkembang digunakan untuk menentukan hubungan antara temuan luka akibat kekerasan tumpul di dada dengan kerusakan organ dalam.
Metode: Subjek penelitian ini adalah 135 mayat yang diotopsi di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FKUI-RSCM dengan temuan luka akibat kekerasan tumpul di dada. Dari rekam medik korban yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi, data jenis temuan luka dan kerusakan organ diinput ke dalam SPSS dan dilihat persebaran datanya serta dicari hubungannya.
Hasil: Pada penelitian ini, ditemukan hubungan bermakna (P<0,05) antara luka lecet di dada kanan dengan kerusakan iga kanan (P=0,00) dan iga kiri (P=0,005), luka lecet di dada kiri dengan kerusakan iga kiri (P=0,038), luka terbuka tepi tidak rata di dada kiri dengan kerusakan iga kanan (P=0,021), dan diafragma (P=0,028).
Pembahasan: Hubungan kebermaknaan ini disebabkan oleh adanya hubungan secara anatomis antara luka luar dengan kerusakan organ dalam yang dipengaruhi juga oleh jenis luka akibat perbedaan gaya trauma yang dibutuhkan untuk menghasilkan perlukaan tersebut.;Introduction: Accident is the 9th leading cause of death in South-East Asia.

Blunt force trauma caused almost three thousand deaths in United States of America from 2007 until 2011. Blunt force trauma in chest can cause complications to the visceral organs such as heart, lungs, vessels, nerves, even bones and muscles. These complications could be a cause of death. But, not all corpses always get autopsied so that the real cause of death could not be known right.
Method: Subject of this research was 135 corpses that were autopsied in Forensic Medicine and Medicolegal Department FKUI-RSCM with blunt force trauma findings in chest. From the medical record that is suitable with the inclusion and exclusion criterias, the type of blunt force trauma findings and the visceral organ damages were inputted, described by the data’s distribution, and
analyzed to find the relation.
Result: Significant result (P<0.05) found in four variable correlations, which are the relation between abrasions in right chest with right ribs damages (P=0.00) and left ribs damages (P=0.005), abrasions in left chest with left ribs damages (P=0.038), and lacerations in left chest with right ribs damage (P=0.021) and diaphragm damage (P=0.028). Discussion: These significant results caused by the anatomical relation between the blunt force trauma findings and"
2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"[Pendahuluan: Epidemiologi forensik merupakan disiplin ilmu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan suatu investigasi kasus. Dengan pendekatan ini, dapat ditentukan adanya hubungan antara suatu paparan dengan cedera atau dampak yang terjadi. Salah satu paparan yang banyak ditemukan di Indonesia ialah kekerasan fisik, termasuk kekerasan tumpul. Kekerasan tumpul menempati 70,9% proporsi jenis cedera. Abdomen merupakan salah satu bagian tubuh yang rentan mengalami kerusakan akibat kekerasan fisik dikarenakan strukturnya yang lemah dan kendur karena tidak dilindungi oleh tulang, melainkan hanya tersusun atas kulit, fascia, dan otot yang membentuk dinding rongga abdomen. Kerusakan organ dalam di daerah abdomen sulit diidentifikasi karena umumnya tidak ditemukan adanya bentuk luka khas pada pemeriksaan fisik luar. Oleh sebab itu, pada penelitian ini akan dianalisis hubungan antara temuan luka pada kekerasan tumpul di abdomen dengan kerusakan organ dalamnya.
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan desain cross-sectional berdasarkan data sekunder berupa laporan visum dan rekam medis Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2003-2013 dengan metode consecutive sampling.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara temuan luka lecet atau memar di beberapa regio abdomen dengan kerusakan organ tertentu. Penelitian ini dilakukan dengan subjek laki-laki sebanyak 25 orang (69,44%) dan perempuan sebanyak 11 orang (30,56%) dengan kelompok usia terbanyak pada 21-40 tahun sejumlah 14 kasus (28,89%). Dari uji hipotesis Fisher diperoleh hubungan yang bermakna secara statistik antara temuan luka kekerasan tumpul (lecet dan memar) di epigastrium dengan kerusakan ginjal kiri (p = 0,028), temuan luka kekerasan tumpul di epigastrium dengan kerusakan lambung (p = 0,042), temuan luka kekerasan tumpul di umbilikus dengan kerusakan lambung (p = 0,042), temuan luka kekerasan tumpul di umbilikus dengan kerusakan pankreas (p = 0,042), temuan luka kekerasan tumpul di hipokondria kiri dengan kerusakan hati (p = 0,006), dan temuan luka kekerasan tumpul (lecet dan memar) di hipogastrium dengan kerusakan hati (p = 0,023).
Pembahasan: Adanya hubungan antara temuan luka luar di abdomen dengan kerusakan organ dalam dimungkinkan akibat keterkaitan secara anatomi, baik karena dampak tekanan secara langsung maupun tidak langsung yang dihantarkan oleh otot ataupun organ lainnya yang terletak berdekatan., Introduction: Forensic epidemiology can be used to solve the criminal cases. This approach may determine the correlation between an exposure and the damages caused by the trauma. In Indonesia, blunt trauma account for 70,9% injury. Abdomen is part of the human body that vulnerable to damage caused by force injury as intra-abdominal organs consist of delicate and soft structure which aren’t completely protected by bones. Damage to the intra-abdominal organs are difficult to recognize as it is uncommon to find the definite external wound. This study is conducted to analyze the association between external wound caused by blunt trauma and the damage to the intra-abdominal organs.
Method: This study is a cross-sectional study, using secondary data from forensic examination report and medical record of Cipto Mangunkusumo Hospital in 2003-2013 with consecutive sampling method.
Result: The result implicates there was association between scratch or bruise wound from external forensic examination in various abdomen regions and damage to intra-abdominal organs. The study involved 25 males (69,44%), 11 females (30,56%), and most of the subjects were aged 21-40 years in 14 cases (28,89%). By performing Fisher test: there was significant association between scratches or bruises in the epigastrium and damage to the left kidney (p = 0,028), significant association between scratches or bruises in the epigastrium and damage to the stomach (p = 0,042), significant association between scratches or bruises in the umbilicus and damage to the stomach (p = 0,042), significant association between scratches or bruises in the umbilicus and damage to the pancreas (p = 0,042), significant association between scratches or bruises in the left hypochondriac and damage to the liver (p = 0,006), and significant association between scratches or bruises in the hypogastrium and damage to the stomach (p = 0,023).
Discussion: The correlation between external wound in abdomen and the organ damages could be caused by anatomical association or indirect impact from the other adjacent organs]"
[, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panggabean, Jose Matthew Aldo
"Trauma masa kanak-kanak merupakan salah satu pengalaman traumatis yang terjadi ketika individu memasuki rentang usia 1 hingga 12 tahun. Tingginya angka gangguan mental emosional dan depresi di DKI Jakarta menjadi pertanda kemungkinan adanya trauma masa kanak-kanak pada emerging adulthood di DKI Jakarta. Adanya trauma masa kanak-kanak dapat saja menjadi tantangan tersendiri bagi mereka yang masih mencari makna hidupnya.  Penelitian ini sendiri bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara trauma masa kanak-kanak dengan makna hidup. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan kuesioner secara daring, menggunakan alat ukur Childhood Trauma Questionnaire-Short Form (CTQ-SF) dan Three-Dimensional Meaning in life scale (3DM). Penelitian melibatkan 146 partisipan dengan rentang usia 18—25 tahun dan berdomisili DKI Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara trauma masa kanak-kanak dan makna hidup (r (145) = -0,632, p < 0,01, two-tailed). Dari hasil tersebut, terdapat hubungan negatif antara trauma masa kanak-kanak dengan makna hidup.

Childhood trauma is a traumatic experience that occurs when individuals enter the age range of 1 to 12 years. The high rate of emotional mental disorders and depression in DKI Jakarta is a sign of the possibility of childhood trauma in emerging adulthood in DKI Jakarta. The presence of childhood trauma can be a challenge in itself for those who are still looking for the meaning of their lives. This research itself aims to determine the relationship between childhood trauma and the meaning of life. The research was carried out using an online questionnaire, using the Childhood Trauma Questionnaire-Short Form (CTQ-SF) and Three-Dimensional Meaning in life scale (3DM) measuring instruments. The research involved 146 participants with an age range of 18-25 years and domiciled in DKI Jakarta. The results showed that there was a significant negative relationship between childhood trauma and meaning in life (r (145) = -0.632, p < 0.01, two-tailed). From the results, we can conclude that there’s a negative correlation between childhood trauma and meaning in life."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salima
"ABSTRAK
Hubungan antara childhood trauma dan depresi telah dibuktikan melalui penelitian selama beberapa dekade. Namun, penelitian tentang faktor-faktor yang dapat menyangga hubungan ini masih langka. Studi ini menyelidiki dinamika hubungan antara childhood trauma, depresi, dan pemaafan, menggunakan Childhood Trauma Questionnaire-Short Form, Patient Health Questionnaire-9, serta Rye Forgiveness Scale. Partisipan penelitian ini adalah sampel orang Indonesia di atas 18 tahun yang pernah mengalami kekerasan atau pengabaian saat masa kanak-kanak (N = 750). Analisis regresi linear dilakukan untuk menguji efek childhood trauma dan pemaafan terhadap depresi, dan analisis moderasi dilakukan untuk membuktikan efek moderasi dari pemaafan dalam hubungan antara childhood trauma dan depresi. Childhood trauma (F(1, 747) = 135.26, p < 0.001) dan pemaafan (F(1, 747) = 116.12, p < 0.001) secara signifikan memprediksi tingkat keparahan depresi, bahkan setelah mengontrol usia (β = -0.19, p < 0.001). Namun, pemaafan tidak secara signifikan memoderasi hubungan antara childhood trauma dan depresi (b = -0.00, t(746) = -1.01, p = 0.31). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa meskipun pemaafan memiliki peran yang penting dalam mengurangi depresi, pemaafan tidak dapat memoderasi hubungan antara pengalaman kekerasan atau pengabaian pada masa kanak-kanak dan depresi.

ABSTRACT
The link between childhood maltreatment and depression has been well established through decades of research. However, studies regarding factors that may buffer this relationship remain scarce. This study investigates the relationship dynamics between childhood maltreatment, depression, and forgiveness using the Childhood Trauma Questionnaire-Short Form, the Patient Health Questionnaire-9, and the Rye Forgiveness Scale respectively. Participants of this study were a sample of Indonesians over 18 years who had experienced maltreatment during childhood (N = 750). Linear regression analyses were conducted to examine the effects of childhood maltreatment and forgiveness on depression, and moderation analysis was carried out to substantiate the moderating effect of forgiveness in the relationship between childhood maltreatment and depression. Both childhood maltreatment (F(1, 747) = 135.26, p < 0.001) and forgiveness (F(1, 747) = 116.12, p < 0.001) significantly predicted severity of depression, even after controlling for age (β = -0.19, p < 0.001). However, forgiveness did not significantly moderate the relationship between childhood maltreatment and depression (b = -0.00, t(746) = -1.01, p = 0.31). This indicates that while forgiveness plays an important role in reducing depression, it does not moderate the relationship between childhood maltreatment and depression."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Boediono
"Dengan meningkatnya kasus kecelakaan lalu lintas, makin meningkat pula korban yang datang ke Instalasi Gawat Darurat.Bila a kita lihat laporan dari kepolisian yang menyebutkan jumlah kecelakaan lalu lintas dari bulan Januari 1985 sampai dengan Maret 1986 di daerah DKI Jakarta Raya sebesar 8.641 kasus yang menghasilkan korban sebesar 8.560 baik luka ringan, berat, ataupun korban meninggal, maka trauma tumpul ginjal yang merupakan bagian dari trauma tumpul secara keseluruhan akan cukup tinggi juga angkanya [2]. Sebagai gambaran j uml ah trauma tumpul ginjal di RSCM selama tahun 1984 dan 1985 sejumlah 42 kasus [13], tahun 1986 sejumlah 41 kasus, sedangkan tahun 1987 terdapat 52 kasus.
Untuk menegakkan diagnosis trauma tumpul ginjal selain di pert ukan pemeriksaan fisik yang cermat di perlukan juga pemeriksaan pembantu berupa laboratorium terutama sedimen urine dan pemeriksaan radiologi yang sangat penting artinya. PETERSON dan SCHULZE (1986) menyebutkan bahwa suatu yang mahal dan menunda waktu saja bila melakukan pemeriksaan radiologis secara menyeluruh pada kasus-kasus trauma dengan hematuria [II].
MAKSUD DAN TUJUAN, Maksud tulisan ini adalah meninjau beberapa kepustakaan tentang trauma tumpul ginjal, mengevaluasi gejala klinis hematuria baik secara mikro ataupun gross dengan tanda syok ataupun tidak yang mengikuti trauma tumpul ginjal di RSCM selama tahun 1987 dengan tujuan mencari hubungan antara kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan BNO-IVP dan derajat cedera ginjal yang terjadi.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T860
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Updike, John
harmondsworth : Penguin Books, 1978
813.5 U 324 c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Wita Anggraini, translator
"[Latar Belakang: Objektifitas rasio akar-mahkota gigi klinis dan konvergensi akar gigi. Tujuan: Menentukan rasio akar-mahkota gigi klinis dan tipe konvergensi akar gigi molar pertama yang menyebabkan trauma oklusi. Material dan Metode: Metode Lind (1972) dan metode baru untuk menentukan konvergensi akar gigi. Hasil: Rasio >1,51= baik; 1-≤1,50= cukup baik; 0,51-0,99= buruk; ≤0,50=sangat buruk. Ada hubungan antara gabungan rasio akar-mahkota gigi klinis dan konvergensi akar gigi dengan kegoyangan gigi (rs:0,302), lamina dura, (rs: 0,211), resesi gingiva bukal (rs: 0,245), kehilangan perlekatan (rs: 0,233). Kesimpulan: Ada hubungan antara rasio akar mahkota gigi yang tidak seimbang disertai konvergensi akar gigi dengan trauma oklusi. , Background: An objective assessment of clinical root-crown ratio and root convergence. Objective: To determine the clinical root-crown ratio and root convergence type of first molar which cause trauma from occlusion. Materials and Methods: Method of Lind (1972) and a new method to determine the root convergence. Results: The ratio >1.51=good; 1-≤1.50= pretty good; 0.51-0.99= poor; ≤ 0.50= very bad. There is a relationship between the combined of clinical root-crown ratio and root convergence with tooth mobility (rs: 0.302), lamina dura, (rs: 0.211), buccal gingival recession (rs: 0.245), loss of attachment (rs: 0.233). Conclusion: There is a relationship between the combine of clinical root-crown ratio and root convergence with trauma from occlusion. ]"
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Dwi Kurnia Robby A
"Latar belakang: Sepsis infeksi intra-abdomen SIA merupakan masalah klinik yang sampai saat ini merupakan mortalitas yang tinggi dan tantang tersendiri spesialis bedah. Dari data yang ada, insiden di Amerika Serikat pada tahun 2012 tercatat 3,5 juta penderita dengan mortalitas mencapai 60 , sedangkan di Eropa barat 30 . Timbul pertanyaan, faktor apa yang paling berperan dalam rantai perkembangan sepsis intra-abdomen. Dari informasi terkini tertuju pada biophenotype. Pada tahun 2007 istilah biophenotype diajukan oleh Human Nature Natural Health untuk menjelaskan suatu molekul yang terproyeksi dan melapisi permukaan seluruh sel yang ada di tubuh manusia.
Tujuan Penelitian: Diketahuinya hubungan golongan darah tertentu dengan kejadian sepsis intra-abdomen pada pasien trauma abdomen dan infeksi gastrointestinal.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan analtik dengan desain potong lintang. Subjek yang diambil merupakan pasien yang mengalami trauma abdmen dan infeksi gastrointestinal di RSCM melalui data rekam medis. Data yang diambil adalah usia, jenis kelamin, riwayat transfusi dengan golongan darah ABO, dan hasil kultur jaringan. Data tersebut dianalisis menggunakan SPSS dan dilakukan uji chi-square untuk mengetahui hubungan antara golongan darah ABO dengan kejadian sepsis.
Hasil Penelitian: Pada penelitian ini ditemukan terdapat 22 subjek 9,6 pasien yang mengalami sepsis intra abdomen pasca operasi selama periode Januari 2014 ndash; Maret 2016. Studi ini mendapatkan hubungan yang bermakna antara pemberian transfusi OR = 0.02; p < 0.001 dan grup diagnosis OR = 4.7; P = 0.015 terhadap terjadinya sepsis intra abdomen. Namun demikian, tidak ditemukan hubungan yang bermakna pada usia, jenis kelamin, dan golongan darah terhadap terjadinya sepsis intra abdomen.
Kesimpulan: Dari hasil penelitian ini belum dapat dibuktikan golongan darah tertentu berpotensi menyebabkan sepsis intra abdomen pada pasien dengan riwayat trauma abdomen dan infeksi gastro intestinal.

Background: Intra abdominal sepsis is a clinical problem with high mortality and a special challenge for surgeons. Based on research about glycocalyx, we obtained information regarding the differences of biophenotype on glycocalyx. So far, the research that leads to the difference in biophenotype is only focused on the ABO blood type system. Until recently there has been no data on the relationship between sepsis especially intra abdominal sepsis with blood type.
Methods: This is a descriptive and analytic research with cross sectional design in patients with abdominal trauma and gastrointestinal infections at dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital RSCM that fulfilled the inclusion and exclusion criteria.
Results: There were 230 subjects, who underwent post traumatic abdominal surgery as well as gastrointestinal infections at RSCM. There were 22 subjects incidence 9.6 who had postoperative intraabdominal sepsis. Most subjects who underwent surgery were aged around 41 60 years 50 , were men 56.1 , did not get transfusions 90.9 , had surgery caused by mechanical intestinal obstruction 24.8 , had blood type O 46.1 , had gastrointestinal infection 92.6 , and were living as the outcome of the procedure 96.5 . There was a significant correlation p 0,05 between transfusion p 0,0001 and diagnostic group p 0,015 on the occurrence of intra abdominal sepsis. In subjects receiving transfusion, the odds ratio OR was 0.02 and the group diagnosis OR was 4.7 at 95 confidence interval.
Conclusions. The high risk of sepsis is especially high in the gastrointestinal infection group. Similarly, amongst factors affecting sepsis, history of transfusion may increase the risk of sepsis. Results of this study could not be prove that certain blood groups potentially cause intra abdominal sepsis in patients with a history of abdominal trauma and gastro intestinal infections.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>