Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 101034 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Adinegoro Natsir
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas problem panoptisisme oleh pemerintah yang terjadi di dalam internet. Penulis menggunakan pendekatan Foucauldian dalam melihat kasus Edward Snowden yang membocorkan program panoptik dari NSA. Konsekuensi dari pengawasan ini adalah hilangnya privasi bagi pengguna internet dan mengakibatkan tidak adanya kebebasan untuk bisa menggunakan internet. Masyarakat telah masuk ke dalam sebuah penjara imajiner di mana mereka saling mengawasi dan saling ketakutan karena merasa diawasi.

ABSTRACT
This research is focused on problem of panopticism by the government in internet. Writer use a Foucauldian approach to examine the Edward Snowden case who leaked the NSA top secret document to the journalist. The consequences of this surveillance is the loss of personal privacy for the internet user and also there is no such thing as freedom in internet if we always been watched. The society now have step to imaginary prison, where they were watching each other and feel insecure by the constant surveillance. "
2017
S70092
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pranowo Tri Adhianto
"Ketika Snowden menyadari melalui awal yang tidak jelas bahwa pemerintah AS sedang memata-matai beberapa warga, ia memutuskan untuk melakukan investigasi atas masalah tersebut. Ia dipekerjakan oleh pemerintah, dengan maksud utama menemukan sumber informasi ini. Saat bekerja, ia mampu menemukan data yang dicatat dan disimpan. Informasi ini menunjukkan bahwa pemerintah sudah mengumpulkan informasi pada percakapan pribadi antara warga negara AS dan warga non AS. Ini adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kebebasan. Snowden mengungkapkan informasi ini kepada publik, yang merupakan pelanggaran terhadap undang-undang negara. Hal itu tidak dapat diterima untuk mengungkapkan setiap rahasia pemerintah kepada publik. Ia dituduh mengungkapkan rahasia pemerintah kepada publik. Karena Snowden hanya membeberkan informasi umum tentang keburukan pemerintah, hal ini bukanlah kejahatan. Orang-orang mulai melawan pemerintah. Untuk alasan ini, pemerintah menyayangkan apa yang Snowden lakukan. Kita tidak bisa mengatakan bahwa yang Snowden lakukan buruk. Ia hanya ingin menolong rekan sebangsanya dengan membuat mereka sadar bahwa Pemerintah telah melanggar hak mereka dengan menginvestigasi tindakan pribadi mereka.

When Snowden realized through unknown initial means that the US government was spying on some citizens, he decided to conduct an investigation on the matter. He got employed by the government, with the major intention of discovering the real source of this information. While working in the office, he was able to find the data that had been recorded and stored. This information showed that the government had been collecting information on personal conversations between US citizens and non US citizens. This is a violation of human rights and freedoms. Snowden revealed this information to the public, which was a violation of the state laws. It was not acceptable at all to reveal any government secret to the public. He was accused of revealing government secrets to the public. Since Snowden only informed the public of the government ills, this was no crime. The people started fighting against the government. For this reason, the government is saddened by whatever Snowden did. We cannot say that Snowden did anything wrong. He only wanted to assist his fellow countrymen by making them realize that the government had violated their rights by investigating their private actions.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Setiawan
"Penulisan ini berangkat dari kecenderungan developmentalisme melalui institusi pembangunan global dalam menghadapi krisis kemiskinan dan keterbelakangan dunia ketiga. Diskursus tersebut mengkonstruksi perspektif pengetahuan terhadap kondisi global melalui universalisasi dan standardisasi yang diakarkan dari logika modern untuk membentuk identifikasi, definisi serta intervensi bagi identitas masyarakat dunia ketiga agar bisa menjadi masyarakat modern seutuhnya. Kesulitan untuk membentuk diri dan menjadi mandiri dari negara dunia ketiga dipengaruhi oleh adanya pengetahuan yang sudah selalu didominasi oleh pengetahuan barat sebagai perspektif dominan dan penerimaan masyarakat dunia ketiga bahwa apapun yang datangnya dari Barat adalah sebuah kebenaran final. Ketergantungan yang jelas-jelas merugikan satu pihak dalam relasi ini dianggap sebagai kewajaran global. Praktik kekuasaan dengan begitu terjadi karena adanya relasi dari kedua pihak yang menyetujuinya. Tesis ini merupakan cara lain untuk membaca kondisi global yang sebenarnya sedang terjadi tersebut.
Hasil penelusuran ini berujung pada ditemukannya relasi kuasa dan upaya interpretatif untuk menjelaskan bagaimana beroperasinya sebuah diskursus dalam mekanisme kuasa. Penelusuran ini difasilitasi dari perspektif atau kerangka berfikir Michel Foucault yang digunakan oleh Post-Development sebagai bingkai analisa yang efektif dalam mengurai dan membaca kondisi relasi kekuasaan yang terjadi. Ide diskursus yang disasar oleh analisa post-development ini diberangkatkan berdasar muatan filosofis Michel Foucault terkait kondisi modernitas yang dianggap terlalu menyempitkan perspektif global dengan menutup jalan pembicaraan kondisi dunia dari posisi yang lebih plural dan lokal. Developmentalisme dan ?kecenderungan untuk selalu merugi dan terbelakang bagi negara dunia ketiga? benar-benar sedang terjadi dan kecenderungan ini menjadi candu.

This writing is departed from the tendency of developmentalism in facing poverty crisis and underdevelopment of third world countries through global development institutions. Such discourse constitute a knowledge perspective towards the global condition by universalising and standardizing, rooted from the modern logic in forming an identification, definition, and intervention towards the third world citizen identity in order to become a completely modern citizen. The difficulties in third world countries forming an identity and to become independent are influenced by an established biased knowledge dominated by western knowledge as a dominant perspective, as well as the acceptance from the third world countries citizen on anything coming from The West as a final truth. This dependency which clearly detriments one party of this relation is deemed as a global fairness. A practice of authority then happens as a result from a relation between two parties agreeing upon it. This thesis serves as an alternative to read such happening and ongoing global condition.
The result of this finding ends to a discovery of power relation and interpretative effort to explain how a discourse in power mechanism operates. This finding is facilitated with Michel Foucault's perspective or framework used by Post-Development movement as an effective analysis frame to parse and read the happening power relation condition. The discourse idea aimed by post-development analysis is departed from the basis of Michel Foucault's philosophical content related to the modernity condition deemed much narrowing the global perspective by blocking the more plural and local conversation on the world condition. Developmentalism and the 'tendency to always detriment and under-develop the third world countries' really is happening where such tendency serves as an opium.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
T44519
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ira
"Konsepsi identitas di zaman kontemporer tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang melekat pada diri individu dan bersifat natural, tetapi menjadi suatu konstruksi. Michel Foucault mencoba mengaitkan identitas dengan relasi kekuasaan, pengetahuan dan etika. Metode Genealogi menurutnya berusaha menelusuri perkernbangan historis masa kini yang berkonsentrasi pada teknologi kekuasaan dan relasinya dengan pengetahuan, termasuk di dalamnya konstruksi identitas. Teknologi kekuasaan (dominasi) menurut Foucault terfokus pada objektisasi individu ke dalam tubuh yang patuh (docile bodies). Kekuasaan bekerja terhadap tubuh subjek dengan sifatnya yang melatih, memaksa untuk melakukan disiplin, upacara-_upacara dan produksi tanda. Sedangkan teknologi diri merupakan kekuatan yang berasal dari individu berupa kehendak (will) dan hasrat (desire) dan berupa realisasi bagi terbentuknya identitas diri. Di sini subjek memiliki berbagai pilihan untuk bertindak dan bertahan. Identitas diri diekspresikan melalui berbagai bentuk representasi yang dapat dikenali oleh diri sendiri maupun yang lain (the other). Di sini identitas dianggap bersifat personal sekaligus sosial dan menandai bahwa kita sama atau berbeda dengan orang lain. Identitas dibentuk secara dialogis (dialogically) atau berada dalam wacana (discourse) yang selalu berada dalam jalinan relasi dengan yang lain (the other). Diskursus multikulturalisme tidak hanya membicarakan realitas masyarakat dengan lebih dari satu kultur (terdapat pluralitas kultur), tetapi terdapat fakta bahwa ada kelompok yang termarginalkan oleh kelompok lainnya. Penekanannya pada politik perbedaan, yakni pengakuan serta tanggapan terhadap hak fundamental individu yang dilindungi oleh institusi publik serta adanya sarana untuk bertahan dan berkembang. Jika identitas terbentuk secara dialogis, maka pengakuan secara publik terhadap identitas meminta politik yang meninggalkan ruang agar aspek identitas tersebut dibagi dengan orang lain. Pelbagai identitas kolektif digambarkan dalam suatu politik identitas (politics of recognitions) yang dilihat sebagai suatu cara mengkonstruksi makna-makna sosial dan identitas, suatu pencitraan yang positif terhadap kelompok-kelompok yang dianggap sebagai negatif. Ferninisme misalnya, merupakan salah satu bentuk perjuangan identitas perempuan dalam merekonseptualisasi peran sosialnya. Asumsi_-asumsi Foucauldian tentang teknologi kekuasaan diri mengimplikasikan tuntutan terhadap otonomi dan kesetaraan melalui strategi resistensi. Inilah kemudian yang menjadi dasar dari pergerakan identitas dalam menuntut pengakuan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S16084
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Greenwald, Glenn
"Summary
"Investigative reporter for The Guardian and bestselling author Glenn Greenwald, provides an in-depth look into the NSA scandal that has triggered a national debate over national security and information privacy. With further revelations from documents entrusted to Glenn Greenwald by Edward Snowden himself, this book explores the extraordinary cooperation between private industry and the NSA, and the far-reaching consequences of the government's surveillance program, both domestically and abroad" -- $c from publisher's Web site."
Yogyakarta: Bentang, 2016
652.8 GRE n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Utami
"Disertasi ini membentang pemikiran Edward Said tentang diskursus orientalisme, imperialism baru, kesadaran kritis, dan humanisme sekuler, sebagai pijakan untuk membahas perlunya kesadaran pascakolonial sebagai strategi untuk mengatasi konflik global yang disebabkan adanya pembedaan dan perbedaan identitas serta adanya penjajahan pikiran akibat dari hegemoni budaya yang dirasukkan pada warga bangsa yang pernah mengalami penjajahan kolonial melalui kekuatan media massa Barat/Amerika Serikat. Edward Said mengemukakan konsep contrapuntal untuk menguatkan strategi tersebut dalam mencapai worldliness humanism. Disertasi ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan hermeneutika radikal. Secara ringkas rumusan permasalahan dalam disertasi ini adalah bagaimana melalui pemikiran Edward Said dapat menjelaskan pentingnya kesadaran paskolonial sebagai strategi untuk pencerahan dalam mengatasi penjajahan pikiran dan apakah konsep contrapuntal dan worldliness humanism dapat menjadi konsep penting dalam mengatasi konflik global pada saat ini.

This dissertation elaborates Edward Said's thought of discourse of Orientalism, new imperialism, critical consciousness, and secular humanism. These are as a basis to explain the need for post-colonial consciousness as a strategy to address global conflicts caused by distinctions and differences of identities and the colonizing of mind due to the cultural hegemony through the power of the Western / United States media, that penetrates to the citizens of a nation that had have experienced of colonial rules. Edward Said argued that contrapuntal concept could strengthen the strategy in achieving worldliness humanism. This dissertation uses qualitative research methods and radical hermeneutics. In short, the problems are how through Edward Said's notion to explain the importance of post-colonial consciousness as a strategy to overcome the enlightenment in overcoming of colonized of mind and whether the concept of contrapuntal and worldliness humanism become an important concept in dealing with the current global conflict."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
D1392
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairil Parmato
"Tubuh merupakan medium yang paling tepat untuk memvisualisasikan diri. Tubuh juga merupakan titik pusat bagi diri. Tubuh yang melekat merupakan jembatan yang menghubungkan diri ini dengan ruang-ruang tak terbatas yang akan memvisualisasikan identitas diri. Dalam sejarahnya, persoalan mengenai tubuh tidak banyak mengambil porsi dalam pembicaraan yang besar seperti politik. Baru pada abad ke-20, tubuh mulai ramai dibicarakan di ruang publik dikarenakan perkembangan teknologi dan media yang ada. Tubuh mulai banyak disorot dan persoalan mengenai tubuh dengan cepat menjadi topik utama dan meluas ke area di mana ada diskursus mengenai citra tubuh yang dibentuk dalam masyarakat sampai mengenai identitas sosial yang dibentuk oleh tubuh. Diskursus mengenai tubuh semakin meluas ketika arus media dan industri fashion mulai berkembang dengan cepat. Berbagai nilai dan konsekuensi yang hares diambil tubuh menjadi suatu hal yang dianggap wajar. Problem tubuh tidak lagi hanya menyangkut masalah nilai dan identitas sosial seorang individu, namun juga meluas kepada problem kesehatan bahkan seksualitas. Dalam sejarah filsafat sendiri, persoalan mengenai tubuh lebih fokus dibahas oleh seorang filsuf Prancis, Michel Foucault. Baginya, tubuh merupakan media bagi sensasi, rasa dan kenikmatan bertempat. Menurutnya, tubuh merupakan satu dimensi dengan empat variabel di dalamnya, yakni kuasa-pengetahuan, kenikmatan, rasa, dan sensasi. Baginya, kuasa bagi tubuh bukanlah alat untuk merepresi tubuh melainkan alat untuk memperluas kemampuan tubuh dan meningkatkan kualitas tubuh. Foucault membuat tiga bentuk analisanya terhadap tubuh, yakni force relation, di mana di sini ia mengemukakan mengenai kekuasaan dan tubuh. Kemudian ia juga mengemukakan mengenai anatomi tubuh dan perwujudan kekuasaan dalam tingkah laku. Yang terakhir, ia berbicara mengenai tubuh sosial di mana, di sinilah adanya perwujudan kekuasaan dan tubuh. Bagi Foucault, sebuah diskursus mengenai tubuh tidak akan habis dibahas karena pembicaraan ini menyangkut segala aspek yang ada di masyarakat, karena nilai-nilai sosial yang dibentuk dalam masyarakat, bahkan identitas sosial seorang individu akan berakar pada tubuh. Tubuh merupakan benda sosial di mana ia adalah penanda bagi sebuah masyarakat. Perkembangan masyarakat dengan sistem kapitalisme globalnya, membuat masyarakat modem terjebak pada sebuah era eksplorasi dan eksploitasi tubuh. Itulah mengapa Foucault mengatakan bahwa tubuh manusia merupakan tempat yang paling esensial untuk pengoperasian kekuasaan. Tubuh juga merupakan tempat untuk tempat di mana praktek-praktek sosial terjadi. Dan sini tercapai sebuah kejelasan bagaimana tubuh sampai digolong-golongkan, dikonstitusi, dan dimanipulasi oleh kekuasaan. Diskursus mengenai tubuh mulai melebar lagi ketika negara dan media mengambil tempat di dalanmya. Mulailah ada proses normalisasi dan idealisasi yang dibentuk oleh negara dan media. Problematika yang terjadi menjadi bertambah luas ketika perkembangan media menawarkan berbagai idealisasi di dalamnya. Hal ini membuat tubuh bukan lagi seonggok daging dengan kebebasan dan kuasa di dalamnya, melainkan tubuh sebagai barang bongkar-pasang yang bisa diutak-atik sesuai dengan keinginan, kapan pun dan di mana pun. Diskursus mengenai tubuh tidak akan luput dari pembahasan seksualitas. Perkembangan seksualitas sering kali mengalami represi, yang dimulai dari zaman Victoria. Bahkan, sampai sekarang pun represi terhadap seksualitas masih terjadi dengan adanya bentukan idealisasi dan normalisasi dan negara dan media tali. Kuasa yang tadinya berfungsi melebarkan sayap kualitas tubuh menjadi berbalik menghakimi dan membatasi ruang gerak tubuh. Diskursus yang ada mulai membuat sebuah nilai kebenaran mengenai tubuh dan seksualitas. Tubuh merupakan sebuah media tempat segala macam aksesoris melekat. Sekarang, tubuh bisa dengan mudah dibentuk, dimanipulasi, dan direpresi. Diskursus mengenai tubuh dan seksualitas tidak akan pernah memiliki truth (kebenaran) dengan T besar di dalamnya, karena my body, your body, our body is wonderland!"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S16196
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iqrak Sulhin
"Di dalam perkembangan praktek pemenjaraan, muncul berbagai permasalahan yang membuat pertanyaan besar mengenai kemampuan pemenjaraan itu sendiri dalam mencapai tujuan berdasarkan rasionalitasnya. Sejak abad ke-19, diskursus dan praktek pemenjaraan dilakukan melalui strategi pendisiplinan yang dalam penologi disebut dengan rehabilitasi atau reformasi. Berdasarkan rasionalitas ini, dikembangkan sejumlah teknologi yang berupaya menghilangkan sifat kriminal sehingga mencegahnya melakukan kembali kejahatan setelah bebas dari penjara.
Namun, munculnya residivisme, terbentuknya budaya penjara, stigma dan penolakan masyarakat terhadap mantan narapidana, digunakannya penjara sebagai instrumen kekuasaan politik dan ekonomi menunjukkan sebuah paradoks, inkonsistensi, atau diskontinuitas antara praktek pemenjaraan dengan rasionalitasnya.
Disertasi ini mencoba menjelaskan secara filosofis diskontinuitas praktek pemenjaraandengan menggunakan kerangka berfikir Michel Foucault. Metodologi yang digunakanadalah analisa diskursus arkeologi/genealogi yang juga dikembangkan oleh Michel Foucault. Disertasi ini mengembangkan lebih jauh argumentasi Michel Foucault di dalam discipline and punish mengenai bekerjanya kekuasaan destruktif dalam pemenjaraan, dengan mengkaitkannya dengan sejumlah permasalahan yang merupakan bentuk diskontinuitas diskursus/praktek pemenjaraan. Untuk menjaga jarak dengan pemikiran Foucault, disertasi ini menggunakan pendekatan kapabilitas manusia dari Amartya Sen untuk menjelaskan kondisi manusia di dalam pemenjaraan.
Kesimpulan disertasi ini adalah pemenjaraan merupakan sebuah diskursus/praktek yang diskontinu. Sebuah kondisi yang paradoks atau inkonsisten dengan rasionalitas yang mendasarinya. Disertasi ini mengkonseptualisasi kondisi diskontinuitas diskursus/praktek tersebut sebagai irrasionalitas pemenjaraan. Refleksi filosofis penelitian ini tidak berujung pada peniadaan penjara sebagai bentuk penghukuman. Namun, diskontinuitas praktek pemenjaraan mendorong perlunya diskursus alternatif dari penghukuman.

In the development of the practic of imprisonment, there some emerging issues that make the big questions about the ability of imprisonment itself to achieving the goal beased on its rationality. Since the 19th century, the discourse and practice of imprisonment done through a disciplinary strategy in penology called rehabilitation or reformation. Based on this rationalities, imprisonment developed a number of technologies that seek to reduce the criminal nature that can prevented the prisoners from reoffending after release from prison.
However, the emergence of recidivism, a prison culture, stigma and social rejection of former inmates, and the used of prison as an political and economic power suggests a paradox, inconsistency, or discontinuity between the practice of imprisonment with the rationality. This dissertation tries to explain philosophically the discontinuity of imprisonment practices using Michel Foucault frameworks. As well as the archaeology/genealogy discourse analysis which also developed by Foucault.
This dissertation develops further Foucault?s arguments in Discipline and Punish about the destructive power of imprisonment, by linking to a number of problems which is a form of discourse/practice discontinuity. To keep a distance with Foucault?s thinking, this dissertation uses the human capability approach of Amartya Sen in explaining the human condition in imprisonment.
The conclution of this dissertation is imprisonment as a discourse/practice is discontinued. A paradox conditions or inconsistency with the underlying rationality. This dissertation conceptualize such discourse/practice discontinuity as an imprisonment irrationality. Philosophical reflection of this study does not lead to the elimination of prison as a form of punishment. However, the practice discontinuity of imprisonment urges the need for an alternative discourse in punishment."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
D1496
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nyi Ayu Keisha Alya
"Hak Asasi Manusia Internasional atau kerap disebut dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) termasuk ke dalam dokumen International Bills of Rights, bersama dengan dua perjanjian lainnya yang turut mendukung visi kemanusiaan. Hak Asasi Manusia dapat memberikan kekuasaan pada negara-negara berdaulat yang menandatangani International Bills of Rights untuk menyebarkan dan mempromosikan HAM kepada masyarakatnya. Namun, tidak sedikit yang menganggap bahwa HAM kurang relevan untuk diterapkan pada wilayah, masyarakat, atau budaya-nya. Michel Foucault menyediakan sudut pandang filosofis untuk melihat pembentukkan pengetahuan, dimulai dari konsepsi kekuasaan produktif yang membentuk jejaring di dunia modern. Foucault memaparkan berbagai perubahan bentuk hukuman, bagaimana proses strukturisasi pengetahuan modern akan berakhir menjadi berbagai hal yang bersifat menormalisasi dalam masyarakat modern. Konsep relasi kekuasaan dan pengetahuan ini kemudian akan menganalisis bagaimana dunia modern membentuk suatu pemahaman bersama atau common knowledge, dalam konteks ini, bagaimana relasi tersebut menciptakan sebuah ideologi HAM Internasional yang menyatakan bahwa ia memayungi keseluruhan manusia di dunia. Sebuah ideologi yang bersifat menormalisasi ini perlu dikaji secara filosofis. Tulisan ini hendak menawarkan sebuah pandangan lain dalam memahami Hak Asasi Manusia Internasional, tidak hanya dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang semerta-merta diberikan. Dengan menggunakan perspektif power-knowledge Michel Foucault, akan dilihat bagaimana suatu common knowledge yakni Hak Asasi Manusia Internasional dan Ideologi HAM yang mengklaim dirinya sebagai sesuatu yang universal, kemudian dapat dipandang secara partikular.

International Human Rights or often referred as the Universal Declaration of Human Rights (UDHR) is included in the International Bills of Rights, along with two other agreements that support the humanitarian vision. Human Rights can give sovereign states who signed the International Bills of Rights the power to disseminate and promote human rights to their citizens. However, not only a few considered, that human rights are less relevant to be applied to their region, society, or culture. Michel Foucault provides a philosophical point of view to see the formation of knowledge, starting from the conception of productive power that forms networks in the modern world. Foucault describes various changes in the form of punishment, how the process of structuring modern knowledge will end up becoming various things that tend to be normalizing in modern society. The concept of the relation of power and knowledge will then analyze how the modern world forms a common understanding or common knowledge, in this context, how this relation creates an international human rights ideology which states that, it is the umbrella for all human beings in the world. This normalizing ideology needs to be studied philosophically. This paper would like to offer a different perspective in understanding International Human Rights, not only by considering it as something that is immediately given. Using Michel Foucault's power-knowledge perspective, it will be seen how common knowledge, namely International Human Rights and Human Rights Ideology, which claims to be universal, can then be viewed in a particular way."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Rosihan Fahmi
"Istilah 'Self' dalam filsafat Barat Modern menunjukkan sebagai identitas yang melekat pada diri seseorang. Konsepsi tentang 'Self' berbeda-beda sesuai dengan pendekatan yang digunakan masing-masing filsuf dalam memaknainya. Namun secara umum dapat dikatakan, perdebatan tentang konsepsi 'Self' dalam Filsafat Barat Modern, mengarah kepada autentisitas esensialis dan eksistensialis.
Ketika dikaitkan masalah konsepsi 'Self' dalam filsafat Barat Modern dengan wacana Orientalisme "Timur" dan "Barat" yang dirumuskan oleh Edward W. Said, dalam bukunya Orientalisme, bisa jadi stereotype-stereotype seperti, rasional, beradab, dan dewasa, diciptakan "Barat" tentang keberadaannya atau identitasnya merujuk pada salah satu atau beberapa gagasan konsepsi filosofis tentang 'Self' apakah itu bersifat deteministik, anti-deterministik, atau mungkin pragmatisme. Karena, konsepsi 'Self' dalam filsafat Barat Modern secara umum, memungkinkan adanya pembenaran akan eksploitasi terhadap sesuatu yang berada diluar seperti benda-benda, alam semesta, dan bahkan manusia yang dilainkan sebagai objek.
Konstruksi identitas yang dibangun "Barat" atas "Timur" oleh Edward W. Said, berhasil dikupas menjadi sebuah persoalan yang sebelumnya dianggap tidak ada dan ditiadakan yaitu persoalan kekuasaan imperialistik yang dibingkai oleh corak kebudayaan yang orientalistik. Secara epistemologis, Edward W. Said berhasil membongkar, menyikap, menelanjangi kebusukan kultural yang diklaim secara ilmiah oleh kekuasaan koloni. Sementara itu, ditingkat ontologi Edward W. Said berhasil membongkar, menyibak, dan menelanjangi pula penyebab akhir kekuasaan imperialistik yang dibingkai oleh nilai-nilai kemanusiaan, yaitu sifat-sifat yang secara menyeluruh dan mendasar adalah antikemanusiaan itu sendiri.
Konsepsi 'Self' dan identitas manusia yang selama ini dianggap netral, terjadi dengan sendirinya, dan universal berhadapan dengan fakta yang dikemukakan Said. Maka 'Self', tidak bisa tidak harus dipahami, dalam konsepsi hibriditas dan autentisitas. Kesadaran akan kemungkinan terjadinya fundamentalisme kebudayaan inilah yang menjadikan kritik Said hanya sebagai gerbang bagi peninjauan ulang konsepsi 'Self' bagi manusia. Dalam upaya meredefinisi identitas, aspek autentisitas dan hibriditas menjadi rumusan yang tidak bisa dihindari, baik bagi "Timur" dan "Barat". Namun disisi lain, Said sendiri tidak melakukan perumusan atau menceritakan upaya Timur dalam merumuskan identitasnya. Dengan kata lain, Said seperti menyetujui bahwa Timur memang tak memiliki kemampuan untuk merumuskan atau menceritakan diri selain melalui suara orientalis dan kritikus- orientalis seperti Said."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005
T15363
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>