Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10060 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Denny Indrayana, 1972-
Malang: Intrans Publishing, 2016
345.023 DEN d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Wawan Heru Suyatmiko
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2019
364 INTG 5:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Moh Amar Khoerul Umam
"Penelitian ini membahas dua pokok permasalahan: Pertama, bagaimana proses pemilihan dan pengangkatan menteri oleh presiden setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, bagaimana pelibatan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pengangkatan menteri menurut tinjauan Hukum Tata Negara. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Pembahasan dimulai dari kekuasaan presiden sebelum dan setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945, khususnya kewenangan dalam memilih dan mengangkat menteri, serta kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pengaturan proses pemilihan menteri dalam Undang-Undang Dasar 1945 baik sebelum maupun setelah amandemen tidak banyak berubah, dan secara substansi tidak ada yang berubah sama sekali. Meski demikian, setelah amandemen, terdapat undang-undang yang secara khusus mengatur tentang kementerian negara, yaitu Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Di dalam undang-undang tersebut, proses pemilihan dan pengangkatan menteri tidak diatur sama sekali. Hal yang diatur secara khusus dalam Undang-undang Kementerian Negara adalah persyaratan untuk menjadi seroang menteri. Kewenangan memilih menteri merupakan kewenangan yang melekat pada presiden, inherent power. Sedangkan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam proses pemilihan menteri tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan maka disebut diskresi atau hak prerogatif presiden.

This study addresses two main issues: First, how the process of selection and appointment of ministers by the president after the amendment of the Constitution of 1945. Secondly, how the inclusion of the Corruption Eradication Commission in the appointment of ministers according to a review of Constitutional Law. The method used is juridical-normative. The discussion starts with the president's powers before and after the amendment of the Constitution of 1945, in particular the authority to select and appoint ministers, as well as the position of the Corruption Eradication Commission in the state system of Indonesia. The arrangement of ministerial election process in the Constitution of 1945 both before and after the amendment has not changed much, and substantially no change at all. However, after the amendment, there is a law that specifically regulates the state ministries, namely Law No. 39 of 2008 concerning the Ministry of State. In the law, the process of selection and appointment of ministers is not regulated at all. It is specifically regulated in the Law of the Ministry of State is the requirement to be a minister. The authority of choosing a minister is attached to the president's authority, inherent power. While involving the Corruption Eradication Commission in the electoral process the minister is not set in legislation, the so-called discretionary or prerogative of the president.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S60233
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahyudin
"Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan perubahan ketiga UUD NRI 1945 sebagai lembaga baru dalam melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung (MA). Kewenangan yang dimiliki oleh MK berbeda dengan kewenangan yang dimiliki MA yang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap udang-undang. Kewenangan MK sebagaimana dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 adalah (i) MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenanganya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partaipolitik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum; (ii) MK wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Kewenangan yang diberikan oleh UUD tersebut hanya untuk menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD dan tidak diberikan kewenangan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan lainnya. Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh MK melalui putusan perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 telah menimbulkan perbedaan pendapat tidak hanya dikalangan para hakim MK melainkan juga para ahli-ahli hukum terlebih lagi pengujian Perpu tersebut MK menyatakan berwenang melakukan pengujian dan bahkan putusan tersebut telah dijadikan yurisprudensi dan diikuti oleh hakimhakim konstitusi selanjutnya dalam memutus setiap permohonan pengujian Perpu terlihat dalam berbagai putusan MK dengan menggunakan pertimbangan hukum yang terdapat pada putusan Pengujian Perpu Nomor 4 Tahun 2009 dan dengan dasar pertimbangan itu menyatakan MK berwenang melakukan pengujian Perpu. Terhadap kewenangan yang diperoleh MK melalui penafsiran pengujian Perpu telah memperluas kewenangan yang dimilikinya yang tidak hanya terbatas pada penggujian UU namun telah bertambah dengan pengujian Perpu terhadap UUD yang sebetulnya kewenangan pengujian Perpu merupakan kewenangan DPR sebagai pembentuk UU sesuai ketentuan Pasal 22 UUD 1945. Perbandingan dengan negara-negara lain berkaitan kewenangan MK menguji Perpu, dari keempat negara yakni Jerman, Korea Selatan, Thailand dan Italia menunjukan tiga negara yakni Jerman, Korea Selatan dan Italia tidak memiliki kewenangan untuk menguji Perpu sementara satu negara yakni Thailand kewenangan MK hanya dapat menguji rancangan peraturan darurat/Perpu.

The establishment of the Constitutional Court (MK) by the third amendment to the Constitution NRI 1945 as a new institution in carrying out the functions of the judicial power in addition to the Supreme Court (MA). Authority possessed by the Court is different from the authority possessed MA examine the legislation under laws against shrimp reserved. The authority of the Constitutional Court as in Article 24C paragraph (1) and (2) of the 1945 Constitution are: (i) the Court authority to hear at the first and last decision is final for a law against the Constitution, rule on the dispute the authority of state institutions are an arbitrary granted by the Constitution, to decide the dissolution partaipolitik, and to decide disputes concerning the results of the General Election; (ii) The Court shall give a decision on the opinion of the House of Representatives regarding the alleged violations by the President and / or Vice President by the Constitution. The authority granted by the Constitution just to test the constitutionality of laws against the Constitution and not be authorized tests on other legislation. Testing Government Regulation in Lieu of Law (decree) No. 4 of 2009 regarding the Commission for Corruption Eradication by the Court through a ruling Case Number 138 / PUU-VII / 2009 has caused dissent not only among the judges of the Constitutional Court, but also the legal experts moreover testing the decree of the Constitutional Court states the authority to conduct testing and even the decision has been made jurisprudence and followed by the judges of the constitution later in deciding each petition decree seen in various decision of the Court using legal considerations contained in the decision of Testing Regulation No. 4 of 2009 and with the consideration that the Court declare decree authorized to conduct testing. Against the authority acquired through the interpretation of the Constitutional Court decree has expanded testing of its authorities are not just limited to penggujian Act but has increased with the testing decree against the Constitution are actually testing decree authority is the authority of Parliament as former Act in accordance with Article 22 of the 1945 Constitution Comparison with the state Other related MK-state authorities test the decree, from the four countries namely Germany, South Korea, Thailand and Italy showed three countries, namely Germany, South Korea and Italy do not have the authority to examine the decree while the Court states that the Thai authorities can only test the draft emergency ordinance/Perpu."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T44831
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Ilham Irmantyo
"Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Perubahan Kedua atas UU KPK), Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR) dan Pemerintah mendapatkan kritik keras dari masyarakat. Publik berpikir, bahwa apa yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah ini bertujuan untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai institusi pemberantas korupsi. Disebut demikian, lantaran UU ini dianggap memuat aturan-aturan yang dapat melemahkan KPK. Hal yang paling dipermasalahkan oleh publik adalah pembentukan Dewan Pengawas KPK sebagai badan pengawas internal KPK yang memiliki wewenang pemberian izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Skripsi ini membahas, apakah wewenang seperti itu merupakan hal yang normal dan lazim diberikan dengan membandingkan wewenang badan pengawas pada lembaga negara lain di Indonesia serta badan pengawas lembaga anti korupsi di negara-negara lain. Metode penelitian yang digunakan untuk skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif dan studi komparatif. Dari riset yang dilakukan, penulis melihat, bahwa dengan mendirikan Dewan Pengawas KPK, pembentuk undang-undang bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas dari KPK. Namun, walaupun pendiriannya memang diperlukan, penulis menilai, bahwa wewenang Dewan Pengawas KPK dalam hal memberi izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan merupakan hal yang tidak lazim dan aneh karena pada praktik ketatanegaraan, baik di Indonesia maupun di negara lain, tidak ditemukan sistem atau pengaturan yang demikian.

By the entry into force of the Law Number 19 of 2019 on the Second Amendment to Law Number 30 of 2002 on the Corruption Eradication Commission, the Indonesia's House of Representatives (DPR) and Government were harshly criticized by the public. The public thought that what the DPR and the Government did aimed to weaken the Corruption Eradication Commission (KPK) as the state's institution eradicating corruption. This is because the new law was presumed to contains rules that could weaken the power of KPK. The most problematic thing according to the public is the establishment of the Supervisory Board of the KPK as the commission's internal supervisory body having the authority to grant the approval on the action of wiretapping, searching and confiscation. The thesis discusses whether such authority is normal and a common thing adopted in other countries by learning the authority of the supervisory body in other Indonesia's state institutions as well as the supervisory body of the anti-corruption institutions in other countries. The research method used for the thesis is normative juridical research as well as comparative study. From the research, the author see that by establishing the KPK's Supervisory Board, the legislators aim to increase the accountability of the KPK. However, although its establishment is indeed necessary, the author has an opinion that the above mentioned Supervisory Board authority is unusual and peculiar, as the practice has not been found, both in Indonesia's and other countries' constitutional system.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017
364.132 598 ACC
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Simatupang, Dian Puji Nugraha
"Since eradicating corruption having been continously encouraged by late governments ? and until now ? , there would not be less important as to retracting the corrupted assets. There are many aspects to be considered in doing such action, such as manifesting the legal aspects of administrative law, and so other applied national regulations. By these regulations, such as Law No. 7 of 2006 on Ratification of United Nations Convention against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Anti-Korupsi, 2003), Law Number 25 of 2003 On Amendment to Law Number 15 of 2002 on Money Laundering, Act 30 of 2002 on Corruption Eradication Commission, Law Number 20 Year 2001 regarding Amendment to Law Number 31 Year 1999 on the Eradication of Corruption, and Government Regulation Number 65 of 1999 on Implementation Procedures for Examination of State Property, retraction the corrupted assets should be define in order to get known about eradicating corruption. Another issue that urgently to be defined, as it also become main subject of retracting assets, is the asset itself. Indeed, as the asset which become mainly discussed about is State assets. So, it would be very necessary to clearly have a distinction between State responsibility and that of irresponsibility of the State, in order to settle down, as an after effect, many interpretations."
University of Indonesia, Faculty of Law, 2011
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdian Yazid
"Tugas Karya Akhir (TKA) ini mencoba mengkaji seberapa jauh upaya pencegahan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), khususnya dalam menumpas akar masalah korupsi yang sesuai dengan filosofi dari salah satu strategi pencegahan kejahatan, yakni social crime prevention. Tugas Karya Akhir (TKA) ini sekaligus mencoba untuk melihat kendala-kendala yang dihadapi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menerapkan social crime prevention, dan memberikan rekomendasi agar social crime prevention dapat diimplementasikan dalam bentuk terbaik.

This final paper try to analyze actions taken by the Indonesia‟s Corruption Eradication Commission (KPK) as main institution who has an authority to prevent corruption in Indonesia. This final paper use philosophy from one of the crime prevention strategy, namely social crime prevention. This final paper also trying to look at the obstacles faced by the Indonesia‟s Corruption Eradication Commission (KPK), and give a recommendation to Indonesia‟s Corruption Eradication Commission (KPK) so that social crime prevention can be implemented at the finest form."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nurjannah
"Penyadapan dalam aspek penegakan hukum menjadi hal krusial karena berkaitan pembatasan hak asasi manusia terutama kebebasan pribadi (privacy right). Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif besifat preskriptif, mengenai pengaturan kewenangan penyadapan KPK yang disesuaikan dengan menggunakan the international principles of the application of human rights in communication surveillance. Fokus peneltian ini adalah mengkaji bagaimana Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 70/PUU-XVII/2019 mengakomodir prinsip-prinsip perlindungan terhadap hak asasi manusia serta perbandingannya dengan lembaga anti kprupsi di berbagai negara seperi Malaysia, Hongkong dan Australia. Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yangdibahas dalam penelitian ini adalah: (1) apakah pengaturan kewenangan penyadapan oleh KPK dalam Perubahan Kedua UU KPK sudah sesuai dengan konsep hak asasi manusia dalam hal perlindungan hak atas privasi terhadap subjek sadap KPK; dan (2) bagaimana dengan konsep konsep ideal regulasi kewenangan penyadapan KPK berdasarkan perspektif hak asasi manusia. Pengumupulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dengan studi pustaka dan pengumpulan data primer dilakukan dengan permintaan wawancara dengan pihak terkait sedangkan data sekunder dari laporan, jurnal, buku dan peraturan perundang-undangan. Penelitian ini berkesimpulan bahwa dalam Perubahan Kedua UU KPK udah lebih maju dibandingkan dengan regulasi sebelumnya, dengan indikasi dari aspek legalitas karena sudah diatur dalam undang-undang dengan menambahkan ketentuan-ketetntuan baru mengenai penyadapan. Akan tetapi, hak privasi dalam penegakan hukum dapat dilakukan pembatasannya melalui peraturan setingkat undang-undang, sedangkan muatan materi dalam UU Nomor 19 tahun 2019 masih belum memadai sehingga tetap berpotensi terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Pengaturan penyadapan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 juga belum memenuhi prinsip-prinsip internasional mengenai perlindungan hak asasi manusia. Hal ini berarti Indonesia perlu memperbaiki undang-undangnya dengan menambahkan beberapa pasal atau membuat undang-undang khusus mengenai penyadapan agar dapat sepenuhnya mematuhi prinsip-prinsip internasional tentang hak asasi manusia dalam tindakan pengawasan elektronik.

Interception in the aspect of law enforcement is crucial because it is related to the limitation of human rights, especially personal freedom (privacy right). This research is a prescriptive normative juridical research, regarding the regulation of the KPK's wiretapping authority in regard to the international principles of the application of human rights in communication surveillance. The focus of this research is to examine how Law Number 19 of 2019 after the Constitutional Court Decision (MK) No. 70/PUU-XVII/2019 accommodates the principles of protection of human rights and its comparison with anti-corruption institutions in various countries such as Malaysia, Hong Kong and Australia. Due to this, the problems discussed in this research are: (1) whether the regulation of the KPK's wiretapping authority in the Second Amendment to the KPK Law is in accordance with the concept of human rights in terms of protecting the right to privacy of the KPK's tapping subjects; and (2) what is the ideal concept of the KPK's regulation of wiretapping authority based on a human rights perspective?. Data collection used in this research is secondary data obtained by literature study and primary data collection is carried out by requesting interviews with relevant parties while secondary data from reports, journals, books and laws and regulations. This research concludes that the Second Amendment to the KPK Law is already more advanced than the previous regulation in term of interception, with an indication of the legality aspect because it has been regulated in law by adding new provisions. However, the right to privacy in law enforcement can be limited through regulations, at the level of law, while the material content in Law Number 19 of 2019 is still inadequate so that there is still the potential for human rights violations. The authority of interception regulated in Law No. 19/2019 also does not meet the international principles regarding the protection of human rights. It means that Indonesia needs to improve its law by adding several articles or creating a special law on wiretapping in order to fully comply with international principles on human rights in electronic surveillance."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farhan
" Tugas karya akhir ini membahas perbandingan pola kerja yang dilakukan oleh lembaga antikorupsi di Indonesia dan Hong Kong yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Independent Commission Against Corruption (ICAC). Penulisan ini dilakukan untuk mengetahui pola kerja apa yang membedakan antara kedua lembaga sehingga ICAC dianggap lebih berhasil dalam memberantas korupsi daripada KPK. Dengan demikian, maka dapat diketahui langkah evaluasi apa yang dibutuhkan oleh KPK.
Hasil penulisan menyarankan bahwa diperlukan adanya penyempurnaan undang-undang pendukung KPK, penyusunan ulang rencana strategi KPK secara efektif dan efisien, serta penyempurnaan pola kelembagaan di dalam tubuh KPK.

This paper discusses the comparison of work pattern among the anti-corruption institutions in Indonesia and Hong Kong, known consecutively as Corruption Eradication Commission (KPK) and Independent Commission Against Corruption (ICAC). This paper aims to determine the differences of work pattern between those two institutions as ICAC is deemed to achieve better results in combating corruption than KPK. Thus, the discussion of this paper is able to find out the evaluation steps which should be done by KPK.
The results suggest that the legislation supporting the KPK is need to be improved. In addition, redesigning KPK's strategic plans is necessary to be done effectively and efficiently, as well as improvement in institutional pattern within KPK's body.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>