Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 206489 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irwan Janu Sucipta
"Kondisi hipoksia bagi penerbang merupakan ancaman bahaya yang selalu ada meskipun dengan pesawat kabin bertekanan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor risiko hipoksia pada penerbang militer Indonesia. Penelitian ini memakai desain potong lintang dengan consecutive sampling pada penerbang militer Indonesia yang melaksanakan indoktrinasi dan latihan aerofisiologi ILA selama bulan Juni 2017 di Lakespra Saryanto Jakarta. Sebanyak 120 subjek didapatkan selama penelitian ini. Hipoksia ditandai dengan Waktu Sadar Efektif WSE < 4 menit saat latihan di Ruang Udara Bertekanan Rendah RUBR dengan ketinggian 25000 kaki.
Hasil menunjukkan bahwa fatigue, kesamaptaan dan ketahanan kardiovaskular VO2max tidak menunjukan hubungan yang bermaknan dengan WSE p>0,05. Pada penelitian ini dapatkan total jam terbang dan kebiasaan merokok sebagai faktor dominan. Subjek yang memiliki total jam terbang ge; 1000 jam memiliki risiko WSE < 4 menit 2,6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan total jam terbang < 1000 jam [ORa= 2,65; IK 95 = 1,21-5,78; p= 0,014]. Subjek yang merokok memiliki risiko WSE < 4 menit lebih rendah 63 dibandingkan dengan yang tidak merokok [ORa= 0,37; IK 95 = 0,14-0,95; p= 0,039]. Dapat disimpulkan bahwa Fatigue, kesamaptaan dan ketahanan kardiovaskular tidak berhubungan dengan hipoksia yang ditandai oleh waktu sadar efektif. Total jam terbang ge; 1000 jam meningkatkan risiko WSE < 4 menit, sedangkan merokok menurunkan risiko WSE < 4 menit.

Hypoxic condition for pilots are an ever present threat of dangers even with pressurized cabin aircraft. The purpose of this study to determine the risk factors of hypoxia in Indonesia military pilots. This study used cross sectional design with consecutive sampling on Indonesia military pilots who carried out indoctrination and aerophysiology exercise during the month of June 2017 at Lakespra Saryanto Jakarta. 120 subjects were obtained during the study. Hypoxia is characterized by Time of Useful Consciousness TUC 4 minutes during exercise in the hypobaric chamber at 25000 feet chamber altitude.
The results showed that fatigue,physicall fitness and cardiovascular endurance VO2max did not show a meaningful relationship with TUC p 0.05. In this study, total flying hours and smoking habits were found as dominant factor. Compared to 1000 hours of total flying hours, subjects with a total flying hours ge 1000 hours were 2.6 times higher risk to have TUC 4 minutes ORa 2,65 CI 95 1,21 5,78 p 0,014. Compared to non smokers, smoker subjects were 63 lower risk to have TUC 4 minutes ORa 0,37 CI 95 0,14 0,95 p 0,039. In conclusion Fatigue, physicall fitness and cardiovascular endurance are not associated with hypoxia characterized by time of useful consciousness. Total flight hours ge 1000 hours increase risk for TUC 4 minutes, while smoking decrease risk for TUC 4 minutes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Febi Arya Hidayat
"Latar Belakang: Dalam dunia penerbangan, fatigue dapat menyebabkan inkapasitasi penerbang dan mengakibatkan kecelakaan pesawat. Jam terbang merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan risiko fatigue. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan jam terbang 7 hari dan beberapa faktor lain terhadap risiko fatigue pada penerbang sipil di Indonesia.
Metode: Sebuah studi cross sectional dengan consecutive sampling dilakukan pada penerbang sipil yang sedang melakukan medical check-up di Balai Kesehatan Penerbangan di Jakarta pada Juni 2016. Karakteristik demografi, pekerjaan, kebiasaan dan jam terbang diperoleh melalui kuesioner dan wawancara. Data fatigue diperoleh melalui pemgisian self-questionnaire fatigue dan dihitung dengan Fatigue Severity Scale (FSS) yang telah dikalibrasi. Fatigue dikategorikan menjadi “Tidak Fatigue” (skor FSS <36) dan “Fatigue” (skor FSS ≥36). Analisis menggunakan risiko relatif dengan regresi Cox dan waktu yang konstan.
Hasil: Penelitian ini mencakup 542 penerbang, 50,2% mengalami fatigue, dan 49,8% tidak fatigue. Subyek yang memiliki jam terbang lebih dari 30 jam dalam 7 hari dibandingkan dengan yang kurang sama dengan 30 jam dalam 7 hari, memiliki risiko fatigue 1,39 kali lebih tinggi [risiko relatif disesuaikan (RRA)= 1,39; CI=1,16-1,68; p = 0,001]. Subjek yang memiliki lisensi tipe ATPL dibandingkan dengan yang CPL memiliki risiko fatigue 1,31 kali lebih tinggi (RRa= 1,31; CI=1,11-1,54 p= 0,001). Selanjutnya subyek yang berolahraga secara appropriate memiliki risiko fatigue 32% lebih kecil (RRa=0.68; CI=0,43-1,06; p=0.094).
Kesimpulan: Penerbang sipil di Indonesia yang memiliki jam terbang lebih dari 30 jam dalam 7 hari dan penerbang dengan lisensi tipe ATPL mengalami peningkatan risiko fatigue. Kebiasaan olahraga secara appropriate menurunkan risiko fatigue pada penerbang sipil di Indonesia.

Background: In aviation world, fatigue may cause the pilot incapacitation and can lead to the aircraft accidents. Flight hours is believed to be one of the factors related to the risk of fatigue. The purpose of this study is to identify relationship between flight hours in seven day and other factors to the risk of fatigue among civilian pilot in Indonesia.
Methods: A cross sectional study with consecutive sampling was conducted among civilian pilots who attended medical check-up at Aviation Medical Center in Jakarta on June 2016. Demographic characteristics, employment related factors, habits and flight hours were obtained through questionnaire and interviews. Fatigue data were obtained through fatigue self-questionnaire form and measured with Fatigue Severity Scale which had been validated. Fatigue was categorized into non-fatigue (FSS score <36) and fatigue (FSS score ≥36). Risk relative was computed using Cox regression with a constant time.
Results: This study included 542 pilots, 50,2% had fatigue and 49,8% were normal (non-fatigue). The subjects who have flight hours >30 hours/week compared to ≤30 hours/week, had 1.37-fold higher risk of fatigue [adjusted relative risk [RRa=1.37; CI=1,14-1,65; p=0.001]. The subject with ATPL license compared to CPL license, had 1.28-fold higher risk of fatigue [RRa=1.31; CI=1,11-1,54; p=0.001). Furthermore, subjects who have appropriate exercise, had 32% lower risk of fatigue (RRa=0.68; CI=0,43-1,06; p=0.094).
Conclusions: Civilian pilots in Indonesia who had more than 30 hours flight time in 7 days and ATPL type pilots have an increased risk of fatigue. Appropriate exercise decreased the risk of fatigue on civilian pilots in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Sri Kristina
"Penyakit kardiovaskular merupakan penyumbang angka kesakitan dan inkapasitasi pada pilot. Risiko pajanan hipoksia intermiten dan radiasi kosmik dari lingkungan penerbangan tercermin dari jam terbang total dan jenis pesawat. Pajanan stresor kerja berupa jumlah sektor serta jenis penerbangan juga dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular. Disertai perubahan kebiasaan berupa berkurangnya durasi tidur dan aktivitas fisik akhirnya dapat menyebabkan tingginya risiko penyakit kardiovaskular. Upaya deteksi dini risiko penyakit kardiovaskular dapat dengan melakukan penghitungan estimasi risiko penyakit kardiovaskular. Studi ini menggunakan desain potong lintang. Data diambil menggunakan kuesioner dari pilot yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala pada 12-27 Mei 2022 di Balai Kesehatan Penerbangan, Jakarta. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan dengan SPSS versi 22. Dari 121 subjek, 66 pilot (54,5%) memiliki risiko penyakit kardiovaskular tinggi. Jam terbang total dan aktivitas fisik secara signifikan memiliki asosiasi dengan risiko penyakit kardiovaskular yang tinggi (p<0,001 dan p=0,003). Keduanya merupakan faktor dominan terhadap risiko penyakit kardiovaskular. Pilot dengan total jam terbang ≥10.850 jam memiliki risiko penyakit kardiovaskular yang tinggi 4,64 kali lebih besar dibandingkan dengan jam terbang <10.850 jam (OR= 4.64, 95% CI 2.09-10.26, p<0,001). Sedangkan pilot yang tidak aktif memiliki risiko penyakit kardiovaskular yang tinggi 2,63 kali lebih besar dibandingkan dengan pilot yang aktif (OR= 2.63 95% CI 1.18-5.86, p=0,019).

Cardiovascular disease can cause incapacitation and long-term unfit period for pilots. Hypoxia and cosmic radiation exposure from flight environment reflected in total flight hours. Pilots are also at risk of being exposed to stress that can affect the cardiovascular system, reflected in the number of sectors and the types of flights it undertakes. Together with poor sleep duration and physical activity can finally lead to high cardiovascular disease risk. Early detection can be done by estimating the risk of cardiovascular disease. This was a cross-sectional study. Data were collected from pilots who had renewal medical examination on 12 to 27 May 2022 at the Aviation Medical Center using questionnaire. Bivariate and multivariate analyses were performed using SPSS version 22. Of 121 subjects, 54.5% (n=66) had a high cardiovascular disease risk. Total flight hours and physical activity were significantly associated with high cardiovascular disease risk (p<0.001 and p=0.003, respectively). Both are dominant factors for the cardiovascular disease risk. Pilots with total flight hours ≥10.850 hours had high cardiovascular disease risk 4.64 times greater than they with <10.850 hours (OR= 4.64, 95% CI 2.09-10.26, p<0.001). Inactive pilots had a high cardiovascular disease risk 2.63 times greater (OR= 2.63, 95% CI 1.18-5.86, p=0.019)."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Armyn Trimulia Atmadja Tunggawidjaja
"Latar belakang. Belum diketahui apakah ada hubungan antara usia penerbang, obesitas sentral, kebiasaan merokok, riwayat penyakit metabolik, dan jam terbang total dengan kejadian sindroma metabolik pada penerbang sipil pesawat sayap tetap.
Metode. Penelitian ini merupakan studi kasus kontrol, yang dilakukan pada bulan Desember 2022. Penerbang sipil laki-laki pesawat sayap tetap yang menjalani pemeriksaan kesehatan di Balai Kesehatan Penerbangan pada periode Juni – November 2022 diinklusi dalam studi. Variabel bebas yang diteliti adalah jam terbang, usia, status obesitas, merokok, dan riwayat DM tipe II keluarga.
Hasil. Terdapat dua ratus enam puluh dua penerbang sipil pesawat sayap tetap yang diinklusi dalam studi ini, dengan 131 (50%) penerbang dengan sindrom metabolik dan 131 (50%) lainnya tidak memiliki sindrom metabolik. Rerata usia pasien dalam penelitian adalah 38,70 ± 10,54 tahun, dengan 57,6% penerbang berusia ≤ 40 tahun. 59,2% subjek memiliki jam terbang ≥ 5000 jam, dengan median jam terbang keseluruhan subjek adalah sebesar 5600 (45¬27700) jam. Sebagian besar subjek (64,5%) memiliki indeks massa tubuh (IMT) yang termasuk dalam kategori obesitas. Hanya usia > 40 tahun dan IMT ≥ 25 kg/m2 yang ditemukan berhubungan dengan sindrom metabolik (p < 0,001), dengan rasio odds masing-masing sebesar 5,90 (IK 95%, 2,79–12,45) dan 6,24 (IK 95%, 3,25–12,00). Setelah menghilangkan faktor usia, jam terbang ≥ 5000 jam memiliki risiko 3,33 (IK 95%, 1,87–5,94) kali lebih tinggi untuk mengalami sindrom metabolik.
Simpulan. Usia ≥ 40 tahun dan status obesitas berhubungan dengan peningkatan risiko sindrom metabolik di kalangan penerbang sipil pesawat sayap tetap laki-laki.

Background. It is not yet known whether there is a relationship between pilot age, central obesity, smoking habits, history of metabolic disease, and total flight hours with the incidence of metabolic syndrome in civil fixed-wing aircraft pilots.
Methods. This research is a case control study, which was conducted in December 2022. Male civil pilots of fixed wing aircraft who underwent medical examinations at the Balai Kesehatan Penerbangan in the period June – November 2022 were included in the study. The independent variables studied were flight hours, age, obesity status, smoking, and family history of type II DM.
Results. Two hundred and sixty-two fixed-wing civil aviation pilots were included in this study, of which 131 (50%) pilots had the metabolic syndrome and 131 (50%) did not have the metabolic syndrome. The mean age of the patients in the study was 38.70 ± 10.54 years, with 57.6% of the pilots aged ≤ 40 years. 59.2% of the subjects had flight hours ≥ 5000 hours, with the median flight hours of all subjects being 5600 (45¬27700) hours. Most of the subjects (64.5%) had a body mass index (BMI) which was included in the obesity category. Only age > 40 years and BMI ≥ 25 kg/m2 were found to be associated with the metabolic syndrome (p < 0.001), with odds ratios of 5.90 (95% CI, 2.79–12.45) and 6, respectively. 24 (95% CI, 3.25–12.00). After removing the age factor, flying hours ≥ 5000 hours had a 3.33 (95% CI, 1.87–5.94) times higher risk of experiencing metabolic syndrome.
Conclusion. Age ≥ 40 years and obesity status are associated with an increased risk of metabolic syndrome among male civil fixed-wing aircraft pilots.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azuarsjah
"Pada tangga! 27 Oktober 1945 di Maguwo Yogyakarta telah dilakukan pcrcoba an terbang dengan inenggunakan pesawaL Curen buatan Jepang tahun 193.3, yang diterbangkan oleh A. Adisuciplo dan pada tanggal 7 Nopember 1945 di Cibeureum Tasikmalaya juga diterbangkan pesawat Nisyikoren oleh A.Adisucipto. (Cedua percobaan terbang itu berhasil dilakukan dengan baik. Pesawat tersebut adalah rampasan pemnggalan Jepang yang serba rongsokan, berhasil diperbaiki lagi. Dengan telah berhasil diterbangkannya pesawat-pesa wat peninggalan Jepang, timbullah persoalan baru untuk segera ditangani ialah pendidikan calon-calon pcnerbang.
Dalam masa penjajahan Belanda, bidang penerbangan di Indonesia lianya dikuasai oleh tenaga-tenaga Bangsa Belanda saja. Sewaktu perang dunia ke 2 dengan rnakin mendesaknya ancaman serbuan fihak Jepang, maka Belanda mulai merasakan sekafi akan adanya kekurangan tenaga-tenaga penerbang terlatih, kemudian dibukalah kesempatan bagi pemuda-pemuda Indonesia untuk dididik menjadi penerbang dan inipun terbatas sekali jumlahnya. Baru beberapa orang saja berhasil memperoteh brevet penerbang antara lain : A.Adisucipto, Sambujo Hurip, Husein Sastranegara , Mantiri, Abdurachman Saleh, Iswahyudi, Suharnoko Harbani, dan Sutarjo Sigit.
Semasa pendudukan Jepang tidak seorangpun bangsa Indonesia yang pernah mendapat didikan untuk nienjadi calon penerbang. Sekolah penerbang di Maguwo inilah dikemudian hari secara formil merupakan perinlisan menuju pembentukan AAU( Akademi Angkatan Udara ) dan API ( Akademi Penerbang Indonesia ). Sejak akbir bulan Desember 1945 di lapangan udara Maguwo Adisuciplo Yogyakarta telah dimulai perintisan peiididikan calon-calon penerbang. menjadi penerbang. Hal itu dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dan pengelolaan sumber daya manusia baik secara kualitatif maupun kuantitatif . Sampai saat ini telah banyak penerbang-penerbang yang dihasilkannya. Namun pada enam hiliun terakhlr ini , lepatnya pada tahun 1994 sainpai dengan tahun 1999 sasaran penerbang yang ingin dicapai sebanyak 55 orang penerbang tiap tahun tidak lerpenuhi karena outputnya kurang, yaitu hanya 51 orang penerbang atau hanya 92,72 % . Supaya sasaran penerbang terpenuhi maka jumlah sasaran sernula dari 55 orang penerbang diturunkan mcnjadi 35 orang, supaya outputnya mencapai 100 % , ini telah dimulai sasarannya pada tahun 1999, hasil penelitian tangga! 16 Nopember 1999 ( data Mabesau 1999 ) menunjukkan outputnya adalah 48 orang penerbang, dari AAU - 35 dan PSDP ( Prajurit Sukarela Dinas Pendek ) - 13 atau 137,14 % . Data terakhir ini menunjukkan terpenuhi sasaran penerbang sebanyak 35 orang liap tahun sehingga kebijaksanaan tersebut dapat diteruskan, dengan melalui pclalihan atau sekolah penerbang TNI AU dan menerima masukan dari AAU dan PSDP atau SMU ( Sekolah Mcnengah Urnurn ). Sedangkan pesawat yang digunakan adalah pcsawat latih dasar, latih lanjut, dan latih Iransisi, yaitu untuk lulusan AAU latih dasarnya menggunakan pesawat AS-202 Bravo ( praktek terbang ) dengan 11 exercises , jam terbang yang dipakai sebanyak 61.30 jam. Latih lanjut menggunakan pesawat T-34C-1 Charli dengan 17 exercises , jam terbangnya sebanyak 118.40 jam. Latih transisi menggunakan pesawat MK-53 HS Hawk dengan 12 exercises, jam terbangnya sebanyak 70 jam . Untuk lulusan SMU atau PSDP latih dasarnya menggunakan pesawat AS-202 Bravo dengan 13 exercises, jam terbangnya sebanyak 80,00 jam dan latih lanjut jumsan transport menggunakan pesawat T-34C-1 Charli dengan 14 exercises, jam terbangnya 100.00 jam. Latih lanjut jurusan helikopter menggunakan pesawat Bell 47 G Soloy dengan 33 exercises, jam terbangnya 100.00 jam.
Untuk mewujudkan sumber daya manusia atau penerbang dalam jumlah, kualitas, dan kecakapan yang diperlukan oleh suatu sistem pelatihan dan pendayagunaannya yang semestinya bagi kepentingan pelatihan atau organisasi yaitu melalui tipaya penyediaan, pendidikan / pelatihan, penggunaan, perawatan, dan pemisahan, sehingga tugas-tugas yang ada atau tersedia dalam suatu organisasi tersebut dapat dllaksanakan dengan baik. Adapun pembinaan atau pelatihan penerbang pada kenyataannya rnerupakan suatu proses perumusan untuk merencanakan dan menentukan kebutuhan tenaga penerbang yang lepal agar tercapai pendayagunaan yang maksimal, melalui kegiatan-kegiatan pelaksanaan fungsi-fiingsi pembinaan tenaga."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T202
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisa Yartin Thalasa
"Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain penulisan cross sectional yang bersifat deskriptif. Penulis melakukan penyebaran kuesioner pada kelompok pekerja yang berisiko terserang penyakit kardiovaskular. Kuesioner berisikan pertanyaan yang berhubungan dengan variabel yang diteliti, yaitu konsumsi makanan, kebiasaan merokok, aktivitas fisik dan stres.
Hasil yang menunjukkan presentase yang besar yaitu terdapat pada konsumsi lemak berlebih dan kurangnya aktivitas fisik. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pekerja mengadopsi gaya hidup yang kurang sehat, yaitu dengan mengkonsumsi lemak berlebih dan kurangnya aktivitas fisik. Dengan demikian, kedua faktor risiko ini merupakan faktor yang paling dominan di kalangan pekerja yang berisiko di PT Komatsu Indonesia (Cakung, Jakarta) tahun 2012, yang dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap timbulnya penyakit kardiovaskular.

This research is a quantitative research with a cross sectional descriptive design. Authors conducted questionnaire on the deployment of workers at risk for cardiovascular diseases. The questionnaire contained questions related to the studied variable, that is food intake, smoking habit, physical activity and stress.
Results show that a large percentage is found in excessive fat consumption and physical inactivity. From these result it can be concluded that the most workers adopt an unhealthy lifestyle by excessive fat consumption and physical inactivity. Thus, both risk factors is the most dominant factor in among the risk workers at PT Komatsu Indonesia (Cakung, Jakarta) in 2012, which can contribute greatly to the incidence of cardiovascular diseases.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Widiananta
"Latar Belakang: Penerbang militer berisiko mengalami hipoksia selama melaksanakan tugas terbang oleh karena penurunan tekanan parsial oksigen (O2) yang terjadi seiring pesawat mencapai ketinggian. Tubuh beradaptasi terhadap hipoksia dengan berbagai mekanisme seperti menjaga kestabilan kadar hypoxia inducible factor (HIF) dan merangsang pelepasan heat shock protein (HSP) untuk menjaga kondisi homeostasis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respons tubuh terhadap kondisi hipoksia hipobarik dikaitkan dengan kadar HIF-1α dan HSP 70 serum pada penerbang militer yang melaksanakan uji latih hipoksia di Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (Lakespra) dr. Saryanto.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan pendekatan one group pretest-posttest design yang dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2023. Subjek penelitian adalah penerbang militer aktif yang terjadwal melaksanakan uji latih hipoksia, memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi serta bersedia menandatangani informed consent. Oksigenasi diberikan setelah pajanan hipoksia sebagai bagian dari prosedur latihan. Pengambilan darah diambil sebelum dan sesudah uji latih hipoksia selanjutnya diperiksa dengan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA).
Hasil: Sebanyak 31 orang penerbang militer diikutsertakan dalam penelitian ini dengan rincian 13 (41,9 %) penerbang pesawat angkut, 7 (22,6%) penerbang pesawat helikopter, 6 (19,4%) penerbang pesawat tempur dan 5 (16,1%) penerbang pesawat tanpa awak. Analisis dengan uji t berpasangan mengungkapkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p = 0,910) antara kadar HSP 70 serum sebelum (5,59 (1,88- 20,17) ng/dl) dan sesudah (5,59 (1,88-20,17) ng/dl) uji latih hipoksia. Analisis dengan uji Wilcoxon mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna (p = 0,008) antara HIF-1α serum sebelum (534,03±261,48 pg/dl) dan sesudah (465,48±209,83 pg/dl) uji latih hipoksia.
Kesimpulan: Uji latih hipoksia tidak memengaruhi kadar HSP 70 serum pada penerbang militer. Terdapat penurunan kadar HIF-1α serum yang bermakna pada penerbang militer setelah melaksanakan uji latih hipoksia.

Background: Military pilots are at risk of experiencing hypoxia during flight duties due to the decrease in oxygen partial pressure that occurs as the aircraft reaches altitude. The body adapts to hypoxia through various mechanisms, such as stabilizing the levels of hypoxia inducible factor (HIF) and stimulating heat shock protein (HSP) release to maintain homeostasis. This study aims to determine physiological response to hypobaric hypoxia conditions in relation to serum HIF-1α and HSP 70 levels in military pilots who carry out hypoxia training tests at Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (Lakespra) dr. Saryanto.
Methods: This research is an experimental study with a one group pretest-posttest design conducted from May to July 2023. The research subjects were active military pilots who were scheduled to carry out hypoxia training tests, met the inclusion and exclusion criteria and were willing to sign informed consent. Oxygenation is administered after hypoxic exposure as part of the training procedure. Blood samples were taken before and after the hypoxia training test and then examined using the enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) method.
Result : A total of 31 military pilots were included in this study, consist of 13 (41.9%) transport aircraft pilots, 7 (22.6%) helicopter pilots, 6 (19.4%) fighter aircraft pilots and 5 (16.1%) unmanned aircraft pilot. Paired t test revealed that there was no significant difference (p = 0.910) between serum HSP 70 levels before (5.59 (1.88-20.17) ng/dl) and after (5.59 (1.88 -20.17) ng/dl) hypoxia training test. Data analysis using the Wilcoxon test revealed that there was a significant difference (p = 0.008) between serum HIF-1α before (534.03 ± 261.48 pg/dl) and after (465.48 ± 209.83 pg/dl) hypoxia training test.
Conclusion: Hypoxia training test did not affect serum HSP 70 levels in military pilots. There was a significant decline in serum HIF-1α levels in military pilots after performing hypoxia training test.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Risca Rini Aryanti
"Latar Belakang: COVID-19 di Indonesia menyebabkan kematian hingga lebih dari 150.000 orang. Salah satu populasi yang mengalami dampak dengan risiko kematian yang tinggi adalah populasi penyakit kardiovaskular. Severitas COVID-19 sering dikaitkan dengan rendahnya rasio PaO2/FiO2 dan tingginya kadar D-dimer. COVID-19 varian Omicron diketahui memiliki angka penyebaran yang lebih tinggi dengan severitas infeksi yang lebih rendah dibandingkan varian sebelumnya. Namun dampak jangka panjang pada pasien COVID-19 varian Omicron, khususnya pada populasi pasien dengan penyakit kardiovaskular masih menjadi pertanyaan. Penelitian ini ingin mengetahui dampak pasca COVID-19 varian Omicron dengan melihat kadar ST2 terlarut dan adanya gangguan paru yang dinilai dengan pemeriksaan spirometri.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan Rasio PaO2/FiO2 dan Kadar D-dimer pada saat admisi terhadap kadar ST2 terlarut dan gambaran spirometri pada pasien pasca COVID-19 varian Omicron dengan penyakit kardiovaskular. Metode: Penelitian berupa studi potong lintang terhadap pasien COVID-19 varian Omicron dengan riwayat komorbid penyakit kardiovaskular yang dirawat di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Diagnosis COVID-19 varian Omicron dilakukan dengan menggunakan metode WGS/SGTF. Pasien dengan kriteria inklusi menjalani pemeriksaan spirometri dan pengukuran kadar ST2 terlarut pada 6 bulan pasca perawatan.
Hasil dan Pembahasan: Penelitian ini menunjukkan rasio PaO2/FiO2 dengan median 454 dan kadar D-dimer 790ng/mL. Mayoritas pasien menunjukkan gambaran gangguan resktriktif. Kadar ST2 terlarut pasca perawatan memiliki median 2716,8pg/mL. Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara rasio PaO2/FiO2 dan kadar D-Dimer terhadap kadar ST2 terlarut maupun gambaran spirometri pada 6 bulan pasca COVID-19. Hal ini dapat dikaitkan dengan severitas COVID-19 yang lebih rendah sehingga tidak terdapat hubungan bermakna terhadap parameter admisi serta hubungan pengukuran 6 bulan pasca COVID-19 dengan kemungkinan adanya perbaikan fibrosis.
Kesimpulan: Tidak ada hubungan yang signifikan antara rasio PaO2/FiO2 dan kadar D- Dimer terhadap kadar ST2 terlarut ataupun gambaran spirometri pada 6 bulan pasca COVID-19 varian Omicron.

Introduction: COVID-19 in Indonesia has caused more than 150,000 deaths. One of the affected populations with a high risk of death is the cardiovascular disease population. The severity of COVID-19 is associated with a low of PaO2/FiO2 ratio and the increased levels of D-dimer. Omicron variant is known to have higher transmission with less severe infection than the previous variant. However, research related to long term effect post COVID-19 with Omicron variant in cardiovascular population is not yet known.
Aim: This study was conducted to determine the relationship of PaO2/FiO2 ratio and D- dimer levels at admission to sST2 levels and spirometry profile in post COVID-19 variant Omicron patient with cardiovascular disease.
Method: Research in the form of a cross-sectional study was conducted on Omicron variant COVID-19 patients with a history of comorbid cardiovascular disease who were treated at the Harapan Kita Heart and Blood Vessel Hospital (RSJPDHK). The diagnosis of COVID-19 is carried out using the WGS/SGTF method. Patients undergo spirometry examination and measurement of sST2 levels at 6 month after hospitalization.
Results and Discussion: This study shows a PaO2/FiO2 ratio with a median of 454 with D-dimer levels 790 ng/mL. The majority of patients have a restrictive patterns. The median sST2 value in Omicron variant COVID-19 patients at 2716.8 pg/mL. There was no significant relationship between the ratio of PaO2/FiO2 and D-Dimer levels to sST2 levels and spirometry profile at 6 months after COVID-19 infection. This can be associated with lower COVID-19 severity so that there is no significant association with inflammatory parameters such as PaO2/FiO2 ratio and D-dimer levels, as well as the relationship between measurements 6 months post COVID-19 and the possibility of fibrosis improvement.
Conclusion: There was no significant relationship between the ratio of PaO2/FiO2 and D-Dimer levels to sST2 levels and spirometry abnormality at 6 months post COVID-19 variant Omicron.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mega Hermawan
"Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian utama penduduk dunia (30%). Untuk menghadapi masalah ini perlu diketahui distribusi penyakit kardiovaskuler terhadap faktor-faktor risikonya secara lebih spesifik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penyakit kardiovaskuler pada pasien rawat inap di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah (RSJPD) Harapan Kita Tahun 2012. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari rekam medik RSJPD Harapan Kita menggunakan desain studi cross sectional dengan jumlah sampel 339 orang dianalisis secara univariat.
Hasil menunjukkan Ischemic Heart Diseases merupakan penyakit dengan proporsi terbesar yaitu 43,36%. Berdasarkan letak lesi, penyakit jantung memiliki proporsi terbesar yaitu 87,02%. Penyakit kardiovaskuler cenderung mengenai kelompok usia 51-60 tahun dengan proporsi 29,79%. Penyakit kardiovaskuler cenderung menyerang laki-laki dan orang dengan tingkat pendidikan menengah. Diketahui bahwa proporsi pasien hipertensi dan diabetes mellitus cenderung lebih besar di antara pasien penyakit pembuluh darah otak daripada pada pasien penyakit jantung ataupun pasien penyakit pembuluh darah perifer.

Cardiovascular disease is the most common death cause (30%) . To face the problem it’s necessary to know the distribution of cardiovascular disease specifically to its risk factors. This research aims to describe the cardiovascular disease among the hospitalized patients in Harapan Kita Cardiovascular Hospital in 2012. This research uses the secondary data from Harapan Kita Cardiovascular Disease medical record and also uses cross sectional design with 339 sample and analyzed in univariate.
The results show that among the cardiovascular diseases in inpatient unit in Harapan Kita Cardiovascular Hospital, Ischemic Heart Diseases is the diseases with the biggest proportion which is 43,36%. According to lesion location, heart disease has the biggest proportion which is 87,02%. Cardiovascular diseases tend to affect the 51-60 years old group of age by 29,79% among other age groups. Cardiovascular diseases tend to affect men and those who have middle educational level. The results also show that proportion of patients with hypertension and Diabetes Melitus tends to be bigger among cererovascular diseases patients than heart diseases patients or peripheral vascular diseases patients.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S46020
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Sakti
"Pendahuluan: Penyakit kardiovaskular sebagai salah satu masalah kesehatan pada jemaah haji Indonesia dan penyebab tertinggi kematian jemaah haji dalam 3 tahun terakhir. Jemaah haji Indonesia sebagian besar pada stratifikasi kesehatan risiko tinggi. Beberapa faktor risiko diprediksi berhubungan dengan kematian jemaah haji akibat penyakit kardiovaskular.
Metode: Penelitian observasional dengan desain kasus kontrol. penelitian terhadap 876 jemaah haji. Variabel yang berhubungan dengan kematian jemaah haji antara lain usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh, kebiasaan merokok, diabetes mellitus, hipertensi, dislipidemia, gagal ginjal, gagal jantung, penyakit jantung koroner, penyakit paru obstruksi kronik, waktu keberangkatan jemaah. Dilakukan analisis untuk menentukan faktor risiko yang berpengaruh terhadap kematian serta membuat skor prediksi untuk mengestimasi risiko mortalitas.
Hasil: Proporsi kematian akibat penyakit kardiovaskular adalah 49,2 % dari seluruh jemaah haji Indonesia tahun 2017. Faktor risiko yang berhubungan dengan kematian jemaah haji antara lain; Usia lebih dari 70 tahun dengan OR 20,51 (IK 95%: 10,238-41,089), penyakit jantung koroner dengan OR 4,236 (IK 95% : 1,292-13,882), hipertensi dengan OR 3,673 (IK 95% :2,555-5,280), diabetes mellitus dengan OR 3,422 (IK 95%: 2,108-5,553), dislipidemia dengan OR 2,067 (IK 95%: 1,366-3,129), indeks massa tubuh overweight dengan OR 0,571 (IK 95%: 0,385-0,848) , indeks massa tubuh obesitas dengan OR 0,239 (IK 95%: 0,134-0,425). Probabilitas risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular adalah risiko ringan dengan skor < 5 (19,47%), probabilitas sedang skor 6-9 (62,94%) dan probabilitas tinggi jika skor > 10 (83,3%).
Simpulan: Proporsi kematian akibat penyakit kardiovaskular pada jemaah haji Indonesia tahun 2017 adalah 49,2%. Faktor risiko kardiovaskular antara lain; usia tua, hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung koroner, dislipidemia. Nilai skor > 10 dapat memprediksi risiko mortalitas dengan propabilitas 88,53 %.

Background: Cardiovascular disease is one of the health problems in Indonesian pilgrims and the highest cause of death for pilgrims in the last 3 years. Indonesian pilgrims are mostly on high health risk stratification. Some risk factors are predicted to be associated with the death of pilgrims due to cardiovascular disease.
Method: Observational study with case control design. Conducted research on 876 pilgrims. A variable that is associated with the death of pilgrims include age, gender, body mass index, smoking habit, diabetes mellitus, hypertension, chronic kidney failure, heart failure, coronary heart disease, chronic obstruction pulmonary disease , the time of departure. Analysis was done to determine the risk factors which effect on death as well as make score predictions and determination for the risk of mortality.
Results: The proportion of deaths from cardiovascular disease was 49,2 % of all Indonesian pilgrims. Risk factors associated with the death of pilgrims include; Age more than 70 years with OR 20,510 (95% CI 10,238-41,089), coronary heart disease with OR 4,236 (95% CI 1,292-13,882), hypertension with OR 3.673 (95% CI 2,555-5,280), diabetes mellitus with OR 3,422 (95% CI 2,108-5,553), dyslipidemia with OR 2,067 (95% CI 1,366-3,129), overweight with OR 0.571 (95% CI: 0.385-0,848), obesity with OR 0.239 (95% CI 0.134-0.425). The probability of the risk of death from cardiovascular disease is a mild risk with a score <5 (19.47%), a medium probability score of 6-9 (62.94%) and a high probability of a score of > 10 (83.3%).
Conclusion: The proportion of deaths from cardiovascular disease was 49,2 %. Cardiovascular risk factors; old age, hypertension, diabetes mellitus, coronary heart disease, dyslipidemia. A score of > 10 has a high risk of mortality.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57770
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>