Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 108433 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Naibaho, Robert Hotasi
"ABSTRAK
Latar Belakang: Anestetik topikal telah menjadi pilihan utama dalam prosedur fakoemulsifikasi untuk ekstraksi katarak karena efeknya yang cepat, murah, aplikasi tidak nyeri, kepuasan pasien yang baik, dan menghindari risiko anestesia umum. Anestetik topikal yang paling sering digunakan adalah tetes mata tetrakain 0,5 . Obat ini aman dan efektif dalam menghilangkan nyeri, tetapi durasi kerjanya singkat sehingga seringkali harus dilakukan penambahan saat operasi. Pemberian berulang ini dapat bersifat toksik pada epitel kornea. Saat ini telah berkembang sediaan baru berupa gel lidokain 2 yang memiliki waktu kontak lebih lama dengan epitel korena dan efektivitas yang baik dalam menghilangkan nyeri. Tujuan : untuk membandingkan efektivitas gel lidokain 2 dengan tetes mata tetrakain 0,5 dalam operasi fakoemulsifikasi. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis acak tersamar tunggal yang dilakukan pada Maret-April 2017. Terdapat 72 subjek penelitian berusia ge; 40 tahun yang menjalani prosedur fakoemulsifikasi. Semua subjek secara acak dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok gel lidokain 2 dan kelompok tetes mata tetrakain 0,5 . Anestetik topikal diaplikasikan 5 menit sebelum operasi kemudian 5 menit setelah operasi subjek memberikan penilaian skala nyeri intraoperatif dengan menggunakan numerical rating scale dan mengisi kuesioner kepuasan subjek terhadap obat anestetik topikal yang diberikan. Dokter bedah mata juga diberikan kuesioner kepuasan terhadap obat anestetik topikal. Hasil: Skala nyeri kelompok gel lidokain lebih rendah dibandingkan kelompok tetes mata tetrakain p

ABSTRACT
Background Topical anesthetics have become the primary choice in phacoemulsification procedures for cataract extraction. Topical anesthesia is a rapid, low cost alternative with faster postoperative functional recovery, relatively painless application, improved patient satisfaction, quick anesthesia effect, and it avoids the many risks associated with general anesthesia The most common topical anesthetic drug used is tetracaine eye drops 0.5 . This drug is proven to be safe and effective in relieving pain, but the duration of action is short, so additional doses during surgery is often needed. Repeated administration of 0,5 tetracaine drops can cause corneal epithelial damage because it is toxicity. Newer drug, 2 lidocaine gel, has longer contact time with corneal epithelium and is effective in relieving pain. Objective to compare the effectiveness of 2 lidocaine gel with 0,5 tetracaine drops in phacoemulsification surgery. Method The study is a single blinded randomized clinical trial, conducted at RSUPN Cipto Mangunkusumo from March to July 2017 in patients underwent phacoemulsification cataract surgery. There were 72 subjects with age ge 40 years old who received randomization and divided into 2 groups 2 lidocaine gel group and 0,5 tetracaine eye drop group. Topical anesthetics were applied 5 minutes before surgery. Five minutes after surgery, subjects assessed the scale of pain perceived during surgery using a numerical rating scale and filled the subject satisfaction questionnaire on topical anesthetic drugs administered. The ophthalmologists were also given a satisfactory questionnaire for topical anesthetic drugs. Result The lidocaine gel group pain scale was lower than the tetracaine eye drop group p "
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Windy Kusuma
"Latar Belakang : Anestesia regional dengan blok peribulbar merupakan teknik anestesia alternatif pada operasi katarak dengan teknik phacoemulsification. Umumnya anestetika lokal yang paling sering dipakai adalah campuran bupivakain yang mempunyai durasi panjang dan lidokain yang mempunyai onset cepat. Di rumah sakit kami, median waktu sejak dimulainya blok hingga dimulainya operasi adalah lebih dari 20 menit dan temuan ini menunjukkan bahwa untuk peribulbar anestesia tidak diperlukan anestetika lokal dengan onset yang cepat. Tujuan studi ini untuk mengetahui keefektifan blok peribulbar inferotemporal menggunakan anestetika tunggal bupivakain 0.5% dibandingkan dengan campuran bupivakain 0.5% dan lidokain 2% untuk blok peribulbar pada pasien yang menjalani operasi katarak dengan teknik phacoemulsification.
Metode : Penelitian ini dilakukan pada 70 pasien yang menjalani operasi katarak dengan teknik phacoemulsification. Secara random 35 pasien menggunakan anestesia blok peribulbar dengan anestetika campuran bupivakain 0.5% dan lidokain 2% (kelompok 1) dan 35 pasien menggunakan anestesia blok peribulbar dengan anestetika tunggal bupivakain 0.5% (kelompok 2). Skor akinesia bola mata dinilai pada menit ke 5, 10, 15 dan 20 setelah penyuntikan anestetika lokal. Analgesia, waktu antara dimulainya blok hingga dimulainya operasi, lamanya operasi, penambahan anestetika topikal intraoperatif dan insidens efek samping terkait blok peribulbar dicatat.
Hasil: Skor akinesia pada menit ke 5 dan 10 setelah penyuntikan lebih rendah secara bermakna pada kelompok 1 (p<0.05). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kedua kelompok dalam hal skor akinesia pada menit ke 15 dan 20 setelah penyuntikan. Analgesia, total lamanya operasi, penambahan anestetika topikal intraoperatif dan efek samping terkait blok peribulbar tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok.
Simpulan : Kecuali onset yang lebih cepat pada kelompok anestetika campuran bupivakain 0.5% dan lidokain 2%, bupivakain tunggal 0.5% sama efektif dibandingkan campuran bupivakain 0.5% dan lidokain 2% untuk blok peribulbar pada operasi katarak dengan teknik phacoemulsification. Data tersebut didapatkan bahwa bupivakain tunggal 0.5% dapat digunakan pada kasus dimana blok dengan onset yang cepat tidak diperlukan.

Background : Regional anesthesia provided by a peribulbar block is an alternative anesthetic technique in cataract surgery. Generally, the most frequently used local anesthetic agent is a mixture of bupivacaine which has a long duration of effect and lidocaine which has a rapid onset of action. In our centre, the median time from the start of peribulbar blockade to start surgery was more than 20 minutes and these findings suggest that it is not necessary to use a local anesthetic with a quick onset of action for peribulbar anesthesia. The purpose of this study was to determine the effectiveness of single injection inferotemporal peribulbar block using 5 mL of plain bupivacaine 0.5% compared with a 1:1 mixture of bupivacaine 0.5% and lidocaine 2% in patients underwent cataract surgery with phacoemulsification.
Methods : A total of 70 patients scheduled for phacoemulsification cataract surgery with peribulbar anesthesia were randomly allocated into two groups of 35 patients each, to receive 5 ml of a 1:1 mixture of bupivacaine 0.5% and lidocaine 2% (group 1), or plain bupivacaine 0.5% (group 2). Ocular movement scores were evaluated at 5, 10, 15 and 20 minutes after injection. Analgesia, time from block to start surgery, duration of surgery, need for supplementary anesthesia and the incidence of perioperative complication were recorded.
Results: The ocular movement scores at mins 5 and 10 were significantly lower in group 1 (p<0.05). There were no significant difference among the groups in ocular movement scores at mins 15 and 20. Analgesia, time from block to start surgery, duration of surgery, need for supplementary anesthesia and the incidence of perioperative complication did not differ among the groups.
Conclusion : Except for a significantly faster onset of peribulbar block with a mixture of bupivacaine 0.5% and lidocaine 2%, 0.5% bupivacaine as the sole agent was equally effective in inducing satisfactory peribulbar anesthesia for phacoemulsification cataract surgery. These data suggest that plain bupivacaine 0.5% may be suitable where the rapidity of onset of block is not necessary.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panji Adinugroho
"Latar belakang. Kombinasi spray lidokain dan anestetika intravena saat ini merupakan pilihan utama pada prosedur endoskopi saluran cerna, namun spray lidokain mempunyai kekurangan berupa iritasi lokal, mual, muntah dan rasa pahit. Gel lidokain merupakan alternatif pilihan anestetik lokal. Gel lidokain memiliki keuntungan karena dapat mengurangi gesekan mukosa dengan endoskop saat insersi serta memungkinkan pemberian lidokain yang tebal dan lengket sehingga menghasilkan anestesia lokal yang lebih baik pada rongga mulut dan orofaring dibandingkan spray lidokain. Pada penelitian ini kami ingin mengetahui perbandingan keefektifan gel lidokain dengan spray lidokain dalam mengurangi jumlah penggunaan propofol.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda terhadap pasien endoskopi saluran cerna atas dengan sedasi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada bulan Juli-September 2015. Sebanyak 52 subyek diambil dengan metode consecutive sampling dan dibagi ke dalam 2 kelompok (kelompok gel lidokain 2% dan spray lidokain 10%). Pasien secara acak diberikan gel lidokain 2% atau spray lidokain 10% sebagai anestetik lokal. Total dosis propofol, angka kejadian gag refleks, hipotensi, bradikardia, dan desaturasi dicatat pada masing-masing kelompok. Analisis data dilakukan dengan uji t-test tidak berpasangan.
Hasil. Rerata dosis propofol berbeda bermakna diantara 2 kelompok, dimana rerata dosis propofol pada grup gel lidokain 2% adalah 186,92±43,52 mg, sedangkan rerata dosis propofol pada grup spray lidokain 10% adalah 218,85±61,01 mg (p=0.035, IK 95%=31,92).
Simpulan. Gel lidokain 2% lebih efektif dibandingkan spray lidokain 10% dalam mengurangi dosis propofol pada pasien endoskopi saluran cerna atas.

Background. A combination of lidocaine spray and intravenous anesthetics is currently the common choice in gastrointestinal endoscopy procedures, but lidocaine spray has some side efects like local irritation, nausea, vomiting and bitter taste. Lidocaine jelly is an alternative choice of local anesthetic. Lidocain jelly reduce friction of endoscope and enables to apply thick and sticky lidocaine resulting in better local anesthesia in the oral cavity and oropharynx compared to lidocaine spray. In this study, we want to compare the effectiveness between lidocaine jelly and lidocaine spray to reduce the propofol dose.
Methods. This study was a randomized double-blind control trial on upper gastrointestinal endoscopy patiens with sedation in Cipto Mangunkusumo Hospital in July to September 2015. A total of 52 subjects were taken with consecutive sampling method and divided into 2 groups (2 % lidocaine jelly group and 10% lidocaine spray group). Patients were randomly given 2% lidocaine jelly or 10% lidocaine spray as a local anesthetic. Total propofol dose, the incidence of gag reflex, hypotension, bradycardia and desaturation recorded in each group. Data analysis was performed by unpaired t-test.
Results. Mean propofol dose significantly different between 2 groups. The Mean propofol dose 2% lidocaine jelly was 186.92 ±43.52 mg, while the mean propofol dose in10% lidocaine spray group was 218.85 ± 61.01 mg (p = 0.035, CI 95% = 31.92).
Conclusion. 2% Lidocaine gel was more effective than 10% lidocaine spray in reducing the propofol dose in patients with upper gastrointestinal endoscopy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elisabeth Irma Dewi K.
"Endoftalmitis merupakan kegawatdaruratan dibidang mata yang bila tidak ditangani cepat akan mengalami penurunan tajam penglihatan bahkan kebutaan. Fasilitas vitrektomi sebagai terapi baku emas jarang tersedia di RS begitupula antibiotika (seftazidim) intra vitreal belum tersedia secara komersil dengan dosis yang sesuai, sehingga perlu diracik dan dapat berisiko meningkatkan kontaminasi atau kesalahan pengenceran. Tujuan mencari alternatif antibiotika intra vitreal untuk pengobatan endoftalmitis akibat Pseudomonas aeruginosa. Metode menggunakan dua belas kelinci New Zealand White terbagi dua kelompok (n=6). Dibentuk endophthalmitis dengan injeksi intra vitreal P. aeruginosa 2x105 CFU/0,1mL. Kelompok A mendapat intra vitreal levofloksasin 0,5% 0,1mL dan kelompok B mendapat intra vitreal seftazidim 2,25 mg/0,1 mL setelah 24 jam inokulasi bakteri. Penilaian klinis dilakukan hari ke-1 hingga ke-6. Pada hari ke-6 dilakukan pemeriksaan mikrobiologi dan histopatologik.
Hasil selisih skor klinis hari ke-1 dan 6 kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Terdapat 2 kelinci mengalami perbaikan di kelompok levofloksasin namun secara statistik tidak bermakna. Penghitungan jumlah bakteri memberikan hasil kelompok A dan kelompok B mengalami penurunan menjadi 1,5x102 (4x101-7,3x103) CFU/0,1mL dengan hasil yang tidak berbeda bermakna begitu pula dengan skor pemeriksaan histopatologik. Kesimpulan yang didapatkan injeksi intra vitreal tetes mata levofloksasin 0,5% 0,1mL sama efektif dengan seftazidim dan dapat dijadikan alternatif dalam terapi endoftalmitis akibat P. aeruginosa.

The purpose of this study was to find and evaluate intravitreal 0.5% levofloxacin as an alternative treatment for Pseudomonas aeruginosa endophthalmitis in an experimental model. Twelve New Zealand White rabbits were divided into two groups (n = 6 in each). Vitreous cavity of the right eye was inoculated with 2x105 CFU / 0,1mL of Pseudomonas aeruginosa suspension. Group A treated with intravitreal 0.5% levofloxacin and group B received intravitreal injection of 2.25 mg / 0.1 mL ceftazidime. Results showed mean clinical assessment scores in both groups were similar at 24 hours after inoculation (p> 0.05). Clinical score at day 1 and day 6 do not show any significant difference. Two rabbits experienced improvement in the levofloxacin group but there was no statistically significant difference. The number of microbiological bacteria results in group A and group B were decreased to 1,5x102 (4x101-7,3x103) CFU/ 0,1mL, but microbiological analysis and histopathological scoring demonstrated no statistically significant difference between both group (for each, P>0,05). The conclusion in this sudy was intra vitreal 0,5% levofloxacin ophthalmic appeared to be effective in the treatment of Pseudomonas aeruginosa endophthalmitis in rabbits, but was not superior to intravitreal ceftazidime administration. Therefore, intravitreal 0,5% levofloxacin may be a useful alternative to ceftazidime for Pseudomonas aeruginosa endophthalmitis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tauhid Asri Utomo
"Latar Belakang : Penggunaan spray lidokain dengan obat anestetik intravena merupakan pilihan untuk sedasi pada endoskopi saluran cerna atas. Tetapi terdapat ketidaknyamanan dari pasien mengenai penggunaan spray lidokain. Inhalasi lidokain merupakan pilihan alternatif anestetik lokal. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan keefektifan dari spray lidokain dan inhalasi lidokain pada endoskopi saluran cerna atas.
Metoda : 150 pasien yang menjalani endoskopi saluran cera atas dengan sedasi di RSUPN Cipto Mangunkusumo sejak November 2017 hingga April 2018, dengan kesan ASA I-II, BMI 18,5-29,9, dan setuju untuk mengikuti penelitian, dilakukan randomisasi dan dibagi menjadi 2 grup yang akan mendapatkan 1,5 mg/kgbb spray lidokain atau 1,5 mg.kgbb inhalasi lidokain. Untuk sedasi akan diberikan fentanyl 1 mcg.kgbb dan propofol 1,5 mg/kgbb bolus pada kedua grup . Tiap kejadian gag reflex dan penambahan dosis propofol akan dicatat.
Hasil : Gag reflex terjadi sebanyak 1,3 % total pasien di grup inhalasi lidokain dan 30,7% pada grup spray lidokain (P<0,001). Rerata rescue dose propofol yang didapatkan pada grup inhalasi lidokain (0,67 ± 5,77 mg/kg) dan (11 ± 17,9 mg/kg) pada grup spray lidokain. Parameter lain seperti usia, jenis kelamin, kategori ASA, BMI didapatkan tidak signifikan.
Simpulan : Inhalasi lidokain lebih efektif sebagai anestetik lokal dibandingkan spray lidokain sebagai adjuvan pada endoskopi saluran cerna atas.

Background : Combination of spray lidocaine and intravenous anesthetic was the choice for upper gastrointestinal endoscopy (UGE). However, spraying lidocaine was found uncomfortable to the patient. Nebulized lidocaine was the alternative for local anesthetic. This study aimed to compare the effectiveness of spraying and nebulized lidocaine for patients undergoing UGE.
Methods : 150 patients undergoing UGE under sedation at Cipto Mangunkusumo National Hospital from November 2017 until April 2018, with physical status ASA I-II, BMI 18,5-29,9, and agree to join the experiment, were randomized to receive either 1,5 mg/kg of spray lidocaine or 1,5 mg/kg of nebulized lidocaine. Combined sedation was achieved using fentanyl 1 mcg/kg and Propofol 1,5 mg/kg IV boluses. Every gag reflex occurred and rescue dose of propofol administered were recorded.
Result : Gag reflex occurred 1,3% in nebulized lidocaine group and 30,7% occurred in spray lidocaine (P < 0,001). Mean rescue dose of propofol in nebulized lidocaine group (0,67 ± 5,77 mg/kg) and (11 ± 17,9 mg/kg) in spray group. Outcomes parameters including sex, age, ASA category, BMI were statistically unsignificant.
Discussion : We think inability of spray lidocaine to resist gag reflex is because the process of spraying should be equal from each side of vocal cord, pharynx and larynx. Nebulization could split the lidocaine into small particle, so the spread of the lidocaine will be spread evenly.
Conclusion : Nebulized lidocaine is more effective as local anesthetic than spray lidocaine for adjuvant in UGE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58600
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monika Ratnasari
"ABSTRAK
Tujuan: Membandingkan ukuran, perubahan dilatasi, dan laju dilatasi pupil serta perubahan tekanan darah sistolik, diastolik, mean arterial pressure (MAP), dan frekuensi nadi pada neonatus yang diberikan tetes mata tropikamid 0,5% dan fenilefrin 2,5% dengan maupun tanpa penambahan tetrakain 0,5%.
Metode: Uji eksperimental acak tersamar ganda ini membandingkan dua kelompok, yaitu yang mendapat tetes mata tetrakain 0,5% 5 menit sebelum penetesan prosedur standar midriatikum (tropikamid 0,5% + fenilefrin 2,5% - 3x penetesan tiap 15 menit) atau artificial tears + prosedur standar midriatikum. Seratus mata neonatus aterm sehat dirandomisasi ke dalam masing-masing kelompok. Pemeriksaan diameter pupil, tekanan sistolik, diastolik, MAP, dan frekuensi nadi dilakukan pada baseline, menit ke-15, 30, 45, dan 60 pasca penetesan obat.
Hasil: Penambahan tetrakain 0,5% setelah 60 menit menghasilkan diameter pupil dan selisih perubahan dilatasi lebih besar, serta laju dilatasi pupil lebih cepat yang secara statistik bermakna (p<0,05). Terjadi peningkatan tekanan sistolik dan MAP serta penurunan frekuensi nadi yang lebih rendah dengan penambahan tetrakain 0,5%, tetapi tidak berefek serupa terhadap peningkatan tekanan diastolik. Perbedaan tersebut tidak bermakna secara statistik.
Simpulan: Penambahan tetrakain 0,5% terhadap tropikamid 0,5% dan fenilefrin 2,5% menghasilkan efek dilatasi pupil yang lebih besar dan lebih cepat. Prosedur ini aman dilakukan pada neonatus.

ABSTRACT
Objective: To evaluate the efficacy and safety in pre-instilling tetracaine 0.5% over mydriatic agents in dilating the pupil of newborn eyes.
Design: Double-blind randomized-controlled experimental study.
Methods: The study was performed in 100 eyes of full-term healthy newborns. Each eye was randomized to receive either 0.5% tetracaine (intervention group) or artificial tears (placebo group) five minutes prior to 0.5% tropicamide + 2.5% phenyleprine - 15 minutes apart for 3 times. Pupil diameter, size changes and dilatation rate, as well as systolic, diastolic, mean arterial blood pressure and pulse rate were measured at baseline, 15, 30, 45 and 60 minutes after eye drops instillation.
Results: Pupil diameter and size changes were significantly larger, and the rate of pupillary dilatation significantly faster in the intervention group compare to the placebo group after 60 minutes (p<0.05). Increasing systolic and mean arterial pressure, along with decreasing pulse rate in the intervention group were lower than the placebo group. Higher increase of diastolic blood pressure was observed in the intervention group, although the value was not statistically significant.
Conclusions: Pre-instillation of 0.5% tetracaine over 0.5% tropicamide and 2.5% phenylephrine effected in larger and faster pupillary dilatation; and it appears safe to administer in newborn eyes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rialta Hamda
"Background. One way to reduce pain during epidural needle insertion is infiltration of lidocaine using a needle. However, infiltration of lidocaine using the needle alone is a painful process. Free needle infiltration of lidocaine can be an alternative to reduce epidural needle insertion pain. The study of Gozdemir et al. found that 10% lidocaine infiltration without needle was less painful than 2% lidocaine infiltration with a 27G needle with no significant difference in analgesia effect during epidural needle insertion. This study aimed to compare infiltration of lidocain with and without needle for epidural needle insertion in a double-blind study, using a Tuohy needle, Comfort-inTM injector, and wider surgical group as novelty from previous studies.
Methods. This study was a double blind randomized controlled trial. Data collection was carried out consecutively on 84 subjects with 42 subjects in each group of lidocaine infiltration without needles and lidocaine infiltration with 23G needles. The effectiveness of analgesia was assessed from three variables like pain with a Numeric Pain Rating Scale (NPRS) of 0 to 10 during lidocaine infiltration, pain with NPRS during epidural needle insertion, and patient movement during epidural needle insertion.
Results. Lidocaine infiltration without needle was less painful with an NPRS of 0 (0-6.0) than lidocaine infiltration with needle with an NPRS of 2.5 (0-7.0) with a p value of 0.0001. Epidural needle insertion was more painful for the lidocaine infiltration without needle group with an NPRS of 6.0 ± 3.1 than the lidocaine infiltration with needle group with an NPRS of 4.0 ± 3.6 with a p value of 0.007. There were 20 patients (47.6%) who moved during epidural needle insertion in the lidocaine infiltration without needle group and 12 patients (28.6%) in the lidocaine infiltration with needle group with a p value of 0.116. No patient experienced any side effects when lidocaine infiltration was performed. There was no significant difference between the two groups for satisfaction.
Conclusions. Infiltration of lidocaine without needle was shown to be ineffective as analgesia in epidural needle insertion because only one of the three variables of analgesia effectiveness were met in this study

Latar belakang. Salah satu cara untuk mengurangi nyeri saat insersi jarum epidural adalah infiltrasi lidokain menggunakan jarum. Namun infiltrasi lidokain menggunakan jarum sendiri adalah proses yang menimbulkan nyeri. Infiltrasi lidokain tanpa jarum dapat menjadi alternatif untuk mengurangi nyeri insersi jarum epidural. Penelitian Gozdemir menemukan bahwa infiltrasi lidokain 10% tanpa jarum lebih tidak nyeri dibanding infiltrasi lidokain 2% dengan jarum 27G dengan efek analgesia yang tidak berbeda bermakna saat dilakukannya insersi jarum epidural. Penelitian ini ingin meneliti perbandingan infiltrasi lidokain 2% tanpa jarum dan dengan jarum sebagai analgesia pada insersi jarum epidural dengan cara double blind, menggunakan jarum Tuohy, alat injektor Comfort-inTM, dan pada kelompok operasi yang lebih luas sebagai pembeda dengan studi yang sudah dilakukan sebelumnya.
Metode. Penelitian ini merupakan randomized controlled trial dengan double blind. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif pada 84 subjek dengan 42 subjek pada masing-masing kelompok infiltrasi lidokain tanpa jarum dan infiltrasi lidokain dengan jarum 23G. Efektifitas analgesia dinilai dari tiga variabel yaitu nyeri dengan Numeric Pain Rating Scale (NPRS) 0 sampai dengan 10 saat dilakukannya infiltrasi lidokain, nyeri dengan NPRS saat insersi jarum epidural, dan gerakan pasien saat dilakukannya insersi jarum epidural.
Hasil. Infiltrasi lidokain tanpa jarum lebih tidak nyeri dengan NPRS 0 (0-6,0) dibanding infiltrasi lidokain dengan jarum dengan NPRS 2,5 (0-7,0) dengan nilai p 0,0001. Insersi jarum epidural dirasakan lebih nyeri oleh kelompok tanpa jarum dengan NPRS 6,0 ± 3,1 dibanding kelompok dengan jarum dengan NPRS 4,0 ± 3,6 dengan nilai p 0,007. Pasien yang bergerak saat insersi jarum epidural pada kelompok tanpa jarum sebanyak 20 pasien (47,6%) dan kelompok dengan jarum sebanyak 12 pasien (28,6%) dengan nilai p 0,116. Tidak ada pasien yang mengalami efek samping saat infiltrasi lidokain dilakukan. Tidak ada perbedaan bermakna pada kedua kelompok untuk kepuasan.
Simpulan. Infiltrasi lidokain tanpa jarum terbukti tidak efektif sebagai analgesia pada insersi jarum epidural karena hanya satu dari tiga variabel efektifitas analgesia yang terpenuhi pada penelitian ini.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aisha Nurfitriane Dwikaryanti
"Cengkeh dapat digunakan sebagai obat sakit gigi. Zat berkhasiat pada cengkeh yang berperan untuk mengatasi sakit gigi adalah eugenol. Eugenol merupakan zat yang terkandung dalam minyak cengkeh. Secara farmakologi eugenol memiliki sifat sebagai anestesi lokal dengan mekanisme menginhibisi kanal natrium. Eugenol dapat memberikan efek anestetik pada tikus secara reversibel dimana efek yang ditimbulkan bergantung dengan dosis, yaitu antara 5 - 60 mg/kg. Kombinasi serbuk bunga cengkeh dan gliserin 2 : 3 (b/v) terbukti dapat memberikan efek anestetik lokal namun konsentrasi yang digunakan tidak diketahui pasti. Pada penelitian ini akan dibuat tiga formulasi gel mengandung serbuk bunga cengkeh 2,58 %; 7,75 %; dan 23,25 % serta satu sediaan basis gel sebagai kontrol normal. Dari keempat formulasi akan di lakukan evaluasi sediaan seperti pengamatan organoleptis (warna, aroma, homogenitas), pH, daya lekat, daya sebar, viskositas, konsistensi, dan stabilitas fisik. Selain itu, gel serbuk bunga cengkeh F1, F2, F3 dilakukan uji efek anestetik lokal dilihat dari efek analgetik dengan metode Hot Plate dan Tail Flick dibandingkan dengan kontrol normal dan kontrol positif berupa gel yang mengandung benzokain. Hasil penelitian menunjukkan sediaan gel serbuk bunga cengkeh F1, F2, F3 memenuhi kriteria gel yang diharapkan yaitu tidak mudah menyebar, memiliki daya lekat yang baik, pH yang sesuai dengan rentang pH mulut yaitu 5,6 - 7, 2; serta stabil pada suhu hangat, dingin, dan kamar. Berdasarkan uji efek anestetik lokal, gel serbuk bunga cengkeh F1, F2, F3, dan kontrol positif terbukti memberikan efek sebagai anestetik lokal (p < 0.05)."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2014
S54766
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tessa Humaira Anindya
"Latar Belakang: Infeksi kornea yang disebabkan oleh jamur dapat menyebabkan
kerusakan yang lebih berat dibandingkan infeksi bakteri dikarenakan kemampuan jamur
untuk menembus kornea hingga ke bilik mata depan atau sklera. Antijamur tetes yang
tersedia secara komersil hanya natamisin yang memiliki penetrasi rendah. Vorikonazol
sebagai alternatif anti jamur dapat digunakan secara intrastromal untuk mempertahankan
kadar pada kornea. Penggunaan injeksi intrastromal vorikonazol secara tunggal maupun
serial banyak dilaporkan dalam bentuk laporan kasus dan terdapat variasi dalam hal dosis
dan frekuensi serta teknik pemberian.
Tujuan: Mengetahui perbandingan efektivitas pemberian kombinasi vorikonazol topikal
1% dan intrastromal 0.05% secara tunggal dan serial dibandingkan dengan natamisin
topikal 5% sebagai terapi keratitis jamur yang disebabkan oleh jamur Fusarium sp pada
kelinci.
Metodologi: Penelitian ini merupakan uji eksperimental tersamar dengan randomisasi
terhadap kelompok hewan coba kelinci New Zealand White (NZW) dengan desain empat
kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 3 kelinci. Kelompok pertama mendapat
terapi kombinasi tetes vorikonazol 1% tiap jam dan injeksi intrastromal vorikonazol
0.05% yang diberikan 1 kali pada hari 1. Kelompok ke-dua mendapatkan terapi
kombinasi tetes vorikonazol 1% tiap jam dan injeksi intrastromal vorikonazol 0.05%
yang diberikan 2 kali pada hari 1 dan 7. Kelompok ke-tiga mendapatkan terapi
kombinasi tetes vorikonazol 1% tiap jam dan injeksi intrastromal vorikonazol 0.05%
yang diberikan 3 kali pada hari 1, 7 dan 14. Kelompok ke-empat mendapatkan
monoterapi tetes natamisin 5% tiap jam.
Hasil: Hasil penelitian ini menunjukan perbaikan secara klinis berdasarkan luas defek,
luas infiltrat, kedalaman keratitis dan tinggi hipopion pada semua kelompok yang
mendapatkan terapi injeksi vorikonazol maupun natamisin. Pada akhir terapi masih
didapatkan hifa jamur positif secara kualitatif pada 1 kelinci yang mendapatkan injeksi
intrastromal 1 kali dan 1 kelinci dengan terapi natamisin.
Kesimpulan: Kombinasi vorikonazol topikal dan injeksi vorikonazol intrastromal secara
serial menunjukan perbaikan klinis setara dengan natamisin topikal. Dalam hal daya
eliminasi jamur kombinasi vorikonazol topikal dan injeksi vorikonazol intrastromal
secara serial menunjukan hasil lebih baik dibandingkan terapi natamisin topikal dan
injeksi tunggal.

Background: Fungal corneal infections can cause more damage than bacterial infections
due to the fungus's ability to penetrate the cornea to the anterior chamber or sclera.
Natamycin is the only commercially available antifungal drops which has low
penetration. Voriconazole as an antifungal alternative can be used intrastromally to
maintain corneal concentration. The use of single or serial intrastromal voriconazole
injections is widely reported in the form of case reports and there are variations in terms
of dosage and frequency and administration techniques.
Objective: Comparing the effectiveness of topical voriconazole 1% combined with
intrastromal 0.05% single and serial compared to 5% topical natamycin as fungal keratitis
therapy caused by Fusarium sp in rabbits.
Methods: This research is an experimental test by randomizing a group of New Zealand
White (NZW) rabbit animals with a four-group design. Each group consists of 3 rabbits.
The first group received combination therapy of voriconazole drops 1% every hour and
intrastromal injection of 0.05% voriconazole given once on day 1. The second group
received combination therapy of voriconazole drops 1% per hour and intrastromal
injection of voriconazole 0.05% given 2 times on day 1 and 7. The third group received
combination therapy of voriconazole drops 1% every hour and intrastromal injection of
0.05% voriconazole given 3 times on days 1, 7 and 14. The fourth group received
monotherapy with 5% natamycin drops hourly.
Results: The results of this study showed clinical improvement based on corneal defect
size, infiltrate size, keratitis depth and height of hypopyon in all groups receiving
voriconazole and natamycin injection therapy. At the end of the therapy, fungal hyphae
were found in 1 rabbit who received 1 times intrastromal injection and 1 rabbit with
natamycin therapy.
Conclusion: The combination of topical voriconazole and serial intrastromal injection
shows clinical improvement equivalent to topical natamycin. In terms of the fungal
elimination, topical voriconazole and serial intrastromal injection is superior than topical
natamisin therapy and single injection."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Novia Wulandari
"Karaginan merupakan polimer alam yang bersifat anionik. Sifat anionik tersebut membuat karaginan dapat berinteraksi dengan polimer kanionik membentuk kompleks polielektrolit (KPE). Dalam penelitian ini, gelatin digunakan sebagai polimer kationik yang berinteraksi secara ionik dengan karaginan. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat eksipien kompleks polielektrolit gelatin-karaginan (KPGK) yang akan digunakan sebagai basis gel topikal ketoprofen serta mengevaluasi gel yang dihasilkan. Larutan gelatin dan larutan karaginan masing-masing 3% (b/v) dicampur dengan perbandingan 1:1. Karakteristik KPGK ditunjukkan dengan indeks mengembang, dan kekuatan gel. Hasil dari sintesis KPGK menunjukkan kemampuan mengembang dalam aquadest sebesar 177% selama 2 jam sedangkan pada medium dapar fosfat pH 7,4 mencapai 193%, dan medium dapar HCl pH 1,2 mencapai 287%. Kekuatan gel dari polimer yang disintesis bernilai 71,216 gf/cm2 pada konsentrasi 4%. KPGK kemudian diformulasikan dalam sediaan gel dengan atau tanpa penambahan peningkat penetrasi menthol. Pada penelitian ini, ketoprofen digunakan sebagai model obat. Gel yang dihasilkan berwarna putih dan memiliki sifat alir pseudoplastis tiksotropik. Daya penetrasinya diuji secara in vitro dengan alat sel difusi Franz menggunakan membran abdomen tikus dan sebagai pembanding digunakan gel ketoprofen yang beredar dipasaran. Berdasarkan uji penetrasi diperoleh bahwa formula ketiga yang mengandung menthol 2% b/v memiliki nilai fluks tertinggi 375,77 ± 75,08 μg cm-2jam-1.

Carrageenan is a natural anionic polymer. That anionic property makes carrageenan can form polyelectrolyte complex (PEC) with cationic polymer. In this research, gelatin was used as anionic polymer that interact ionically with carrageenan. The aim of this research is to produce excipient gelatin-carrageenan PEC that would be used as a gel base in topical dosage form. The solution of gelatin 3% w/v and carrageenan 3% w/v were mixed in ratio 1:1 v/v. Characteristics of gelatin-carrageenan PEC were indicated by functional group analysis, thermal analysis, swelling index and gel strength. Gelatin-carrageenan PEC showed swelling index up to 177% indestilled water within 2 hours, 193% in buffer phosphate pH 7,4, and 287% in buffer HCl pH 1,2. Gel strength from gelatin-carrageenan PEC were 71,216gf/mm2. Gelatin-carrageenan PEC then formulated in to a gel dosage form with or without enhancer menthol. In this study, ketoprofen was used as model drug. Gel had white color and rheology properties pseudoplastic tixotropic. In vitro penetration study was determined with franz diffusion cell using rat abdominal membrane. The penetration study revealed that the third formula with menthol 2% b/v had the highest flux value which was 375,77 ± 75,08 μg cm-2jam-1."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S42680
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>