Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8121 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rina Wahyu Yuliati
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemberian kompensasi bagi korban tindak pidana di Indonesia, mengetahui pengaturan kompensasi dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, mengetahui implementasi pemenuhan hak atas kompensasi bagi korban tindak pidana berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, dan mengetahui konsep ideal mengenai kebijakan kompensasi bagi korban tindak pidana. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dilengkapi pula dengan penelitian empiris. Data yang terkumpul disinkronisasi secara sistematis dan dikaji berdasarkan teori-teori hukum dan asas-asas hukum sehingga ditemukan kebenaran ilmiah yang menjadi dasar untuk menjawab persoalan hukum yang sedang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1 Pengaturan mengenai kompensasi terdapat didalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan saksi dan korban yang membatasi jaminan haknya kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan tindak pidana terorisme; 2 Implementasi pemenuhan hak atas kompensasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan tindak pidana terorisme masih memiliki banyak permasalahan dilihat dari putusan pengadilan HAM Timor-Timur, Tanjung Priuk dan bom Mc. Donald Tahun 2005; 3 Konsep ideal ketentuan pemberian kompensasi meliputi: regulasi hukum pidana materil, hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan pidana restitusi penguatan daya paksa restitusi . Memaksimalkan peran Satgas UPP LPSK sebagai lembaga independen dalam pemenuhan hak atas restitusi dan kompensasi. Solusi pemenuhan hak atas kompensasi dengan beberapa pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi negara Indonesia.

ABSTRACT
The purpose of this research are to find out how to provide compensation for the victims of criminal acts in Indonesia, to find out how the compensation arrangements are based on the laws and regulations in Indonesia, find out implement victims rsquo rights legislation and find out the ideal concept of giving compensation for the victims of criminal acts. This normative legal study was completed with the empirical research. The collected data were synchronized systematically and analyzed based on legal theories and principles of law in order to define scientific truth that became the basis in answering in legal problem in the research. The results show that 1 The regulation of compensation is contained in Law No. 26 of 2000 on Law on Court of Human Rights, law No. 15 of 2003 on eradication of the criminal acts of terrorism, and Law No. 31 of 2014 on witness victim protection who limit their rights to victims of gross violations of human rights and terrorism 2 The impementation in fulfiling the right of compensation for the victims of gross violations of human rights and terrorism still has many problems for example serious human right violation in Timor Timur and Tanjung Priuk, and the 2005 Mc. Donald bombing 3 The ideal concept of giving the compensation includes legal regulation on substantive crime criminal prosedure law and the regulation crime restitution implementation the enforcement of restitution power . Maximize the role of Satgas UPP LPSK as the independent institution in fulfiling the right of restitution and compensation. The solution in fulfiling compensation right with some approaches adjusted to the condition of Indonesia."
2017
S68731
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siburian, Riskyanti Juniver
"Korban tindak pidana adalah pihak yang mengalami penderitaan fisik, mental, maupun kerugian ekonomi. Namun dalam sistem hukum pidana yang berlaku saat ini, korban tindak pidana dihadirkan dalam persidangan sebagai alat bukti. Dalam hal ini, perlu diketahui: 1) pengaturan perlindungan korban tindak pidana dalam ketentuan perundang-undangan di Indonesia, 2) mekanisme ganti rugi bagi korban tindak pidana, dan 3) regulasi mengenai upaya pengembalian kerugian bagi korban tindak pidana di masa mendatang. Penelitian ini bersifat normatif. Hasil penelitian menunjukkan: 1) Indonesia sudah memiliki beberapa undang-undang yang memuat perlindungan bagi korban tindak pidana. Namun perlindungan tersebut belum mencakup pemberian peran dan kesempatan yang adil bagi korban tindak pidana dalam persidangan; 2) Korban tindak pidana bisa mendapatkan ganti kerugian melalui mekanisme peradilan perdata, penggabungan perkara gugatan ganti kerugian, serta restitusi dan kompensasi yang dalam mekanismnya, terdapat ketergantungan dengan penuntut umum; 3) Regulasi masa mendatang dapat mempertimbangkan untuk menyisipkan Victim Impact Statement di dalam prosedur peradilan pidana, memberntuk aturan mengenai prosedur lanjutan tersendiri untuk pidana tambahan pembayaran ganti kerugian (Pasal 66 ayat (1) RKUHP), serta memberikan kompensasi bagi korban tindak pidana yang tidak terbatas pada tindak pidana pelanggaran HAM berat dan terorisme.


A victim of crime is a person who suffers from physical pain, mental suffering, and/or financial loss. However, based on the criminal law system (i), a victim is presented in a trial as an evidence. Therefore, the purposes of this research are: 1) to know the protections given for a victim based on regulations that applies in Indonesia; 2) to understand the mechanism of compensation for victims of crime; and, 3) to discover how the regulation of returning the loss on account from a criminal act should be in the future. This research is a normative reasearch. From this research, it is known that: 1) Indonesia already has some regulations that accommodate criminal victim protection. Nonetheless, the protection to give criminal victim a much fair and appropriate place in a trial is still not covered, 2) A victim has the chance to get the return of losses happened because of the criminal act by making a sure through a civil law procedure, the merger of lawsuit in a criminal case, and also restitution and state compensation which theres a dependency towards public prosecutors roles; 3) future legislation might  considered to input Victim Impact Statement into the criminal justice procedure, establish specific arrangement relating to the continuation of how restitution as additional criminal sanction (Article 66 section (1) RKUHP) implemented, along with providing state compensation that isnt limited for victims of gross violation of human rights and terrorism."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Ade Norvita Sari
"ABSTRAK
Anak sangat rentan menjadi korban kejahatan khususnya korban kesusilaan. Anak yang menjadi korban kejahatan kesusilaan tentu tidak hanya menderita secara fisik tetapi juga psikis. Namun, dalam proses peradilan pidana, kedudukannya sebagai korban cenderung terpinggirkan. Melihat perlindungan dan kedudukan anak sebagai korban kejahatan yang belum terlalu diperhatikan dalam proses peradilan pidana, pendekatan keadilan restoratif dipergunakan sebagai model alternatif penanganan perkara anak yang dinilai lebih mampu menjamin perlindungan dan kedudukan anak sebagai korban kejahatan. Penulis menggunakan tipe penelitian normatif yuridis. Pada penelitian normatif, penulis menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus Sedangkan secara yuridis, penulis melakukan wawancara terhadap Penyidik Anak, Penuntut Umum Anak, dan Hakim Anak terkait pengetahuannya mengenai sistem peradilan pidana anak.
Hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: (1) penanganan perkara anak dengan model pendekatan restorative justice nyatanya belum mampu memberikan perlindungan terhadap anak korban kejahatan apabila dibandingkan dengan mekanisme peradilan konvensional (2) aparat penegak hukum dalam menjalankan perannya belum begitu menjamin perlindungan terhadap anak korban (3) sistem peradilan pidana anak seharusnya kedepan mampu memperhatikan kepentingan dan perlindungan tidak hanya untuk anak pelaku, tetapi juga untuk anak korban dan anak saksi.

ABSTRACT
Children are surely vulnerable to be the victims of crimes, especially victims of criminal acts of decency. The children who are being the victims of criminal acts of decency are not only suffer physically but also psychologically. However, in the criminal justice system, their positions as victims tend to be marginalized. Seeing the child?s protection and status as a victim of crime has not been paid too much attention in the criminal justice system, restorative justice approach is used as an alternative model of handling the case of children, which is considered as more capable of guaranteeing the protection and status of children as victims of crime. The author uses normative juridical research. In the normative research, the authors uses the statute approach and use the case approach. In the juridical research, the author conducted the interview with police, prosecutor, and judge related to their knowledge of the criminal justice system of children.
Results of the study can be concluded as follows: (1) Handling the case of the children with restorative justice approach in fact has not been able to provide protection to child as victims of crime when compared to the conventional criminal justice system mechanism. (2) The law enforcers in carrying out their role have not been fully guaranteed the protection of the child as victims. (3) the criminal justice system of children should be able to observe the concerns and the protection.
"
2016
T45538
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Evrin Halomoan
"Pelanggaran HAM Berat merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang mengakibatkan kerugian baik fisik maupun materiil terhadap korban. Sering kali korban tidak mendapat perlindungan dan pemenuhan atas hak-haknya yang telah dijamin dalam peraturan perundang-undangan. Permasalahan yang diangkat dalam tesis ini adalah Bagaimanakah perlindungan hak korban pelanggaran hak asasi manusia berat, khususnya dalam kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok 1984. Meskipun para pelaku telah diadili, namun hasil akhirnya adalah tidak ada kepastian pemberian hak-hak korban berupa reparasi, baik kompensasi, restitusi maupun rehabilitasi kepada korban maupun keluarga korban. Penyelesaian kasuskasus Pelanggaran HAM Berat khususnya dalam peristiwa tanjung priok 1984 cenderung berpijak pada model hukum positif yang kaku dan kurang memperhatikan kepentingan korban, padahal aparatur hukum sejatinya dapat menggunakan kacamata hukum lain demi terwujudnya keadilan substansif.
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah pemerintah dapat meninjau pelaksanaan mekanisme yang sudah ada terkait dengan penyelesaian kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat karena pengalaman menunjukkan penyelesaian kasus Pelanggaran HAM Berat melalui jalur pengadilan akan selalu mengabaikan hak korban dalam memperoleh keadilan. Dengan demikian diharapkan pemerintah semakin serius dan berniat menyelesaikan hutang-hutang penyelesaian kasus Pelanggaran HAM Berat di masa lalu dengan lebih menitikberatkan pada kepentingan korban. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan teknik pengumpulan bahan hukum studi kepustakaan yang terkait dengan hak korban pelanggaran HAM berat di Indonesia yang diperkuat dengan wawancara terhadap narasumber. Data yang diperoleh berdasarkan penelitian kepustakaan ini akan dianalisa dengan menggunakan analisis ini.

Gross violation of human rights is an extraordinary crime resulting in both physical and material losses of victims. It is often that the victim doesn't get protection and fulfillment of the rights guaranteed in the legislation. The problems raised in this thesis is How the protection for the victims of gross human rights violations, particularly in the case of human rights violations of Tanjung Priok 1984. Although the perpetrators were sentenced, but the there is no certainty of grant of rights regarding the reparations, such as compensation, restitution or rehabilitation to victims or families of the victims. The adjudication of human rights violations cases, especially on Tanjung Priok 1984 likely rests on the rigid positive law model and put less attention to the interests of victims, where legal apparatus can actually use the other 'legal spectacles' for the realization of substantive justice.
The expected outcome of this study is that the government can review the existing implementation mechanisms associated with the solution of gross human rights violations cases because experience shows the adjudication of gross human rights violations through court will often ignore the victim's rights in obtaining justice. Thus, it is expected that the Government will be more serious and intended to solves all the past gross human rights violations with more emphasis on the importance of the interests of victims.The method used in this study is a normative juridical with collection techniques of legal studies literature related to the victim's right of gross human rights violations in Indonesia, and reinforced by conducting interviews with sources. The data were based on literature review will be analyzed using this analysis.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39197
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Livi Elizabeth
"Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan pemahaman dan menjelaskan bagaimana peraturan hukum hak atas pemulihan bagi perempuan yang menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual melalui skema Dana Bantuan Korban. Dana Bantuan
Korban merupakan sebuah bentuk kompensasi dari negara bagi korban tindak pidana kekerasan seksual apabila pelaku tidak dapat memberikan ganti rugi dalam bentuk restitusi. Restitusi atau ganti rugi dalam bentuk uang yang diberikan oleh pelaku kepada
korban merupakan sebuah upaya untuk memulihkan hak korban tetapi tak serta merta korban bisa dapatkan. Dengan menggunakan Feminist Legal Method yang melihat pada pengalaman perempuan sebagai korban tindak pidana kekerasan seksual, maka penelitian
ini akan memakai empat putusan tindak pidana kekerasan seksual terkait restitusi. Penelitian ini juga memperlihatkan bagaimana korban perempuan sebagai korban seringkali semata-mata hanya dianggap sebagai saksi untuk mendakwa korban bukan sebagai korban dari perlakuan pelaku. Penelitian ini juga akan menganalisis bagaimana peran hukum di Indonesia terhadap pemenuhan hak korban tindak pidana kekerasan seksual dan implikasi dari adanya Dana Bantuan Korban di Indonesia. Lebih lanjut,
penelitian juga dilakukan dengan menelaah serangkaian peraturan perundang-undangan dan wawancara dengan para narasumber terkait Dana Bantuan Korban untuk memperoleh data-data. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan skema Dana Bantuan Korban yang sejalan dengan Feminist Legal Theory sebagai hasil perjuangan hak perempuan dan
reformasi hukum bagi perempuan. Oleh sebab itu, dengan adanya Dana Bantuan Korban diharapkan dapat membantu para korban perempuan yang seringkali tidak bisa mendapatkan hak atas pemulihan.

This research was conducted with the aim of providing an understanding of and explaining how the law regulates the right to recovery for women who are victims of crimes of sexual violence through the Victim Trust Fund scheme. The Victim Trust Fund
is a form of compensation from the state for victims of crimes of sexual violence if the perpetrators are unable to provide compensation in the form of restitution. Restitution or compensation in the form of money given by the perpetrator to the victim is an attempt to restore the victim's rights, but the victim does not necessarily get it. By using the feminist legal method, which looks at the experiences of women as victims of sexual violence, this research will use four decisions for sexual violence crimes related to restitution. This research also shows how female victims are often only seen as witnesses to indict victims, not as victims of the perpetrator's treatment. This research will also analyze the role of the law in Indonesia in fulfilling the rights of victims of sexual violence and the implications of the existence of a Victim Trust Fund in Indonesia. Furthermore, research was also carried out by examining a series of laws and regulations and conducting interviews with sources related to The Victim Trust Fund to obtain data. In addition, this
research also shows that The Victim Trust Fund scheme is in line with feminist legal theory as a result of the struggle for women's rights and legal reforms for women. Therefore, with the existence of The Victim Trust Fund, it is hoped that it can help female victims, who often unable get their right to recovery.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naufal Arif Ramiza
"Cancel cultur merupakan fenomena sosial berupa pembatalan secara sosial seseorang akibat suatu hal dari diri orang tersebut yang dipandang ofensif oleh masyarakat. Tindakan ini umumnya dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk protes agar seseorang yang terkena pembatalan meminta maaf dan tidak mengulangi perbuatannya kembali. Cancel culture telah ada dalam masyarakat sejak lama, namun seiring berkembangnya teknologi, fenomena ini juga berkembang dari segi skala dan intensitas pembatalannya, juga seberapa seringnya pembatalan tersebut terjadi. Perkembangan tersebut terjadi karena teknologi internet dan media sosial yang mempermudah penyebaran informasi sehingga hal-hal kecil dapat menjadi sesuatu yang viral.Cancel culture yang semakin berkembang ini berpotensi menimbulkan suatu masalah yang besar bagi target pembatalan, seperti tercemarnya nama baik korban, kehilangan pekerjaan, dan tersebarnya data pribadi. Target pembatalan yang menderita permasalahan-permasalahan seperti itu dapat dikatakan sebagai korban cancel culture. Walaupun terdapat masalah-masalah tersebut, di dalam hukum pidana Indonesia belum ada suatu peraturan yang memberikan perlindungan hukum bagi target pembatalan. Oleh karena itu, diperlukan suatu perlindungan di bidang hukum untuk memberikan batasan dalam cancel culture dan mencegah terjadinya masalah-masalah tersebut sebelum cancel culture semakin berkembang di masyarakat. Dengan perlindungan hukum ini, hak-hak dari target pembatalan tetap terjamin oleh hukum untuk tidak dilanggar.

Cancel culture is a social phenomenon in a form of socially cancelling somebody because of something from that person that society sees as offensive. The society generally does this action as a form of protest so that the person that is getting cancelled sends an apology and will not repeat their action. Cancel culture has been in the society for a long time, but as the technology is developing, this phenomenon is also developing in terms of the scale and intensity of the cancellation, also how often the cancellation happens. That development happens because of the technology of internet and social media that ease information transmission which causes small things able to become something viral. This development of cancel culture is potential of creating big problems for cancellation targets, such as defamation, job loss, dissemination of personal data. Cancellation targets that suffer those problems can be said as cancel culture victims. Even though those problems exist, Indonesian criminal law does not have any rule that gives legal protection for cancellation targets. Therefore, legal protection is needed for giving restriction to cancel culture and preventing those problems from happening before the cancel culture develops even more in society. With this legal protection, the rights of cancellation targets are guaranteed by law to not be violated."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Wiyanti Eddyono
"Tulisan ini menganalisis sejauh mana RUU KUHP berorientasi terhadap kepentingan dan perlindungan hak-hak korban, khususnya perempuan korban kekerasan berbasis gender. Tulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis atau normative, yang secara langsung menganalisis pasal-pasal yang ada di RUU KUHP. Kerangka analisis yang digunakan adalah pendekatan hokum berpersentatif feminis yang meletakan hokum sebagai produk politik dan seringkali abai terhadap kepentingan perempuan korban kekerasan yang beragam. Tulisan ini menemukan bahwa orientasi utama RUU KUHP adalah kepentingan pelaku dan masyarakat, namun tidak secara eksplisit berorientasi kepada kepentingan korban. Diasumsikan bahwa dengan mengacu kepada kepentingan masyarakat maka telah berorientasi kepada korban. Korban masih dilihat sebagai pihak yang membantu mengungkapkan perkara semata, bukan pihak yang telah mengalami kerugian sehingga perlu mendapat perlindungan dan pemulihan. Tanggung jawab pelaku juga diarahkan untuk memenuhi kepentingan rasa keadilan masyarakat, bukan korban. Selain itu, beberapa pasal pengaturan tentang perbuatan pidana masih mengandung masalah karena RUU KUHP lebih mengoplikasi beberapa UU di luar KUHP namun tidak meevisi pasal-pasal yang berdasarkan pengalaman korban sulit untuk diimplementasikan, sepeti pengaturan PKDRT. Lebih jauh, masih ditemukan pasal-pasal yang memviktimasi korban dengan mengkriminalisasi mereka sesungguhnya adalah korban kekerasan berbasis gender."
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2018
305 JP 23:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Wiyanti Eddyono
"Tulisan ini menganalisis sejauh mana RUU KUHP berorientasi terhadap kepentingan dan perlindungan hak-hak korban, khususnya perempuan korban kekerasan berbasis gender. Tulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis atau normative, yang secara langsung menganalisis pasal-pasal yang ada di RUU KUHP. Kerangka analisis yang digunakan adalah pendekatan hokum berpersentatif feminis yang meletakan hokum sebagai produk politik dan seringkali abai terhadap kepentingan perempuan korban kekerasan yang beragam. Tulisan ini menemukan bahwa orientasi utama RUU KUHP adalah kepentingan pelaku dan masyarakat, namun tidak secara eksplisit berorientasi kepada kepentingan korban. Diasumsikan bahwa dengan mengacu kepada kepentingan masyarakat maka telah berorientasi kepada korban. Korban masih dilihat sebagai pihak yang membantu mengungkapkan perkara semata, bukan pihak yang telah mengalami kerugian sehingga perlu mendapat perlindungan dan pemulihan. Tanggung jawab pelaku juga diarahkan untuk memenuhi kepentingan rasa keadilan masyarakat, bukan korban. Selain itu, beberapa pasal pengaturan tentang perbuatan pidana masih mengandung masalah karena RUU KUHP lebih mengoplikasi beberapa UU di luar KUHP namun tidak meevisi pasal-pasal yang berdasarkan pengalaman korban sulit untuk diimplementasikan, sepeti pengaturan PKDRT. Lebih jauh, masih ditemukan pasal-pasal yang memviktimasi korban dengan mengkriminalisasi mereka sesungguhnya adalah korban kekerasan berbasis gender."
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2008
305 JP 23:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
H.S. Gunadi Sjarif
"Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat) dengan keberadaannya sebagai Negara hukum (rechtstaat) memiliki konsekuensi yang melekat padanya, bahwa konsepsi (rechtstaat) maupun konsepsi (the rule of law), menempatkan hak asasi manusia sebagai salah satu ciri khas pada Negara yang di sebut (rechtstaat). Pada setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia, apakah dalam kategori “berat”, atau ringan “ringan”, akan menimbulkan kewajiban bagi Negara untuk mengupayakan pemulihan (reparation), bentuk pemulihan itu dikenal dengan istilah kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Perlindungan terhadap saksi dan korban, menjadi sesuatu yang penting dalam perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, karena merupakan kejahatan yang diklasifikasikan sebagai kejahatan yang berdampak luas baik tingkat nasional maupun internasional. Tuntutan terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat telah mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang kemudian diikuti oleh Undang-Undang Nomor. 26 Tahun 2000 mengenai Pengadilan Hak Asasi Manusia, dimaksudkan untuk menjawab berbagai persoalan pelanggaran hak asasi manusia khususnya pelanggaran HAM berat. Kemudian lahirnya Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan salah satu regulasi yang diharapkan dapat memecahkan kebuntuan serta terbukanya wacana tentang persoalan pemulihan (reparasi) bagi saksi dan korban. sehingga mampu mengatasi kelemahan-kelamahan yang selama ini terjadi dalam konteks perlindungan dan pemenuhan hak-hak saksi dan korban. Dari pengalaman tiga pengadilan pelanggaran HAM berat yang sudah dilaksanakan di Indonesia yaitu kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur, Tanjung Priok dan Abepura. Tidak ada satupun korban yang mendapatkan kompensasi dan restitusi. Bahwa keputusan-keputusan dalam kasus-kasus tersebut menyatakan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat dan menimbulkan korban, tetapi karena pelaku mendapat vonis bebas, dengan demikian tidak ada kewajiban untuk membayar ganti kerugian kepada korban. Kegagalan dari beberapa pengadilan HAM berat untuk melakukan proses penghukuman yang efektif dan memberikan remedies kepada korban menyisakan banyak pertanyaan mengenai proses pengadilan yang terjadi. Ketidakberhasilan pengadilan HAM ini, selain membebaskan para terdakwa, juga tidak mampu memenuhi hak-hak korban, yang meliputi hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban.

Indonesia is a State of law (rechtstaat) with its existence as a state law (rechtstaat) have consequences attached to it, that the conception (rechtstaat) and conceptual (the rule of law), putting human rights as one of the characteristic of the state of the call (rechtstaat). At any violation of human rights, whether in the category of "heavy" or light "light", will give rise to an obligation for the State to seek recovery (reparation), a form known as the recovery of compensation, restitution and rehabilitation. Protection of witnesses and victims, to be something important in the case of human rights violations that heavy, because it is a criminal offense that is classified as high impact both nationally and internationally. Demands on the resolution of cases of gross human rights violations have prompted the enactment of Law Number 39 Year 1999 on Human Rights, which was then followed by Law Number. 26 Year 2000 on Human Rights Court, is intended to address issues of human rights violations particularly serious human rights violations. Then the enactment of Law Number 13 of 2006 on the Protection of Witnesses and Victims is one regulation that is expected to break the deadlock and open discourse on issues of recovery (repair) of witnesses and victims. so as to overcome the weaknesses that have occurred in the context of the protection and fulfillment of the rights of victims and witnesses. From the experience of the three trials gross human rights violations that have been implemented in Indonesia, namely the case of gross human rights violations in East Timor, Tanjung Priok and Abepura. None of the victims received compensation and restitution. That decision-making in such cases states have serious human rights violations and cause casualties, but because the perpetrator gets acquittal, thus there is no obligation to make restitution to the victim. Failure of a human rights court to make the process effective punishment and provide remedies to victims leaves many questions about the litigation occurred. The failure of these human rights court, in addition to freeing the defendants, also unable to fulfill the rights of victims, which includes the right to compensation, restitution and rehabilitation for victims.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35108
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rayhan Dudayev
"Viktimologi merupakan ilmu yang mempelajari dampak kejahatan terhadap korban, perlakuan korban dalam sistem peradilan pidana, serta interaksi pelaku ? korban dalam suatu kejahatan. Dalam kasus perempuan sebagai pelaku kekerasan, perlu ditinjau interaksi pelaku perempuan dan korban laki-laki. Perempuan sebagai pelaku diduga sebelumnya menjadi korban kekerasan seksual. Namun, seperti halnya kasus kekerasan seksual lain, kasus kekerasan kekerasan seksual yang dialami perempuan pelaku juga tidak diproses karena minimnya bukti. Perempuan sebagai pelaku diproses dan kasus perempuan sebagai korban tidak diproses. Melalui tinjauan viktimologi dan hukum berspektif perempuan-lah penegakan hukum pada kasus ini ditinjau. Dengan menggunakan metode penelitian socio-legal, skripsi ini melihat sebab perempuan melakukan kekerasan dan analsis unsur sosiologis yang digunakan hakim dalam memutus perkara perempuan sebagai pelaku

Victimology study the impact of crime for the victim, the treatment of the victim in criminal justice system, and interaction between perpetrator and the victim of crime. In case of women acted as a perpetrator of violence, it needs tobe observed the cause of that action. Women perpetrator is fathomed as a victim of sexual assault before. However, like the other cases of sexual assault, the case of women who become victim of sexual assault and offender of violence are not processed by the police. Meanwhile, the female offender is processed by the police. Through victimology persperctive and feminist legal theory, law enforcement at this case will be observed. By using the method of socio-legal research, this thesis sees why women commit violence. It analyze the sociological element that?s employed by the judge at this case"
Universitas Indonesia, 2014
S57044
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>