Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 147456 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tabitha Jane
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasikan ujaran sore na pada percakapan anak muda Jepang sebagai filler dan aizuchi. Sumber data diperoleh dari percakapan LINE yang kemudian dianalisis dengan memerhatikan makna kata sore dan partikel na, serta konteks situasi percakapan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ujaran sore na memiliki ciri sebagai filler dan aizuchi. Sore na sebagai filler menandakan penutur sedang berpikir. Penggunaan ujaran sore na sebagai aizuchi mengandung makna persetujuan rsquo; dan non-pesetujuan.

ABSTRACT
This study aim to identify sore na as filler and aizuchi backchannel in conversation by Japanese young people. The source of data was obtained from LINE application, which then analyzed by looking into the meaning of demonstrative sore, particle na and the context of the conversation. The results showed that sore na characterized as filler and aizuchi. Sore na as filler indicates speaker is thinking. The use of sore na as aizuchi implies lsquo agreement rsquo and lsquo non agreement."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nilam Husna Muthia
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan multimodalitas backchannel bahasa Jepang dalam beauty vlog. Penelitian ini menggunakan teori analisis percakapan (Sacks, dkk 1974; Heritage, 2001) dan Multomidalitas (Mondada, 2018) untuk menjelaskan pola penggunaan multimodalitas (moda verbal dan nonverbal) backhannel bahasa Jepang dalam beauty vlog. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa backchannel yang disampaikan mitra tutur memiliki makna 'mitra tutur sedang menyimak', 'mitra tutur meminta penutur melanjutkan tuturannya'. Kedua hal itu mengimplikasikan bahwa mitra tutur memberikan perhatian kepada penutur. Pola multimodalitas backchannel dalam beauty vlog yang ditemukan terdapat tiga tipe, yaitu (i) backchannel verbal, (ii) backchannel verbal dan nonverbal, dan (iii) backhchannel nonverbal. Backchannel yang produktif disampaikan adalah backchannel dalam unit kata dan frasa. Sementara, untuk backchannel nonverbal, penutur cenderung menggunakan anggukan. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa penutur bahasa Jepang memiliki preferensi menggunakan moda verbal dan nonverbal secara bersamaan dalam menuturkan backhannel.

This research aims to explain the multimodality of Japanese backchannels in beauty vlogs. This research uses conversation analysis theory (Sacks et al., 1974; Heritage, 2001) and Multimodality (Mondada, 2018) to explain the pattern of use of multimodality (verbal and nonverbal modes) on the Japanese language backchannel in beauty vlogs. This research shows that the backchannel conveyed by the speech partner has the meaning 'the speech partner is listening,' 'the speech partner asks the speaker to continue his speech.' Both imply that the speech partner is paying attention to the speaker. There were three main types of backchannel multimodality patterns in beauty vlogs, namely (i) verbal backchannel, (ii) verbal and nonverbal backchannel, and (iii) nonverbal backchannel. The backchannel that was productively conveyed was backchannel in word and phrase units. Meanwhile, for nonverbal backchannels, speakers tend to use nods. This research also shows that Japanese speakers prefer using verbal and nonverbal modes simultaneously in speaking backchannel."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Filia
"Disertasi ini mengkaji nilai budaya wakimae yang terdapat dalam performa stimulus-respons bahasa Jepang. Wakimae dimaknai sebagai nilai atau norma yang diharapkan untuk dipatuhi anggota komunitas Jepang. Wakimae seperti apa yang secara konkret terdapat dalam bahasa Jepang dijelaskan dalam penelitian ini melalui pemarkah-pemarkah linguistik. Tujuan penelitian ini adalah menemukan struktur dan fungsi ujaran stimulus bahasa Jepang terkait nosi wakimae. Dalam disertasi ini, struktur dan fungsi ujaran stimulus bahasa Jepang diasumsikan berkaitan dengan wakimae yang dipegang masyarakat penutur bahasa Jepang. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan metode kualitatif dengan sumber data percakapan tayang bincang Asaichi di televisi NHK Jepang. Sejumlah tiga puluh episode tayang bincang tersebut digunakan sebagai sumber data. Alasan pemilihan sumber data tersebut ialah: (i) percakapan tidak diatur dan tidak diedit, tiap-tiap partisipan tutur diberi keleluasaan untuk berbicara, (ii) pembawa acara lebih dari satu orang dan berganti-ganti, (iii) topik perbincangan bervariasi sehingga dapat diperoleh berbagai konteks percakapan. Wakimae yang tercermin dalam stimulus dapat dilihat dalam konstruksi ujaran bahasa Jepang, yaitu: (i) konstruksi dalam ujaran tuntas secara sintaktis (syntactically finished utterance), dan (ii) konstruksi dalam ujaran taktuntas secara sintaktis (syntactically unfinished utterance). Secara garis besar, ujaran stimulus terbagi menjadi dua tipe: (i) stimulus pertanyaan, dan (ii) stimulus nonpertanyaan. Stimulus pertanyaan memiliki fungsi/tindak sosial: (1) meminta informasi, (2) meminta konfirmasi, (3) memberikan pendapat, (4) memberikan pendapat dan meminta persetujuan, (5) meminta konfirmasi dan informasi, (6) memberikan pendapat dan meminta informasi, (7) memberikan pendapat dan mengajak, dan (8) memberikan pendapat, meminta persetujuan dan informasi. Stimulus nonpertanyaan ditemukan dalam fatis. Gambaran wakimae dalam respons dapat dilihat dalam dua tipe respons: (i) respons jawaban dan (ii) respons nonjawaban. Ujaran yang mengandung wakimae melibatkan konsep peran (nosi tachiba), in group-out group (nosi uchi-soto) dan teori teritori informasi (joohoo no nawabari riron). Hasil penelitian menunjukkan bahwa wakimae yang direalisasikan dalam bukti-bukti linguistik bertujuan untuk memelihara hubungan yang selaras dan harmonis. Hubungan yang selaras dan harmonis diutamakan dalam upaya memelihara kerja sama antarpenutur komunitas Jepang.
This dissertation examines a cultural value called wakimae found in the stimulus-response performance in Japanese language. Wakimae is understood as a value or norm that is expected to be adhered to among Japanese community members. Wakimae concretely found in Japanese is described in this study using linguistic markers. The objective of the study is to find the structure and function of stimulus utterance in Japanese related to the notion of wakimae. In this dissertation, the structure and functions of stimulus utterance in Japanese are assumed to be associated with wakimae which is adhered to among Japanese language speakers. To achieve the objective, this study uses the qualitative method to analyze conversations taken from Asaichi talk show aired on NHK TV in Japan as the data. Thirty episodes of the talk show are used as the data. The reasons for selecting the data are: (i) the conversations are not scripted nor edited, as each participant can speak freely, (ii) there is more than one host and these hosts take turn in the talk show, (iii) the conversation topics vary so the contexts obtained are various. Wakimae which is reflected in the stimulus can be seen in the construction of utterances in Japanese language, namely: (i) the construction of syntactically complete utterance, and (ii) the construction of syntactically unfinished utterance. Broadly, an utterance stimulus can be classified into two types: (i) question stimulus, and (ii) non-question stimulus. The question stimulus has social functions/actions of: (1) asking for information, (2) asking for confirmation, (3) giving an opinion, (4) giving an opinion and asking for an approval, (5) asking for confirmation and information, (6) giving an opinion and asking for information, (7) giving an opinion and inviting, and (8) giving an pinion, as well as asking for an approval and information. The non-question stimulus is found in a phatic expression. Wakimae in a response can be illustrated in two types of response: (i) answer response and (ii) non-answer response. The answer response involves the concept of role (the notion of tachiba), in group-out group (the notion of uchi-soto) and the theory of territory of information (joohoo no nawabari riron). The result shows that wakimae realized in the linguistic evidence has the purpose to maintain a harmonious relationship. This harmonious relationship is a priority in the effort to maintain cooperation among speakers in Japanese speaking community"
2017
D2437
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herni
"ABSTRAK
Tujuan dari skripsi ini pada dasarnya untuk dapat merumuskan definisi aizuchi berdasarkan bentuk dan fungsinya secara umum, serta mengetahui fungsi pragmatis aizuchi agar dapat memakai aizuchi secara tepat dalam percakapan. Untuk itu penulis menggunakan dua metode, yaitu metode kepustakaan dengan teknik pengamatan audio visual untuk pengumpulan datanya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1996
S13666
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andarina Agusvianida Tamrin
"ANDARINA AGUSVIANIDA TAMRIN. Aizuchi sebagai pelancar komunkasi serta reflector tatemae-honne dalam masyarakat Jepang. ( Dibawah bimbingan Dr. Sheddy N. Tjandra, B.A, M.A) Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005. Penelitian mengenai aizuchi bertujuan dapat menunjukkan aizuchi berperan sebagai pelancar komunikasi sekaligus merupakan retlektor dari tatemae honne. Retlektor disini maksudnya didalam setiap lontarannya aizuchi itu merefleksikan sikap, pendapat dan juga pemikiran dari seseorang, baik ia merasa harus menampilkan tatemae atau honne dalam percakapan yang sedang berlangsung. Pengumpulan data yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode kepustakaan dengan teknik pengamatan audiovisual, yakni dengan cara kerja mengumpulkan data dengan cara mengamati objek pengamatan berupa DVD Anime Jepang. Kemudian data-data yang didapat ditranskripsikan menjadi bentuk tertulis. Hasil penganalisaan diatas adalah Aizuchi yang sepintas lalu hanya merupakan sebuah lontaran-lontaran kecli dalam sebuah percakapan ternyata memiliki peran ganda yaitu sebagai pelancar komunikasi dan juga berperan sebagai retlektor dari tatemae-honne yang merupakan landasan moral masyarakat Jepang. Peranan Aizuchi didalam masyarakat Jepang terlihat dengan jelas. Aizuchi yang merupakan respon dari pendengar terhadap topik yang dibicarakan oleh penutur memiliki bermacam fungsi. Fungsi-fungsi yang dikandung oleh lontaran-lontaran Aizuchi tersebut dapat membuat sebuah komunikasi menjadi semakin hidup dan lancar. Peran Aizuchi sebagai reflektor dari tatemae-honne ini dapat dilihat dengan cara menggarap keluar makna tatemae-honne yang muncul dalam bentuk lontaran_lontaran Aizuchi yang ditemukan didalam relasi makna Bahasa kalimat dan konteks atau situasi pemakaian kalimat didalam percakapan diantara penutur dan pendengar dalam sebuah percakapan. Penguasaan tatemae-honne yang baik dari masing-masing individu akan menunjang terciptanya komunikasi yang baik yang akan menciptakan kondisi yang kondusif untuk terciptanya hubungan manusia yang harmonis."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2005
S13459
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairina Nur Aini
"Penelitian ini mengkaji mengenai respons verbal anak Jepang usia 2-4 tahun terhadap ujaran direktif orang tua. Korpus dalam penelitian ini adalah reality show dari stasiun tv Jepang, NTV yang berjudul Hajimete no Otsukai Suruhan Pertama Orang Tua. Alasan pemilihan korpus ini adalah i percakapan antara orang dewasa dan anak tidak dibuat-buat dan tidak diatur, sehingga partisipan tutur dapat berbicara dengan bebas tanpa bergantung pada naskah, ii partisipan tutur yang beragam, setiap episode terdiri dari orang dewasa dan anak yang berbeda sehingga cara anak dalam merespons ujaran pun berbeda, iii variasi topik percakapan, mengenai keseharian antara orang dewasa dan anak usia 2-4 tahun.
Penelitian ini menemukan tiga buah rangkaian respons anak usia 2-4 tahun terhadap ujaran direktif, yakni i rangkaian respons menerima, ii rangkaian respons menolak, dan iii rangkaian respons menolak menerima. Dari analisis rangkaian ujaran tersebut, rangkaian respons anak usia 2-4 tahun atas ujaran direktif memperlihatkan realitas pengungkapan respons. Ada anak yang segera menerima ujaran direktif, ada anak yang menolak, ada pula anak yang menolak terlebih dahulu sebelum menerima.

This study examines the verbal response of Japanese children age 2-4 year old to adult directive utterance. The corpus of this study is Japanese reality show from NTV tv station entitled Hajimete no Otsukai My First Errands . The reasons for selecting this corpus are i the conversation between adult children isn scripted, so that participants can speak freely, ii various speech participants, each episodes have different adult and children so that children response to utterance is dissimilar, iii variations of conversational topics, about daily life between adult and 2-4 year old children.
This study establish three response sequences that 2-4 year old compose to directive utterance, i response sequence of agreement, ii response sequence of disagreement, and iii response sequence of disagreement and then agreement. From the investigation shows that children age 2-4 year old frame about reality of the response disclosure to adult directive utterance. There are children who immediately accepting directive utterance, there are children who turned down directive utterance, and there is also children whocbeing disapproval before being cooperation to directive utterance.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Riduan
"Dalam era saat ini, dimana sedang maraknya dilakukan gerakan peduli lingkungan, penambangan besar-besaran mulai diusahakan untuk dikurangi, sehingga perlu dipikirkan pengadaan jenis sumber agregat baru yang dapat diperbaharui dalam pembuatan beton. Limbah beton dan limbah kaca seringkali menjadi sampah dan berpotensi merusak lingkungan karena sifatnya yang sulit terurai. Padahal kedua bahan tersebut mempunyai potensi untuk dimanfaatkan, salah satunya sebagai pengganti agregat dalam beton. Jika hal ini dapat dilakukan selain mengurangi pencemaran juga untuk mengurangi penambangan batuan alam untuk agregat.
Pada penelitian kali ini akan dicoba membuat beton dengan mengunakan limbah beton dan limbah kaca dengan target kekuatan beton yaitu fc - 25 MPa. Agregat kasar yang digunakan berasal dari limbah beton yang mempunyai kekuatan rencana fc - 35 MPa. Agregat tersebut akan diuji apakah memenuhi syarat-syarat untuk dapat digunakan sebagai agregat kasar dalam beton. Pada agregat kaca akan dilakukan pengujian yaitu pengujian X-Ray Flourescent dimana dari hasil pengujian ini akan didapatkan kandungan kimia dalam kaca untuk menetukan jenis kaca yang akan dipakai. Agregat kaca akan digunakan sebagai bahan tambahan (filler) dalam beton. Jumlah kaca yang ditambahkan ke dalam campuran beton adalah sebesar 10 %, 20 %, 30%, 40%, dari volume agregat halus yang dipakai. Sedangkan limbah beton akan seluruhnya dijadikan sebagai agregat kasar. Pengujian yang dilakukan terhadap beton adalah uji tekan,uji kuat tarik belah dan uji kuat tarik lentur.
Dari hasil penelitian didapatkan limbah beton yang akan dipakai memenuhi semua syarat-syarat yang diperlukan untuk dapat digunakan sebagai agregat kasar dalam beton. Penggunaan kembali limbah beton dari beton yang mempunyai kuat tekan rencana fc - 35 MPa sebagai agregat kasar dalam beton dapat menghasilkan beton dengan kuat tekan fc - 25 MPa. Penggunaan kaca sebagai filler dalam beton dapat meningkatkan kuat tekan beton hingga pada kadar tertinggi yang diteliti yaitu 40 %, sedangkan penggunaan limbah kaca sebagai filler dapat meningkatkan kekuatan tarik jika pada beton ditambahkan 40 % kaca, dan untuk kuat lentur beton didapatkan kadar optimum penambahan kaca untuk meningkatkan kekuatan lentur pada kadar 30%.

At present, in which many of natural conservation having been strictly carried out, mining with huge number have already been reduced so that another alternative of supply aggregate needs to be determined according with the necessity of concrete production. Unbreakable material like concrete waste and glasses waste are usually considered raises any damage to the environment. In fact, those material can be recycled and effectively turn into another alternative of aggregate in concrete production. If the idea above would seriously be implemented, there is no wonder if the excess of natural exploration, and pollution on earth could be reduced.
The bottom line of this observation were trying to produced any concrete having pressure strength fc' about 25 MPa by using concrete waste and glasses waste. Coarse aggregate were came from waste concrete that have plan strength fc' 35 MPa. It would passed some qualifying test before having been used as aggregate. To determine which kind of glasses would be used as finer, the glasses would passing an X-Ray Flourescent. It is necessary to find out the content of chemical compound in it. glasses serve as a filler in the new concrete product. The number of percentage of glasses in mixing concrete would be 10 %, 20 %, 30%, 40%, from troughout of fine aggregate volume. Whereas the concrete waste would be used as coarse aggregate thoroughly. In the end, the new concrete product must passed some tests as follow : Compression test, splitting test, and flexible strength test.
From the observation result would be revealed the waste concrete qualified to be used as coarse aggregate in the new concrete product. The new concrete product is expected to has its plan pressure strength magnitude fc' 25 MPa. Fourty percent glasses usage as filler in any concrete production will more generate its pressure strength, waste glasses usage will more generate its tensile strength if using 40 % addition glasses, and 30 percent waste glasses usage is the optimum level to generate it's flexible strength.
"
2008
S35353
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bima Ahmad Haqiqie
"Penggunaan mineral anorganik pada industri pembuatan kertas mulai berkembang. Mineral tersebut berfungsi sebagai filler kertas untuk mengurangi penggunaan pulp yang berlebih. Selain menguntungkan secara ekonomi, penggunaan filler pada kertas dapat meningkatkan sifat optik dan retensi kertas yang dihasilkan. Salah satu mineral yang memiliki potensi baik untuk digunakan sebagai filler adalah zeolit. Pada penelitian ini dilakukan variasi pada ukuran zeolit sebagai bentuk optimalisasi karakteristik kertas yang diinginkan. Hasil yang diamati digunakan sebagai pembanding terhadap kertas dengan filler PCC mengingat PCC merupakan salah satu filler yang umum digunakan sebagai material filler kertas. Berdasarkan hasil yang didapatkan, zeolit sebagai filler belum dapat disebut sebagai mineral alternatif PCC ketikan digunakan pada kertas. Nilai brightness pada kertas dengan zeolit berada jauh di bawah kertas dengan PCC. Hal tersebut disebabkan oleh nilai brightness PCC yang lebih tinggi. Namun, opacity yang didapatkan oleh kertas zeolit berada pada spesifikasi yang dibutuhkan dan sebanding dengan kertas PCC sebab indeks bias kedua mineral tersebut tidak terpaut jauh. Pada karakteristik yang lain, yaitu sifat mekanik, terbukti zeolit dan pengecilan ukuran partikelnya berhasil meningkatkan kuat tarik kertas yang dihasilkan. Ukuran partikel yang diperkecil pada durasi tertentu dapat menahan partikel beraglomerasi dan mempertahankan ikatan antar serat kertas dengan optimal.

The use of inorganic minerals in the papermaking industry is growing. These minerals function as paper fillers to reduce the use of excess pulp. Besides being economically beneficial, the use of fillers in paper can improve the optical and retention properties of the paper produced. One mineral that has good potential to be used as a filler is zeolite. In this study, variations in zeolite size were carried out as a form of optimization of the desired paper characteristics. The results observed were used as a comparison to paper with PCC filler considering that PCC is one of the fillers commonly used as paper filler material. Based on the results obtained, zeolite as a filler cannot be called an alternative mineral to PCC when used in paper. The brightness value of paper with zeolite is far below paper with PCC. This is due to the higher brightness value of PCC. However, the opacity obtained by zeolite paper is within the required specifications and comparable to PCC paper because the refractive indices of the two minerals are not far apart. In other characteristics, namely mechanical properties, it was evident that zeolite and its particle size reduction successfully increased the tensile strength of the paper produced. The reduced particle size for a certain duration can prevent particles from agglomerating and maintain optimal bonding between paper fibers."
Depok: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bima Ahmad Haqiqie
"Penggunaan mineral anorganik pada industri pembuatan kertas mulai berkembang. Mineral tersebut berfungsi sebagai filler kertas untuk mengurangi penggunaan pulp yang berlebih. Selain menguntungkan secara ekonomi, penggunaan filler pada kertas dapat meningkatkan sifat optik dan retensi kertas yang dihasilkan. Salah satu mineral yang memiliki potensi baik untuk digunakan sebagai filler adalah zeolit. Pada penelitian ini dilakukan variasi pada ukuran zeolit sebagai bentuk optimalisasi karakteristik kertas yang diinginkan. Hasil yang diamati digunakan sebagai pembanding terhadap kertas dengan filler PCC mengingat PCC merupakan salah satu filler yang umum digunakan sebagai material filler kertas. Berdasarkan hasil yang didapatkan, zeolit sebagai filler belum dapat disebut sebagai mineral alternatif PCC ketikan digunakan pada kertas. Nilai brightness pada kertas dengan zeolit berada jauh di bawah kertas dengan PCC. Hal tersebut disebabkan oleh nilai brightness PCC yang lebih tinggi. Namun, opacity yang didapatkan oleh kertas zeolit berada pada spesifikasi yang dibutuhkan dan sebanding dengan kertas PCC sebab indeks bias kedua mineral tersebut tidak terpaut jauh. Pada karakteristik yang lain, yaitu sifat mekanik, terbukti zeolit dan pengecilan ukuran partikelnya berhasil meningkatkan kuat tarik kertas yang dihasilkan. Ukuran partikel yang diperkecil pada durasi tertentu dapat menahan partikel beraglomerasi dan mempertahankan ikatan antar serat kertas dengan optimal.

The use of inorganic minerals in the papermaking industry is growing. These minerals function as paper fillers to reduce the use of excess pulp. Besides being economically beneficial, the use of fillers in paper can improve the optical and retention properties of the paper produced. One mineral that has good potential to be used as a filler is zeolite. In this study, variations in zeolite size were carried out as a form of optimization of the desired paper characteristics. The results observed were used as a comparison to paper with PCC filler considering that PCC is one of the fillers commonly used as paper filler material. Based on the results obtained, zeolite as a filler cannot be called an alternative mineral to PCC when used in paper. The brightness value of paper with zeolite is far below paper with PCC. This is due to the higher brightness value of PCC. However, the opacity obtained by zeolite paper is within the required specifications and comparable to PCC paper because the refractive indices of the two minerals are not far apart. In other characteristics, namely mechanical properties, it was evident that zeolite and its particle size reduction successfully increased the tensile strength of the paper produced. The reduced particle size for a certain duration can prevent particles from agglomerating and maintain optimal bonding between paper fibers."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia;Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia;Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia;Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia;Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Clarita Michelle Tan
"Tindak tutur menolak dalam bahasa Jepang pada umumnya disampaikan secara tidak langsung dengan moda verbal. Namun, tampaknya anak-anak Jepang tidak hanya menggunakan moda verbal pada saat menolak. Berdasarkan pengamatan awal, tampaknya anak-anak Jepang menggunakan moda verbal dan nonverbal pada saat menolak. Oleh karena itu, variasi moda verbal dan nonverbal menolak pada anak menarik untuk dicermati. Permasalahan penelitian ini adalah multimodalitas respons menolak dalam bahasa Jepang oleh anak usia 2–4 tahun. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan respons anak ketika menolak, baik secara verbal maupun nonverbal. Data penelitian ini adalah 7 video respons menolak anak ketika orang tua meminta anaknya untuk melakukan sesuatu. Video itu diperoleh dari acara reality show yang berjudul Hajimete no Otsukai.
Temuan penelitian ini adalah pola multimodalitas respons menolak, yaitu (i) respons tuturan menolak disertai moda nonverbal mengangguk, menunduk, menangis, menatap ibu, (ii) respons tuturan menolak disertai moda nonverbal menunduk, menatap ayah, melihat ke kanan, (iii) respons tuturan menolak disertai moda nonverbal menunduk, menatap ayah, menggelengkan kepala, (iv) respons tuturan menolak disertai moda nonverbal menunduk, menangis, melihat ayah, menggelengkan kepala, melihat ke kiri, bersandar pada ayah, (v) respons tuturan menolak disertai moda nonverbal menangis, mengusap tangan, menarik ibu, (vi) respons tuturan menolak disertai moda nonverbal melihat ayah, membuka dan menutup pintu, mundur selangkah, (vii) respons tuturan menolak disertai moda nonverbal melihat ibu, melihat ke kanan dan kiri, berjalan pulang. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak Jepang cenderung menolak dengan menggabungkan moda verbal dan nonverbal.

Refusal speech act in Japanese is generally conveyed indirectly with the verbal mode. However, it seems that Japanese children do not only use verbal modes when refusing. Based on initial observations, it seems that Japanese children use both verbal and nonverbal modes when refusing. Therefore, the variety of verbal and nonverbal modes of refusing by children is interesting to observe. The problem of this study is the multimodality of refusal responses in Japanese by 2–4 years old children. The purpose of this study is to explain children's responses when refusing, both verbally and nonverbally. The data of this study are 7 videos of children's refusal responses when parents ask their children to do something. The videos were obtained from a reality show called Hajimete no Otsukai.
The findings of this study are multimodality patterns of refusal responses, (i) refusal speech response with nonverbal modes of nodding, looking down, crying, looking at mother, (ii) refusal speech response with nonverbal modes of looking down, looking at father, looking to the right, (iii) refusal speech response with nonverbal modes of looking down, looking at father, shaking the head, (iv) refusal speech response with nonverbal modes of looking down, crying, looking at father, shaking the head, looking to the left, leaning on the father, (v) refusal speech response with nonverbal mode of crying, rubbing hands, pulling mother, (vi) refusal speech response with nonverbal mode of looking at father, opening and closing the door, taking a step back, (vii) refusal speech response with nonverbal mode of looking at mother, looking to the right and left, walking home. This shows that Japanese children tend to refuse by combining verbal and nonverbal modes.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>