Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 228439 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ridho Muhammad Sakti
"ABSTRAK
Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik kronik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa di dalam darah. Ketidakpatuhan terhadap terapi pengobatan pasien DM tipe 2 menyebabkan glukosa darah tidak terkontrol. Pemberian informasi obat dan edukasi booklet merupakan salah satu cara meningkatkan kepatuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas pemberian informasi obat dan booklet terhadap penurunan kadar HbA1c pada pasien DM tipe 2 dari Maret sampai Juni 2017. Penelitian ini menggunakan desain eksperimental yang dilakukan secara prospektif di Puskesmas Kembangan Jakarta Barat. Subjek penelitian sebanyak 30 pasien dibagi dalam dua kelompok, masing-masing terdiri lima belas pasien yaitu kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Kelompok intervensi diberikan informasi obat PIO dan booklet sedangkan kelompok kontrol tidak mendapatkan PIO dan booklet. Selanjutnya dilakukan pengukuran kadar HbA1c. PIO dilakukan pada kelompok intervensi melalui edukasi langsung saat pemberian obat, telepon, layanan pesan singkat, dan booklet. Kadar HbA1c diukur sebelum dan 11 minggu setelah pemberian intervensi. Hasil pengukuran dianalisis dengan menggunakan uji t berpasangan untuk HbA1c. Hasil analisis menunjukkan ada perbedaan signifikan.

ABSTRACT
Diabetes mellitus DM is a chronic metabolic disorder characterized by elevation of blood glucose concentration. Non adherence to diabetes treatment in type 2 DM patients leads to poor blood glucose control. Provision of drug information and booklet education is one of way to increase adherence. This study was aim to evaluate the effect of give drug information and booklet on decrease HbA1c concentration in type 2 Diabetes mellitus patients from Maret until Juni 2017. This study was experimental method and prospective study conducted at puskesmas Kembangan Jakarta Barat. A convenience sample of 30 patients was divided two groups, there were 15 patients each other in control group and intervention grup. Intervention group was given by drug information and booklet, meanwhile control group without it. The next step is HbA1c concentration measurement. PIO in intervention group through direct education giving drug information, telephone, short message, and booklet. HbA1c concentration was measured before that and 11 weeks after intervention. The measurement results were analyzed using paired t test for HbA1c. The result of the analysis showed that there was significant difference."
2017
S67541
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atika Wahyu Puspitasari
"Diabetes melitus (DM) adalah penyakit metabolik kronik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa di dalam darah. Ketidakpatuhan terhadap terapi pengobatan pada pasien DM tipe 2 menyebabkan glukosa darah tidak terkontrol sehingga meningkatkan resiko komplikasi. Edukasi adalah salah satu cara untuk meningkatkan kepatuhan. Keterbatasan tenaga Apoteker di puskesmas di Indonesia menyebabkan edukasi tidak dapat dilakukan secara efektif sehingga perlu dicari alternatif edukasi lain, seperti pemberian booklet.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas pemberian booklet obat terhadap tingkat kepatuhan melalui Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8 dan hemoglobin terglikasi (HbA1C) pada pasien DM tipe 2 dari Maret sampai Mei 2012. Penelitian merupakan pre-eksperimental yang dilakukan secara prospektif di puskesmas Bakti Jaya Kota Depok. Sampel terdiri dari 30 pasien DM tipe 2 yang diberikan booklet pengobatan DM. Skor MMAS-8 dan persentase HbA1C diukur sebelum dan 8 minggu sesudah pemberian intervensi.
Hasil pengukuran dianalisis dengan menggunakan uji paired t test untuk HbA1C dan uji Wilcoxon untuk MMAS-8. Hasil analisis menunjukkan ada perbedaan yang signifikan (p < 0,05) terhadap nilai HbA1C dan MMAS-8 antara sebelum dan 8 minggu setelah pemberian intervensi. Dengan demikian, penelitian ini mengindikasikan bahwa edukasi diabetes melalui pemberian booklet pengobatan efektif membantu meningkatkan kepatuhan pasien. Penelitian ini juga menyatakan bahwa pasien yang memiliki skor MMAS-8 yang rendah dikaitkan memiliki pengukuran HbA1C yang juga rendah.

Diabetes Mellitus (DM) is a chronic metabolic disorder characterized by elevation of blood glucose concentration. Non-adherence to diabetes treatment in type 2 DM patients leads to poor glucose control and increases the risk of disease complications. Education is one of way to increase medication adherence. Limitation of pharmacists in public primary health care in Indonesia led to education could not be done effectively so that it was necessary to find other alternatives education such as medication booklet.
This study was undertaken to evaluate the effect of a medication booklet on adherence rate parameters, such as The 8-item Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8) and glycosylated haemoglobin (HbA1C) in type 2 diabetic patients from March to May 2012. This were pre-experimental and prospective study conducted at Bakti Jaya primary care, Depok. A convenience sample of 30 type 2 diabetic patients was studied to receive medication booklet. The value of MMAS-8 and percentage of HbA1C were measured before and after the 8-week intervention.
The results were analyzed by paired t-test for HbA1C and Wilcoxon test for MMAS-8. It showed that there were significant differences (p < 0.05) of the value of HbA1C and MMAS-8 between before and after the 8-week intervention. It indicated that a diabetes education by medication booklet, was effective enhancing their medication adherence. This study also found that patients with a lower score on the Morisky scale had a lower HbA1C measurement."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T31262
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Nur Annisaa
"ABSTRAK
Metformin dan glibenklamid adalah salah satu terapi kombinasi diabetes mellitus DM tipe 2 yang umum digunakan dalam praktik klinis. Kombinasi agen antidiabetik lain dengan mekanisme aksi yang saling menguntungkan seperti metformin dan akarbose dapat dipertimbangkan penggunaannya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas kombinasi metformin-glibenklamid dan metformin-akarbose pada total 37 pasien DM tipe 2 di Puskesmas Kecamatan Kembangan. Nilai HbA1c pada kelompok pasien yang mengkonsumsi kombinasi metformin-glibenklamid n=20 dan kombinasi metformin-akarbose n=17 diukur pada minggu ke-0 dan minggu ke-12 untuk melihat rata-rata perubahan nilai HbA1c sebagai parameter efektivitas. Pengukuran HbA1c dilakukan dengan Afinion trade; AS100 Analyzer dengan prinsip kerja afinitas boronat. Uji beda rata-rata dalam kelompok menunjukkan kombinasi metformin-glibenklamid secara signifikan menurunkan nilai HbA1c dari 8,70 menjadi 7,86 p > 0,05 , sementara kombinasi metformin-akarbose secara signifikan menurunkan nilai HbA1c dari 8,45 menjadi 7,76 p < 0,05 . Hasil uji beda rata-rata menunjukkan tidak terdapat perbedaan rata-rata perubahan nilai HbA1c yang signifikan antar kelompok penelitian p > 0,05 , dengan kombinasi metformin-glibenklamid menghasilkan rata-rata penurunan HbA1c yang lebih besar dibandingkan kombinasi metformin-akarbose 0,84 vs 0,69 . Oleh karena itu, kombinasi metformin-glibenklamid memiliki efektivitas yang lebih baik daripada kombinasi metformin-akarbose dalam menurunkan nilai HbA1c pasien DM tipe 2.

ABSTRAK
Metformin and glibenclamide is one of the most used combination therapy of type 2 diabetes mellitus T2DM in clinical pratice. Combination of other antidiabetic agents with beneficial mechanisms of action such as metformin and acarbose may be considered to be used. This study aim to compare the effectiveness of metformin glibenclamide and metformin acarbose combination on total 37 patients in Kembangan rsquo s Community Health Center. HbA1c values of patients consuming metformin glibenclamide n 20 and metformin acarbose n 17 combination were measured on week 0 and week 12 to observed mean changes of HbA1c values as effectiveness 39 parameter. HbA1c values were measured by Afinion trade AS100 Analyzer with boronate affinity method. Within group differences showed that metformin glibenclamide combination unsignificantly reduced HbA1c from 8,70 to 7,86 p 0,05 , while metformin acarbose combination significantly reduced HbA1c from 8,45 to 7,76 p 0,05 . Result of mean different test between group showed an unsignificant difference p 0,05 , with metformin glibenclamide combination yield a greater mean reduction of HbA1c compare to metformin acarbose combination 0,84 vs 0,69 . In conclusion, metformin glibenclamide combination has superior effectiveness compare with metformin acarbose combination in reducing HbA1c values in T2DM patients."
2017
S69583
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iin Presetiawati
"Ketidakpatuhan terapi diabetes melitus (DM) dapat menimbulkan komplikasi kronis. Konseling dan booklet adalah bentuk edukasi yang dapat diberikan pada pasien DM tipe 2. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas pemberian konseling dan booklet terhadap tingkat kepatuhan melalui penurunan kadar hemoglobin terglikasi (HbA1C) dan penurunan skor kuesioner Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8) pada pasien DM tipe 2. Penelitian merupakan pre-experimental yang dilaksanakan secara prospektif di RSUD dr. Adjidarmo pada bulan maret sampai bulan mei tahun 2014. Sampel penelitian adalah pasien DM tipe 2 berjumlah 30 orang yang masuk kriteria inklusi dan eksklusi dan diberikan intervensi konseling dan booklet. Kepatuhan diukur terhadap skor MMAS-8 dan kadar HbA1C sebelum dan sesudah 10 minggu pemberian intervensi. Skor MMAS-8 sebelum intervensi adalah sebesar 2,63±1,50, dan sesudah intervensi terjadi penurunan menjadi 0,7±1,18. Kadar HbA1C sebelum intervensi adalah sebesar 11,31±2,95, dan sesudah intervensi terjadi penurunan menjadi 8,12±2,79. Hasil pengukuran dianalisis dengan menggunakan uji Wilcoxon untuk MMAS-8 dan HbA1C. Hasil analisis menunjukkan ada perbedaan yang signifikan (p<0,001) terhadap kadar HbA1C dan skor MMAS-8 antara sebelum dan sesudah intervensi, dengan demikian penelitian ini mengindikasikan bahwa pemberian konseling dan booklet efektif meningkatkan kepatuhan pasien DM tipe 2.

Non-compliance on diabetes mellitus medication leads to chronic complications. Counseling and booklet is a form of education that can be given to patients with type 2 diabetes. The Study aimed to evaluate the effectiveness of counseling and booklet on the level of compliance through reduced levels of glycated hemoglobin (HbA1C) and questionnaire scores of Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8) in patients with type 2 diabetes mellitus. This study was a pre-experimental prospectively conducted from march to may 2014 at RSUD dr. Adjidarmo. The samples were type 2 diabetic patients were 30 people who entered inclusion and exclusion criteria and given counseling intervention and booklet. Compliance is measured against the MMAS-8 scores and HbA1C levels before and after 10 weeks of administration of the intervention. MMAS-8 scores before and after intervention is 2,63±1,50 and 0,7±1,18. HbA1C levels before and after is 11,31±2,95 dan 8,12±2,79. The measurement results were analyzed using the Wilcoxon test for MMAS-8 and HbA1C. The analysis showed significant difference (p<0,001) of the value of HbA1C and MMAS-8 scores between before and after intervention, this study therefore indicates that the provision of counseling and booklet improve patient compliance with type 2 diabetes."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2015
T46669
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Dorthy Santoso
"Latar belakang: Diabetes melitus tipe 2 merupakan salah satu penyakit metabolik yang sering dijumpai dan merupakan salah satu dari empat prioritas penyakit tidak menular. Prevalensi penyakit DM meningkat dengan pesat dan akan menjadikan Indonesia peringkat ke empat dunia. Betambahnya jumlah penyandang DM dan komplikasi akibat DM menjadi beban negara terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia. Salah satu komplikasi yang terkait dengan bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin adalah komplikasi mikrovaskular yakni neuropati. Neuropati otonom ditandai dengan kulit kering dan jumlah keringat yang berkurang. Kekeringan kulit yang tidak di tata laksana dengan baik mempermudah timbulnya kaki diabetik.
Tujuan: Mengetahui pengaruh kadar HbA1c dan gula darah terhadap kulit kering pada pasien DM tipe 2.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan terhadap pasien diabetes melitus tipe 2 di Poliklinik Endokrin Ilmu Penyakit Dalam dan Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUPN. Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada bulan Juli hingga September 2018. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik untuk menentukan derajat kekeringan kulit dengan menggunakan penilaian SRRC, dilanjutkan dengan pemeriksaan corneometer dan tewameter. Terakhir dilakukan pemeriksaan laboratorium darah untuk kadar HbA1c dan GDS.
Hasil: Didapatkan total 95 subjek dengan usia rerata 54 tahun, hampir sebagian besar pasien tidak merokok, tidak menggunakan pelembap dan AC, tidak menggunakan air hangat untuk mandi, mengkonsumsi obat penurun kolesterol, mengalami neuropati dan menopause, serta durasi lama DM ≥5 tahun. Hasil utama penelitian ini didapatkan korelasi yang bermakna secara statistik antara kadar HbA1c dengan nilai SRRC berdasarkan uji nonparametrik Spearman (r = 0,224; p = 0,029). Perhitungan statistik dilanjutkan kembali dengan analisis stratifikasi dan regresi linear stepwise.

Background: Type 2 diabetes mellitus is one of the most common metabolic diseases and is one of the top four non-contagious priorities. DM prevalence has been increasing rapidly and would make Indonesia ranked fourth in the worldwide. The increasing number of people with DM and its associated complications are major burden, especially for developing countries such as Indonesia. One of the complications associated with Dermatology and Venereology is microvascular complications, specifically neuropathy. Autonomic neuropathy is characterized by dry skin and reduced amount of sweat. Unmanaged dry skin is a potential risk factor of developing diabetic foot.
Objective: To determine the effect of HbA1c and blood glucose level on dry skin in type 2 diabetes mellitus patient.
Methods: This study was a cross-sectional study conducted on patients with type 2 diabetes mellitus in the Endocrine outpatient clinic of the Internal Medicine and Dermatology and Venereology outpatient clinic of RSUPN. Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta from July to September 2018. History taking, physical examination to determine the degree of skin dryness using SRRC assessment, followed by examination of the corneometer and tewameter. At last, blood test examination was performed for HbA1c and random blood glucose levels measurement.
Results: A total of 95 subjects were enrolled with an average age of 54 years, most if the patients were non-smoker, did not use moisturizers and air conditioning, did not use warm water for bathing, consumed cholesterol lowering agent, experienced neuropathy and menopause, and have been suffering DM for more than 5 years. The main results of this study were statistically significant correlation between HbA1c levels and SRRC values based on the Spearman nonparametric test (r = 0,224; p = 0,029). Statistical calculations were continued with stratification analysis and stepwise linear regression.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Banjarnahor, Reny Damayanti
"Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan hiperglikemia sebagai karakteristik utama. Hiperglikemia terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, dan atau keduanya. Sekitar 50% penyandang diabetes di Indonesia belum terdiagnosis sehingga komplikasi akibat DM tidak dapat dihindari. Pengendalian terjadinya komplikasi dilakukan dengan kontrol glikemik secara teratur. Pemeriksaan kontrol glikemik antara lain dengan glukosa darah puasa, HbA1c, dan fruktosamin.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran kadar fruktosamin dan HbA1c pada diabetes melitus tipe 2 tidak terkontrol, mengetahui perubahan kadar fruktosamin dan HbA1c setelah terapi 2 minggu dan 8 minggu, serta hubungan antara keduanya.
Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif pada 33 subyek yang terdiri dari 24 orang perempuan dan 9 orang laki-laki. Subyek penelitian diikuti selama 2 minggu dan 8 minggu sejak dilakukan perubahan terapi. Penelitian dimulai pada bulan Februari sampai April 2015. Subyek yang termasuk dalam penelitian adalah diabetes mellitus tipe 2 yang tidak terkontrol dengan HbA1c>7%.
Hasil penelitian diperoleh nilai median dan rentang fruktosamin pada minggu ke-0, minggu ke-2, dan minggu ke-8 berturut-turut 362 μmol/L (257-711), 327 μmol/L (234-616), dan 350 μmol/L (245-660). Kadar HbA1c memiliki nilai median dan rentang pada minggu ke-0, minggu ke-2, dan minggu ke-8 yaitu 9.3% (7.1-14.8), 8.8% (6.9-12.7), dan 8.4% (5.9-14.2). Terdapat penurunan bermakna kadar fruktosamin dan HbA1c dengan p<0.001. Adanya korelasi yang kuat dan arah korelasi yang positif antara fruktosamin dan HbA1c (minggu ke-0, r=0.86; minggu ke-2, r=0.82; minggu ke-8, r= 0.84).
Pada penelitian ini diperoleh penurunan yang bermakna kadar fruktosamin dan HbA1c pada 2 minggu dan 8 minggu setelah terapi dengan korelasi yang kuat ( r > 0.8) dan arah korelasi positif. Fruktosamin lebih baik digunakan untuk kontrol glikemik jangka menengah (2 minggu) sedangkan HbA1c lebih baik dipakai untuk kontrol glikemik jangka panjang (8 minggu).

Diabetes mellitus is a group of metabolic diseases with hyperglycemia as the main characteristics. Hyperglycemia occurs due to abnormalities in insulin secretion, insulin action, or both. Approximately 50% of people with diabetes in Indonesia have not been diagnosed, thus complications due to diabetes cannot be avoided. Taking control of diabetes mellitus can be done through glycemic control measurements on a regular basis. Fasting blood glucose, HbA1c, and fructosamine tests are lists of key features for glycemic control measurements.
The aims of this study was to overview the levels of fructosamine and HbA1c in uncontrolled type-2 diabetes mellitus, determine changes in fructosamine and HbA1c levels after two weeks and eight weeks of treatment, and analyze the relationship between the two.
This study used a prospective cohort design with 33 subjects consisted of 24 women and 9 men. Subjects were followed for two weeks and eight weeks after the initial therapy amendment. The study began in February and April 2015. The subjects included in the study were uncontrolled type-2 diabetes mellitus with HbA1c> 7%.
Fructosamine concentration, given as median and range values, at weeks 0, 2, and 8 were 362 μmol/L (257-711), 347 μmol/L (234-660), and 333 μmol/L (235-676), respectively. HbA1c levels (median and range) at weeks 0, 2, and 8 were 9.3% (7.1-14.8), 8.8% (6.9-12.7) and 8.4% (5.9-14.2). There was a significant reduction of fructosamine and HbA1c levels (p <0.001). A strong and positive correlation were found between fructosamine and HbA1c (week 0, r = 0.86; week 2, r = 0.82; week 8, r = 0.84).
From this study, it can be concluded that fructosamine and HbA1c levels were significantly reduced at weeks 2 and 8 after treatment, with a positive strong correlation (r> 0.8). Thus, fructosamine is preferable for medium-term (two weeks) glycemic control while the HbA1c is preferred for long-term (eight weeks) glycemic control.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Natasya
"Diabetes Melitus DM penyakit kronis yang membutuhkan terapi jangka panjang dan intervensi untuk adaptasi perubahan gaya hidup dan pengobatan untuk meningkatkan target terapi. Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh konseling oleh apoteker pada perbaikan kepatuhan, kadar HbA1c dan kualitas hidup pasien DM tipe 2 di RSUD Kota Depok. Penelitian dilakukan dengan desain pretest-posttest control group design pada 81 responden dengan alat ukur pill count untuk kepatuhan, pemeriksaan darah untuk kadar HbA1c dan kuesioner EQ-5D-5L untuk kualitas hidup. Karakteristik sosiodemografi dan klinis responden DM tipe 2 di RSUD Kota Depok antara kelompok uji dan kontrol tidak terdapat perbedaan yang signifikan p>0,05 . Pasien kelompok uji menunjukkan peningkatan kepatuhan terapi, penurunan kadar HbA1c dan peningkatan kualitas hidup secara signifikan, sementara pada kelompok kontrol hanya kadar HbA1c peningkatan yang signifikan sementara kepatuhan dan kualitas hidup tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Kepatuhan terapi responden dipengaruhi oleh konseling apoteker secara signifikan. Kadar HbA1c responden dipengaruhi oleh kepatuhan terapi dan pola makan secara signifikan. Kualitas hidup responden berdasarkan nilai deskriptif dan nilai VAS dipengaruhi oleh kadar HbA1c secara signifikan. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan konseling oleh apoteker menyebabkan perbaikan pada kepatuhan, kadar HbA1c dan kualitas hidup responden pasien DM tipe 2 di RSUD Kota Depok.

Diabetes Mellitus DM a chronic disease requiring long term therapy and interventions for the adaptation of lifestyle changes and medications to improve therapeutic targets. The aim of this research is to know the influence of counseling by pharmacist on improvement of adherence, HbA1c level and quality of life of DM type 2 patient in RSUD Kota Depok. The research was done by pretest posttest control group design design on 81 respondents with pill count methods for adherence, blood tests for HbA1c levels and EQ 5D 5L questionnaires for quality of life. Sociodemographic and clinical characteristics of DM type 2 respondents in RSUD Kota Depok between test and control group were not significantly different p 0,05 . Patients in the test group showed improved adherence to therapy, decreased HbA1c levels and improved quality of life significantly, while in the control group only HbA1c levels were a significant increase while adherence and quality of life did not show significant change. Adherence of respondents influenced by pharmacist counseling significantly. HbA1c levels of respondents is influenced by adherence of therapy and diet significantly. The quality of life of respondents based on descriptive value and VAS value influenced by HbA1c level significantly. The results of this study can be concluded by the pharmacist counseling led to improvements in adherence, HbA1c levels and quality of life of DM type 2 patients in Depok City Hospital. "
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2018
T51627
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Dorthy Santoso
"Latar belakang: Diabetes melitus tipe 2 merupakan salah satu penyakit metabolik yang sering dijumpai dan merupakan salah satu dari empat prioritas penyakit tidak menular. Prevalensi penyakit DM meningkat dengan pesat dan akan menjadikan Indonesia perillgkat kc empat dunia. Bctrunbalmya jumlnh penyandang DM dan komplikasi akibat DM menjadi beban negara terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia. Salah satu komplikasi yang l~rkail d~Ilgan bidang Hum Kesehatan Kulit dan Kelamin adalah komplikasi mikrovaskular yakni neuropati. Neuropati otonom ditandai dengan kulit kering dan jumlah keringat yang berkurang. Kekeringan kulit yang tidak di tata laksana dengan baik mempennudah timbulnya kaki diabetik. Tujuan: Mengetahui pengaruh kadar HbAle dan gula darah terhadap kulit kering pada pasien DM tipe 2. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan terhadap pasien diabetes melitus tipe 2 di Poliklini.k Endokrin IImu Penyakit Dalam dan Poliklinik Hmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUPN. Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada bulan Juli hingga September 2018. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik untuk menentukan derajat kekeringan kulit dengan menggunakan penilaian SRRC, dilanjutkan dengan pemeriksaan eorneometer dan tewameter. Terakhir dilakukan pemeriksaan laboratorium darah untuk kadar HbAle dan GDS. Basil: Didapatkan total 95 subjek clengan usia rerata 54 tahun, hampir sebagian besar pasien tidak merokok, tidak menggunakan pelembap dan AC, tidak menggunakan air hangat untuk mandi, mengkonsumsi obat penurun kolesterol, mengalami neuropati dan menopause, serta durasi lama DM 2:5 tabun. Hasil utama penelitian ini didapatkan korelac;;i yang hennakna seeara statistik antara kadar HbAle dengan nilai SRRC berdasarkan uji nonparametrik Spearman (r· = 0,224; P = 0,029). Perhitungan statistik dilanjutkan kembali dengan anal isis stratiflkasi dan regresi linear stepwise. Kesimpulan: Pada pasicn DM tipe 2 terdapat peningkatan SRRC dan SCap yang dipengaruhi oleh kadar HbAle.

Background: Type 2 diabetes mellitus is one of the most common metabolic diseases and is one of the top four non-contagious priorities. DM prevalence has been increasing rapidly and would make Indonesia ranked fourth in the worldwide. The increasing number of people with DM and its associated complications are major burden, especially for developing countries such as Indonesia. One of the complications associated with Dermatology and Venereology is microvascular complications, specifically neuropathy. Autonomic neuropathy is characterized by dry skin and reduced amount of sweat. Unmanaged dry skin is a potential risk factor of developing diabetic foot. Objective: To determine the effect ofHbAlc and blood glucose level on dry skin in type 2 diabetes mellitus patient. Methods: This study was a cross-sectional study conducted on patients with type 2 diabetes mellitus in the Endocrine outpatient clinic of the Internal Medicine and Dermatology and Venereology outpatient clinic of RSUPN. Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta from July to September 2018. History taking, physical examination to dctcrminc the degree of skin dryness using SRRC assessment, followed by examination of the comeometer and tewameter. At last, blood test examination was performed for HbAlc and random blood glucose levels measurement. Results: A total of95 subjects were enrolled with an average age of 54 years, most if the patients were non-smoker, did not use moisturizers and air conditioning, did not use warm water for bathing, consumed cholesterol lowering agent, experienced neuropathy and menopause, and have been suffering DM for more than 5 years. The main results of this study were statistic3.Ily significant correlation between HbAlc levels and SRRC values based on the Spearman nonparametric test (r = 0,224; P = 0,029). Statistical calculations were continued with stratification analysis and stepwise linear regression. Conclusion: Type 2 DM patients experience increment in SRRC and SCap, which are associated with HbA 1 c level.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2019
T59211
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yati Darmiati
"Diabetes Melitus tipe 2 merupakan sekumpulan gangguan metabolik dengan karakteristik hiperglikemia. Komplikasi klinis akibat DM berkolerasi dengan status glikemik, sehingga diperlukan upaya pengontrolan status glikemik pasien DM, baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang untuk mencegah atau mengurangi komplikasi progresif akibat penyakit tersebut. Parameter laboratorium untuk pemantauan status glikemik meliputi kadar glukosa darah harian, HbA1c, dan albumin glikat (AG).
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran kadar HbA1c dan kadar AG pada pasien DM tipe 2 tidak terkontrol, mendapatkan korelasi antara kadar HbA1c dan kadar AG, juga melihat penurunan kadar HbA1c dan AG sesudah terapi 1 dan 3 bulan. Penelitian dilakukan dengan desain studi diagnostik, yang melibatkan 32 subyek penelitian yang diikuti selama 3 bulan mulai bulan Februari hingga Mei 2014. Diagnosis DM tipe 2 ditegakkan oleh dokter Spesialis Penyakit Dalam dan diagnosis DM tipe 2 tidak terkontrol didapatkan dari hasil pemeriksaan HbA1c > 7 %.
Hasil penelitian mendapatkan rerata (SD) kadar glukosa darah puasa bulan ke-0, ke-1, dan ke-3 berturut-turut sebesar 170,5(51,6) mg/dL; 162,7(54,6) mg/dL, dan 147,3(45,9) mg/dL. Median (rentang) kadar glukosa darah 2 jam postprandial l(G2PP) bulan ke-0 dan ke-1 sebesar 220 mg/dL (90-544) mg/dL dan 191,5 mg/dL (114-468) mg/dL; rerata(SD) kadar G2PP bulan ke-3 sebesar 201(65,98) mg/dL. Korelasi antara kadar HbA1c dan kadar AG adalah : pada bulan ke-0, r=0,79, p<0,001, bulan ke-1 r=0,74, p<0,001 dan bulan ke-3 r=0,78, p<0,001.
Penurunan kadar HbA1c dari baseline (delta-1) dan pada bulan ke-3 (delta-3) adalah median (rentang) delta-1 sebesar 0,43% (0,35-0,74)%, p<0,001 dan median (rentang) delta-3 sebesar 0,89% (0,64-2,30)%, p<0,001. Penurunan kadar AG bulan ke-1 dari baseline (delta-1) dan pada bulan ke-3 (delta-3): median (rentang) delta-1 sebesar 0,94% (0,48-1,64)%, p<0,001, dan median (rentang) delta-3 sebesar 1,79% (0,33-1,40)%, p<0,001.
Kami menyimpulkan bahwa terdapat korelasi positif bermakna antara kadar HbA1c dan kadar AG pada bulan ke-0, ke-1, dan ke-3, dengan kekuatan korelasi kuat (r = 0.7-0.8), selain itu terdapat penurunan kadar HbA1c dan AG yang bermakna sesudah terapi 1 dan 3 bulan.

Type 2 diabetes mellitus (T2DM) is a group of metabolic disorders with hyperglycemic characteristic. Clinical complications of DM correlate with glycemic state, therefore it is necessary to make an effort to control DM glycemic state, in short-, medium-, and long-term to prevent or minimize progressive complications due to the disease. Laboratory parameters to monitor glycemic state include daily blood glucose, HbA1c, and glycated albumin (GA).
This study aimed to obtain HbA1c and GA levels in uncontrolled type 2 DM patients, the correlations between HbA1c and GA levels, and also the decrease in HbA1c and GA levels after 1 month and 3 months treatment. This was a diagnostic study involving 32 subjects that were followed for 3 months from February to May 2014. Type 2 DM was diagnosed by the internist in the Department of Internal Medicine and the uncontrolled type 2 DM was confirmed by HbA1c measurement of > 7%.
The results showed that mean (SD) fasting blood glucose levels at baseline, 1 month and 3 months were 170.5 (51.6) mg/dL; 162.7 (54.6) mg/dL, and 147.3(45.9) mg/dL, respectively. Median (range) 2 hours postprandial blood glucose levels at baseline and 1 month respectively, were 220 mg/dL (90-544) mg/dL and 191.5 mg/dL, respectively, and mean (SD) at 3 months was 201,7 (65,98) mg/dL. Correlations between HbA1c and GA levels : at baseline r =0.79, p<0.001, at 1 month r=0.74, p<0.001 and at 3 months r=0.78, p<0.001.
Decreases of HbA1c level from baseline, at 1 month (delta-1) and at 3 months (delta-3) : median (range) delta-1was 0.43% (0.35-0.74)%, p<0.001 and median (range) delta-3 was 0.89% (0.64-2.30)%, p<0.001. Decreases of GA level from baseline, at 1 month (delta-1) and at 3 months (delta-3) : median (range) delta-1 was 0.94%(0.48-1.64)%, p<0.001, and median (range) delta-3 was 1.79%(0.33-1.40)%, p<0.001.
We concluded that there were significant positive correlations between HbA1c and GA levels at baseline,1 month and 3 months, with strong correlations (r=0.7-0.8). In addition, there were also significant decreases in HbA1c and GA levels from baseline at 1 month and 3 months therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Avie Saptarini
"Penderita Diabetes Melitus (DM) Tipe 2 mengalami peningkatan risiko kanker yang diduga diakibatkan oleh kondisi hiperglikemia, hiperinsulinemia, dan inflamasi. Ketiga faktor tersebut dapat menginduksi proses tumorigenesis melalui jalur glukotoksisitas, lipotoksisitas, dan stres oksidatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan membandingkan mutan p53 sebagai tumor marker pada pasien DM tipe 2 dan pasien DM tipe 2 yang menderita kanker, mengukur dan membandingkan HbA1c pada kedua kelompok, serta melihat korelasi mutan p53 dengan HbA1c pada kedua kelompok. Desain studi yang digunakan adalah cross-sectional dengan teknik pengambilan sampel consecutive sampling. Kelompok yang diteliti pada penelitian ini adalah pasien DM tipe 2 (n = 51) dan pasien DM tipe 2 yang menderita kanker (n = 51). Analisis mutan p53 pada serum sampel dilakukan menggunakan ELISA, sedangkan pengukuran HbA1c dilakukan dengan Afinion Analyzer.
Pada penelitian ini kadar serum mutan p53 pada kelompok pasien DM tipe 2 (1,62 ± 0,08 ng/ml) tidak berbeda bermakna dengan kelompok pasien DM tipe 2 yang menderita kanker (1,64 ± 0,09 ng/ml) (p = 0,774). Sementara itu, HbA1c pada kelompok DM tipe 2 (8,42 ± 0,25 %) berbeda bermakna dengan kelompok DM tipe 2 yang menderita kanker (7,02 ± 0,20 %) (p < 0,001). Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar mutan p53 dengan HbA1c, baik pada kelompok DM tipe 2 (r = 0,083; p = 0,561), maupun kelompok DM tipe 2 yang menderita kanker (r = 0,072; p = 0,617). Penelitian ini menunjukkan bahwa kadar mutan p53 pada kelompok DM tipe 2 dan DM tipe 2 yang menderita kanker tidak berbeda bermakna, namun HbA1c pada kedua kelompok berbeda bermakna. Sementara itu, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar mutan p53 dengan HbA1c pada kedua kelompok.

Type 2 Diabetes Mellitus has been found to increase the risk of cancer which is caused by conditions of hyperglycemia, hyperinsulinemia, and inflammation. These three factors are able to induce tumorigenesis through mechanisms of glucotoxicity, lipotoxicity, and oxidative stress. This study aimed to measure and compare mutant p53 as tumor marker in Type 2 Diabetes Mellitus patients and Type 2 Diabetes Mellitus patients with cancer, to measure and compare HbA1c level in both groups, and to analyze the correlation between mutant p53 and HbA1c level in both groups. This study was a cross-sectional study with consecutive sampling technique in which two groups were involved, namely type 2 diabetes mellitus patients (n = 51) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (n = 51). Serological level of mutant p53 protein was analyzed using ELISA and HbA1c was measured with HbA1c Afinion Analyzer.
The serological level of mutant p53 in the type 2 diabetes mellitus patients (1.62 ± 0.08 ng/ml) showed no significant difference compared with type 2 diabetes mellitus patients with cancer (1.64 ± 0.09 ng/ml) (p = 0.774). Meanwhile, HbA1c level showed significant difference between type 2 diabetes mellitus patients (8.42 ± 0.25 %) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (7.02 ± 0.20 %) (p < 0.001). Mild correlations between mutant p53 and HbA1c level were found in both type 2 diabetes mellitus patients (r = 0.083; p = 0.561) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (r = 0.072; p = 0.617). Based on the result, there was no significant difference between mutant p53 in type 2 diabetes mellitus patients with and without cancer. HbA1c level was found to be significantly different in both groups. Meanwhile, there was no significant correlation between mutant p53 and HbA1c in both groups.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>