Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 222319 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yovella Medhira Fujiasti
"Menurunnya kekebalan tubuh serta munculnya kondisi dimana mikroorganisme pathogen mudah menginfeksi membuat penderita HIV-AIDS rentan terkena Penyakit Infeksi Oportunistik yang berujung kematian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran serta faktor-faktor berhubungan dengan terjadinya penyakit infeksi oportunistik pada pasien HIV dan AIDS di RSU Pengayoman tahun 2017. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Populasi penelitian yaitu seluruh pasien HIV dan atau AIDS di RSU Pengayoman dari tahun 2013 hingga 2017 sebanyak 234 menggunakan teknik total sampling. Data diambil dari ikhtisar pengobatan pasien HIV.
Hasil penelitian menujukkan bahwa proporsi penyakit infeksi oportunistik di RSU Pengayoman tahun 2017 sebesar 63,2 dimana TB Paru merupakan penyakit terbanyak yaitu 40,2 . Keteraturan mengambil ARV, jumlah CD4 saat terdiagnosa HIV, dan jenis kelamin berhubugan dengan penyakit infeksi oprtunistik. Berdasarkan analisis multivariat diketahui keteraturan mengambil ARV berpengaruh secara signifikan terhadap penyakit infeksi oportunstik nilai P = 0,0001 dan risiko penyakit infeksi oportunistik pada pasien yang tidak teratur mengambil ARV 3,9 kali lebih tinggi dibandingkan pasien yang teratur mengambil ARV POR = 3,9 ; 95 CI = 2,07 ndash; 7,4."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S69938
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nimas Ayu Lestari Nurjanah
"Infeksi HIV pada tubuh bertindak sebagai stresor yang akan menimbulkan permasalahan bagi individu yang terinfeksi di ataranya masalah fisik, psikologis dan psikososialnya. Permasalahan fisik terkait dengan perjalanan penyakit dan komplikasi sistem saraf pusat, mulai dari munculnya gejala penyakit, turunnya sistem kekebalan tubuh. Masalah psikosial dan psikologis yang dialami oleh penderita HIV diantaranya adalah munculnya stigma dan diskriminasi baik didalam keluarga maupun di masyarakat.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui gambaran kualitas hidup Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dan faktor -faktor yang mempengaruhi kualitas hidup ODHA di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof Dr Sulianto Saroso.
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional, teknik pengambilan sample menggunakan cara consecutive sampling dengan jumlah sample sebanyak 420 orang. Analisis bivariat menggunakan chi-Square dan analisis multivariat menggunakan regresi logistik.
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan (nilai p = 0,001), Spiritual (nilai p = 0,003), Depresi (nilai p 0,000), kepatuhan minum ARV (nilai p 0,000), lama terapi ARV (nilai p 0,002), Stigma (nilai p 0,000), dukungan sosial (nilai p 0,003), dukungan keluarga (nilai p 0,001), dukungan sebaya (0,002) dengan kualitas hidup ODHA. Faktor yang paling mempengaruhi kualitas hidup ODHA adalah kepatuhan minum ARV dengan OR 4,250 . yang berarti ODHA yang patuh dalam meminum ARV akan memiliki kualitas hidup yang tinggi 4,250 kali daripada ODHA yang tidak patuh dalam meminum ARV.

HIV infection in the body act as stressors that will cause problems for individuals infected among physical, psychological and psychosocial. Physical problems related to the course of the disease and complications of the central nervous system, starting from the symptoms appearance of the disease, the decline of the immune system. Psychosocial and psychological problems experienced by HIV sufferers include the emergence of stigma and discrimination within the family and in society.
The aims of this study were to quality of life of People Living With HIV/AIDS and factors influencing the quality of life People Living With HIV/AIDS In Infectious Disease Hospital Prof Dr Sulianti Saroso.
This study used a cross sectional design, the sampling technique used consecutive sampling method with a total sample of 420 people. Bivariate analysis used chi-square and multivariate analysis used logistic regression.
The results showed significant correlation between work (p = 0.001), Spiritual (p = 0.003), Depression (p value 0.000), adherence to taking ARV (p value 0.000), duration of ARV therapy (p value 0.002), Stigma (p value 0,000), social support (p value 0.003), family support (p value 0.001), peer support (0.002) with quality of life People Living With HIV/AIDS. The most influencing factor for the quality of life People Living With HIV/AIDS is the adherence to taking ARV with OR 4.250 which means that People Living With HIV/AIDS who are obedient in taking ARVs will have a high quality of life of 4.250 times than People Living With HIV/AIDS who are not obedient in taking ARV.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T53870
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Pradipta
"Human Immunodeficiency Virus (HIV) menjadi masalah utama kesehatan global yang sedang dihadapi oleh berbagai negara, termasuk Indonesia. Penderita HIV lebih rentan untuk terkena infeksi oportunistik, salah satunya tuberkulosis. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan infeksi oportunistik tuberkulosis pada pasien HIV di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso tahun 2015-2019. Studi case control dilakukan dengan menggunakan data register pra-ART dan rekam medis. Jumlah sampel sebanyak 465 responden, yang terdiri dari 155 kasus dan 310 kontrol. Pengambilan sampel kasus menggunakan total sampling, sedangkan kontrol menggunakan simple random sampling. Analisis yang dilakukan adalah analisis univariat, bivariat menggunakan chi-square, dan multivariat menggunakan regresi logistik. Hasil uji regresi logistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna secara statistik antara stadium HIV dengan infeksi oportunistik tuberkulosis (OR=33,03; 95% CI : 14,96 – 72,89) dengan nilai p <0,001, tetapi tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara usia, jenis kelamin, jumlah CD4, jumlah viral load, pendidikan, status bekerja, perilaku seks berisiko, transfusi darah, dan penggunaan napza suntik dengan infeksi oportunistik tuberkulosis. Dibutuhkan perhatian khusus terhadap pasien HIV stadium lanjut (III-IV) untuk segera melakukan pemeriksaan tuberkulosis (TB).

Human Immunodeficiency Virus (HIV) is a major global health problem currently being faced by countries, including Indonesia. People with HIV are more susceptible to opportunistic infections, including tuberculosis. This study aims to identify the factors associated with opportunistic tuberculosis infection in HIV patients in RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso in 2015-2019. Case control study was carried out using pre-ART register data and medical records. The total sample of 465 respondents consists of 155 cases and 310 controls. The case samples were collected using a total sampling technique, while the control ones were collected using a simple random sampling technique. The analysis conducted was univariate analysis, bivariate analysis using chi-square, and multivariate analysis using logistic regression. The logistic regression test results showed that there was a statistically significant relationship between the stage of HIV and opportunistic tuberculosis infection (OR=33,03; 95% CI: 14,96 – 72,89) with p value <0,001, but there was no significant relationship between age, sex, CD4 cell count, viral load, education, work status, sexual behavior, blood transfusion, and injection drug use with opportunistic tuberculosis infection. Special attention is needed for patients with advanced HIV stage (III-IV) to immediately conduct a tuberculosis (TB) examination.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinulingga, Elysabeth
"Latar belakang: Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) mengalami berbagai masalah setelah terdiagnosa HIV baik secara fisik maupun psikososial. Hal ini menyebabkan ODHA menutup diri agar mereka tak diketahui orang lain karena merasa terstigma. Masalah ini dapat berlanjut ODHA menstigma dirinya dan dapat menularkan HIV lagi bagi pasangannya atau orang lain. Tujuan penelitian ini untuk memperoleh model intervensi spiritual peka budaya Karo dan menguji model tersebut. Metode penelitian: Tahap I: penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif dan kuantitatif. Selanjutnya dikembangkan model intervensi spiritual peka budaya Karo. Mengembangkan intervensi menggunakan metode PATH (Problem – Analysis – Test – Help) yang diusulkan oleh Buunk dan Vugt (2008). Tahap II: uji coba model dengan quasi experiment with control group design. Jumlah sampel kelompok intervensi 60 orang dan 60 orang kelompok kontrol. Hasil: hasil penelitian tahap I di penelitian kualitatif dihasilkan 14 thema, dan hasil kualitatif didapatkan Odds Ratio (OR) dari variable Religiusitas adalah 3,5 (5%CI: 2,324-5,329), artinya warga jemaat GBKP yang religiusitas nya kuat akan mempunyai odds (berisiko) mencegah perilaku penularan HIV sebesar 3,5 kali lebih tinggi dibandingkan warga jemaat GBKP yang tidak memiliki Religiusitas kuat di Kabupaten Karo. Lalu model ini dikembangkan berdasarkan teori cultural care dan masukan dari para pakar. Hasil tahap II: Uji korelasi kanonikal secara kolektif fungsi kanonikal signifikan dengan nilai p = 0,0001 di fungsi 1 dan 0,003 di fungsi 2. Kesimpulan: ada hubungan yang kuat antara intervensi spiritual peka budaya Karo terhadap stres dan stigma. Artinya pemberian intervensi model spiritual peka budaya Karo dengan menambah pengetahuan, dukungan sosial dan dukungan keluarga dapat mengurangi stres dan stigma sebesar nilai korelasinya. Rekomendasi: akan dilakukan studi lanjutan tanggapan perawat untuk persfektif ke ODHA.

Introduction: People living with HIV/AIDS (PLWHA) experience various problems after being diagnosed with HIV, both physically and psychosocially. These problems cause PLWHA to close themselves so that they are not known to others because they feel stigmatised. This problem can cause PLWHA to continue stigmatising themselves and transmit HIV again to their partners or other people. This study aimed to develop a Karo culture-sensitive spiritual intervention model to prevent HIV stigma. Methods: Phase I: this study uses qualitative and quantitative research design. Furthermore, a model of spiritual intervention sensitive to Karo culture was developed. Develop interventions using the PATH (Problem – Analysis – Test – Help) method proposed by Buunk and Vugt (2008). Phase II: model trials with quasi-experiment with control group design. The total sample of the intervention group was 60 people and 60 people of the control group. Result: the results of the phase I study in the qualitative study produced 14 thema, and the qualitative results obtained the Odds Ratio (OR) of the Religiosity variable was 3.5 (5%CI: 2,324-5,329), meaning that GBKP congregation residents whose religiosity is strong will have odds (risk) of preventing HIV transmission behavior by 3.5 times higher than GBKP congregation residents who do not have strong religiosity in Karo Regency. Then this model was developed based on the theory of cultural care and input from experts. Phase II results: Test the canonical correlation collectively of significant canonical functions with p values = 0.0001 in function 1 and 0.003 in function 2. Conclusion: there is a strong link between Karo culture's sensitive spiritual interventions to stress and stigma. This means that the intervention of the Karo culturally sensitive spiritual model by increasing knowledge, social support and family support can reduce stress and stigma by the correlation value. Recommendation: a follow-up study of nurse responses to effectiveness to PLHIV will be carried out."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Talitha El Zhafira Hadi
"Angka mortalitas HIV/AIDS hingga saat ini masih menjadi permasalahan kompleks di tingkat global, terutama pada negara berkembang. Terapi Antiretroviral (ARV) menjadi salah satu bentuk pencegahan berkembangnya kasus HIV menjadi AIDS. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa ODHA yang telah memulai terapi ARV pun masih berisiko tinggi untuk mengalami kematian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kepatuhan terapi antiretroviral terhadap kejadian mortalitas pada pasien HIV/AIDS di RSUD Kabupaten Tangerang periode tahun 2006-2022. Desain studi yang digunakan adalah kohort restrospektif. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 924 pasien yang diobservasi melalui rekam medis pasien. Kelompok exposed yaitu 510 pasien yang patuh terapi ARV dan kelompok non-exposed yaitu 414 pasien yang tidak patuh terapi ARV. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa probabilitas kumulatif survival dan median survival time secara keseluruhan adalah 52,3% dan 7 tahun. Rata-rata waktu pengamatan survival pada tahun ke 8 dan median survival time pada tahun ke 7 pengamatan. Selain itu, diketahui pula terdapat pengaruh antara kepatuhan terapi ARV terhadap kejadian mortalitas pasien HIV/AIDS dengan nilai AdjHR = 1,71 (95% CI: 1,3-3,18) setelah mengendalikan variabel usia dan infeksi oportunistik. Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan dan pertimbangan dalam meningkatkan kepatuhan ODHA dalam menjalankan terapi ARV di kemudian hari supaya tren kematian dapat ditekan.

The mortality rate of HIV/AIDS is still being a complex problem at the global level, especially in developing countries. Antiretroviral Therapy (ARV) is one form of prevention of the development of HIV cases into AIDS. However, it is undeniable that people living with HIV who have started ARV therapy are still at high risk of death. This study aims to determine the effect of adherence to antiretroviral therapy on the survival of HIV/AIDS patients at General Hospital of Tangerang Regency for the period 2006-2022. The study design used a retrospective cohort design. The exposed group was 510 patients who were adherent to ARV therapy and the non-exposed group was 414 patients who were not adherent to ARV therapy. Based on the results of the analysis, it is known that the cumulative probability of survival and median survival time as overall are 52.3% and 7 years. The average survival observation time at year 8 and median survival time at year 7 observation. In addition, it is also known that there is an correlation between adherence to ARV therapy on the mortality incidence of HIV/AIDS patients with AdjHR = 1.71 (95% CI: 1,3-3,18) after controlling for age and opportunistic infection variables. The results of this study can be a reference and consideration in improving the compliance of PLHIV in carrying out ARV therapy in the future so that the mortality trend can be suppressed."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arum Zulaikhah
"Kasus baru HIV di Indonesia cenderung terus mengalami peningkatan. Sedangkan, tren di dunia mengalami penurunan. LSL merupakan kelompok risiko tinggi. Pencegahan penularan HIV dilakukan dengan perubahan perilaku. Studi ini menggunakan studi crossectional pada 1.161 sampel hasil STBP 2015 pada kelompok LSL. Variabel independennya adalah pengetahuan tentang pencegahan dan penularan HIV-AIDS, dan pengetahuan status HIV diri sendiri. Variabel dependennya adalah perilaku seks berisiko HIV-AIDS yang terdiri dari perilaku jumlah pasangan seks>1 dan penggunaan kondom tidak konsisten. Variabel lain terdiri dari umur, status pekerjaan, pendidikan, akses ke pelayanan pencegahan penularan HIV-AIDS, dan akses internet tentang pencegahan dan penularan HIV-AIDS. Penelitian ini menggunakan analisis univariat, dan bivariat. Analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan antara variabel independen, dan variabel lain dengan perilaku seks berisiko HIV-AIDS. Terdapat hubungan pengetahuan status HIV diri sendiri dan pelayanan pencegahan penularan HIV-AIDS dengan jumlah pasangan seks>1 PR=0,85(0,74-0,99) dan PR=0,83(0,72-0,96). Hal ini kuat hubungannya dengan perceived behavioral control pada LSL. Hubungan antara pengetahuan status HIV, pelayanan pencegahan dan penularan HIV-AIDS, serta akses terhadap internet tentang pencegahan penularan HIV-AIDS dengan penggunaan kondom yang tidak konsisten PR=1,14(1,02-1,28), PR=1,18(1,06-1,33), PR=1,16(1,02-1,31). Maka, perlu program peningkatan pengetahuan status HIV diri sendiri, penguatan pelayanan pencegahan penularan HIV-AIDS.

HIV new cases in Indonesia increasing, while global is decreasing. MSM is high risk group. Prevention of HIV transmission can to be done with behavioral change. This study applied crossectional study on 1,161 samples of 2015 IBBS results in MSM. Independent variables in this study are knowledge about prevention and transmission of HIV-AIDS, and knowledge of their own HIV status. The dependent variable is HIV-AIDS sexual behavior risk, such as having partner>1 and inconsistency of condom use. Other variables are age, jobs status, education level, access to prevention and transmission of HIV-AIDS services, and internet access about prevention and transmission HIV-AIDS. This research implemented univariate and bivariate analysis. Result of bivariate analysis reflects that there is no association between independent and other variables with HIV-AIDS risk sexual behavior. There is a relationship between knowledge of their own HIV status and services for prevention, transmission of HIV-AIDS with the number of sex partners>1 PR=0.85(0.74-0.99) and PR=0.83(0.72-0.96). This has significant association with perceived behavioral control among MSM. Association between knowledge of their HIV status and knowledge about prevention and transmission of HIV-AIDS as well as access to internet with incosistency condom use are PR=1,14(1,02-1,28), PR=1,18(1,06-1,33), PR=1,16(1,02-1,31). Hence, program strengthening for increasing knowledge of HIV status as well as HIV-AIDS prevention and transmission are essential."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahriyani
"Latar belakang : penegakkan diagnosis TB paru pada pasien HIV dapat dilakukan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan klinis. Rekomendasi WHO 2007, memperbolehkan penegakan diagnosis berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dengan dan tanpa melalui pemeriksaan mikrobiologis. Penelitian ini bertujuan mendapatkan perbedaan karakteristik gambaran radiografi toraks pasien HIV dengan TB paru yang didiagnosis berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan klinis.
Metode : Penelitian ini adalah comparative cross sectional study. Subyek penelitian diambil secara consecutive dan dipilih berdasarkan catatan hasil pemeriksaan BTA sputum, kultur, Genexpert®, CD4+, dan radiografi toraks. Subyek penelitian dikelompokkan menjadi mikrobiologis dan klinis. Dilakukan pembacaan ulang radiografi toraks.
Hasil : gambaran radiografi toraks dengan frekuensi terbanyak pada kelompok diagnosis mikrobiologis adalah infiltrat/konsolidasi, fibroinfiltrat, limfadenopati, kavitas dan kalsifikasi. Sisanya efusi pleura, milier, fibrosis, bronkiektasis, pneumotoraks dan normal. Pada kelompok diagnosis klinis, gambaran radiografi toraks dengan frekuensi terbanyak adalah infiltrat/konsolidasi, kavitas, limfadenopati, fibroinfiltrat dan sisanya kalsifikasi, efusi pleura, milier, fibrosis, bronkiektasis, dan normal. Terdapat perbedaan bermakna karakteristik gambaran radiografi toraks fibroinfiltrat pada kelompok diagnosis mikrobiologis dan klinis. Frekuensi fibroinfiltrat terbanyak adalah di kelompok mikrobiologis dengan sebaran lokasi tersering di lapangan atas paru.
Kesimpulan : Terdapat perbedaan bermakna karakteristik gambaran radiografi toraks fibroinfiltrat pada kelompok diagnosis mikrobiologis dan klinis dengan lokasi tersering di lapangan atas paru.

Background : To diagnose Pulmonary Tuberculosis in HIV patient can be done based on microbiology examination and clinically. WHO 2007 recommendation, allowing diagnosis based on clinical examination with and without microbiological examination. This study aims to obtain the different characteristics of chest radiographs of HIV patients with pulmonary TB were diagnosed based on clinical and microbiological examination.
Methods : This study is a comparative cross-sectional study. Subjects were taken consecutively and selected based on the results of sputum smear examination, culture, Genexpert®, CD4+, and chest x-ray. The study subjects were grouped into microbiological and clinical. Then we do expertise review.
Results : The most chest x-ray finding in the microbiological group is infiltrates/ consolidation. Following by fibroinfiltrat, lymphadenopathy, cavities and calcification. The rest are pleural effusion, miliary, fibrosis, bronchiectasis, pneumothorax and normal . In the group of clinical diagnosis, the highest frequency chest x-ray finding is infiltrates/ consolidation. Following by cavities, lymphadenopathy, fibroinfiltrat and the rest are calcification, pleural effusion, miliary, fibrosis, bronchiectasis and normal. There is significant differences of fibroinfiltrat on microbiological and clinical diagnosis groups. The highest frequency of fibroinfiltrat is in the microbiological group with the most common sites in the upper of the lung field.
Conclusions : There is significant differences of fibroinfiltrat on microbiological and clinical diagnosis groups with the most common sites in the upper lung field.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Komalasari
"Koinfeksi HIV dan tuberkulosis masih merupakan ancaman kesehatan global saat ini. Diperkirakan sebanyak 1.4 juta kasus tuberculosis pada pasien HIV (+) dilaporkan pada tahun 2007. HIV merupakan risiko terbesar untuk tuberculosis, risiko berkembang menjdai TB laten 20 kali lipat. Tuberkulosis penyebab utama kematian pada pasien HIV.Pengobatan tuberculosis paru pada pasien HIV harus dimulai sesegera mungkin saat diagnosis ditegakkan, inisiasi dari pengobatan berkorelasi dengan menurunnya mortalitas dan risiko penularan infeksi tuberculosis.
Tujuan dari penelitian ini adalah menilai perubahan radiografi toraks pada pasien HIV dengan tuberculosis selama pemberian obat anti tuberkulosis (OAT) di rumah sakit Cipto Mangunkusumo. Semua pasien yang menjalani pemeriksaan radiografi toraks proyeksi AP atau PA sebelum pengobatan, setelah 2 bulan dan 6 bulan setelah pengobatan diberikan dan juga bulan ke 9 dan 12 apabila pengobatan dilanjutkan. Kemudian perubahan scoring lesi radiografi toraks diamati dan dievaluasi.
Hasil penelitian adalah statistic deskriptif menggambarkan perubahan scoring lesi radiogafi toraks sebelum dan 2 bulan serta setelah pengobatan 2 bulan dan 6 bulan setelah terapi diberikan. Perubahn yang terlihat pada radiografi toraks membaik 33 pasien (60%), menetap 9 pasien (16.4%) dan memburuk 13 pasien (23.6%). Perubahan lain pada bulan ke-2 dan ke-6 adalah; membaik 43 pasien (78.2%), menetap 6 pasien (10.9%) dan memburuk 6 pasien (10.9%). Kemungkinan kecurigaan kasus imune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS) terdapat pada 3 pasien (5.45%). Perubahan skoring lesi pada bulan ke-2 dan ke-6 dianalisa dengan menggunakan Friedman Rank test dengan nilai confidence interval CI 95% ( p = 0.000).
Kesimpulan : Perubahan skoring lesi pada radiografi toraks pasien HIV dengan tuberkulosis paru lebih terlihat membaik setelah 6 bulan sejak diberikan obat anti tuberkulosis. Radiografi toraks masih merupakan modalitas bermakna dalam mengevaluasi perubahan lesi pada pasien HIV dan tuberculosis paru.

HIV and tuberculosis coinfection are major global health threats recently. It was estimated1.4 milionnew tuberculosis cases in patient with HIV- positive were reported in 2007. HIVconfers the greatest risk for tuberculosis, increasing the risk of latentTB reactivation 20-fold.Tuberculosis is a leading cause of death among patients with HIV.The initiation treatment of lung tuberculosis in HIV patients beginsmust be started as early as possible at the time when diagnose is made, the initiation treatment of tuberculosis correlated with decreasing mortality and risk of transmission tuberculosis infection.
The aim of this research is to observe changes of chest radiography in HIV patients with tuberculosis during administration of anti tuberculous therapy at CiptoMangunkusumo hospital. All of patients have taken chest radiography with PA or AP projection before the treatment begin and after 2 and 6 months therapy was given and also after 9 and 12 months if therapy continued, than the changes scoring lesion of chest radiography finding is observed and examined.
Descriptive statistic is provided as scoring lesion changes of chest radiography devided into changes chest radiography before and 2 month after anti tuberculous therapy was given and changes at 2 months to 6 months therapy was given. In group before and 2 months therapy, the changes was seen in chest radiography; better in 33 patients (60%), stationary condition in 9 patients (16.4%) and worse 13 patients (23.6%). Another changes in 2 and 6 months therapy was seen; better in 43 patients (78.2%), stationary condition in 6 patients (10.9%) and worse 6 patients (10.9%). Imune reconstitution inflammatory syndrome was suspected in 3 patients (5.45%).
The changes of scoring lesion in 2 and 6 months therapy was examined used Friedman Rank test with confidence interval CI 95% ( p = 0.000).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Mayasari
"Pendahuluan: pandemic Covid-19 yang berlangsung saat ini masih menjadi masalah global termasuk ODHA. Dimana ODHA merupakan seorang individu dengan HIV AIDS yang memiliki daya tahan tubuh yang lemah atau imunodefisiensi sehingga rentan sekali terhadap paparan penyakit yang disebabkan oleh virus Covid-19. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana pengaruh hubungan persepsi kerentanan dan sikap ODHA terhadap perilaku pencegahan Covid-19. Metode: menggunakan desai penelitian cross sectional, dengan jumlah sampel sebanyak 106 orang responden di Yayasan lekas bogor. Teknik sampling yang digunakan adalah convenience sampling. Hasil penelitian menunjukan terdapat hubungan yang signifikan pada persepsi kerentanan dengan perilaku upya pencegahan covid-19 (p<0,03) san sikap ODHA terhadap perlaku upaya pencegahan covid-19 (p<0,01). Kesimpulan: terdapat hubungan yang signifikan pada persepsi kerentanan dan sikap ODHA dengan perilaku upaya pencegahan covid-19. Saran: dilakukannya edukasi terhadap respon yang negatif mengenai persepsi kerentanan dan sikap ODHA terhadap perilaku upaya pencegahan covid-19 dan memfasilitasi permasalahan yang di hadapi ODHA.

Introduction: the ongoing Covid-19 pandemic is still a global problem, including PLHIV. Where PLWHA are individuals with HIV AIDS who have weak immune systems or are immunodeficient so they are very vulnerable to exposure to diseases caused by the Covid-19 virus. The purpose of this study was to determine the influence of the relationship between perceptions of vulnerability and attitudes of PLHIV on Covid-19 prevention behavior. Methods: using a cross-sectional research design, with a total sample of 106 respondents at the Lekas ​​Bogor Foundation. The sampling technique used is convenience sampling. The results showed that there was a significant relationship between perceptions of vulnerability and the behavior of Covid-19 prevention efforts (p<0.03) and the attitude of PLWHA towards the treatment of Covid-19 prevention efforts (p<0.01). Conclusion: there is a significant relationship between perceptions of vulnerability and attitudes of PLHIV with the behavior of Covid-19 prevention efforts. Suggestion: conduct education on negative responses regarding perceptions of vulnerability and attitudes of PLWHA towards the behavior of efforts to prevent Covid-19 and facilitate the problems faced by PLWHA."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theodorus Hedwin Kadrianto
"Tujuan: mengetahui tingkat pengetahuan, persepsi, sikap, dan tindakan dokter gigi di DKI Jakarta terhadap HIV/AIDS dan prosedur kontrol infeksi, serta kesediaan merawat pasien HIV/AIDS.
Metode: Survei ini memiliki desain potong lintang, dan dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada 189 dokter gigi di 15 kecamatan di provinsi DKI Jakarta yang dipilih secara acak. Kriteria eksklusi penelitian ini adalah dokter gigi yang memiliki pengalaman studi pascasarjana dalam bidang kedokteran maupun kedokteran gigi.
Hasil: Mayoritas responden memiliki tingkat pengetahuan yang rendah (76,7%) dan sikap yang negatif (58,2%), dengan persepsi dan tindakan berada pada tingkat netral. Dari 5 parameter yang diujikan dalam bagian pengetahuan, nilai terendah ditunjukkan pada parameter tatalaksana gigi dan mulut, sedangkan nilai terbaik pada parameter transmisi. Hanya 47,1% responden yang bersedia merawat pasien HIV/AIDS. Alasan utama dokter gigi yang belum bersedia merawat pasien HIV adalah rasa takut akan risiko transmisi dan kurangnya pengetahuan mengenai tatalaksana gigi mulut pada pasien HIV/AIDS. Analisis multivariat menunjukkan sejumlah faktor yang dapat dijadikan prediktor kesediaan merawat pasien HIV/AIDS: persepsi positif (OR 7,26; 95% CI, 1,33-39,72; p = 0,022), sikap netral (OR 6,63; 95% CI, 2,99-14,68; p = 0,000), tidak bekerja di praktik pribadi (OR 3,66; 95% CI, 1,01-13,27; p = 0,048), dan jenis kelamin pria (OR 3,48; 95% CI, 1,36-8,90; p = 0,009).
Kesimpulan: Kesediaan responden penelitian ini paling kuat berkorelasi dengan sikap responden, diikuti persepsi dan tindakan. Pengetahuan berkorelasi dengan persepsi dan sikap; persepsi berkorelasi dengan pengetahuan, sikap, dan kesediaan; sikap berkorelasi dengan pengetahuan, persepsi, tindakan, dan kesediaan; serta tindakan berkorelasi dengan persepsi, sikap, dan kesediaan.

Objectives: The purpose of this study was to assess knowledge, perception, attitudes, and practices of dentists in Jakarta towards HIV/AIDS and infection control procedures, and willingness to treat HIV/AIDS patients.
Methods: A cross-sectional survey was conducted using a self-administered questionnaire toward 189 dentists in 15 subdistricts randomly selected in Jakarta. Dentist with experience of any postgraduate study related to medicine or dentistry was excluded.
Results: Majority of respondents had poor knowledge (76.7%) and attitudes (58.2%), with average level of perception and practices associated with dental treatment for patients with HIV/AIDS. Among 5 topics in the knowledge section, the lowest result was about dental management, while the highest was about HIV transmission. Only 47.1% showed willingness to give dental treatment for patients with HIV/AIDS. Two main reason of refusal reported by the dentists was fear of HIV transmission and lack of knowledge about dental management for HIV/AIDS patients. Multivariate analysis revealed several factors which could be used to predict dentist willingness: positive perception (OR 7.26; 95% CI, 1.33-39.72; p = 0.022), average attitude (OR 6.63; 95% CI, 2.99-14.68; p = 0.000), not working in private practice (OR 3.66; 95% CI, 1.01-13.27; p = 0.048), and male gender (OR 3.48; 95% CI, 1.36-8.90; p = 0.009).
Conclusion: Willingness of dentists in this study had strongest correlation with attitudes, followed by perception and practices. Knowlege was correlated with perception and attitudes; perception was correlated with knowledge, attitudes, and willingness; attitudes was correlated with knowledge, perception, practices, and willingness; and practices was correlated with perception, attitudes, and willingness.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>