Hasil survei internal tahun 2018 di Divisi P PT X menunjukkan adanya permasalahan dalam tingkat engagement karyawan berusia milenial. Berdasarkan permasalahan ini maka dilakukan penelitian yang terdiri dari dua studi, studi 1 merupakan studi korelasi untuk menguji hubungan antara variabel empowering leadership dan proactive personality dengan work engagement. Penelitian ini menggunakan alat ukur UWES-9 untuk mengukur variabel work engagement, ELQ untuk mengukur variabel empowering leadership, dan PPS untuk mengukur variabel proactive personality. Hasil studi 1 menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara empowering leadership dengan work engagement (r = .43, p < .05) dan antara proactive personality dengan work engagement (r = .54, p < .05). Dari hasil studi 1 ini, peneliti lalu melakukan studi 2 dengan menyusun intervensi Empowering Millenial Program yang bertujuan untuk meningkatkan perilaku empowering leadership pada atasan agar dapat meningkatkan work engagement karyawan milenial. Penelitian ini hanya berfokus pada empowering leadership sebagai satu variabel yang diintervensi sebab permasalahan yang ditemukan di tahap diagnosis lebih banyak berkaitan dengan kepemimpinan dan Divisi P telah memiliki program mandiri berkaitan dengan variabel proactive personality. Program intervensi diikuti 7 atasan yang dipersepsi oleh bawahan memiliki skor empowering leadership sedang dan rendah. Program intervensi ini terbukti efektif untuk mengingkatkan perilaku empowering leadership atasan dan work engagement dari karyawan milenial di Divisi P PT X yang ditunjukkan oleh adanya perbedaan skor variabel empowering leadership (Z=-2,37, p < .05) dan work engagement (Z=-2,98, p < .05) yang signifikan sebelum dan sesudah intervensi diberikan.
The result of an internal survey in 2018 from Division P of PT X showed some issues related to the engagement level of millennial employees. Based on these issues, a study consisting of two studies was conducted, study 1 was a correlational study to examine the relationship between empowering leadership and proactive personality with work engagement. This study uses the UWES-9 to measure work engagement, ELQ to measure empowering leadership, and PPS to measure proactive personality. Results of study 1 show that there is a significant relationship between empowering leadership and work engagement (r = .43, p <.05) and between proactive personality and work engagement (r = .54, p <.05). Referring to the results of study 1, the researchers then design and implement Empowering Millennial Program intervention on study 2 that aims to improve manager’s empowering leadership behavior and thus increase the work engagement of millennial employees. This study focuses on empowering leadership as a single intervention variable because the problems found in the diagnosis phase are more related to leadership issues and also Division P has its program related to the proactive personality variable. The intervention program was followed by 7 managers who were perceived by subordinates as having moderate and low empowering leadership scores. This intervention program was effective in increasing the manager’s empowering leadership behavior and work engagement of millennial employees in Division P of PT X since the difference in the score of empowering leadership ((Z = -2.37, p <.05) and work engagement (Z = -2.98, p <.05) before and after the intervention was significant.
"Penelitian ini adalah tentang hubungan zat besi dengan kognisi. Kognisi adalah aktivitas mental mengenal dan mengetahui tentang dunia yang mencakup mendapatkan, mengolah, menyimpan dan mengeluarkan informasi. Proses-proses mental yang terlibat diantaranya adalah persepsi, perhatian, belajar konsep, memecahkan masalah, inteligensi dan lain-lain.
Akhir-akhir ini kegiatan kognitif dipelajari sebagai suatu aktivitas memproses informasi yang dapat dibagi dalam beberapa tahapan kegiatan, dimulai dengan masuknya rangsangan dari lingkungan, rangsangan diberi perhatian dan diteruskan ke ingatan jangka pendek, diolah, diproses diteruskan ke ingatan jangka panjang. Informasi kemudian melalui proses elaborasi, kategorisasi, pembentukan konsep disimpan dalam ingatan jangka panjang untuk kemudian digunakan dan dikeluarkan.
Salah satu hambatan pemrosesan informasi ini adalah defisiensi zat besi. Zat besi merupakan salah satu mineral yang sangat esensial dalam tubuh, zat besi diperlukan untuk pembentukan butir-butir darah merah dalam bentuk hemoglobin dan sebagai ko-faktor bekerjanya enzim-enzim tertentu. Hemoglobin sebagai pengangkut oksigen diperlukan dalam setiap sel dalam tubuh termasuk sel-sel dari jaringan otak.
Yang ingin diketahui adalah apakah defisiensi zat besi mempengaruhi fungsi kognitif secara negatif. Dan apakah perlakuan zat besi dapat memperbaiki fungsi kognitif.
Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut dilakukan dua studi. Pertama suatu penelitian eks post fakto yaitu ingin mengetahui bagaimana pengaruh status defisiensi zat besi tanpa anemi dan anemi defisiensi zat besi terhadap kognisi khususnya inteligensi verbal, perhatian dan belajar konsep. Kedua suatu penelitian eksperimental "double blind iron supplementation", yaitu ingin mengetahui bagaimana pengaruh perlakuan zat besi terhadap kognisi, khususnya inteligensi verbal, perhatian dan belajar konsep.
Sampel adalah 176 anak prasekolah dari ibu-ibu pemetik teh yang bertempat tinggal di perkebunan teh di daerah Pengalengan Kabupaten Bandung. 176 anak-anak prasekolah ini dibagi tiga kelompok yaitu :
1. Kelompok Sehat dengan kriteria Hemoglobin : Hb > = 11 g/dl, Transferrin Saturation: TS > = i6 %, Serum Ferritin : SF > = 12 ug/l, Free Erythrocyte Protoporphyrin: FEP < = 100 ug/dl RBC. 2. Kelompok Defisiensi zat besi tanpa anemi dengan kriteria Hb > = 11 g/dl, dan dua dari tiga kriteria TS < 16%, SF < 12 ug/l, FEP > 100 ug/dl RBC. 3. Kelompok Anemi defisiensi zat besi dengan kriteria Hb < 11 g/dl, dan dua dari tiga kriteria TS < 16 %, SF < 12 ug/l, FEP > 100 ug/dl RBC. Tiga kelompok ini dibagi lagi atas kelompok yang diberi perlakuan zat besi dan placebo, sehingga semua menjadi 6 kelompok.Perlakuan zat besi dilakukan selama 8 minggu, preparat besi yang diberikan berbentuk cairan sirop ferrosulfat sebanyak 10 ml dengan konsentrasi 50 mg elemental besi setiap hari selama 6 hari satu minggu. Plasebo juga dalam bentuk cairan sirop yang serupa dengan warna yang sama tetapi tidak mengandung zat besi.
Sebelum dan sesudah perlakuan anak-anak ini diperiksa hematologi, antropometri dan diuji kognitif. Pengumpulan data sosial ekonomi dilakukan satu kali. Tes yang digunakan untuk uji kognitif adalah tes Kosakata Gambar Peabody yang mengukur inteligensi verbal, tes Belajar Diskriminasi untuk mengukur perhatian dan tes Belajar kejanggalan untuk mengukur belajar konsep.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa :
Perlakuan zat besi dapat merubah dengan bermakna kadar hemoglobin, serum ferritin, transferrin saturation dan kadar free erythrocyte protoporphyrin pada anak-anak yang menderita defisiensi zat besi.Ditemukan hubungan status besi dengan besarnya keluarga anak dan status besi dengan umur anak.
Status defisiensi zat besi tanpa anemi dan status anemi defisiensi zat besi tidak berhubungan dengan inteligensi verbal. Inteligensi verbal tidak terpengaruh secara negatif oleh defisiensi zat besi. Perlakuan zat besi juga tidak berhubungan dengan inteligensi verbal. Pada awal penelitian status defisiensi zat besi tanpa anemi tidak menunjukkan adanya hubungan dengan perhatian dan belajar konsep. Perlakuan dengan zat besi memperlihatkan bahwa efek pemberian zat besi terhadap perhatian dan belajar konsep anak-anak berbeda secara bermakna dengan efek pemberian zat besi terhadap kelompok Sehat. Pemberian zat besi pada kelompok defisiensi zat besi bermanfaat dalam meningkatkan perhatian dan belajar konsep anak-anak defisiensi zat besi tanpa anemi.Anemi defisiensi zat besi mempengaruhi perhatian dan belajar konsep secara negatif. Perlakuan dengan zat besi memperlihatkan bahwa efek pemberian zat besi terhadap perhatian dan belajar konsep anak-anak anemi defisiensi zat besi berbeda secara bermakna dengan efek pemberian zat besi terhadap kelompok Sehat. Pemberian zat besi kepada kelompok anemi defisiensi zat besi bermanfaat dalam meningkatkan perhatian dan belajar konsep, tetapi tidak meningkatkan perhatian dan belajar konsep anak-anak sehat.
"