Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 106025 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agustin Dea Prameswari
"ABSTRAK
Tesis ini menyajikan secara lebih dalam pengalaman empat perempuan sebagai korban konstruksi hukum maskulin dalam kasus infantisida, yaitu Anna 25 tahun , Betty 17 tahun , Cecil 28 tahun , dan Diana 19 tahun . Keempat perempuan tersebut sebagai individu yang terlahir berjenis kelamin perempuan telah memperlihatkan bahwa sistem seks gender dalam masyarakat patriarki nyatanya menghasilkan simbol identitas feminin bagi perempuan, yaitu perempuan harus memiliki moralitas relasional dalam bentuk kepedulian akan kebahagiaan dan kebutuhan orang-orang di sekitar mereka, terutama keluarga dan pasangan. Moralitas relasional yang merugikan perempuan tersebut mengakibatkan perempuan mengalami kehamilan tak diinginkan dan berujung pada jeratan kasus hukum pembunuhan bayi. Penelitian ini ditulis dengan menggunakan perspektif feminis feminis radikal, etika feminis, dan yurisprudensi feminis . Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian studi kasus berperspektif feminis yang memungkinkan peneliti untuk mengetengahkan pengalaman perempuan di dalam fenomena infantisida. Pada akhirnya, penelitian ini menemukan bahwa sistem seks gender adalah akar masalah dari ketidakadilan dalam moralitas relasional kebijakan penghukuman terhadap perempuan dalam kasus infantisida. Studi feminisme adalah suatu studi yang juga menghadirkan langkah advokasi sebagai bentuk pemberdayaan terhadap perempuan. Melalui tulisan ini, saya dapat mengatakan bahwa saya telah melakukan suatu advokasi, yaitu menghadirkan narasi suara perempuan dan ikut serta dalam mendampingi kasus hukum infantisida para subyek penelitian.

ABSTRACT
This thesis presents more deeply the experiences of four women as victims in masculine law constructions in the case of infanticide, called Anna 25 years , Betty 17 years , Cecil 28 years , and Diana 19 years . These four women as individuals born as female have shown that the gender sex system in patriarchal society produces a symbol of feminine identity for women, that women must have a relational morality in the form of concern for the happiness and needs for people around them, especially their family and partner. Relational morality that oppress woman resulted in women experiencing an unwanted pregnancy and led to the bondage of legal cases of infanticide. This study was written using a feminist perspective radical feminist, feminist ethics, and feminist jurisprudence . This study used a qualitative approach with a case study method with a feminist perspective that allows researchers to illustrate the experience of women in the phenomenon of infanticide. Ultimately, this study found that gender sex system is the root cause of inequity in the relational morality of women 39 s punishment policies in infanticide cases. Feminism studies is a study which also presents advocacy as a form of empowerment of women. Through this thesis research, I can say that I have done an advocacy, which is to present the voice narration of women and participate in accompanying the case of infanticide law of the research subjects."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rismalita Ayuginanjar
"Pornografi adalah isu sosial yang merugikan perempuan, terlebih jika perempuan terlibat di dalam kasus pornografi. Perempuan pemeran video pornografi yang dijadikan pelaku kejahatan pornografi karena adanya hukum positif di Indonesia sebenarnya adalah korban. Maka, penelitian ini bertujuan untuk memahami pengalaman dua perempuan pemeran video pornografi yang menjadi terpidana bahwa sebenarnya pemeran perempuan dalam video pornografi tersebut merupakan korban dari adanya dominasi patriarki menurut pandangan feminis radikal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan wawancara tidak terstruktur terhadap pengalaman dua narapidana perempuan yang terlibat kasus pornografi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kedua subyek perempuan adalah korban dari pornografi, meskipun secara yuridis, perempuan tersebut adalah pelaku. Perempuan tersebut menjadi korban dari adanya adanya sistem patriarki yang ada di masyarakat, objektifikasi tubuh perempuan dalam video pornografi serta adanya perempuan yang terjebak dalam pemenuhan ekonomi yang jalan satu-satunya dengan menggunakan pornografi sebagai pemenuhan perekonomiannya tersebut. Selanjutnya, dampak yang dirasakan oleh kedua subyek tersebut dari adanya kasus pornografi yang menjerat mereka adalah berpisahnya mereka dengan keluarga sampai adanya percobaan bunuh diri.

Pornography is a social issue that harms women, especially if women are involved in pornography cases. Women acting in pornographic videos who are used as perpetrators of pornographic crimes because of positive law in Indonesia are actually victims. Thus, this study aims to understand the experiences of two women actors in pornographic videos who were convicted that actually the women actors in the pornographic videos were victims of patriarchal domination according to radical feminist views. The method used in this study is qualitative with unstructured interviews on the experiences of two women prisoners who were involved in pornography cases. The results of this study indicate that both women subjects are victims of pornography, even though legally, these women are perpetrators. These women are victims of the existence of a patriarchal system that exists in society, the objectification of women's bodies in pornographic videos and the presence of women who are trapped in fulfilling the economy which is the only way by using pornography to fulfill their economy. Futhermore, the impact felt by the two subjects from the existence of pornography cases which ensnared them are they were separated from their families, and also one of them attempt suicide."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tesalonika
"Penulisan ini membahas mengenai proporsionalitas penghukuman dalam kasus korupsi di Indonesia. Korupsi merupakan pelanggaran hak asasi berupa hak sosial dan ekonomimasyarakat. Sehingga korupsi dipandang sebagai kejahatan luar biasa yang memerlukanpenanganan secara luar biasa pula. Penanganan yang diharapkan adalah hukuman yangdirasa adil. Dalam kasus korupsi, keadilan tersebut diharapkan dapat dirasakan olehmasyarakat karena pelaku korupsi telah merugikan negara dan dampak dari korupsidapat dirasakan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh masyarakat. Untukdapat mendapatkan hukuman yang adil maka hukuman tersebut seharusnyaproporsional. Penulis mengambil data dari laporan yang dibuat ICW yangmenunjukkan bahwa penghukuman dalam kasus korupsi masih belum proporsionalkarena masih banyak terdapat disparitas pemidanaan. Penulis menggunakan dua konsepdalam menentukan hukuman yang proporsional yaitu faktor keseriusan kejahatan danfaktor individu pelaku. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hukumanyang seharusnya diterapkan agar hukuman tersebut proporsional melalui dua konseptersebut dan masyarakat merasakan keadilan.

This writing discusses the proportionality of punishment on corruption cases inIndonesia. Corruption i a violation of human rights in the form of social and economicrights of society. Because of that, corruption is seen as a extraordinary crime thatrequires extraordinary handling as well. The expected treatment is a punishment that isfair. In the case of corruption, justice is expected to be perceived by the society becauseof the perpetrators of corruption have been detetrimental to the State and the impacts ofcorruption could be felt directly and or indirectly by the community. To be able to get afair punishment then the punishment should be proportionate. The author retrieve datafrom a report by ICW that shows the punishment on corruption cases is still notproportional because there are still many dsiparities in punishment. The author uses twoconcepts in determining the punishment that is proportional to the seriousness of crimeand individual factors of the perpetrator. This writing aims to find out how thepunishment should be applied so that the punishment is proportional through the twoconcepts and the public can feel justice through a proportional punishment."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Khairina Sekar Wijayanti
"Kampus merupakan lingkup akademik yang seharusnya bebas dari segala bentuk kekerasan seksual. Namun, realitanya ditemukan bahwa kekerasan seksual juga terjadi di kampus. Studi ini bertujuan untuk melihat respons kampus dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap mahasiswa-mahasiswinya. Studi ini menggunakan analisis data sekunder dari 32 kasus berita yang bersumber dari media di Indonesia dan juga pengakuan korban di media sosial dari tahun 2015 hingga 2021. Hasil temuan data menunjukkan bahwa kampus cenderung memberikan respons yang buruk kepada korban yang secara langsung melaporkan kasusnya ke pihak kampus. Respons buruk yang dilakukan kampus merupakan bentuk dari institutional betrayal. Hasil temuan dalam studi ini juga menemukan bahwa institutional betrayal yang dilakukan kampus menunjukan bahwa rape culture hadir dalam kampus melalui penutupan kasus yang dilaporkan korban. Selain itu, studi ini menggunakan teori viktimologi kritis untuk melihat respons institutional betrayal dan kekerasan seksual yang terjadi di kampus melalui adanya ideal victim dan mahasiswi yang rentan menjadi korban kekerasan seksual.

University as an academic setting should have been free from any form of sexual violence. However, it is found that sexual violence occurs in universities. This study aims to see campuses’ responses to sexual violence against their students. This study uses secondary data analysis from 32 cases from online news and the victims’ confessions on social media from 2015 through 2021. The data findings show that campuses tend to give inadequate responses to students who directly report their cases to the campus. The inadequate response by the campus is a form of institutional betrayal. This study also found that institutional betrayal by campuses showed that rape culture is present on campus with how they tend to deny the victims’ experience. In addition, this study uses critical victimology theory to see institutional betrayal responses and sexual violence that occurs on campus through the existence of ideal victims and female students who are more vulnerable to being victims of sexual violence."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alisya Ameridya
"Dalam memenuhi hak kesehatan seksual dan reproduksi perempuan, dokter obstetri dan
ginekologi (obgyn) memiliki peran yang dibutuhkan untuk menyediakan layanan
kesehatan, namun beberapa dokter obgyn laki-laki melakukan kekerasan seksual kepada
pasien perempuan. Kekerasan seksual ini melanggar hak perempuan untuk mengakses
layanan kesehatan seksual dan reproduksi secara aman dan nyaman. Penelitian ini
bertujuan untuk mengungkap pengalaman pasien perempuan yang menjadi korban
kekerasan seksual oleh dokter obgyn laki-laki dengan menggunakan teori kriminologi
feminis radikal. Melalui pendekatan penelitian kualitatif feminis dengan mewawancarai
tiga pasien perempuan korban, penelitian ini memperlihatkan pengalaman korban
mengenai kekerasan seksual yang dilakukan oleh dokter obgyn laki-laki dan dampak
yang dirasakan korban. Pengalaman dokter obgyn perempuan dan laki-laki selama
menjalani pendidikan dan profesi obgyn juga dibahas dalam penelitian ini. Hasil
penelitian mengungkapkan bahwa akar penyebab kekerasan seksual oleh obgyn laki-laki
terhadap pasien perempuan berasal dari patriarki, yang diwujudkan melalui dominasi/bias
gender laki-laki dalam institusi kedokteran dan objektifikasi tubuh perempuan.
Akibatnya, kekerasan seksual oleh dokter obgyn laki-laki terhadap pasien perempuan
terjadi melalui kerentanan berlapis yang dibentuk oleh relasi kuasa yang timpang berbasis
model hubungan paternalistik dan berbasis seks/gender. Relasi yang timpang ini
membentuk kerentanan berlapis bagi pasien perempuan karena posisi mereka sebagai
pasien dan sebagai perempuan. Penelitian ini juga menyoroti dampak fisik, psikologis,
dan ekonomi dari kekerasan seksual yang dialami korban.

To fulfill women's rights to sexual and reproductive health, obstetricians and
gynecologists (obgyns) play a crucial role in providing healthcare services. However,
some male obgyns perpetrate sexual violence against female patients. This sexual
violence violates women's rights to access sexual and reproductive healthcare in a safe
and comfortable manner. This study aims to reveal the experiences of female patients
who have been victims of sexual violence by male obgyns using radical feminist
criminology theory. Through a qualitative feminist research approach, including
interviews with three female patient victims, this study reveals the experiences of victims
regarding sexual violence perpetrated by male obgyns and the impact felt by the victims.
The experiences of both female and male obgyns during their education and professional
practice are also discussed in this research. The findings of this study reveal that the root
causes of sexual violence by male obgyns against female patients stem from patriarchy,
manifested through male dominance/gender bias within the medical institution and the
objectification of women's bodies. As a result, sexual violence by male obgyns against
female patients occurs through layered vulnerabilities shaped by imbalanced power
relations based on paternalistic model and sex/gender. These imbalanced relations create
layered vulnerabilities for female patients due to their positions as patients and as women.
This research also reveals the physical, psychological, and economic impact of the sexual
violence experienced by the victims.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aurelia Tamirin
"Meskipun pelaku kekerasan seksual di kampus kini ditindak semakin tegas, masih terdapat sejumlah isu yang memerlukan tinjauan mendalam, salah satunya terkait keputusan organisasi mahasiswa untuk memublikasikan putusan bersalah pelaku di media sosial. Penelitian ilmiah yang menyatakan manfaat dari publikasi semacam ini, baik kepada korban/penyintas, pelaku, maupun publik secara umum masih sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dampak dari publikasi putusan bersalah pelaku terhadap dua perempuan korban/penyintas kekerasan seksual di lingkungan Universitas Indonesia. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam serta dianalisis dengan pendekatan naratif feminis dan perspektif feminis posmodern. Analisis mengungkap bahwa dampak publikasi bervariasi antar individu, dipengaruhi oleh berbagai faktor. Temuan keseluruhan menunjukkan bahwa publikasi tidak secara signifikan membantu proses pemulihan. Meskipun publikasi dapat membawa validasi, dukungan, dan emosi positif bagi korban/penyintas, manfaat tersebut hanya bersifat sesaat. Di sisi lain, publikasi justru membawa berbagai risiko reviktimisasi, seperti penyebaran identitas, intimidasi, hingga ancaman. Temuan ini menegaskan pentingnya pertimbangan matang atas seluruh risiko sebelum memutuskan publikasi. Hal ini dibutuhkan guna memastikan implementasi prinsip-prinsip penanganan kekerasan seksual yang ideal.

Even though perpetrators of sexual violence on campus are now dealt with more firmly, there are still several issues that require in-depth review, one of which is related to the student organization's decision to publish the perpetrator's guilty verdict on social media. Scientific research stating the benefits of this kind of publication, both for victims/survivors, perpetrators, and the general public is still minimal. This research aims to explore the impact of the publication of the perpetrator's guilty verdict on two female victims/survivors of sexual violence within the Universitas Indonesia. Data were generated from in-depth interviews and analyzed using a feminist narrative approach and a postmodern feminist perspective. Analysis reveals that the impact of publications varies across individuals and is influenced by various factors. Overall findings suggest that publication does not significantly aid the recovery process. Although publications can bring validation, support, and positive emotions to victims/survivors, these benefits are only felt momentarily. On the other hand, publication carries various risks of revictimization, such as spreading identity, intimidation, and threats. These findings emphasize the importance of careful consideration of all risks before deciding on publication. This is needed to ensure the implementation of the principles of ideal handling of sexual violence."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Siti Syadza Qinthary
"Skripsi ini membahas penanganan yang telah dan akan dilakukan terhadap permasalahan keadaan tanpa kewarganegaraan yang terjadi pada Suku Bajau yang tersebar di wilayah Malaysia, Filipina, dan Indonesia dengan membandingkannya dengan penanganan Suku Gipsi di Eropa. Perlindungan akan hak berkewarganegaraan sendiri telah diatur di berbagai instrumen hukum internasional, namun pada prakteknya seringkali tidak sesuai. Pada akhirnya negara-negara wilayah persebaran Suku Bajau ini bertanggung jawab dalam menangani keadaan tanpa kewarganegaraan dengan mengambil pelajaran dari cara penanganan terhadap Suku Gipsi di Eropa seperti adanya konsep regionalcitizenship, penentuan habitual residence, dan mengimplementasikan aturanaturan hukum internasional dalam hukum nasional negaranya, serta khusus untuk Suku Bajau yang wilayah persebarannya di perairan kepulauan maka besar pula kemungkinan untuk diberikan pengakuan hak penangkapan ikan secara tradisional oleh Indonesia.
This paper discusses the treatment that states have and will be done concerning Suku Bajau?s nationality which has spread around Malaysia, Philippines, and Indonesia by comparing how European Union states treat the Gypsies. Protection about the right to have a nationality itself has regulate in international law instrument, but practically there are still many violations to these rights. Finally, Malaysia, Philippines, and Indonesia responsible to take action to handle Suku Bajau?s statelessness by learning about how European Union treats the Gypsies. Those actions are regional-citizenship concept, determine Bajau habitual residence, and implementing international regulation to national law. Specifically to Bajau tribal areas which in the archipelagic water, it is likely to give them traditional fishing rights by Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S64733
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Dwi Hatmawan
"Fenomena infanticide seringkali ditanggapi dengan mengabaikan pengalaman serta perasaan anak perempuan dan perempuan untuk melindungi masa depan anak yang mereka sayangi. Studi ini dilakukan terhadap KH, RH, dan AL yang merupakan tiga perempuan dewasa dimana pada usia anak mereka melakukan infanticide, telah menyelesaikan vonis hukuman penjara, dan memiliki latar belakang sosial ekonomi yang beragam. Selain itu, studi ini juga melibatkan orang di lingkungan terdekat mereka untuk mengakomodasi sudut pandang dari lingkungan sosial KH, RH, dan AL. Proses pengumpulan data dilakukan melalui wawancara telepon dan percakapan dalam jaringan. Dengan menggunakan kerangka kerja social-ecological model (SEM), studi ini menemukan bahwa tekanan berlapis dari individu, lingkungan pertemanan dan keluarga, komunitas, dan negara telah menempatkan anak perempuan pada kerentanan untuk melakukan infanticide. Keterlibatan anak perempuan dalam proses hukum telah  memperkuat label serta stigma yang diberikan kepada mereka sebagai sosok yang tidak patuh, jahat, dan amoral tanpa mempertimbangkan konteks pemaknaan dan kemampuan tanggung jawab mereka yang berbeda. Studi ini juga menemukan bahwa perbedaan latar belakang keluarga turut memengaruhi pengalaman reintegrasi anak ke masyarakat. Akhirnya, hasil studi ini diharapkan dapat menjadi counter-narative agar memandang anak perempuan yang melakukan infanticide bukan sebagai pelaku, melainkan korban atas tekanan struktural sehingga memerlukan perlindungan khusus secara kolektif dari lingkungannya.

Infanticide is often responded to by the society without accommodating the experiences and feelings of girls and women to protect the future of their beloved children. This study involved KH, RH, and AL, three adult women who did infanticide when they were children, had completed their prison sentences, and came from diverse socio-economic backgrounds. In order to accommodate the viewpoints of KH, RH, and AL's social circle, this study also involved people in their immediate environment. The data collection was carried out through telephone interviews and online conversations. From the social-ecological model (SEM) framework, this study found that multiple stresses from individuals, peers and family, community, and the state have placed girls at risk for infanticide. The involvement of girls in the legal process also strengthens the label and stigma given to them as disobedient, evil, and immoral figures without considering the context of their different meanings and responsibilities. The study also found that the difference in the family background also influenced children's experience of reintegration into society. Finally, the results of this study are expected to be a counter-narrative to view girls who commit infanticide not as perpetrators, but as victims of structural pressures that require special collective protection from their environment."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Trismaya
"Disertasi ini mendiskusikan gejala sosial kembalinya kebaya sebagai busana nasional setelah mengalami masa ‘kehilangan’ seusai reformasi tahun 1998 akibat terjadinya perubahan struktur sosial politik bersamaan dengan keruntuhan Orde Baru. Struktur sosial politik berperan penting dalam perjalanan eksistensi kebaya sehingga ketika negara tidak hadir dalam pemosisian kebaya, maka para aktor yang berasal dari masyarakat mengambil alih peran ini. Salah satu aktor-aktor ini adalah perancang mode yang merancang kebaya berdasarkan selera pasar dan cenderung tidak mematuhi pakem. Di tengah kondisi ini, muncul para perempuan yang mendirikan komunitas kebaya dengan visi mengembalikan kebaya sebagai busana nasional dan mengenalkannya kembali ke masyarakat.  Penelitian ini dilakukan di Jakarta dan sekitarnya. Data penelitian ini dikumpulkan dengan metode observasi partisipasi, wawancara mendalam, dan kajian pustaka. Penelitian ini menunjukkan bahwa kembalinya kebaya dalam masyarakat modern saat ini dilatarbelakangi perubahan sosial politik pasca reformasi di Indonesia dan peran para aktor yang mengubah bentuk dan fungsi kebaya. Aksi para perempuan dalam proses retradisionalisasi kebaya mengatasnamakan nasionalisme namun tidak semua memiliki visi yang sama karena kebaya juga menjadi media mengekspresikan diri para perempuan dari komunitas kebaya.  

This dissertation is discussing about social symptoms of the reappearance of kebaya as national dress, temporarily ‘disappeared’ after reformation era in 1998, due to social and politic structural changes, along with the collapse of the New Order era. The social and political structures play an important role in the journey of kebaya existence, when there is non-existence of government’s presence in positioning of kebaya, all artists that came from society, take over this role. These artists are fashion designers, they design kebaya based on market taste and they tend not to comply with the standard. In this condition, a group of women established a kebaya community with the vision to restore kebaya as a national dress and re-introduce it to the society.  This research is conducted in Jakarta and surrounding sites. The data is collected based on participated observation method, and literature review. This research shows that the re-appearance of kebaya in modern society this time is motivated by social and political changes post reformation in Indonesia, and the roles of the artists that transform the shape and function of kebaya. The action of women in the process of kebaya retraditionalization on behalf of nationalism, but not all of them have a same vision, because kebaya is also becomes a media to self expression to those women from kebaya community."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>