Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 213903 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Riene Agustine
"ABSTRAK
Latar Belakang: Angka kematian ibu yang diakibatkan oleh kasus preeklampsia bervariasi antara 4-16 . Salah satu komplikasi yang diakibatkan oleh preeklampsia adalah Acute Kidney Injury AKI , berkaitan dengan peningkatan produksi thrombus yang berhubungan dengan peningkatan produksi D-dimer di urin. Pada studi 2013 menunjukkan bahwa D-dimer urin merupakan alat diagnostik yang baik untuk menilai adanya penumpukan fibrin pada endotel glomerulus pada pasien preklampsia dengan AKI.Tujuan: Penelitian ini bertujuan melihat perbandingan kadar D-dimer urin pada wanita hamil normotensif, preeklampsia berat disertai oligouria dan non oligouria sehingga dapat dijadikan pilihan pemeriksaan awal preventif lain terhadap komplikasi AKI. . Metode: Penelitian potong lintang dilakukan sejak September 2016 sampai Januari 2017 di Instalasi Gawat Darurat, Poliklinik, Instalasi Rawat Inap Departemen Obstetri dan Ginekologi, RSCM. Sebanyak 140 pasien hamil yang telah memenuhi syarat dan ditawarkan untuk ikut penelitian untuk diperiksa kadar D-dimer darah dan urinnya. Subyek penelitian diambil dengan metode consecutive sampling, kemudian dibagi menjadi 3 kelompok yaitu hamil dengan normotensi 45 subyek , pasien hamil dengan PEB tanpa oligouria 44 subyek , dan pasien hamil dengan oligouria 51 subjek . Kadar D-dimer diperiksa dengan menggunakan Abcam Human D-dimer ELISA. Penelitian ini telah disetuji oleh Komite Etik dan Penelitian di tahun 2016.Hasil: Terdapat perbedaan kadar D-dimer urin antara ketiga kelompok p 0,013 dan secara spesifik perbedaan terletak antara kelompok normotensi dibandingkan dengan PEB tanpa oligouria p 0,005 , tidak terdapat perbedaan bermakna antara PEB non oligouria dibandingkan PEB oligouria p 0,019 . Nilai diagnostik D-dimer urin dalam mendeteksi AKI pada PEB dengan sensitivitas 78 dan spesifisitas 55 memiliki nilai AU 0,407 40,7 dengan titik potong > 308,45 ng/dL. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya kadar D-dimer urin tidak secara signifikan mendiagnosis AKI.Kesimpulan: Kadar D- dimer urin tidak berbeda bermakna pada kelompok pasien PEB dengan oligouria maupun tanpa oligouria.Kata Kunci: Preeklampsia Berat, Kadar D-dimer urin, Acute Kidney Injury.

ABSTRACT
Introduction Maternal mortality rate MMR caused by preeclampsia was ranged between 4 and 16 . One of the complication of preeclampsia is acute kidney injury AKI which is related to increase of thrombus formation that correlates with the production of D dimer level in urine. This aim of study is to determine urine D dimer level in normotensive, severe preeclampsia with oliguria and non oliguric patients.Methods This was a cross sectional study from September 2016 to January 2017 to patients in Obstetric Emergency Unit, Policlinic, ward and ICU, Obstetrics and Gynecology Department Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. There were 140 subjects of pregnant women fulfilled the subject rsquo s criteria included in the study. They were divided into 3 groups including pregnant normotensive 45 subjects , severe features of preeclampsia with oliguria 44 subjects , and no oliguric 51 subjects . Research was approved by Ethics Committee for Health Researches in 2016.Results Urine D dimer levels were different between each group p 0.013 and specific difference were found between normotensive group and no oliguric severe preeclampsia p 0.005 . No difference were found between group of no oliguric and oliguric severe preeclampsia p 0.119 . Urine D dimer provided 78 of sensitivity and 55 of specificity to support the diagnosis of acute kidney injury in severe preeclampsia, with cut off level 308.45 ng dL however, AUC of urine D dimer was 0.407 40.7 . High level of urine D dimer could not specifically diagnose AKI.Conclusion Urine D dimer level cannot differ between severe features of preeclampsia patient with oliguria and no oliguria.Keywords Severe features preeclampsia, Urine D dimer, Acute Kidney Injury."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andriani Dewi Lestari
"Pendahuluan: D-dimer adalah hasil akhir degradasi cross-linked fibrin oleh plasmin yang merupakan salah satu petanda aktivasi koagulasi. Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu tanpa adanya proteinuria dan preeklampsia adalah hipertensi yang terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu disertai dengan proteinuria, tetapi bila tidak ada proteinuria terdapat gejala severe feature of preeclampsia. Hampir separuh kasus hipertensi gestasional berkembang menjadi preeklampsia. Pada preeklampsia terjadi hiperkoagulabel dan disfungsi endotel. Disfungsi endotel mengakibatkan permukaan nontrombogenik menjadi trombogenik, sehingga terjadi peningkatan aktivasi koagulasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kadar Ddimer pada hipertensi gestasional dan preeklampsia.
Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada 30 hipertensi gestasional dan 30 preeklampsia . Penelitian dilakukan dari bulan Agustus 2015 sampai Januari 2016. Pengukuran kadar D-dimer dengan reagen Innovance memakai koagulometer Sysmex CS-2100i di Departemen Patologi Klinik.
Hasil: Kadar D-dimer pada ibu hamil dengan preeklampsia 2,37 mg/L FEU (1,78 - 5,48 mg/L FEU), kadar D-dimer ibu hamil dengan hipertensi gestasional 1,43 mg/L FEU (0,88 ? 1,95 mg/L FEU). Kadar D-dimer pada preeklampsia lebih tinggi secara bermakna dibandingkan hipertensi gestasional dengan nilai p=0,000.
Kesimpulan: Didapatkan perbedaan bermakna kadar D-dimer pada hipertensi gestasional dan preeklampsia.

Bakcground : D-dimer is degradation product of cross-linked fibrin by plasmin which is one marker of coagulation activation. Gestational hypertension is hypertension occurs after 20 weeks gestation without proteinuria, and preeclampsia is hypertension occurs after 20 weeks gestation accompanied by proteinuria, but when no symptoms proteinuria, there is severe feature of preeclampsia symptoms.Almost half of the cases of gestational hypertension developed into preeclampsia. In preeclampsia occurs hiperkoagulabel and endothelial dysfunction. Endothelial dysfunction results nonthrombogenic be thrombogenic surface, resulting in increased activation of coagulation. The aim of study is to determine the levels of D-dimer in gestational hypertension and preeclampsia.
Methods : A cross sectional study was done on 30 gestational hypertension and 30 preeclampsia from August 2015 to January 2016. D-dimer levels was measured by Innovance D-dimer using Sysmex CS-2100i coagulometer in Departement of Clinical Pathology Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.
Resuts : D-dimer levels in pregnant women with preeclampsia was preeklampsia 2,37 mg/L FEU (1,78 - 5,48 mg/L FEU, D-dimer levels of pregnant women with gestational hypertension 1,43 mg/L FEU (0,88 ? 1,95 mg/L FEU).D-dimer levels in preeclampsia were significantly higher than gestational hypertension with p=0,000.
Conclusion : There were significant differences in the levels of D-dimer in
gestational hypertension and preeclampsia
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Amadea Gunawan
"Latar Belakang COVID-19 berdampak secara signifikan bagi dunia. Tingginya prevalensi dan insidensi, serta banyaknya kasus berderajat keparahan sedang-berat, mendorong dunia dan Indonesia untuk mencari terapi yang tepat. Salah satunya adalah anti-interleukin-6 untuk mengatasi badai sitokin yang kerap terjadi pada pasien COVID-19. Anti-interleukin-6 berupa Tocilizumab yang digunakan untuk mengatasi COVID-19 derajat sedang-berat hingga saat ini masih minim diteliti di dunia maupun di Indonesia. Maka, Peneliti berharap penelitian ini dapat berkontribusi pada perkembangan dunia medis di Indonesia. Metode Penelitian ini dilakukan dengan desain kohort retrospektif yang dilakukan di Rumah Sakit Universitas Indonesia. Penelitian ini menggunakan rekam medis pasien COVID-19 berderajat sedang-berat guna menilai hubungan antara pemberian Tocilizumab dengan tingkat mortalitas, lama rawat, dan kadar biomarker inflamasi yaitu C-reactive protein dan D-dimer. Hasil Diperoleh 52 pasien yang diberikan obat Tocilizumab dan 52 pasien kontrol. Pada kelompok pasien yang diberikan Tocilizumab, 48 pasien dirawat pada bulan Januari-Juni dan 4 pasien dirawat pada bulan Juli-Desember. Pada kelompok kontrol, 32 pasien dirawat pada bulan Januari-Juni dan 20 pasien dirawat pada bulan Juli-Desember. Ditemukan sebanyak 40,4% pasien yang memperoleh Tocilizumab hidup dan sembuh, sedangkan pada kelompok kontrol hanya 16,4% pasien yang sembuh (p=0,014). Rata-rata lama rawat pasien kelompok uji mencapai 20,9±11,5 hari, lebih lama dibandingkan kelompok kontrol yaitu 16,5±12,4 hari (p=0,007). Rata-rata penurunan kadar CRP pada kelompok uji adalah -74,65±72,59 mg/L, sedangkan pada kelompok kontrol meningkat (p=0,001). Kadar D-dimer pasien yang diberikan Tocilizumab mengalami penurunan namun tidak signifikan. Kesimpulan Tocilizumab terbukti menurunkan angka mortalitas, menurunkan kadar CRP, dan cenderung menurunkan kadar D-dimer pada pasien COVID-19 derajat sedang-berat.

Introduction COVID-19 has a significant impact globally. The high prevalence and incidence, also the large number of moderate-severe cases, encouraged the world and Indonesia to look a better therapy. One of them is anti-interleukin-6 to overcome cytokine storm that occurs in COVID-19 patients. Today, there is minimal research that learn about anti-interleukin-6, Tocilizumab. This research hope could contribute to the development of the medical sector in Indonesia. Method This research conducted with a retrospective cohort design at Universitas Indonesia Hospital. This study used medical records of COVID-19 moderate-severe patients to assess the relation between Tocilizumab administration and mortality, length of stay, and levels of C-reactive protein and D-dimer. Result There were 52 moderate-severe COVID-19 patients receiving Tocilizumab and 52 control patients. In the test group, 48 patients treated in January-June and 4 patients treated in July-December. In the control group, 32 patients treated in January-June and 20 patients treated in July-December. It was found that 40,4% of patients who were given Tocilizumab survived, while in the control group only 16,4% of patients survived (p=0,014). The average length of stay for test group reached 20,9±11,5 days, longer than the control group, which was 16,5±12,4 days (p=0,007). The average CRP levels decrease in test group was -74.,65±72,59 mg/L, while it increased in the control group (p=0,001). The D-dimer levels of patients given Tocilizumab decreased but not significant. Conclusion Tocilizumab has been proven to reduce mortality rates, lower CRP levels, and tends to reduce D-dimer levels in moderate-severe COVID-19 patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Feline Husen
"Pendahuluan: Heparin dapat digunakan sebagai terapi bagi pasien COVID-19. Namun, indikasi dan efeknya masih berbeda di berbagai penelitian. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas pemberian heparin dalam menurunkan keparahan gejala klinis. Metode :Studi retrospektif dilakukan dari rekam medis pasien COVID-19 kondisi sedang-berat yang dirawat di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI). Parameter yang diperiksa adalah kondisi klinis pasien (tingkat mortalitas dan total lama perawatan), kadar D-dimer, dan trombosit pada dua kelompok, kelompok yang diberikan heparin dan yang tidak. Hasil:Penelitian ini menyertakan 110 subjek penelitian. Terdapat tingkat mortalitas yang lebih tinggi pada kelompok heparin dibandingkan kontrol (45,3% vs 5 10,9%; p<0,01). Hal ini dapat disebabkan perbedaan derajat sedang dan berat. Mayoritas kelompok heparin berkondisi berat (58,1% vs 28,2%) jika dibandingkan kontrol. Pada pengecekan laboratorium, heparin menurunkan kadar D-dimer (790 ke 500 vs 725 ke 4.475 µg/L) dan trombosit (366 ke 208x103 vs 217 ke 318x103/µL)secara signifikan (p<0,01). Kesimpulan: Kelompok heparin memiliki tingkat mortalitas yang tinggi akibat tingkat kondisi yang lebih berat, tetapi kadar D-dimer dan trombosit menurun dibandingkan kelompok kontrol.

Introduction: Heparin can be used as therapy for COVID-19 patients. However, the indications and effects still differ in various studies. Therefore, this study aims to assess the effectiveness of heparin administration in reducing the severity of clinical symptoms. Methods: A retrospective study was conducted from medical records of moderate-severe COVID-19 patients treated at the University of Indonesia Hospital (RSUI). The parameters examined were the patient's clinical condition (mortality rate and total length of treatment), D-dimer levels, and platelets in two groups, those given heparin and those not. Results: This study included 110 research subjects. There was a higher mortality rate in the heparin group compared to controls (45.3% vs 5 10.9%; p<0.01). This is due to the difference in moderate and severe degrees. The majority of the heparin group had severe conditions (58.1% 28.2%) when compared to controls. In laboratory tests, heparin reduced the levels of D-dimer (790 to 500 vs 725 to 4,475 µg/L) and platelets (366 to 208x103 vs 217 to 318x103/µL) significantly (p<0.01). Conclusion: The heparin group had a high mortality rate due to more severe conditions, but D-dimer and platelet levels decreased compared to the control group"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasudungan, Wicensius Parulian
"Preeklampsia berat (PEB) berefek negatif pada ibu dan bayi. Pada ibu, terdapat angka kematian maternal yang tinggi akibat PEB, sedangkan pada bayi, salah satu masalah yang serius ialah penurunan skor Apgar ketika bayi lahir. Masih sedikit penelitian yang menunjukkan hubungan antara kondisi preeklampsia pada ibu dengan kondisi bayi pada saat dilahirkan.
Oleh karena itu, dilakukan penelitian untuk mengetahui PEB dan hubungannya dengan skor Apgar bayi sebagai indikator kondisi fisiologis bayi ketika lahir. Desain penelitian yang digunakan adalah desain cross-sectional dengan menggunakan data sekunder berupa rekam medis pasien ibu hamil di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2011 (n=2223).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi PEB adalah 16,3%. Rerata skor Apgar bayi pada menit ke-5 adalah 8,1 (SD 1,7). Pasien dengan PEB memiliki risiko 1,67 kali lebih besar (95% CI 1,61—1,72) daripada pasien tanpa PEB untuk memiliki bayi dengan skor Apgar yang rendah. Dengan uji Chi-square diketahui bahwa terdapat perbedaan signifikan proporsi bayi dengan skor Apgar. Terdapat hubungan yang signifikan antara skor Apgar dan prevalensi PEB di RSCM pada tahun 2011 (p<0,0001).

Severe preeclampsia contributed negative effects to both maternal and neonatal problems. It contributed to the high prevalence of maternal death and a serious neonatal outcome which is the depressed Apgar score. There were still few researches exploring the relationship between severe preeclampsia and neonatal outcomes.
The objective of this study was to know the prevalence of severe preeclampsia at Cipto Mangunkusumo Hospital in 2011 and its relationship with Apgar score as indicator of physiological condition of neonates at birth. The design of this study was cross-sectional which used medical records of patients at Cipto Mangunkusumo Hospital in 2011 as samples (n=2223).
The result of this study showed that the prevalence of severe preeclampsia at Cipto Mangunkusumo Hospital in 2011 was 16,3%. The mean of Apgar score at the 5th minute of neonates in Cipto Mangunkusumo Hospital in 2011 was 8,1 (SD 1,7). Patients with severe preeclampsia had 1,67 times higher risk (95% CI 1,61—1,72) than patients without severe preeclampsia to have neonates with depressed Apgar score. There was a significant association between prevalence of severe preeclampsia at Cipto Mangunkusumo Hospital in 2011 and Apgar score (p<0,0001).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gisheila Ruth Anggitha N.
"Preeklampsia merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas maternal maupun perinatal di Indonesia. Suatu studi menyatakan Preeklampsia Berat (PEB) merupakan penyebab kematian ibu sebesar 1,5-25% dan bayi 45-50% di Indonesia. Status paritas dinilai menjadi salah satu faktor penting terhadap tingginya angka kejadian PEB. Walaupun sudah cukup banyak studi epidemiologi mengenai kaitan antara PEB dan paritas, sangat disayangkan RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM) sebagai rumah sakit pusat rujukan nasional belum pernah melaporkan data serta analisis kasus PEB.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan informasi tentang distribusi karakteristik sosiodemografi pasien RSCM, prevalensi PEB di RSCM, serta hubungan antara status paritas dan PEB. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah potong lintang. Data dikumpulkan dengan menggunakan rekam medis pasien Departemen Obstetri Ginekologi RSCM sepanjang tahun 2011. Dari 2517 data, 2462 data memenuhi kriteria yang kemudian dianalisis dengan menggunakan uji Chi-square.
Pada penelitian ini ditemukan karakteristik sosiodemografi pasien hamil RSCM berasal dari Jakarta (79,05%), beragama Islam (87,98%), pendidikan terakhir SMA (35,2%), ibu rumah tangga (71%), dan menggunakan jaminan persalinan (44%). Prevalensi angka kejadian PEB di RSCM tahun 2011 sebesar 16,4%. Status paritas memiliki hubungan yang signifikan dengan prevalensi angka kejadian PEB di RSCM tahun 2011, dengan proporsi angka kejadian PEB paling tinggi ada pada kelompok grande multipara (24,3%).

Preeclampsia is one of the major causes of maternal and fetal morbidity and mortality in Indonesia. One study showed that severe preeclampsia caused 1,5-25% of maternal death and 45-50% of neonatal death in Indonesia. Parity seems to become one of the major risk factors that contribute to the high incidence of severe preeclampsia. Although there have been many studies about epidemiology of correlation between parity and preeclampsia, RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM) as a central national refferal hospital has not yet reported any data and analysis about severe preeclampsia case.
The aim of this study was to know about the characteristics sosiodemographic of obstetric patients, prevalence of severe preeclampsia, and relationship between parity and prevalence of severe preeclampsia in RSCM in 2011. The method used in this study was cross sectional. The data were obtained from medical record of all patients from Department Obstetric Gynecologic RSCM in 2011. From 2517 data, 2462 data were fulfilled research criteria, and were analyzed using Chi-Square test.
Through this study, we obtained some characteristics of maternal in RSCM, i.e. originated from Jakarta (79,05%), Moslem (87,98%), last educational was high school (35,2%), housewife (71%), and had labor inssurance (44%). Prevalence of severe preeclampsia in RSCM in 2011 was 16,4%. There was a significant relationship between parity and incidence of severe preeclampsia in RSCM in 2011 (p=0,002), which the highest proportion of incidence severe preeclampsia was in the grande multipara group (24,3%).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harsya Dwindaru Gunardi
"Setidaknya 1 dari 200 pasien COVID-19 akan mengalami DVT, dan sekitar 20% kasus VTE berhubungan dengan COVID-19. Risikonya meningkat empat kali lipat pada pasien COVID-19. Munculnya berbagai faktor patofisiologis yang berkontribusi terhadap terjadinya DVT pada pasien COVID-19 menimbulkan pertanyaan menarik mengenai perbedaan dalam karakteristik luaran pasien DVT sebelum dan selama pandemi, serta variasi dalam perawatan dan hasil pasien. Desain penelitian yang digunakan adalah studi kohort retrospektif untuk melihat perbandingan karakteristik dan manajemen pasien DVT (Deep Vein Thrombosis) sebelum dan selama pandemi COVID-19. Didapatkan data 489 subyek yang diikutsertakan dalam penelitian ini dengan nilai rata-rata usianya adalah 50.72 ± 18.00. Berdasarkan waktu terkenanya DVT, dari 489 subyek tersebut, sebagian besar sampel yaitu sebanyak 344 orang (72.9%) merupakan pasien yang mengalami DVT selama pandemi COVID. Berdasarkan status mortalitas, terdapat 336 orang (71.8%) yang masih hidup setelah mengalami DVT. Berdasarkan keberadaan perdarahan hebat, sebagian besar subyek yaitu 402 orang (82.2%) tidak mengalami perdarahan hebat. Berdasarkan status rekurensi, terdapat 321 orang (65.7%) yang mengalami rekurensi yaitu kembali dirawat dengan diagnosa yang sama dalam 1 tahun pertama setelah pertama kali dirawat. Sebanyak 479 orang (97.9%) tidak mengalami emboli paru. Didapatkan nilai rata-rata durasi rawat inap selama 13.41 ± 9.89 hari. Berdasarkan hasil pemeriksaan D-Dimer, didapatkan nilai rata-rata 3008.21 ± 1494.59 ng/mL. Sedangkan hasil pemeriksaan fibrinogen, didapatkan nilai rata-rata 301.06 ± 58.63 mg/dL. Dalam melihat komparasi data DVT sebelum dan selama pandemic COVID-19, dari 4 variabel yang dilihat, hanya D-Dimer yang memiliki perbedaan yang signifikan berupa peningkatan nilai rata-rata apabila dibandingkan antara sebelum pandemic COVID (2052.34 ± 568.30 ng/mL) dan selama COVID (3363.89 ± 1573.79 ng/mL) dengan nilai p < 0.001. Hasil berbeda terjadi pada fibrinogen yang tidak memiliki perbedaan yang signifikan antara sebelum pandemic COVID (295.66 ± 57.28 mg/dL) dibandingkan dengan selama COVID (303.06 ± 59.08 mg/dL) dengan nilai p 0.223. Ditemukan bahwa pada pasien COVID-19 didapati nilai D-Dimer yang lebih tinggi (nilai p <0.001) serta fibrinogen yang lebih tinggi secara signifikan (p=0.032).

At least 1 in 200 COVID-19 patients will experience DVT, and approximately 20% of VTE cases are related to COVID-19. The risk increases fourfold in COVID-19 patients. The emergence of various pathophysiological factors that contribute to the occurrence of DVT in COVID-19 patients raises interesting questions regarding differences in the outcome characteristics of DVT patients before and during the pandemic, as well as variations in patient care and outcomes. The research design used was a retrospective cohort study to compare the characteristics and management of DVT (Deep Vein Thrombosis) patients before and during the COVID-19 pandemic. Data were obtained for 489 subjects who were included in this study with an average age value of 50.72 ± 18.00. Based on the time of DVT, of the 489 subjects, the majority of the sample, namely 344 people (72.9%) were patients who experienced DVT during the COVID pandemic. Based on mortality status, there were 336 people (71.8%) who were still alive after experiencing DVT. Based on the presence of severe bleeding, the majority of subjects, namely 402 people (82.2%) did not experience severe bleeding. Based on recurrence status, there were 321 people (65.7%) who experienced recurrence, namely being treated again with the same diagnosis within the first year after first being treated. A total of 479 people (97.9%) did not experience pulmonary embolism. The average duration of hospitalization was 13.41 ± 9.89 days. Based on the results of the D-Dimer examination, an average value of 3008.21 ± 1494.59 ng/mL was obtained. Meanwhile, the results of the fibrinogen examination showed an average value of 301.06 ± 58.63 mg/dL. In looking at the comparison of DVT data before and during the COVID-19 pandemic, of the 4 variables looked at, only D-Dimer had a significant difference in the form of an increase in the average value when compared between before the COVID pandemic (2052.34 ± 568.30 ng/mL) and during COVID (3363.89 ± 1573.79 ng/mL) with p value < 0.001. Different results occurred in fibrinogen which did not have a significant difference between before the COVID pandemic (295.66 ± 57.28 mg/dL) compared to during COVID (303.06 ± 59.08 mg/dL) with a p value of 0.223. It was found that COVID-19 patients had higher D-Dimer values (p value <0.001) and significantly higher fibrinogen (p=0.032)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Jonathan Aditama Midlando
"Preeklamsia (PEB) yang menjadi eklamsia merupakan penyebab angka kematian ibu (AKI) tertinggi kedua di Indonesia setelah perdarahan. Beberapa studi menunjukan bahwa PEB dapat menjadi salah satu penyebab bayi berat lahir rendah (BBLR). BBLR merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas pada bayi yang baru lahir. Saat ini belum terdapat penelitian mengenai prevalensi preeklampsia berat di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan hubungannya dengan BBLR. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi PEB di RSCM dan hubungannya dengan BBLR. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dan data diambil di RSCM dengan menggunakan rekam medik pasien Departemen Obstetri dan Ginekologi RSCM pada tahun 2011 pada bulan September 2012. Pada penelitian ini, didapat 2312 data rekam medik yang sesuai dengan kriteria inklusi. Data dianalisis dengan uji chi-square menggunakan program SPSS 20.0 for windows untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara PEB dengan BBLR. Hasil penelitian menunjukan prevalensi PEB di RSCM sebesar 16,6% dan prevalensi BBLR sebesar 27,3%. Terdapat hubungan yang bermakna antara PEB dengan kejadian BBLR di RSCM pada tahun 2011 (p = 0,001).

Severe preeclampsia, which then became ecclampsia, is the second most frequent cause of maternal mortality in Indonesia after bleeding. Many researches concluded that severe preeclampsia implicates to the low birthweigh of the neonates. Low birthweight is one of the indications for mortality and morbidity of the neonates. Until today, there is no research existed discussing severe preeclampsia at Cipto Mangunkusumo hospital (RSCM) and its association with low birthweight. The goal of this research was to know the prevalence of severe preeclampsia at Cipto Mangunkusumo hospital in 2011 and its association with low birthweight. This research was an analytic study with cross-sectional approach. The data were collected from medical records of Department of Obsteric and Gynecology RSCM on September 2012. This research collected 2312 data of women who have given birth and matched the research criteria. Data were analyzed with chi-square test using SPSS program for windows to find the association between severe preeclampsia and low birthweight data showed that the prevalence of severe preeclampsia in Cipto Mangunkusumo hospital was 16,6% and the prevalence of low birthweight was 27,3%. There was a significant association between severe preeclampsia and low birthweight at Cipto Mangunkusumo hospital in the year of 2011 (p=0,001)."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutahaean, Amelya
"Latar Belakang: N-asetilsistein (NAS) memiliki banyak manfaat, salah satunya sebagai antikoksidan dan antiinflamasi. Belum banyak penelitian pemberian NAS pada pasien COVID-19. Pemberian NAS pada pasien COVID-19 derajat berat memiliki hasil luaran yang bervariasi, salah satunya diduga disebabkan lama terapi yang hanya beberapa jamhari.
Tujuan: Rancangan penelitian ini adalah kohort retrospektif di ICU RS PELNI, Jakarta. Penelitian ini dimulai setelah mendapat sertifikat etik dan ijin lokasi yang dimulai pada bulan Februari-April 2023. Pengambilan sampel secara consecutive sampling. Kriteria penerimaan meliputi pasien COVID-19 derajat berat dengan usia ≥18 tahun. Kriteria penolakan meliputi pasien sedang hamil/menyusui. Kriteria pengeluaran meliputi pasien meninggal sebelum pemberian NAS mencapai 14 hari. Luaran yang diamati adalah kejadian intubasi, mortalitas, nilai rasio netrofil limfosit, kadar D-dimer, dan CRP. Data penelitian merupakan data sekunder dari rekam medis. Data dianalisis dengan uji statistik yang sesuai menggunakan program SPSS versi 27.
Hasil: Didapatkan total 112 pasien dengan 55 pasien tidak mendapatkan terapi NAS dan 57 pasien mendapatkan terapi NAS. Dari hasil analisis bivariat didapatkan pasien dengan terapi NAS memiliki kemungkinan untuk diintubasi sebesar 2,7 kali dan tidak berhubugan dengan mortalitas. Dari hasil analisis multivariat, didapatkan hanya variabel kejadian intubasi yang bermakna terhadap mortalitas.
Simpulan: Terapi ajuvan NAS tidak menurunkan kejadian intubasi dan mortalitas.

Background: N-acetylcysteine (NAS) has many benefits, one of which is as an antioxidant and anti-inflammatory. There have not been many studies of giving NAS to COVID-19 patients. Giving NAS to patients with severe degrees of COVID-19 has varied outcomes, one of which is thought to be caused by the duration of therapy which is only a few hours-days.
Purpose: This retrospective cohort study was conducted in the ICU of PELNI Hospital, Jakarta. This research was started after obtaining an ethical certificate and location permit which began in February-April 2023. The samples were taken using consecutive sampling. Inclusion criteria was patients with severe degree of COVID-19 aged ≥18 years. Exclusion criteria was patients who are pregnant/breastfeeding. Drop out criteria was patients who died before 14 days of NAS administration. The observed outcomes were intubation events, mortality, neutrophil lymphocyte ratio D-dimer and CRP levels. The research data is secondary data from medical records. Data were analyzed with appropriate statistical tests using the SPSS version 27 program.
Results: There were a total of 112 patients with 55 patients not receiving NAS therapy and 57 patients receiving NAS therapy. From the results of bivariate analysis, it was found that patients with NAS therapy had a 2.7 times the likelihood of being intubated and had no association with mortality. From the results of the multivariate analysis, it was found that only the intubation event variable had a significant effect on mortality.
Conclusion: Adjuvant therapy for NAS does not reduce the incidence of intubation and mortality.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sekarpramita Darmaputri
"Latar belakang. Coronavirus disease-2019 (COVID-19) memiliki spektrum penyakit yang sangat luas dari gejala ringan sampai berat, hingga kematian. Reaksi inflamasi berat akibat dari COVID-19 ini menimbulkan gangguan hemostasis yang disebut dengan COVID-19 associated coagulopathy. Penelitian ini bertujuan untuk menilai profil koagulasi pada pasien dalam pemantauan (PDP) ataupun terkonfirmasi COVID-19 serta hubungannya terhadap mortalitas 30-hari pasien.
Metode. Studi ini merupakan studi kohort retrospektif di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) selama Maret 2020 hingga Juni 2020. Sebanyak 106 subjek yang sesuai kriteria inklusi dianalisis dari data rekam medis. Dilakukan pengambilan data berupa data demografik, klinis atau hemodinamik pasien, profil koagulasi saat subjek ditentukan sebagai PDP atau terkonfirmasi COVID-19, pemberian terapi tromboprofilaksis heparin, dan status mortalitas 30 hari setelah admisi. Perhitungan statistik dilakukan dengan menggunakan Statistical Package of Social Science (SPSS) versi 24.0. Profil koagulasi subjek penyintas 30 hari dibandingkan dengan subjek yang mengalami mortalitas. Variabel profil koagulasi yang bermakna kemudian dianalisis dengan analisis bivariat dan regresi logistik multivariat.
Hasil. Pada kelompok yang mengalami mortalitas 30-hari ditemukan adanya peningkatan jumlah leukosit (p: 0,022), penurunan kadar trombosit (p: 0,016), dan waktu protrombin (PT) dan waktu activated partial thromboplastin time (APTT) yang lebih panjang (p: 0,002 dan p: 0,018) dibandingkan pada kelompok penyintas 30-hari. Tidak ditemukan perbedaan fibrinogen dan d-Dimer yang bermakna secara statistik. PT merupakan suatu profil koagulasi tunggal yang dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas 30-hari dengan odds ratio (95% CI) sebesar 1,407 (1,072 – 1,846), nilai p: 0,014.
Simpulan. Terdapat hubungan antara faktor koagulasi pasien COVID-19 dengan mortalitas 30 hari di RSCM, khususnya PT yang dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas 30-hari.

.Background. Coronavirus disease-2019 (COVID-19) has a very broad spectrum of disease from mild to severe symptoms, to death. The severe inflammatory reaction as a result of COVID-19 infection causes a hemostasis disorder called COVID-19 associated coagulopathy. This study aims to assess the coagulation profile of patients under monitoring (PDP) or confirmed COVID-19 and its relationship with 30-day mortality.
Method. This retrospective cohort study was conducted at RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) from March 2020 to June 2020. A total of 106 subjects who met the inclusion criteria were analyzed from medical record data. Data were collected in the form of patient demographic, clinical or hemodynamic data, coagulation profile when the subject was determined as PDP or confirmed as COVID-19, administration of heparin thromboprophylaxis therapy, and mortality status 30 days after admission. Statistical calculations were performed using the Statistical Package of Social Science (SPSS) version 24.0. We compared the coagulation profiles of the survivor group in contrast to the non-survivor group. Significant coagulation profile variables were analyzed using bivariate analysis and multivariate logistic regression.
Results. There was elevated number of leukocytes (p: 0.022), reduced platelet levels (p: 0.016), and longer prothrombin time (PT) as well as activated partial thromboplastin time (APTT) (p: 0.002 and p: 0.018, consecutively) in non-survivor group. There were no statistical differences in fibrinogen and d-Dimer levels in both groups. Additionally, PT is a single coagulation profile which predicted 30-day mortality with an odds ratio (95% CI) of 1.407 (1.072 - 1.846), and p value: 0.014.
Conclusion. This present study shows abnormal coagulation results are associated with 30-day mortality in COVID-19 patients at RSCM. Prolonged PT was an independent predictor for 30-day mortality in COVID-19 patients
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>