Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14626 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aulia Rachman
"Studi ini meneliti citra khalayak terhadap Golkar. Secara spesifik, studi Ā”ni diarahkan pada upaya menjawab 3 (tiga) pertanyaan pokok sebagai berikut: (1) Bagaimana persepsi khalayak terhadap Golkar pada saat ini? Apakah citra mereka tentang Golkar masih terkait dengan posisi Goikar di masa lalu (Orde Baru)? (2) Apakah citra khalayak tersebut (positif atau negatif) mempunyai hubungan/asosiasi yang signifikan dengan faktor sosic demografiS (khususnya umur, pendidikan dan tempat tinggal) ? (3) Sagaimafla persepsi khalayak terhadap Partai-Partai Politik Iainnya khususnya yang termasuk dalam 5 (lima) besar pemenang Pemilu (PDI Perjuangan, PPP, PKB dan PAN)? Apakah citra negatif hanya berlaku bagi Golkar atau juga melekat pada keempat partai politik Iainnya?
Penelitian dilakukan terhadap warga masyarakat berusia 17 tahun ke atas, khususnya yang berdomisili di Jakarta Timur, Depok, Bogor dan Purwakarta. Jumlah sampel seluruhnya 340 responden. Penarikan sampe dJakukan secara acak melalui teknik ?multi stage random sampling?.
Hasil studi menunjukkan bahwa secara umum, mayoritas responden dalam penelitian ini mempunyai pandangan yang ?negatif? terhadap visi, misi dan identitas dan 5 (lima) partai besar pemenang pemilu yaitu PDI Perjuangan, Golkar, PPP, PKB dan PAN. Pandangan negatif tersebut terungkap dan jawaban mereka yang umumnya menilai bahwa kelima partai tersebut sebagai : (1) lebih mementingkan tokoh dalam kampanye pemilu ketimbang program, (2) hanya peduJi pada rakyat kecil saat menjelang pemjlu (3) hanya mengobral janjijanji politik dalam kampanye, (4) (5) Lebih mementingkan diri dan golongannya politik uang, dan besar kadernya tidak Iayak untuk duduk darjpada rakyat, (6) sebagnya hanya mengejar kedudukan sebagai anggota legislatif, dan (7) elit politik negatif tersebut terutama lebih menonjol pada golkar dibandingkan dengan keempat partai politik lainnya.

This study is concerned with the audiences image towards Golkar. The study specifically addressed 3 (three) basic questions: (1) How do audiences presently perceive Golkar? Are their perceptions associated with Golkar's position during the New Order (Orde Baru) era ? (2) Are there significant relationships between their perception and their socio-demographic characteristics i.e age, education and social-environment? (3) How do they perceive the other 4 (four) big political parties (PDI Perjuangan, ppp, PKB and PAN) ? Are their perception of these four political parties different with their perception of Golkar?
The study was carried out in East Jakarta, Depok, Bogor and Purwakarta. The subjects were community members, 17 years of age and above. The total sample was 340, and selected randomly through multi stage random sampling technique.
The findings revealed that, overall majority of the respondents held a negative view towards the vision, mission and identity of the 5 (five) big political parties (PDI Perjuangan, Golkar, PPP, PKB arid PAN). This was reflected from the data in wtiich, those political parties were viewed as: (1) concerned more with their leaders than the platforms, (2) paid attention to common people only during the campaign, (3) full of promises during the camnpaign, (4) oriented more to their own group interests, (5) involved in money politics, (6) majority of their cadres were not eligible to become parliament members, and (7) their elites only fought for the strategic positions in executive. Nevertheless, their negative perception towards Golkar was stronger compared to the other 4 (four) political parties. When asked about identity, position, vision and mission of the party, only few respondents who viewed Golkar as : (1) open to all people from various groups and layers, (2) independent from the current government, and (3) having clear vision and mission. On the other hand, majority of the respondents perceived the other four political parties as possessing clear Vision and mission. It should be noted, that their positive view was particularly strong for PDI Perjuangan. Golkar according to the majority of respondents? perception was associated with the following characteristics : (1) inseparable part of the New Order (ORBA) regome, (2) was big because of Suharto?s dominant role, (3) full of corruption, collution and nepotism practices, (4) involved in money politics, (5) not democratic, (6) ignored the common people?s aspirations and interest, and (7) was not categorized as a modern political party.
The study also found significant relationships between the respondents? image and their socio-demographic characteritics i.e. age, education and social environment. It can be summarized that, the respondents who held negative image towards Golkar were else who lived in urban areas, younger in their age, and possessed higher educational background.
Based on the study findings, it is necessary for Golkar to change their identity as well as their vision and mission. This can be done, among other things, by way of evaluating the current ?positioning ? and ?orientation? strategy (repositioning and reorientation strategy). In this regard, Golkar should carry out internal consolidation, self-evaluation, and nation-wide socialization programs, in order to convince all people that the current Golkar is completely different from Golkar during the New Order era.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T6118
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarwo Sukmono
"Di era reformasi dituntut adanya perubahan baik dalam bidang politik, social maupun ekonomi. Untuk memenuhi tuntutan perubahan tersebut, maka peran partai politik sebaiknya ditingkatkan. Partai Golongan Karya (Golkar) sebagai salah satu partai politik yang merupakan salah satu pilar utama demokrasi harus menunjukkan eksistensinya secara menyeluruh, terpadu dan terencana, namun hingga saat ini eksistensi tersebut belum menunjukkan hasil yang maksimal.
Berdasarkan haI tersebut diatas, maka penulis akan mengadakan penelitian tentang :
1. Apakah demokratisasi internal Partai Golkar telah sejalan dengan nilai-nilai demokrasi
2. Sejauhmana demokratisasi internal Partai Golkar mampu meningkatkan Integrasi Bangsa ?
3. Sejauhmana demokratisasi internal Partai Golkar mampu meningkatkan Ketahanan Nasional ?
Penelitian akan difokuskan kepada persepsi atau tanggapan pimpinan partai DPP Partai Golkar, Pimpinan KINO, Pimpinan DPD I Partai Golkar DKI Jakarta dan Pimpinan DPD II Partai Golkar se- DKI Jakarta terhadap Demokratisasi Internal yang dilakukan Partai Golkar dalam meningkatkan Ketahanan Nasional. Untuk mengetahui penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan Paradigma Konstruktivisme.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, dengan melakukan perbandingan dan hasil interaksi antara peneliti dan yang diteliti serta cara pandang terhadap obyek penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi terhadap peran Demokratisasi Internal Partai Golkar dalam meningkatkan Ketahanan Nasional yang dilakukan oleh Partai Golkar telah sejalan dengan nilai-nilai demokrasi, mampu meningatkan Integrasi Bangsa dan meningkatkan Ketahanan Nasional, maka berdasarkan hasil penelitian Proses Demokratisasi Internal Partai Golkar adalah verifikasi.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara akademis dan berguna bagi Pimpinan Partai dan mahasiswa pada masa yang akan datang.

In this reform era changes are demanded either in political, social or economic areas. In order to fulfill the change demands, then the role of political parties need to be improved. Golongan Karya (Golkar) party one of major political parties is one of main democratic pillars should show its existence in comprehensive, integrated and planned manner, however until now this existence has not shown the maximum results.
Based on the above matter, then the writer is going to conduct a research concerning:
1. Has Golkart Party's internal democratization run in accordance with democratic values?
2. How far Golkar Party's internal democratization is capable to improve National Integration?
3. How far Golkar Party's internal democratization is capable to improve National Resilience?
This research would be focused on perception or response of the leaders of Golkar Party Central Board, KIND Leaders, Provincial Board of Greater Jakarta Golkar Party and Leaders of RegentallCity Board Golkar Party of Capital Jakarta in improving National Resilience. To implement the research by conducting Constructivism Paradigm.
Research methodology that used is qualitative methodology, by comparing and interaction results between the researcher and research object and point of view to the research object.
Based on research results, then it is concluded that the perception toward the role of Golkar Party Internal Democratization by improving National Resilience conducted by Golkar Party has been in line with democratic values, capable to improve National Integration and improve National Resilience, so based on the research results the Internal Democratization Process of Golkar Party is verification.
This research is hoped to be beneficial academically in brings benefits for the Party Leader and students in the future.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20689
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faridah
"Golkar adalah organisasi politik di Indonesia yang selalu menempati urutan tertinggi dalam perolehan suara pada setiap Pemilu. Hal ini selain karena Partai Golkar didukung oleh struktur organisasi dan kelembagaan yang sudah mapan, juga karena telah memiliki pengala man yang cukup matang dalam pemenangan suara dalam setiap pelaksanaan Pemilu. Namun, kesuksesan tersebut belum didukung oleh penerapan kebijakan yang lebih responsif gender yang berakibat pada rendahnya tingkat keterwakilan perempuan dalam kepengurusan Partai Golkar dan di parlemen. Jadi, permasalahan penelitian ini adalah bagaimana kebijakan Partai Golkar dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di Parlemen pada periode kepengurusan 1999 - 2004.
Penelitian ini terkait erat dengan teori budaya patriarki dari Gorda Lerner dan Aristoteles, teori gender dari Arid Budiman dan Nunuk P Murniati, teen Kuota dari Drude Dahlerup, teori kebijakan dari Friedrick dan Anderson, teen demokrasi dari Robert Dahl, serta mempunyai signifikansi dengan pengembangan teori Partai Politik yang terkait erat dengan fungsi Partai Politik dan Miriam Budiarjo.Dari teori tersebut, terdapat signifikansi praktis dalam upaya untuk mendorong keterwakilan perempuan di kepengurusan Partai Golkar khusiisnya dan di Parlemen umumnya.
Fokus analisis penelitian ini adalah pada Partai Golkar dengan variabel yang diamati adalah kebijakan dan fungsi Golkar sebagai Partai politik, sosialisasi politik , dan sistem rekruitmen dalam partai Golkar.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data penelitian bersumber dari hasil wawancara mendalam (dept interview) terhadap 15 orang informan kunci (key informant). Teknik penentuan informan kunci dengan metode snow ball. Data sekunder meneakup studi kepustakaan dan publikasi ilmiah serta laporan lembaga resin yang terkait dan dapat dipertanggungjawabkan secara akadeniik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagai Partai, Golkar memiliki kebijakan politik yang jelas, dengan mekanisme (struktur dan kerangka) organisasi dan pengkaderan yang modem, terstruktur dan sistematis dengan poly rekruitmen kader yang baik. Tapi, budaya patriarki sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Gorda Lerner dan Aristoteles masih mengakar kuat di tubuh Partai Golkar yang berimplikasi pada rasionalisasi penempatan pengurus perempuan dalam struktur partai menjadi tidak signifikan dengan jumlah kader perempuan Partai Golkar dan kurangnya peningkatan keterwakilan perempuan di Parlemen. Partai Golkar juga belum maksimal dalam menjalankan fungsinya secara lebih "demokratis" sebagaimana teori Robert Dahl, yang berimplikasi pada kebijakan yang bias gender yang mengakibatkan rendahnya keterwakilan perempuan di Parlemen, yalmi hanya berhasil menempatkan 16 orang kader perempuan atau 11,76% dari 136 kursi yang diperoleh Partai Golkar dalam Pemilu 1999 lalu..rumlah yang jaub dari target kuota yang disarankan dalam UU Partai Politik.

Golkar is a political organization in Indonesia which always in the highest position in every election. It is not only because the party is supported by an establish structure of organization and institution, but also its vivid experience in winning the elections. However, its success has not been supported by more responsive politic implementation on gender which causes lower-level women representative ness in the board of the organization and in the parliament. Thus, the problem of the research is that how is the policy of the party in increasing women representative ness in parliament in the period of 1999-2004.
This research has a strong attachment with theory of culture of patriarchy from Gerda Lerner and Aristoteles, theory off gender from Arief Budiman and Nunuk P Murniati, theory c; quota from Drude Dahlerup, theory of policy from Friedrick and Anderson, theory of democracy from Robert Dahl, theory and relates to development theory of political party from Miriam Budiardjo. From the theories, there is a practical significance of efforts in endorsing women representative ness in the board of the party and in parliament in general,
The focus of the research is on Golkar Party and variables of the research are policy and function of the party as a political party, political socialization, and recruitment system in the party. The research applies a qualitative approach. Data resources of the research are from in=depth interview on 15 key informants using snowball technique. Secondary data includes literature study, scientific publication, and also official reports from related institutions,
The result of the research shows that as a party, Golkar has a clear policy, with its mechanism (structure and framework) of organization and modern, structured and systematic forming of cadre with good recruitment system. However, culture of women in its board and representative in parliament. The party has also less afford in implementing its function to be more democratic. It implicates to bias gender policy and lower-level of women representative ness in parliament. The party only got 16 representatives or 11, 76% from 136 seats of the party in parliament a results of 1999 election and less then quota targeted by the law of Political Party.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21723
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meissy Sabardiah
"Partai Politik memegang peranan penting dalam upaya mewujudkan demokrasi di suatu negara, mengingat kedudukannya sebagai peserta pemilihan umum yang berusaha menjaring suara dan aspirasi masyarakat untuk meraih kekuasaan dalam negara dan mewujudkan aspirasi tersebut dalam kebijakan publik. Dengan diundangkannya Undang-undang No. 2 tahun 1999 tentang Partai Politik maka terhadap parpol dapat diajukan gugatan perwakilan masyarakat sehubungan dengan adanya dugaan pelanggaran Undang-undang oleh partai politik tersebut, dimana apabila terbukti maka terhadap partai yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi diantaranya sanksi pencabutan hak partai politik untuk ikut serta dalam pemilu. Proses penjatuhan sanksi di atas dilakukan setelah melalui proses peradilan di Mahkamah Agung yang diatur lebih lanjut melalui PERMA No. 2 tahun 1999 Tentang Pengawasan Partai Politik sebagai pedoman dalam melaksanakan proses peradilan termaksud. Pengaturan ini tidak mengatur Hukum Acara apa yang dijadikan acuan dalam memeriksa, menyidangkan dan memutus perkara tersebut. Namun dalam kasus, mekanisme peradilan terhadap gugatan atas partai politik dilakukan dengan berpedoman pada Ketentuan H.I.R dan ketentuan dalam PERMA No. 2 tahun 1999."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miftahuddin
"Munculnya radikalisme di kalangan kaum muda merupakan fenomena yang penting untuk diamati. Di tengah kehidupan sebuah bangsa yang tengah menapaki masa transisi menuju demokrasi, munculnya radikalisme politik bisa dimaknai secara ganda: positif dan negatif. Secara positif ia bisa dipandang sebagai daya dorong yang mempercepat proses demokratisasi, tetapi secara negatif bisa dimaknai sebagai ancarnan bagi tegaknya demokrasi. Dalam tesis ini peneliti lebih melihat radikalisasi pemuda sebagai hal yang positif dalam merombak sistem sosial politik yang lama, menuju ke arah sistem baru yang lebih adil dan demokratis.
Tesis ini memfokuskan perhatian pada proses terjadinya radikalisasi politik dalam tubuh Partai Rakyat Demokratik (PRD), sebuah partai politik yang ikut dalam Pemilu 1999. Sejak awal, PRD merupakan wadah tempat anak-anak muda melakukan serangkaian tindakan radikal dalam menentang kebijakan rezim Orde Baru Soeharto.
Dalam terminologi ilmu sosial radikalisme merupakan: suatu paham atau aliran dalam gerakan sosial politik, yang ingin membangun suatu dunia atau tatanan sosial politik yang lebih baik; dengan cara menghancurkan akar kejahatan sosial; menghilangkan institusi-institusi yang dianggap menjadi penghalang bagi tegaknya demokrasi; dengan program membangun sistem politik ekonomi yang demokratis dan bervisi kerakyatan. Sifat gerakan radikal adalah revolusioner (bukan evolusioner, reformis, atau gradual), dan untuk itu gerakan ini senantiasa menantang kemapanan kekuasaan yang tidak populis.
Penelitian ini-bersifat kualitatif, dengan mencoba memahami pemikiran, sikap dan sifat dari tindakan yang diambil oleh PRD dalam merespons perkembangan sosial politik yang ada, baik pada level lokal maupun nasional. Untuk kepentingan pemahaman itu, peneliti mengumpulkan bahan-bahan (data-data) melalui tiga cara; kajian dokumentasi dan literatur, wawancara mendalam, dan observasi.
Yang menjadi pedoman awal penelitian ini adalah pembacaan terhadap sejarah perjalanan bangsa secara umum, yang dengan jelas menempatkan pemuda sebagai salah satu sosok sentral. Di dalam banyak momentum penting, seringkali kaum muda tampil ke depan, memberikan jawaban dan solusi ketika terjadi kebuntuan politik. Eksistensi kaum muda yang demikian ini, dengan jelas tergambar dalam khazanah sejarah bangsa, yang dilukiskan dengan angkatan-angkatan; Angkatan 1908, Angkatan 28, Angkatan 45, dan juga Angkatan 1966. Dan mungkin Angkatan 1998!
Pada saat yang sama Peneliti juga menyaksikan ada sekelompok kaum muda yang tidak diukir dengan tinta emas sejarah seperti itu, tetapi sesungguhnya mereka juga memiliki andil dalam merobohkan struktur politik yang korup dan menindas. Mereka berjuang di tingkat akar rumput (grassroots) dengan penderitaan fisik dan mental karena berbagai tekanan; baik dari penguasa maupun dari masyarakatnya sendiri. Tetapi sesungguhnya mereka berhasil mewujudkan cita-cita mereka, yang antara lain berupa; `Pencabutan Dwi Fungsi ABRI', `Pencabutan Paket 5 W Politik', `Penurunan Soeharto', `Referendum untuk Rakyat Maubere'. Mereka itu adalah para aktivis Partai Rakyat Demokratik.
Dengan menggunakan kerangka strukturasi Giddens-yang menunjukkan adanya sifat dualitas dalam struktur (duality ofstructur)--penelitian ini menunjukkan bahwa meski Orde Baru dengan seluruh perangkat dan sumber daya yang mereka miliki (rules and resources) telah mencoba mendominasi seluruh aktor yang ada di bawahnya, tetap saja ada ruang dan cara yang cukup bagi aktor untuk melakukan 'perlawanan' terhadap struktur. Bahkan dalam banyak hal, aktor justru memanfaatkan kebijakan yang diterapkan oleh struktur sebagai `alat' untuk melawan. Gerakan kaum muda yang semula hanya bersifat protes sosial, karena ditumpas secara represif akhimya malah merubah gerakan menjadi bersifat ideologis dan radikal.
Tampak ada korelasi yang signifikan antara tingkat represifitas penguasa dengan tingkat resistensi yang diberikan. Mengikuti teori pegas, semakin kuat penekanan semakin kuat pula tingkat perlawanan.
Tesis ini berkesimpulan, pertama, konsep teoritik strukturasi Giddens relevan untuk menjelaskan tentang proses terjadinya radikalisme kaum muda (meski tesis ini hanya mengeksplorasi satu aspek dari tiga aspek utama yang disebut Giddens, yaitu aspek struktur `Dominasi'). Kedua, konsep radikalisme Popper berlaku dalam radikalisme PRD dengan catatan radikalisme PRD tidak persis se-ekstrim konstruksi Popper yang menyarankan adanya `pembunuhan, pengusiran dan pendeportasian'.
Ketiga, tentang kemunculan radikalisme, penelitian ini dalam beberapa hal mengukuhkan teori Jocano, tetapi ada perbedaan mendasar, jika Jocano menunjukkan radikalisme muncul sebagai respons terhadap modernisasi, PRD tidak pernah menentang atau menolak modernisasi. Radikalisme PRD hanya menentang dan melawan setiap aspek kehduoan yang mengancam tegaknya demokrasi dan HAM."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T10985
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Zaini
"Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi keagamaan memiliki karakteristik yang berbeda dengan organisasi-organisasi lainnya. Organisasi ini memiliki kultur yang khas, yakni budaya ketaatan para santri (anggota NU) kepada para kiai yang merupakan elit-elit di NU. Budaya itu, terbangun di lingkungan pesantren, di mana para kiai diposisikan sebagai patron yang memiliki kekuasaan dan kewenangan yang sangat tinggi.
Ketika kultur itu diterapkan di lingkungan pesantren, interaksi sosial yang terbangun adalah interaksi sosial yang diwarnai ketaatan dan penghormatan yang begitu tinggi dari pada santri kepada kiai dan keluarga kiai. Namun, ketika kultur itu diterapkan di luar pesantren, khususnya di partai politik, kuitur semacam itu menimbulkan berbagai konflik politik.
Di lingkungan NU, frekuensi konflik sangat tinggi. Tercatat, ketika NU memutuskan keluar dari Masyumi pada 1952, konflik politik seperti itu telah muncul. Suasana seperti itu juga terjadi ketika NU masih aktif berfusi di PPP (1973-1984), kembali ke khittah (1984), serta pasta pemerintahan Orde Baru saat ini (1998-2003).
Fenomena di NU itu merupakan sesuatu yang sangat kontradiktif: Di satu sisi (ketflca diterapkan di pesantren) melahirkan suasana yang serba patuh, namun di sisi lain (ketika diterapkan di partai politik) melahirkan konflik politik yang berkepanjangan. Kondisi itu, semakin menarik karena dalam berpolitik, dengan menggunakan kaidah usul fiqih, NU semestinya bisa sangat konpromistis.
Dalam kaidah usul fiqih itu, ada beberapa prinsip hukum yang memungkinkan tiap politik warga NU sangat lentur dan fleksibel. Sehingga, tidak jarang muncul penilaian, dalam berpolitik, NU oportunis. Namun, fakta di lapangan menunjukkan, hal itu tidak berlaku di internal NU. Ketika bersentuhan dengan politik, warga NU, khususnya para elitnya selalu terlibat dalam konflik politik.
Jadi, pertanyaan yang muncul; mengapa NU selalu dilanda konflik politik?
Guna meneliti fenomena tersebut, penelitian menggumakan metode analisis proses terhadap konfhk-konflik yang terjadi di NU. Metode ini masuk pada paradigma kualitatiĀ£ Untuk memperoleh data-data mengenai konflik di NU 1952-2003, digunakan studi dokumen, wawancara dan pengamatan.
Adapun teori yang digunakan adalah teori konflik, teori kepemimpinan kharismatik dan teori elit.
Dari penelitian ini, ditemukan beberapa temuan penting. Di antaranya;
- Dalam berpolitik, warga NU selalu menggunakan standar ganda. Satu sisi berpijak pada kultur yang ada di pesantren. Namun, di sisi lain, menerapkan mekanisme politik modem yang . demokratis. Penggunakan standar ganda ini juga tercermin dengan struktur organisasi di NU, yakni adanya syuriah/syura dan tanfdziyah/tanfidz. Hal itu memungkinkan terjadinya konflik di antara mereka. Sebab, masing-masing pihak memiliki pembenaran sendiri-sendiri.
-Kaidah usul fiqih yang memungkinkan sikap politik yang lentur dan kompromistis, ternyata lebih banyak digunakan ketika NU secara institusional menghadapi persoalan dengan pemerintah yang berkuasa. Namun, ketika menghadapi persoalan di internal NU, hal itu jarang digunakan acuan. Pada bebarapa kasus, memang digunakan. Akan tetapi, kecenderungannya bukan untuk merumuskan format konsensus, melainlcan untuk mencari pembenaran dan legitimasi keagamaan.
- Dalam berpolitik, budaya patronase selalu diterapkan. Para santri yang menjadi pengikut, selalu dijadikan instrumen bargaining politik. Tokoh NU yang memiliki pengikut (santri) yang besar, kendati tidak memiliki skill politik yang memadai, selalu menuntut peran politik yang besar. Ketika peran itu tidak terpenuhi, mereka akan melakukan penarikan dukungan atau sabotase politik, seperti upaya pendongkelan.
- Terkait dengan upaya mempertahankan patronase, elit NU cenderung menutup terhadap munculnya patron baru di lingkungan NU. Hal ini terjadi, baik tatkala masih berada di lingkungan pesantren atau setelah di luar pesantren. Kondisi itu, akhirnya menimbulkan konflik antara tokoh yang sudah merasa layak menjadi patron baru dengan patron sebelumnya.
Semua fenoma di atas, terjadi karena pada dasarnya, dalam berpolitik warga NU memiliki motivasi yang lama dengan para politisi lainnya, yakni, mengejar kepentingan pribadi atau kelompok. Ketulusan dan keikhlasan yang terbangun di lingkungan pesantren, memudar ketika tokoh tersebut telah masuk ke arena politik praktis. Hanya, perubahan itu tetap berusaha disembunyikan dengan membungkusnya dengan legitimasi agama. Karena itu, dalam penelitian ini disimpulkan, ketika warga NU masih terus menerapkan budaya politik yang dipraktekkan selama ini, maka konflik politik di NU sangat sulit dihindarkan.
Dengan demikian, untuk meminimalisir konflik tersebut, mutlak dilakukan perubahan budaya politik di lingkungan NU: Warga NU, harus bisa membuat garis yang tegas, antara sebagai anggota NU dengan sebagai anggota partai politik. Norma dan etika yang dipegang NU, bisa saja diimplimentasikan dalam bentuk perilaku politik warga NU. Namun, dalam hal-hal tertentu, khususnya ketika terjadi konflik, mekanisme organisasi politik modern, harus dijadikan acuan bersama. Sikap penggunaaan standar ganda, harus secepatnya ditinggalkan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13796
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umar Ibnu Alkhatab
"Permasalahan utama penelitian ini adalah menemukan mekanisme pertahanan diri Partai Golkar dalam konstelasi politik nasional dan faktor-faktor yang rnelingkupinya. Untuk membahas hal tersebut, penulis menganggap bahwa ada sejumlah mekanisme yang telah memainkan peran penting dalam memfasilitasi keberlangsungan Partai Golkar dalam membuktikan anggapan itu, penulis dibimbing oleh pertanyaan pokok: bagaimana bentuk mekanisme pertahanan diri itu.
Penetitian ini menggunakan prosedur dedskriptif-analitis atau eksplanatoris yang .diiakukan selama hampir empat bulan dengan metode studi kasus. Teori yang membimbing penulis adalah teori Talcott Parsons mengenai skema adaptasi sistem sosial melalui kerangka Adaptation, Goal Attainment, Integration, and Laten Pattern Maintanance atau yang lebih dikenal dengan skema A-G-I:-L
Dengan metode dan teori tersebut, penulis menemukan bahwa ada mekanisme pertahanan diri Partai Golkar dan ia telah berperan penting dalam mempertahankan eksistensi Partai Golkar. Hanya saja, lahirnya mekanisme itu tidak bisa dilepaskan dari masalah yang dihadapinya, berupa resistensi masyarakat. Inilah yang memberikan peluang baginya untuk menciptakan jalan keluarnya sendiri, yaitu mekanisme pertahanan diri yang terorganisir dengan sistematis. Tekanan pubik itu dapat disebut sebagai vitamin sehingga dapat dikatakan di sini bahwa faktor itulah yang berperanan penting dalam kelangsungan Partai Golkar.
Mekanisme yang ditemukan penulis adalah bahwa Partai Golkar merestorasi ide politiknya agar sesuai dengan situasi yang baru. Usaha ke arah itu dilakukan dengan menjadikan Golkar sebagai partai (adaptasi) dan melahirkan paradigma baru agar sesuai dengan tuntutan zaman (integrasi). Sementara tujuan dan latensinya ditegaskan dengan keinginan Partai Gokar untuk mengikuti pemilu dengan tetap menggunakan brand lama (Golkar) dan ideologi Pancasila.
Satu hal yang penting adalah bahwa bertahannya Partai Golkar dalam konstelasi politik nasional dikarenakan masih bekerjanya mesin politik lama yang ditinggalkan oleh Orde Baru, yakni Golkar beserta pengurus-pengurusnya yang didominasi oleh para politisi kawakan yang sebagian besar masih mendominasi lembaga legislatif dan birokrasi.
Hemat penulis, mekanisme yang dikembangkan untuk mempertahankan diri tersebut -meskipun sangat penting demi kelangsungan partai- bukan satu-satunya faktor yang menentukan daya tahan Partai Golkar, melainkan ada faktor lain yang tidak kalah penting, yaitu kinerja partai karena perkembangan politik ke depan sangat ditentukan oteh kemampuan partai politik mewujudkan dirinya sebagai partai yang kredibel. Atas dasar kepada Partai Golkar, yang memiliki modal politik yang sangat signifikan, penulis sampaikan pentingnya proteksi diri dengan kebijakan-kebijakan politik yang dapat mengurangi resistensi masyarakat.
Dengan kata lain, perlu dikembangkan kebijakan politik yang berbasis pada etika politik yang dianut masyarakat sehingga daya tahan partai tidak hanya diukur dengan kecanggihan bermanuver, tetapi juga dengan kepercayaan masyarakat yang semakin meninggi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14375
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: GOLKAR, 1984
324.026 PAN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Riyono Asnan
"Maksud dan tujuan penelitian mengenai Sirkulasi Elite Partai GOLKAR Pasca Orde Baru adalah pertama, untuk rnenggambarkan seperti apa sirkulasi atau pergantian elite Partai GOLKAR pasea Orde Baru. Kedua, untuk mengetahui perbedaan bentuk sirkulasi elite GOLKAR ketika semasa Orde Baru yang tergantung restu elite dalam hal ini Ketua Dewan Pembina GOLKAR Soeharto dan semasa reformasi, apakah mengalami perubahan seiring tuntutan reformasi yang disuarakan oleh mahasiswa. Ketiga, untuk mengetahui perubahan-perubahan yang texjadi di Partai GOLKAR sehingga rnenyebabkan organisasi ini tetap kukuh berdiri di tengah badai perubahan? Keempat, untuk mengetahui apakah sirkulasi elite dan perubahan-perubahan di Partai GOLKAR tersebut mempunyai dampak terhadap proses demokratisasi di tubuh GOLKAR.
Dalam penelitian ini digunakan teori elite yang dikemukakan oleh Gaetano Mosca, Vilfredo Paretto, C. Wright Mills dan Robert Michels. Konsep teori elite yang dikemukaan mereka pada dasarnya adalah bahwa setiap struktur sosial masyarakat pasti terdapat kelompok sosial yang mempunyai kemampuan, kekayaan dan kecakapan tertentu yang dapat membedakan mereka dengan kelompok lainnya. Kelompok masyarakat yang mempunyai kelebihan ini oleh para teoritisi elite disebut sebagai kelompok elite. Dalam struktur kekuasaan, kelornpok elite ini biasanya memegang peranan lebih besar dibanding kelompok lainnnya. Mereka biasanya menjadi pemimpin di dalam struktur kekuasaan. Sedangkan kelompok lainnya, yang berada diluar kekuasaan mengambil sikap oposisi atau sebagai kelompok yang mengkoreksi segala kebijakan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan. Sebenarnya, kedua kelompok ini saling bersaing untuk memperebutkan kekuasaan.
Dalam proses Sirkulasi Elite di GOLKAR Pasca Orde Baru nampak sekali terjadi perubahan seiring perubahan politik di luar GOLKAR. Sirkulasi elite yang sebelumnya tergantung sepenuhnya kepada presiden Soeharto, telah mengalami perubahan mengikuti perkembangan politik di luar GOLKAR. Faksi-faksi yang ada di GOLKAR mempunyai kesempatan dan peluang yang sama untuk memperebutkan kekuasaan. Perubahan ini nampak terlihat saat GOLKAR menggelar Munaslub tahun 1998 dan Munas VII GOLKAR di Bali. Semua kelompok baik penguasa (Srigala) maupun oposisi (Singa) saling bersaing untuk mendapatkan dukungan dari arus bawah. Perubahan-perubahan ini telah menjadikan GOLKAR lebih demokratis dibanding semasa kekuasaan Orde Baru. Terjadi ledakan panisipasi yang cukup besar dari arus bawah (DPD I dan II) setelah jatuhnya presiden Soeharto.
Dari dua kali perubahan elite di GOLKAR, nampak kepentingan negara ikut mempengaruhi proses sirkulasi elite. Munaslub 1998 kepentingan negara terpersonifikasikan ke dalam diri B.J. Habibie. Habibie sangat berkepentingan untuk mernpertahankan kekuasaannya sehingga ia perlu menempatkan orang kepercayaannya untuk memimpin GOLKAR yalmi Akbar Tandjung. Sedangkan dalam Munas VII GOLKAR di Bali, kepentingan negara terwakili pada diri Jusuf Kalla. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla sangat berkepentingan untuk menjinakkan sikap oposisi GOLKAR yang tergabung dalam koalisi kebangsaan. Langkah ini diambil untuk mengamankan kebijakan pemerintali agar mendapat dukungan dari parlemen. Dukungan dari parlemen ini sangat penting untuk memperkokoh kebijakan pemerintah dan untuk menjamin kelangsungan program pemerintah maka negara perlu menguasai Partai GOLKAR. Faktor lain yang mempengaruhi sirkulasi elite di GOLKAR adalah kharisma elite (pengaruh elite), idiologi dan kepentingan politik sesaat elite yang biasanya bersifat oportunistik.
Dari hasil penelitian tersebut, nampak sekali bahwa teori elite yang dikemukakan oleh Pareto, Mosca, Michels dan Mills jika diterapkan di GOLKAR tidak sesederhana yang mereka bayangkan. Perlu memperhatikan nilai-nilai lokal dimana organisasi itu berada. Hal ini wajar mengingat kondisi sosial politik saat teori ini muncul yakni di Italia dan Amerika Serikat berbeda dengan kondisi Indonesia. Masyarakat di Italia dan Amerika Serikat tentunya lebih maju dibanding dengan kondisi masyarakat Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21911
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>