Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 158459 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irzanti Sutanto
Depok: Universitas Indonesia, 2003
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Riyawanti
"Skripsi ini merupakan penelitian semantis tentang kolokasi sintagmatis monem argent yang bermakna alat pemhayaran, di dalam ungkapan berbahasa Prancis. Tujuan dari penelitian ini adalah mendiskripsikan kolokasi tersebut. Kolokasi sintagmatis adalah kesesuaian semantis antarunsur yang herada di dalam satu rangkaian ujaran.
Analisis mencakup dua segi pembahasan, yaitu segi semantis dan sintaktis. Teori-teori semantis yang digunakan untuk meneliti data, yang berjumlah 79 (tujuh puluh Sembilan) ungkapan diambil dari entri monem argent di dalam kamus Le Grand Robert dan Dictionnaire des Expressions et Locutions, adalah neon makna dan kolokasi yang dikemukakan oleh Palmer, teori konteks dan situasi oleh Baylon, teori perubahan makna dan proses metaforis oleh Rend Dirven dan Tutescu, serta teori-teori lain oteh Hillary Bool dan Harimurti Kridalaksana. Teori tentang satuan sintaktis oteh Andre Martinet digunakan untuk mengklasifikasikan data menurut tataran sintaktis Bahasa Prancis.
Setelah dilakukan analisis terhadap semua data, berdasarkan kolokasi sintagmatis monem argent, ditemukan dua jenis ungkapan yakni ungkapan yang berkolokasi hiasa, bila antarunsurnya mempunyai kesesuaian semantis hiasa, dan ungkapan yang berkolokasi iuar hiasa, bila di dalamnya terjadi perubahan makna pada satu atau beberapa unsurnya yang berupa proses metaforis. Proses metaforis yang didapatkan adalah metafora dalam arti sempit, metonimi, campuran metafora dan metonimi, serta sinestesia. Di samping itu ditemukan pula perubahan acuan pada monem argent, yaitu tidak lagi mengacu kepada alat pembayaran, melainkan kepada sesuatu yang herharga dan kepada pelaku."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
S14393
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sudirman Wilian
"This paper discusses about speech levels in Sasak, the language of the indigenious
people of the island of Lombok, examining the style, meaning and some historical background
of the speech levels. Based on the data, it shows that Sasak, like Javanese and Balinese, also
contains low, mid, high and few honorific vocabularies which are assumed to have been
borrowed from Javanese (Steven, 1975; Nothofer, 1975). However, the use of the high and
honorific variations are scarecly heard in the everyday common Sasaks conversation. In most
occurrences, the high speech level is pronounced only among the so called menak Sasaks and
its surrounding. Therefore, it rejects the idea that Sasak speech levels is as elaborate and
complex as Javanese due to the fact that Sasak has only a few high and honorific vocabularies
known by the Sasak aristocracy."
University of Indonesia, Faculty of Humanities, 2006
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Suyitno
"Teaching Indonesian for Foreign Learners or Indonesian as a Foreign Language (IFL) is different from teaching Indonesian as a first language. The differences are due to the characteristics of the learners. IFL learners generally are adults who have language and cultural background and learning style different from those Indonesian learners have. These differences demand IFL teachers and instructors to prepare teaching-learning materials and the activities of the teaching-learning process in the classroom that are relevant to the learners? needs. Understanding the entry level behavior of the learners, the teaching materials, the teaching-learning approach, and the evalution process is of crucial importance in order to fulfill their needs. Learning needs analysis of IFL learners is also a prerequisite to developing adequate teaching-learning materials of IFL."
University of Indonesia, Faculty of Humanities, 2007
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Komariah
[place of publication not identified]: Lima-Lima Jaya, 2011
499.222 SIT s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Sundari Husen
Depok: Faculty of Humanities University of Indonesia, 2003
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Setiawati Darmojuwono
Depok: Faculty of Humanities University of Indonesia, 2000
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Wahyuning M. Irsyam
"ABSTRAK
Menjelang akhir abad XIX, Hindia Belanda mengalami proses perubahan sosial yang sangat cepat akibat penetrasi kapitalisme. Perkebunan besar, perubahan aturan tenaga kerja, dan penyewaan tanah dari petani merupakan ciri umum dari proses ini, yang mengubah sendi-sendi kehidupan masyarakat. Ekonomi komoditi menjadi dominan dan secara bertahap menggeser kegiatan ekonomi rakyat. Bagi pemilik modal asing, menanam modal di tanah jajahan bukan hanya memindahkan sebagian kekayaan di tanah jajahan. Dalam hal ini infrastruktur pendukung gerak modal menjadi elemen yang sangat penting.
Mendekati abad XX negara kolonial melakukan pembangunan secara besar-besaran: jalan raya, pelabuhan dan kantor-kantor dagang mulai dibangun, jaringan kereta api diperluas, bank-bank mulai tumbuh dan tentu saja ini akan berpengaruh pada dunia pendidikan dalam kaitan menyiapkan tenaga kerja yang akan menggerakkan semua perlengkapan yang tengah dibangun.
Penetrasi kapitalisme di Hindia Belanda membawa persoalan sosial yang laten, seperti adanya petani yang kehilangan tanah, konsentrasi alat-alat produksi di tangan tertentu, dan munculnya buruh upahan yang makin lama makin besar. Persoalan ini berkembang menjadi ketegangan di dalam masyarakat, dan pada abad XIX letupannya sudah bisa dilihat dalam bentuk pemberontakan-pemberontakan petani di seluruh Jawa. Ini adalah reaksi spontan dari rakyat yang langsung merasakan akibat-akibat dari perubahan ini. Ciri utama dari pemberontakan petani tersebut adalah gagasan yang dikembangkan dalam pemberontakan seperti Ratu Adil, Messianisme, Nativisme dan Milenarisme. Gagasan ini tentunya memiliki sejarah yang panjang dan tetap hidup dalam kerangka berpikir masyarakat pada abad XIX. Dalam hal ini pemerintah kolonial yang dilengkapi dengan tentara modern dan peralatan represif lainnya di satu pihak selalu berhasil menumpas dan mempertahankan kekuasaannya, namun di lain pihak mereka membiarkan persoalan sosial yang laten tersebut terus berkembang.
Perkembangan kapitalisme selanjutnya terus menerus mengubah hubungan-hubungan sosial produksi, dan menghadirkan dunia modern di tanah jajahan. Hindia Belanda "secara resmi" terlibat dalam dunia internasional, di mana bukan hanya modal yang mendesak masuk, tetapi juga gagasan-gagasan tentang dunia dan kehidupan modern. Pengaruhnya langsung terlihat pada bumiputra terpelajar, terutama bagi mereka yang menguasai bahasa Belanda. Gagasan-gagasan modern mulai dapat dibaca di suratkabar, novel, dan barang cetakan lainnya, dan tak lama sesudahnya mapan sebagai bagian dari kehidupan intelektual di tanah jajahan.
Secara umum penelitian ini mencoba untuk mendeskripsikan dan menganalisa peranan dan kedudukan bahasa Melayu pada Masa Pergerakan. Bagaimana hubungan bahasa dan politik pada masa Pergerakan merupakan salah satu pertanyaan yang akan dicarikan jawabannya dalam penelitian ini. Pertanyaan-pertanyaan lain yang juga ingin dicarikan jawabannya adalah bagaimana mereka (baca orang-orang pergerakan) mendefinisikan persoalan yang mereka hadapi; bagaimana mereka mendefinisikan posisi mereka sendiri dalam menghadapi persoalan tersebut dan bagaimana sebenarnya mereka mengoperasikan gagasan-gagasan yang ada, dikaitkan dengan perkembangan politik pada waktu itu. Dengan kata lain bagaimana hubungan bahasa dan politik. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan, pertama untuk menjernihkan panggung politik pergerakan, yang di dalam penulisan sejarah yang ada masih sangat terbatas, dan menjadi sumber kekeliruan yang sangat besar. Penulisan sejarah pada umumnya hanya menguraikan secara rinci program dan ideologi tertentu dari sebuah organisasi dan mengamati perkembangannya secara mendalam, tapi kerap kali dilupakan bahwa penggolongan tokoh atau organisasi berdasarkan kesamaan atau perbedaan "ideologi" dan program seringkali sulit untuk dipertahankan karena dalam pengungkapan program dan ideologi, mereka berhadapan dengan bahasa yang bukan hanya sekedar alat penyampai gagasan tetapi juga sesuatu yang membatasi ruang gerak pemakainya. Hedua, untuk memperkaya kepustakaan tentang masa pergerakan nasional.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan hubungan antara bahasa dan politik di Indonesia pada awal abad 20. Dengan kata lain bagaimana sebenarnya orang-orang pergerakan mengoperasikan gagasannya melalui bahasa.
Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara. Metode yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah metode deskriptif analitis, dengan tekanan terhadap analisis perubahan, pergeseran, usaha pemurnian dan pertentangan bahasa yang sangat kompleks. Tekanannya tidak di letakkan pada untaian peristiwa sejarah (historical events) yang menceriterakan tokoh, organisasi atau peristiwa tertentu, tetapi lebih kepada analisis proses sejarah (historical process). Peristiwa maupun tokoh dengan demikian hanya disinggung sejauh benar-benar memberikan pengaruh yang mendalam terhadap proses 'sejarah tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa surat kabar merupakan senjata yang ampuh di kalangan pergerakan. Ungkapan pikiran yang berupa gagasan mereka tuangkan melalui suratkabar dengan menggunakan bahasa Melayu rendah. Bahasa Melayu rendah dengan cepat menyebar dalam dunia cetak mencetak dan menjadi bahasa yang umum dipakai di kalangan pergerakan, sebagai Bahasa Melayu Pergerakan. Melalui suratkabar, orang-orang pergerakan yang kini berpikir dalam kerangka "nasional" dapat berkomunikasi dengan "orang-orang senasib" yang tersebar di seluruh Hindia. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa buta huruf bukan merupakan hambatan bagi satu komunitas untuk terlibat dalam pembicaraan politik.

ABSTRACT
Role and Status Malay Language on the Nationalist MovementToward the end of the XIXth century, the Netherlands East Indies experienced a rapid process of social changes because of capitalist penetration. The penetration resulted in latent social problems. For example, peasants' who have lost their land. This problem then raised tensions in the society as peasants' rebellions throughout Java. The principle character of the rebellions generated is the ideas in rebellion such as Messianism, Nativism and Millenarism. The Development of capitalism continued to change the social relations of production and presented a modern world in the colonial territory. This means the capital and also ideas about modern world and life urged to penetrate. It directly influenced the educated natives, especially those who speak Dutch. Modern ideas could be read in newspapers, novels and other publications. In the early XXth century, the educated natives moved their modern ideas through publications in Malay language and also by founding the first native organizations in the colonial territory.
This research links the role and position of Malay language to politics during the movements. Anterior researches were directed more to certain figures or influences of certain ideas such as nationalism, Islam, socialism and Marxism. The problem is how the relation between language and politics, and how was it generated to express nationalist ideas.
The result of this research could clarify the platform of political movement which has been elaborated limitedly in previous historiography. These previous which pays poor attention to language becomes the biggest source of misunderstanding. The result of the research can also enrich the literature about the period of national movement.
In this research, language is not considered only as a certain sound system, which is static and has basic standard, but as something that always moves and determined generally by the development of the society. It is not situated in the exterior of the society such as reflected in the concept of "society of language user" but in inside of the society's joints that gives great influence toward its development. In that position, political life becomes dependent to language progress. The only way for modern ideas to penetrate in a certain society is through language.
The aim of the research is to describe the relation between language and politics in Indonesia during the first half of the XXth century. It can thus explain how the nationalists were using it to express and expand their ideas. Data will be collected through a study of bibliography and interviews. It will then be analyzed by special and contextual analysis, in other terms, external and internal critics. The next step is to make a report based on the data which have been analyzed through a process of historical method. The method used in the writing of the report is the analytical descriptive method with an analytical stress on changes shifts, of a very complex effort of refining and contradicting languages.
The research go to show newspaper as effective idea in the national movement. They expressed the idea in the 'Lower' Malay langguage. The 'Lower' Malay langguage spreader out very fast in the printing world and became the language used among national movement as Bahasa Melayu Pergerakan. Through newspaper, national movement who later have national thinking "can communicate with" the people who have the same fate that spreaded out in all over Netherlands Indies. The research also go to show that illiterate not become a barrier for a community to get involved in political communication."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Joesana Tjahjani
"Sexual revolution in France in the decade of the 1970s is characterized by social
openness toward sex. There is a change in the pattern of spousal living, including same-sex
relation. Homosexuals in France have the courage to declare their sexual orientation. Despite
pros and cons within the French society, PACS or the solidarity civil pact, since 1999, allowed
homosexual pairs to formalize their commitment outside marriage.
French songs with homosexual themes began to appear in the decade of the 1960s. Since
then, around 90 songs foreground homosexuality through various themes and perspectives.
In the first reading, the lyrics only foreground the emergence of consciousness or confession of
a homosexual. The theme of the orientation of homosexual behaviour can be found in most of
the songs. Other themes are related to other perspectives. Further discussion shows that these
songs are presented in terms of three negative perspectives: negative, positive and neutral.
The negative perspective uses homosexuality as an object of joke, the second proposes defense
for the homosexual community, and the neutral perspective is completely descriptive and
generally portrays sexuality and sensuality among the homosexuals."
University of Indonesia, Faculty of Humanities, 2004
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Depok: Universitas Indonesia, 1995
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>