Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 72734 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Cakra Alam Pratama Razzad
"ABSTRAK
Meluasnya praktik korupsi telah mengakibatkan kerugian yang sangat besar
terhadap pembangunan dan perekonomian suatu negara. Sedemikian besarnya
uang Negara yang dinikmati oleh pelaku tindak pidana korupsi telah
mengakibatkan dirampasnya hak-hak ekonomi dan masa depan rakyat Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 bertujuan untuk
menghukum pelaku dengan hukuman penjara yang berat dan mengembalikan
kerugian negara yang terjadi akibat tindak pidana korupsi. Pasal 18 undangundang pemberantasan tindak pidana korupsi mengatur pengembalian kerugian negara melalui penjatuhan sanksi pidana tambahan uang pengganti. Banyak terpidana tidak membayar uang pengganti sehingga menjadi piutang Kejaksaan Agung sebesar Rp13,146 triliun. Tulisan dengan judul ?Mengoptimalkan Pengembalian Kerugian Negara melalui Penjatuhan Sanksi Pidana Tambahan Uang Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi? menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif. Tulisan tersebut menjelaskan penegak hukum mempunyai andil dalam mengoptimalkan pengembalian kerugian negara. Mekanisme pidana tambahan dilakukan dengan membayar uang pengganti dalam waktu 1 (satu) bulan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap ke kas
negara, jika terpidana tidak membayar maka harta bendanya dapat disita oleh
jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Apabila harta
bendanya tidak mencukupi, maka dijatuhi pidana penjara yang telah dinyatakan
dalam putusan pengadilan. Penerapan pidana tambahan uang pengganti masih
memiliki banyak kendala. Dalam praktik, terpidana lebih memilih pidana penjara
pengganti yang rendah dibandingkan besarnya uang pengganti yang dijatuhkan, maka untuk mengoptimalkan pengembalian kerugian negara penegak hukum dapat memperberat pidana penjara pengganti atau dengan hanya menjatuhkan uang pengganti tanpa pidana kurungan pengganti sebagai cara untuk memaksa terdakwa mengembalikan uang negara

ABSTRACT
Widespread corruption has resulted in huge losses to the development and
economy of a country. The amount of money the State enjoyed by perpetrators of corruption have resulted take away from economic rights and the future of the people of Indonesia. Law No. 31 of 1999 which was then revised and amended by Law No. 20 of 2001 aims to punish with heavy prison and restore the losses that occur as a result of corruption. Article 18 legislation combating corruption arrange the return loss to the state through the imposition of criminal sanctions additional money substitutes. Many of the convict to pay compensation becomes receivable Attorney General of Rp13,146 trillion. Article entitled "Optimizing Returns Losses State through the imposition of criminal sanctions Extra Money Substitutes in Corruption" normative juridical research methods are qualitative. The article explained the law enforcers have a contribution to optimizing return on state losses. Additional criminal mechanism is done by paying replacement within one (1) month after the verdict had permanent legal power to the state treasury, if the convicted person does not pay, his property may be seized by the prosecutor and auctioned to cover the compensation. If possessions are not sufficient, then
sentenced to prison in the court judgment. Application of additional criminal
restitution money still has many obstacles. In practice, the convict would prefer
imprisonment substitute lower than the amount of compensation is imposed, it is to optimize the return loss of state law enforcement can aggravate imprisonment for a replacement or by simply dropping money substitutes without imprisonment for a replacement as a way to force the defendants reimburse the state"
2016
T47090
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutabarat, Johansen Christian
"ABSTRAKk
Tindak pidana korupsi mengakibatkan kerugian keuangan negara dan perekonomian negara, lebih jauh menghambat proses pembangunan nasional dan merampas hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Kerugian negara yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi adalah kerugian negara yang secara nyata telah terjadi dan berpotensi akan terjadi. Pengadilan yang dapat menangani perkara korupsi adalah pengadilan umum (negeri) dan pengadilan tindak pidana korupsi yang dibentuk berdasarkan UU No.46 Tahun 2009. Namun Putusan masih dirasakan kurang mewujudkan keadilan, khususnya bagi masyarakat. Penjatuhan sanksi pidana masih tidak sesuai dengan kerugian negara yang telah atau akan ditimbulkan. Kerugian negara tidak hanya yang bersifat materil tetapi juga immateril. Untuk itulah diperlukan suatu penelitian yang berusaha mencari hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan oleh hakim dalam memberikan putusan, apakah ada landasan teoritis yang mengharuskan hakim mempertimbangkan proporsionalitas antara besar kerugian negara dan sanksi yang diberikan, apakah kerugian negara merupakan faktor yang selalu menentukan besaran sanksi yang dijatuhkan dalam putusan tindak pidana korupsi. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa dalam putusannya hakim tidak memberikan pertimbangan yang jelas, hakim memutus perkara berdasarkan dakwaan yang diajukan Penuntut Umum, hakim membuktikan setiap unsur-unsur yang ada pada rumusan pasal-pasal yang ada pada dakwaan, hakim juga memberikan putusan berdasarkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Tidak ada landasan teoritis yang mewajibkan hakim untuk menjatuhkan hukuman terhadap terpidana korupsi berdasarkan besaran kerugian negara. Kerugian negara tidak menjadi ukuran penentuan besaran sanksi yang akan dijatuhkan kepada terpidana korupsi. Sehingga terjadi kesenjangan besaran sanksi pidana yang dijatuhkan dengan besaran kerugian negara yang ditimbulkan. Diperlukan suatu acuan bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman berdasarkan besaran kerugian negara yang telah ditimbulkan. Sehingga sanksi pidana yang dijatuhkan proporsional terhadap kerugian negara yang telah ditimbulkan.

ABSTRAK
Corruption resulted in financial losses of state and national economy, further impede the process of national development and depriving the rights of social and economic communities. State losses caused by corruption is a country that is a real loss has occurred and will potentially occur. Court to handle cases of corruption are common courts ( state ) and the corruption court established by UU No. 46 of 2009. But the verdict is still lacking justice, especially for the community. Criminal sanctions is not in accordance with state losses that have been or will be incurred. State losses that are not only material but also immaterial. For that we need a research trying to find whatever things are need to be considered by the judge in rendering a verdict, is there a theoretical foundation that requires judges to consider the proportionality between the huge loss to the state and the sanction, whether the loss is a country that is always a factor determining the amount of sanctions imposed in the judgment of corruption. This research is normative. The result showed that in its decision the judge did not give a clear judgment, the judge decided the case based on charges filed Prosecutor, the judge prove any elements that exist in the formulation of the existing provisions on indictment, the judge also gave a decision based on things that are burdensome and ease. There is no theoretical foundation requires judges to impose penalties against convicted of corruption based on the amount of losses to the state. The loss of the country does not become a size determination of the amount of sanctions to be imposed on convicted of corruption. So there is a gap scale criminal sanctions imposed by the amount of loss caused state. Needed a reference for the judge to sentence based on the amount of losses that have been incurred. So the criminal sanctions imposed proportionate to losses that have been incurred."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42697
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leonardo Krisnanta Da Silva
"Kejaksaan dalam menjalani fungsi kekuasaan yudikatif di bidang penuntutan dalam penegakan hukum dan keadilan, juga melakukan fungsi-fungsi yudikatif lain yang diberikan oleh undang-undang. Terutama dalam penanganan perkara korupsi yang salah satu tujuan utamanya ialah untuk memulihkan atau mengembalikan kerugian keuangan negara akibat Tindak Pidana Korupsi. Dengan mengoptimalkan kewenangan diskresi Kejaksaan yang sudah
diakui sejak pertama kali diundangkan Undang-Undang Kejaksaan Pokok Kejaksaan Nomor 15 Tahun 1961 bahwa di Indonesia Jaksa Agung berwenang mengenyampingkan perkara
pidana berdasarkan kepentingan umum. Maka seharusnya eksistensi diskresi kejaksaan dengan berlandaskan asas oportunitas dapat dijadikan acuan para jaksa untuk melawan praktik-praktik korupsi yang sudah merajalela dan banyak menimbulkan kerugian keuangan negara, agar proses pengembalian tersebut dapat dilakukan tanpa harus melewati tahapan persidangan yang begitu panjang. Untuk itu maka diperlukan adanya regulasi khusus dan pemahanan komperhensif agar dapat menemukan suatu formula yang tepat dan efektif dalam mengantisipasi berbagai bentuk kejahatan korupsi. Dengan mencari korelasi antara penerapan asas oportunitas dan asas oportunitas, serta dengan menggunakan metode perbandingan hukum terhadap peraturan-peraturan di berbagai negara di dunia.

State Attorney, in running the function of judicial power in prosecution field for law enforcement and justice, also performs other judicial functions which are given by the law. Especially in handling corruption cases that one of the main objectives (purposes) is to recover or restore state financial losses due to Corruption. By optimizing the state Attorneys discretion authority that has been recognized since it was first enacted by the Generals Attorney Law Number 15 of 1961 that in Indonesia the Attorney General has the authority to disregard criminal cases based on public interests. So the existence of a prosecutors (state attorneys) discretion based on the principle of opportunity can be used as a reference to fight corruption practices that are already rampant and cause a lot of state financial losses, so that the return process can be carried out without having to go through such a long trial. For this reason, special regulations and comprehensive understanding are needed in order to find an appropriate and effective formula in anticipating various forms of corruption. By looking for
correlations between the application of the legality of principle and the principle of opportunity, and by using the method of comparing laws against regulations in various countries in the world."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54434
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elisabeth Bethesda
"Mempidana terdakwa tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-UndangNomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-UndangNomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bukan hanya didasarkan atas perbuatan yang menimbulkan akibat yakni kerugian negara, akan tetapi cukup dengan apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat. Namun dalam prakteknya bahwa kerugian keuangan negara atau perekonomian negara membutuhkan adanya kerugian negara yang nyata atau riil. Di samping itu bahwa rumusan ancaman pemidanaan dalam kedua pasal a quo memberikan kontribusi akan terjadinya disparitas pemidanaan karena selain memuat alternatif mengenai jenis-jenis pidana juga memuat ancaman pidana minimum dan maksimum. Keadaan rumusan demikian merupakan ancaman pemidanaan dalam bentuk ruang hampa yang harus dikonkretisasi dalam penjatuhan pemidanaan. Dengan begitu pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menilai efektivitas implementasi pemidanaan dalam kaitannya dengan jumlah kerugian keuangan negara. Kajian yang dilakukan juga merupakan bentuk kajian yuridis normatif melalui pendekatan undang-undang (statute approach)dan analisa putusan (decision analysis). 

Convicting the defendants of corruption in Article 2 and Article 3 of Law Number 20 of 2001 on Amendment to Law Number 20 of 2001 on Corruption Eradication is not only based on acts affecting the state financial or economic losses, but it is rather considered as despicable because it is not corresponding to the sense of justice or the norms of social life in the society. However, state financial or economic losses require real state losses. In addition, the formulation of criminal punishment in the two a quo articles contributes to the disparity of punishment as those do not only contain alternatives regarding types of crime, but also minimum and maximum criminal punishment. This situation is a criminal punishment in the form of vacuum which must be concretized in the criminal conviction. Therefore, the approach used in this research was to assess the effectiveness of implementation of criminalization in relation to the amount of state financial losses. The study conducted was also a form of normative juridical study through a statute approach and decision analysis."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54998
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Murpraptono Adhi Sulantoro
"Tindak pidana korupsi saat ini telah bertransformasi dari delik formil menjadi delik materiil setelah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengeluarkan putusan nomor 25/PUU-XIV/2016. Beberapa ahli menilai putusan ini lebih memberikan kepastian hukum karena kerugian negara sebagai akibat dari tindak pidana korupsi harus dibuktikan. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai pengaturan, pelaksanaan, dan permasalahan dalam penentuan adanya kerugian negara dan pelaksanaan penyelesaian kerugian keuangan negara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk penelitian normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (Statue Approach) dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach). Penelitian yang telah dilakukan menjelaskan, terdapat persinggungan dalam proses penghitungan kerugian negara dalam perkara tindak pidana korupsi antara hukum administratif dan hukum acara pidana. hal tersebut memunculkan perbedaan pendapat perihal institusi yang berwenang untuk menentukan kerugian negara. Tata cara penghitungan kerugian negara dilakukan dengan pendekatan audit investigatif. Namun demikian, apakah standar dan teori yang mendasari penghitungan kerugian negara telah sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Selain untuk memenuhi unsur dari delik materiil, penghitungan kerugian negara juga memiliki arti penting untuk memberikan pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan vonis bagi terdakwa, baik itu pidana penjara maupun pidana tambahan pembayaran uang pengganti sebagai upaya pemulihan keuangan negara.

At present, corruption has been transformed from a formal criminal to a material criminal after the Constitutional Court of the Republic of Indonesia issued sentence Number 25/PUU-XIV/2016. Some experts consider this decision to provide more legal certainty because state losses as a result of corruption must be proven. This research generally aims to provide an overview of the regulation, implementation, and problems in determining the existence of state losses and implementing the settlement of state financial losses. The method used in this research is a form of normative research with a Statue Approach and a Conceptual Approach. The research that has been carried out explains that there are intersections in the process of calculating state losses in corruption cases between administrative law and criminal procedural law. This raises differences of opinion regarding the institution authorized to determine state losses. The procedure for calculating state losses is carried out using an investigative audit approach. However, whether the standards and theories underlying the calculation of state losses are following the applicable procedural law. In addition to fulfilling the elements of material offenses, the calculation of state losses also has an important meaning to guide judges in imposing sentences on defendants, both imprisonment and an additional payment of compensation as an effort to recover state finances."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daru Iqbal Mursid
"Korporasi didefinisikan sebagi kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisi baik merupakan badan hukum maupn bukan badan hukum. Salah satu bentuk korporasi yang berbentuk badan hukum adalah partai politik. Dalam negara demokrasi, partai politik memiliki peran yag sangat penting untuk menunjang kahidupan berbangsa dan bernegara. Namun, dalam perkembangannya di Indonesia, terdapat beberapa partai politik yang diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Meskipun secara normatif sistem hukum pidana Indonesia telah mengakui partai politik sebagai subjek hukum tindak pidana, namun sampai saat ini belum ada satupun partai politik yang dikenakan pertanggungjawaban pidana, khususnya dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Maka dalam penelitian ini akan dibahas tentang konsep pertanggungjawaban pidana terhadap partai politik yang terlibat tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, konsep pemidanaan yang dapat dijatuhkan kepada parta politik yang terlibat tindak pidana korupsi dan pencucian uang, dan faktor-faktor yang menghambat dikenakannya pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan terhadap partai politik yang terlibat tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penilitian yuridis-normatif, dengan menggunakan pendekatan masalah peraturan perundang-undangan, perbandingan hukum, dan konseptual.

A corporation is defined as a collection of person and / or assets organized either as a legal entity and not a legal entity. One of corporation that defined as legal entity is a political party. In a democratic country, political parties have a very important role to support the life of the nation and the state. However, in Indonesia, there are several political parties allegedly involved in corruption and money laundering. Although Indonesian criminal justice system has acknowledged political parties as the subject of criminal law, yet to date no single political party has been subject to criminal responsibility, particularly in corruption and money laundering. In this research will be discussed about the concept of criminal liability for political parties that involved in corruption and money laundering crimes, the concept of punishment that can be imposed on political parties that involved in corruption and money laundering, and the inhibits factors for imposition of criminal liability of political parties that involved in corruption and money laundering. The research method used in this research is the method of juridical-normative method, and using statue approach, comparative approach, and conceptual approach.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54727
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Athika Salsabilla
"Tindak pidana korupsi dianggap sebagai suatu tindak pidana serius yang penanganannya juga harus dilakukan secara serius karena sangat mengganggu hak ekonomi-sosial masyarakat dan negara dalam skala yang besar, dimana pembuktiannya membutuhkan langkah-langkah yang serius, profesional dan independen. Dalam UU Nomor 20 Tahun 2001, jika kita kaji lagi lebih dalam, maka sasaran yang sebenarnya ingin dicapai oleh legislator adalah bagaimana cara agar pekerjaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam menangani tindak pidana korupsi dapat secara optimal mengembalikan kerugian keuangan negara. Selama ini, penjatuhan hukuman yang diterapkan pada penanganan tindak pidana korupsi tampaknya masih belum dapat secara optimal mengembalikan kerugian keuangan negara. Dalam hal ini, fokus utama dalam penyelesaian tindak pidana korupsi memanglah untuk mengembalikan kerugian keuangan negara. Namun perlu juga kita perhatikan berapa banyak uang negara yang dipakai untuk memproses suatu kasus tindak pidana korupsi. Hal ini juga perlu diperhitungkan agar negara nantinya tidak makin merugi, karena dengan pendekatan penjatuhan hukuman seperti yang dilakukan sekarang ini di dalam penanganan tindak pidana korupsi, memakan biaya sosial yang besar sehingga membuat negara pada akhirnya akan semakin merugi. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengoptimalkan pengembalian biaya yang dikeluarkan negara dengan pidana denda dalam penyelesaian tindak pidana korupsi. Hal ini sekiranya dapat dioptimalkan dengan memakai analisa ekonomi terhadap hukum (Analysis Economic of Law) dengan cara mengoptimalkan sanksi denda dengan menggunakan perhitungan berbasis konsep economic analysis of law tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif dengan pendekatan perundang-undangan, konsep dan perbandingan dan dikumpulkan dengan metode studi kepustakaan dan studi dokumen. Optimalisasi pengembalian biaya yang dikeluarkan negara dengan pidana denda dalam penyelesaian tindak pidana korupsi penting untuk dilakukan karena ada beberapa urgensi diantaranya korupsi merupakan tindak pidana yang merugikan keuangan dan perekonomian negara, penggunaan pidana denda dalam praktik peradilan tindak pidana korupsi yang masih minim, serta pertimbangan cost-benefit analysis. Dalam hal ini Penulis memberikan usulan untuk menekan keuntungan dari pelaku dan membuat negara menjadi lebih untung agar tercipta efek pencegahan dan efek jera bagi pelaku dan kebermanfaatan bagi negara yaitu dengan memasukkan rincian biaya yang dikeluarkan negara untuk penyelesaian tindak pidana korupsi ke dalam pidana denda, menerapkan pidana denda tanpa batas maksimum (unlimited fines) dalam tindak pidana korupsi, kewajiban pelunasan pidana denda tanpa pidana pengganti dalam tindak pidana korupsi.

The criminal act of corruption is considered a serious crime which must also be handled seriously because it greatly disrupts the economic-social rights of the community and the state on a large scale, where proof requires serious, professional and independent steps. In Law Number 20 of 2001, if we examine it more deeply, the real target that legislators want to achieve is how to ensure that the work carried out by law enforcement officials in dealing with criminal acts of corruption can optimally return state financial losses. So far, the sentences applied to the handling of criminal acts of corruption have not been able to optimally recover state financial losses. In this case, the main focus in solving corruption is indeed to restore state financial losses, but we also need to pay attention to how much state money is used to process a corruption case. This also needs to be taken into account so that the state does not suffer further losses in the future, because with the sentencing approach as is currently being carried out in handling corruption, it takes large social costs so that in the end the state will lose even more. Therefore, it is very important to optimize the recovery of costs incurred by the state with fines in the settlement of corruption. This can be optimized by using economic analysis of law (Economic Analysis of Law) by optimizing fines by using calculations based on the concept of economic analysis of law. The method used in this research is juridical-normative with statutory, concept and comparison approaches and collected by library research and document study methods. Optimizing the return of costs incurred by the state with criminal fines in the settlement of corruption crimes is important to do because there are several urgencies including corruption is a criminal act that harms the state's finances and economy, the use of criminal fines in the practice of corruption crimes is still minimal, as well as consideration of cost-benefit analysis. In this case, the author proposes to suppress the benefits of the perpetrators and on the contrary make the state more profitable in order to create a preventive and deterrent effect for the perpetrators and benefits for the state, namely including details of the costs incurred by the state for the settlement of corruption crimes into the fines, applying unlimited fines in corruption crimes, the obligation to pay fines without substitute punishment in corruption crimes."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Fahd Budi Suryanto
"Penegakan hukum tindak pidana korupsi sebagai salah satu fokus utama pemerintah untuk mewujudkan good and clean government memiliki problematika hukum terkait dengan penerapan hukum tindak pidana korupsi pada kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN khususnya pada Anak Perusahaan BUMN. Untuk menjamin adanya kepastian hukum dan penerapan hukum yang sesuai dengan teori dan asas-asas yang berlaku di dalam hukum, perlu dilakukan penelitian yuridis terhadap status hukum dan aspek hukum keuangan Anak Perusahaan BUMN. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif (legal research) melalui pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan teori hukum (rechts teorie). Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan apakah keuangan Anak Perusahaan BUMN merupakan keuangan publik dan masuk dalam lingkup keuangan publik dan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atau sebaliknya keuangan Anak Perusahaan BUMN sebagai badan hukum privat tunduk pada hukum perdata, sehingga segala problematika hukum terkait Anak Perusahaan BUMN harus dilakukan dalam koridor hukum perdata termasuk di dalamnya peraturan mengenai perseroan terbatas.

Anti Corruption Law enforcement, as one of the main focuses of the government in realizing good and clean government, has legal problems related to anti corruption criminal act enforcement to state financial that are separated from state owned company, especially its subsidiaries. In order to ensure legal certainty and legal application in accordance with the theory and principles applicable in law, it is necessary to conduct juridical research on the legal status and financial legal aspects of the state owned company’s subsidiaries. The method used in this research is the normative juridical method (legal research) through the statute approach and legal theory (rechts theory). This study aims to answer the question whether the finance of the state owned company’s subsidiaries is a subject of public finance and is included in the scope of public finance and state finances as referred to in Law of the Republic of Indonesia Number 20 of 2001 concerning Amendments to Law of the Republic of Indonesia Number 31 of 1999 concerning the Eradication of Action Corruption, or vice versa, the finance of the state owned company’s subsidiaries as private legal entities is subject to civil law, so all legal problems related to the state owned company’s subsidiaries must be carried out in the corridor of civil law, including regulations regarding limited liability companies"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Fahd Budi Suryanto
"Penegakan hukum tindak pidana korupsi sebagai salah satu fokus utama pemerintah untuk mewujudkan good and clean government memiliki problematika hukum terkait dengan penerapan hukum tindak pidana korupsi pada kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN khususnya pada Anak Perusahaan BUMN. Untuk menjamin adanya kepastian hukum dan penerapan hukum yang sesuai dengan teori dan asas-asas yang berlaku di dalam hukum, perlu dilakukan penelitian yuridis terhadap status hukum dan aspek hukum keuangan Anak Perusahaan BUMN. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif (legal research) melalui pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan teori hukum (rechts teorie). Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan apakah keuangan Anak Perusahaan BUMN merupakan keuangan publik dan masuk dalam lingkup keuangan publik dan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atau sebaliknya keuangan Anak Perusahaan BUMN sebagai badan hukum privat tunduk pada hukum perdata, sehingga segala problematika hukum terkait Anak Perusahaan BUMN harus dilakukan dalam koridor hukum perdata termasuk di dalamnya peraturan mengenai perseroan terbatas.

Anti Corruption Law enforcement, as one of the main focuses of the government in realizing good and clean government, has legal problems related to anti corruption criminal act enforcement to state financial that are separated from state owned company, especially its subsidiaries. In order to ensure legal certainty and legal application in accordance with the theory and principles applicable in law, it is necessary to conduct juridical research on the legal status and financial legal aspects of the state owned company’s subsidiaries. The method used in this research is the normative juridical method (legal research) through the statute approach and legal theory (rechts theory). This study aims to answer the question whether the finance of the state owned company’s subsidiaries is a subject of public finance and is included in the scope of public finance and state finances as referred to in Law of the Republic of Indonesia Number 20 of 2001 concerning Amendments to Law of the Republic of Indonesia Number 31 of 1999 concerning the Eradication of Action Corruption, or vice versa, the finance of the state owned company’s subsidiaries as private legal entities is subject to civil law, so all legal problems related to the state owned company’s subsidiaries must be carried out in the corridor of civil law, including regulations regarding limited liability companies."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumarto Prayitno
"Kerugian negara merupakan salah satu dampak dari terjadinya kecurangan/korupsi dalam pengelolaan keuangan negara. Metode Penghitungan Kerugian Negara (PKN) yang digunakan dalam menghitung kerugian negara akibat suatu kasus korupsi tersebut masih beragam dan belum terstandarisasi. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi penerapan metode PKN di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kerangka penelitian menggunakan Policeman Theory yang menekankan tanggung jawab auditor untuk mendeteksi fraud atau kecurangan. Penelitian menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus sehingga lebih menitikberatkan pada penggalian fenomena PKN yang terjadi di BPK. Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data berupa dokumen putusan pengadilan kasus korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan melakukan wawancara dengan para pejabat dan Pemeriksa Investigatif BPK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa BPK secara signifikan telah memenuhi ekspektasi tugas auditor menurut Policeman Theory dalam mendeteksi kecurangan. Pemilihan metode PKN BPK yang beragam dalam menghitung kerugian negara yang diakibatkan kecurangan didasari pertimbangan penilaian penyimpangan yang terjadi dalam kasus korupsi, ketersediaan bukti yang cukup dan tepat, serta kondisi objek PKN. Metode PKN yang digunakan oleh pemeriksa investigatif BPK dan sudah diterima dalam pengadilan antara lain Pokok Plus Bunga, Total Loss, Net Loss dan Real Cost.
State losses are one of the effects of fraud/corruption in managing state finances. The Method of Calculating State Losses (PKN) used in calculating state losses due to a corruption case is still diverse and has not been standardized. This study aims to evaluate the application of the PKN method in the Supreme Audit Board (BPK). The research framework uses Policeman Theory which emphasizes the auditor's responsibility to detect fraud or fraud. The study uses a qualitative research methodology with a case study approach so that it focuses more on exploring the phenomenon of PKN that occurs at BPK. The study was conducted by collecting data in the form of documents on court decisions on corruption cases that have permanent legal force (inkracht) and conducting interviews with BPK investigative officials and investigators. The results showed that the BPK had significantly met the expectations of the auditor's duties according to Policeman Theory in detecting fraud. The choice of various BPK PKN methods in calculating state losses caused by fraud is based on the assessment of irregularities that occur in cases of corruption, the availability of sufficient and appropriate evidence, and the condition of PKN objects. The PKN method used by BPK investigative investigators and already accepted in court includes Principal Plus Interest, Total Loss, Net Loss and Real Cost."
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>