Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 176485 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pinckey Triputra
"ABSTRACT
Penelitian bertujuan mengungkap bagaimana ideologi neoliberalisme mempengaruhi struktur dan perilaku industri penyiaran, dalam hal ini televisi, baik pada masa orde baru maupun pada pasca revolusi Mei 1998. Dengan pendekatan ekonomi politik penelitian menyimpulkan bahwa pendirian industri penyiaran didorong semangat neoliberalisme alih-alih demokratisasi yang mengutamakan keberagaman isi dan kemajemukan kepemilikan"
Departemen Ilmu Komunikasi, FISIP UI, 2005
MK-pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Pinckey Triputra
"Belajar dari kegagalan Soekarno yang administrasi pemerintahannya relatif tidak stabil disertai indikator ekonomi yang makin memburuk, Rezim Orde Baru memprioritaskan kestabilan politik yang dijadikan dasar untuk pertumbuhan ekonomi. Kedua strategi ini dipromosikan kepada negara Barat yang sedang kuat sentimen anti-komunismenya guna menarik modal asing. Bagi rezim Soeharto, pengintegrasian struktur ekonomi nasional ke dalam pasar bebas dengan spirit Neoliberalisme (ekspansi modal global yang agresif dengan tuntutan membebaskan pasar dari segala intervensi), dilakukan dalam upaya meningkatkan legitimasi (pencapaian) ekonomi Orde Baru. Namun pada masa itu pun telah terdapat dilema, berupa upaya melindungi modal nasional dalam industri media yang antara lain dilakukan secara sepihak oleh Harmoko selaku Menteri Penerangan; serta terlibatnya bagian dari elite yang berkuasa dalam permodalan industri media (integrasi vertikal). Lebih jauh, pengintegrasian ke dalam pasar bebas ini juga membawa dilema berupa kerentanan terhadap arus informasi dan perubahan persepsi, misalnya (atau utamanya) terhadap perpindahan modal asing.
Penekanan pada kestabilan politik mendorong pemerintah Orde Baru melakukan kontrol preventif dan korektif yang menyeluruh terhadap pers di Indonesia, dalam bungkus hegemoni "Pers yang bebas dan bertanggung jawab", "Pers Pancasila" dan lain lain. Di luar TVRI, kelima stasiun TV swasta pertama dimiliki oleh anggota atau kroni bisnis Keluarga Cendana. Kontrol ini justru membuat mereka tidak dapat mengidentifikasi atau mengevaluasi berbagai persoalan yang mengancam kelangsungan rezim tersebut tepat pada waktunya. Krisis ekonomi yang menimpa Asia pada tahun 1997, meningkatnya intensitas gerakan mahasiswa dan aktivis dengan alur informasi dari media alternatif (internet, jaringan berita kampus dan LSM) membantu aksi sosial jurnalis secara bertahap guna mengatasi hambatan struktural di ruang-ruang redaksi media cetak, radio dan TV. Perpindahan modal sebagai konsekuensi logis dari kerentanan pengintegrasian ke dalam pasar bebas, akhirnya ikut berkontribusi pada terjadinya the unthinkable Revolusi Mei 1998.
Jatuhnya Soeharto memulai suatu pemerintahan baru yang relatif lemah karena masih terasa kuatnya perlawanan elemen-elemen Civil Society menuntut perubahan di segala bidang. Pembubaran Departemen Penerangan oleh Abdurrahman Wahid membuat terdapatnya semacam kondisi lawlessness pada industri penyiaran, karena eksekutor dari Undang-Undang Penyiaran No 24/1997 tidak lagi eksis. Di tengah tuntutan akan demokratisasi sistem media, yang muncul kemudian hanyalah 5 stasiun TV komersial yang masih berlabel nasional, juga dengan prinsip-prinsip Neoliberalisme.
Sejalan dengan advokasi dari elemen-elemen Civil Society untuk menghasilkan Undang-Undang Penyiaran yang baru, bermunculanlah stasiun-stasiun TV lokal. Hal ini antara lain banyak dikaitkan dengan spirit desentralisasi sebagaimana yang tercermin pada Undang-Undang Otonomi Daerah. Rancangan Undang-Undang Penyiaran pun mengedepankan prinsip Diversity of Ownership dan Plurality of Content yang mendorong lahirnya stasiun-stasiun TV lokal, dan mengubah secara prinsipil istilah stasiun TV nasional menjadi sistem berjaringan.
Untuk memberikan dimensi historical situatedness, analisis disertasi ini dilakukan dalam konteks historis spesifik pada zaman Orde Baru hingga pascareformasi. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif terutama berdasarkan studi literatur dan wawancara mendalam di lapangan dengan nara sumber dari berbagai kalangan yang relevan pada industri penyiaran Indonesia dalam jumlah cukup besar.
Figure (Model) untuk menggambarkan Theoretical Framework (Kerangka Teori) dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa baik di Masa Orde Baru maupun Reformasi terdapat sejumlah dilema dalam industri penyiaran Indonesia yang terkait dengan spirit Neoliberalisme, pada 3 level, yakni: level struktur, organisasi, dan individu. Pada level struktur, baik di masa Orde Baru maupun Reformasi, keinginan mengintegrasikan atau membuka diri pada pasar bebas umumnya diikuti oleh keinginan melindungi modal nasional dari penetrasi dan ancaman modal global. Hal ini pada gilirannya juga menimbulkan dilema berupa monopoli oleh pemain nasional. Untuk mengimbanginya, Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran yang lahir di masa reformasi, mendorong keberagaman kepemilikan pada TV-TV lokal sekaligus membatasi area jangkauan sebuah stasiun televisi pada ambang yang akan ditentukan kemudian. Pada level organisasi, di masa Orde Baru, dilema antara fungsi ekonomis dan ideologis, umumnya dimenangkan oleh fungsi ekonomis sejalan dengan kuatnya kontrol politik oleh pemerintah. Hal tersebut, berimbas pada level individu yang membuat praktisi atau pekerja media relatif lebih menjadi "buruh industri media" yang tunduk pada seluruh keinginan dan kepentingan modal yang overlapped dengan kepentingan kontrol pemerintah.
Sekalipun TV-TV lokal di Masa Reformasi relatif tidak memiliki hubungan langsung dengan modal global, namun mereka juga termakan imbas kekuatan Neoliberalisme. Misalnya, pada level organisasi, mereka juga relatif tergantung pada dominasi produk-produk yang dianggap sebagai sebuah super culture terhadap produk-produk lain, baik itu dengan melakukan peniruan atau adaptasi dari produk global, yang pengenalan atau popularitasnya dijembatani oleh TV-TV besar yang telah lebih dulu bersiaran di Jakarta. Selain soal selera global ini, standar keberhasilan TV lokal pun umumnya didasarkan pada fungsi-fungsi ekonomis, yang mengacu pada spirit Neoliberalisme seperti rating. Begitu pula dalam pengembangan sumber daya manusia dan teknologi, referensi terhadap keahlian dan kebaruan, serta pembelian dan perawatan alat-alat juga mengacu pada ukuran-ukuran dan pasar global.
Di sisi lain, harapan akan munculnya TV Publik Lokal dan TV Komunitas yang dapat menjadi alternatif untuk memutus terkaman imbas kekuatan modal global dalam berbagai level tersebut, masih belum menjadi sebuah realitas yang menjanjikan. Untuk itulah diperlukan sebuah intervensi politik dari publik, melalui Komisi Penyiaran Indonesia.
Jika tidak terdapat contoh-contoh praktek alternatif seperti itu, maka pada level individu, atau lebih spesifik dalam dunia jurnalistik, maka jurnalis Indonesia dikhawatirkan tidak lagi merupakan insan kreatif, namun hanya merupakan one-dimensional man yang dalam segala arah tunduk pada keinginan dan kepentingan pemodal."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
D587
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hermin Indah Wahyuni
Yogyakarta: Media Presindo, 2000
384.55 HER t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Febrina Tumalasari
"ABSTRAK
Persaingan industri pertelevisian di Indonesia sangat ketat. Stasiun televisi berlomba-lomba menyajikan program yang dapat meraih penonton dan pengiklan yang banyak. Dalam hal ini, rating share dan perolehan iklan sangat menentukan hidup dan matinya stasiun televisi. Dihadapkan pada fenomena demikian, NET justru hadir secara berbeda. Alih-alih membuat program yang mirip dengan stasiun televisi lain, NET menyajikan program yang sesuai dengan kebutuhan spesifik segmen tertentu yang tidak dilayani oleh stasiun televisi sebelumnya. Dengan kata lain, NET telah memiliki niche marketnya. Niche market NET adalah mereka yang jenuh dengan tayangan televisi pada umumnya dan membutuhkan tayangan yang baru. Meskipun jumlahnya sedikit, niche market NET diperkirakan mampu membuat stasiun televisi baru ini bertahan.

ABSTRACT
The competition of television industry in Indonesia is very firm. Television stations are competing to provide programs which tend to gain many audiences and television commercials. In this case, the rating share and the gaining of commercials revenue really determine the life of television stations themselves. Faced by such phenomena, NET, in fact, came differently. Instead of making similar programs to other television stations’, NET provides programs which are suitable to specific needs of certain audience segment that are not well served by other television stations. In other words, NET already has its niche market. The niche market of NET are those who got tired of television programs in general and need a new kind of fresh program. Although it might be just a few, it is predicted to be able to make this station survives. "
[, ], 2014
MK-PDF
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Armando
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Doddy Permadi Indrajaya
Bogor: Ghalia Indonesia, 2011
384.55 DOD b (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tribuana Tungga Dewi
"Berita dalam industri penyiaran adalah program yang semestinya independen dan ada dengan tujuan menjadi media bagi seluruh masyarakat untuk mendapatkan informasi dan fakta-fakta yang sebenarnya. Tetapi, sejak berubahnya struktur industri pertelevisian di Indonesia, peran negara yang sebelumnya sangat dominan menjadi melemah. Bagi sebagian orang perubahan struktur ini dianggap sebagai hal positif. Tetapi nyatanya apa yang kita saksikan di layar kaca, terutama televisi swasta, tak ubahnya sebagai produk dan perpindahan dominasi. Jika sebelumnya dominasi berada di tangan pemerintah, maka saat ini dominasi tersebut beralih ke tangan industri periklanan.
Kehadiran televisi-televisi baru di Indonesia pasca orde baru, membawa angin segar bagi pemirsa dan pengamat media. Dalam suasana reformasi diharapkan akan muncul kebebasan dari kungkungan penguasa yang akhirnya akan membebaskan media untuk menyalurkan informasi ke khalayaknya. Untuk itulah menjadi menarik mengamati keberadaan program berita di stasiun televisi Trans TV, salah satu stasiun televisi yang muncul pasca orde baru. Benarkah angin segar akan bertiup dalam dunia pemberitaan pada khususnya dan dunia pertelevisian pada umumnya?
Penelitian dilakukan dengan menggunakan analisa wacana kritis, yaitu tipe penelitian analisa wacana yang terutama mempelajari bagaimana penyalahgunaan kekuatan sosial, dominasi, dan ketidakadilan (inequality) muncul, direproduksi, dan dikonfrontasikan melalui teks dan pembicaraan dalam konteks sosial-politik. Pada tingkatan teks, peneliti akan melakukan analisa isi dari beberapa tayangan berita Trans TV, pada dimensi discourse practice pengumpulan data akan dilakukan dengan pengamatan terhadap kegiatan-kegiatan tim redaksi Berita Trans Petang selama beberapa waktu. Sedangkan dalam dimensi sosiokultural, peneliti akan melakukan studi dokumen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa apa yang terjadi dalam ruang redaksi televisi swasta baru, dan dalam skala yang lebih luas, yaitu konteks sosiokultural tidaklah semenyegarkan yang diprediksi banyak orang. Usaha mengejar rating yang lebih tinggi adalah motivasi utama proses pengemasan produk pemberitaan. Di samping itu, masalah kejaran tengat waktu, rutinitas organisasi, dan dominasi kelas penguasa tetaplah menjadi penentu proses produksi pemberitaan yang hasilnya dapat kita saksikan di layar kaca. Hanya saja jika dahulu pemerintahlah yang memegang kendali, saat ini industri periklananlah yang mengontrol apa yang layak dan tidak layak ditayangkan. Batas-batas antar divisi dalam organisasi televisi makin mengabur, ini menyebabkan divisi pemberitaan bukanlah lagi -suatu divisi independen yang memberikan fakta dan informasi umum bagi khalayaknya. Melainkan sekedar kepanjangan tangan dari usaha pemenuhan kebutuhan khalayak yang diasumsikan sebagai khalayak potensial oleh industri periklanan.
Jika khalayak tidak menyukai idealisme pemberitaan yang dianut maka dengan mudahnya mereka dapat memindahkan saluran ke stasiun lain. Dengan demikian tak heran jika rating adalah yang paling penting untuk industri pertelevisian saat ini. Oleh sebab itu, setiap tayangan berita wajib dibuat untuk memenuhi kegemaran pemirsa yang dianggap sebagai pembeli potensial oleh pengiklan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12044
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Darma Yudha Pirhot
"Penelitian ini menganalisis kebijakan televisi digital yang diterbitkan oleh Pemerintah dari aspek hukum persaingan usaha. Penelitian ini mengidentifikasi beberapa masalah yang terkait dengan kebijakan televisi digital oleh Pemerintah setelah adanya pembatalan Mahkamah Agung atas Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 22/PER/M.KOMINFO/11/2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free To Air), persaingan usaha tidak sehat yang muncul dari implementasi kebijakan televisi digital. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif yang menggambarkan gejala-gejala dan fakta yang timbul dan melakukan analisis terhadap gejala-gejala dan fakta ini dari sudut pandang yuridis. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa Pemerintah tetap menjalankan kebijakan televisi digital di Indonesia, meskipun landasan yuridisnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung, dan tidak ada mandat dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Selain itu, dengan menggunakan pendekatan rule of reason, kebijakan televisi digital yang diterapkan oleh pemerintah dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat di dalam industri penyiaran televisi karena minimnya kerangka aturan yang mengatur mengenai model bisnis dari penyiaran televisi digital

This study analyzes Government policy on digital television from business competition law perspective. There are several problems that can be identified from this study, namely the implementation of Government policy on digital television after the Supreme Court decision that nullifies the Minister of Communication and Information Technology Regulation No. 22/PER/M.KOMINFO/11/2011 on Organizing Free-to-Air Terrestrial Digital Television and the unfair business competition that is occurred due to the implementation of digital television policy. This study uses qualitative descriptive analytical method that describes the facts and analyzes it from legal perspective. In the end, this study concludes that the Government is still implementing the digital television policy, even though the legal basis for this policy has been nullified by the Supreme Court and there is no mandate from the higher laws and regulations, namely the Law No. 32 of 2002 on Broadcasting. In addition, by using rule of reason approach, the digital television policy may lead to unfair business competition within the television broadcasting industry, due to the lack of regulatory framework on the business model on digital television."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Effendy
Jakarta: Erlangga, 2008
384.55 HER i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Naratama
Jakarta: Grasindo, 2004
384.55 NAR m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>