Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 176762 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Astrid Pratiwi
"ABSTRAK
Latar Belakang: Anestesiologis adalah profesi yang rentan mengalami kelelahan. Gangguan tidur adalah keluhan yang sering dialami oleh anestesiologis. Penelitian ini menggunakan kuesioner PSQI Pittsburgh Sleep Quality Index untuk menilai kualitas tidur dan kuesioner ESS Epworth Sleepines Scale untuk menilai skala kantuk berlebih. Metode: Penelitian observasional ini menggunakan rancangan potong lintang. Setelah disetujui komite etik didapatkan 114 peserta PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI RSUPN Cipto Mangunkusumo menggunakan total sampling selama April - Mei 2016. Formulir penelitian meliputi penilaian kualitas tidur menggunakan PSQI dan skala kantuk menggunakan ESS. Analisis deskriptif meliputi data gangguan kualitas tidur, skala kantuk, distribusi karakteristik dan jam kerja. Analisis bivariat menilai kriteria terkait nilai PSQI ? 5 kualitas tidur kurang dan ESS ?10 skala kantuk berlebih . Analisis multivariat dengan regresi logistik biner untuk melihat hubungan variabel paling dominan dengan variabel dependen. Setelah itu, dilakukan perbandingan antara data kualitas tidur dengan skala kantuk berlebih. Hasil: Faktor durasi tidur, keluhan tidur dan skala kantuk berlebih adalah faktor penyebab kualitas tidur kurang

ABSTRACT
Background Anesthesiologists is a profession prone to fatigue. Sleep disorder is a common complaint suffered by the anesthesiologist. This study used a questionnaire PSQI Pittsburgh Sleep Quality Index to assess the quality of sleep and ESS Epworth Sleepines Scale to assess the scale of excessive sleepiness. Methods This observational study used cross sectional design. After approval from ethics committee we obtained 114 resident of Anesthesiology and Intensive Therapy at Cipto Mangunkusumo Hospital using total sampling during April May 2016. The research form contained PSQI questionnaire to asses sleep quality and ESS to asses sleepiness scale. Data of sleep quality disorder, sleepiness scale, characteristics distribution and working hours presented by descriptive analysis. The bivariate analysis measured the relevant criteria PSQI score 5 sleep disorder and ESS 10 excessive sleepiness scale . Multivariate analysis by binary logistic regression used to see the most significant variable from the dependent variable. After that, comparison between data quality of sleep with excessive sleepiness scale was done. Results Factor of sleep duration, sleep complaints and excessive sleepiness scale were causative factor of sleep quality disorder p "
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fakhruddin Alfan
"Latar belakang. Pandemi COVID-19 telah membawa banyak tantangan baru bagi dunia kesehatan di berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Tingkat kelelahan kerja yang tinggi ditemukan diantara petugas kesehatan, terutama di lingkungan unit perawatan darurat dan intensif. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kelelahan dan faktor yang memengaruhi kelelahan peserta Program pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI yang bekerja di RSCM di era pandemi COVID-19. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan kuantitatif pada peserta PPDS Anestesiologi dan Terapi intensif tahap magang, mandiri, dan paripurna. Kelelahan dinilai dengan menggunakan Fatigue Severity Scale yang sudah divalidasi sebagai data kuantitatif dan 10 subjek dari responden dirandomisasi terstratifikasi untuk mengikuti Focus Group Discussion (FGD) yang isinya membahas mengenai faktor-faktor yang memengaruhi kelelahan peserta PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif pada masa pandemi sebagai data kualitatitf. Sebanyak 61% peserta pendidikan mengalami kelelahan dengan median dari nilai FSS pada seluruh subjek yang diteliti yaitu 43,5 dengan IQR (22). Peningkatan kelelahan ditemukan bermakna pada responden dengan lama jam kerja ≥ 60 jam perminggu dan lama jam tidur <6 jam perhari. Berdasarkan FGD faktor yang meningkatkan kelelahan yaitu perubahan metode pembelajaran menjadi dalam bentuk daring, peningkatan rasa cemas akibat kurangnya pencapaian kompetensi, penggunaan alat pelindung diri (APD) dalam jangka waktu yang lama, dan penutupan tempat hiburan terkait aturan pembatasan sosial berskala besar, sedangkan faktor yang menurunkan kelelahan yaitu perubahan jadwal jaga, jaminan ketersediaan APD, perlindungan terhadap kesehatan fisik dan mental PPDS, kompensasi pemerintah terhadap kinerja PPDS. Simpulan. Sebanyak 61% Peserta PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif di RSCM yang bertugas pada masa COVID-19 mengalami kelelahan, yang disebabkan oleh berbagai faktor eksternal yang terjadi selama pandemi COVID 19. 

Background. COVID-19 pandemic has brought many new challenges to the world of health in various countries around the world, including Indonesia. High level of fatigue was found among health workers. This study was conducted to determine the level of fatigue and the factors that affect fatigue of Anesthesiology and Intensive Care resident from Universitas Indonesia who worked at RSCM during the COVID-19 pandemic era. Methods. This was a cross-sectional study on 77 subjects who participated in Anesthesiology and Intensive Care resident from Universitas Indonesia in plenary, independent, and internship stages during the research period. Fatigue was assessed using the Fatigue Severity Scale (FSS) which had been validated as cuantitative data and 10 subjects from respondents were randomized to participate in a Focus Group Discussion (FGD) which discussed the factors that affect the fatigue of Anesthesiology and Intensive Care resident from Universitas Indonesia during pandemic as cualitative data. Results. 61% of residents experienced fatigue with the median FSS value was 43.5, with an IQR (27.8 - 49.8). Increased fatigue was found in respondents with long working hours ≥60 hours per week and sleeping hours <6 hours per day. Based on the FGDs, several factors that increased fatigue are changing learning methods to online form, increasing anxiety due to lack of competence achievement, using personal protective equipment for a long time, and closure of entertainment venues related to large scale social restriction policy. And several factors that decreasing of fatigue are modifying of shift scheduled, guaranteeeing the availability of personal protective equipment, protecting the physical and mental health of resident, and government compensation for resident. Conclusion. Anesthesiology and Intensive Care resident from Universitas Indonesia who were on duty during the COVID-19 pandemic experienced fatigue. Based on FGD, various factors that affect fatigue among resident were found COVID-19 pandemic, Fatigue, Residents."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Uyun Mufaza
"Latar Belakang: Residen anestesiologi memiliki tangung jawab dan tekanan yang besar di tempat kerja. Berbagai faktor seperti jam kerja yang tinggi, tekanan mental, dan tekanan fisik dapat menimbulkan kelelahan yang dikenal sebagai sindrom burnout. Burnout dapat berdampak terhadap performa kerja dokter dan keselamatan pasien.
Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah melihat kejadian burnout, performa klinis, dan hubungan keduanya pada residen Anestesiologi dan terapi intensif FKUI-RSCM.
Metode: Penelitian ini merupakan sebuah penelitian cross-sectional yang dilakukan pada peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi dan Terapi Intensif di FKUI-RSCM selama bulan Februari 2019. Peserta program yang sedang dalam masa cuti atau setelah melakukan jaga selama 24 jam sebelumnya dieksklusi dari penelitian. Tingkat burnout diukur menggunakan Maslach Burnout Inventory (MBI-HSS) versi Bahasa Indonesia, sedangkan performa klinis diukur menggunakan form Best Practice Anesthesiologist Questionaire untuk performa klinis positif dan Anesthesiology Residents Self-Reported Errors and Quality of Care untuk performa klinis negatif dalm Bahasa Inggris.
Hasil: Sebanyak 55 subyek penelitian berhasil didapatkan dalam penelitian ini. 36 subyek (65,5%) mengalami burnout dengan tingkat sedang-tinggi dan 19 subyek (34,5%) mengalami burnout dengan tingkat rendah. Tidak ada hubungan antara karakteristik demografis dan tingkat burnout. Terdapat hubungan bermakna antara tingkat burnout dan performa klinis negatif pada residen Anestesi dan Terapi Intensif FKUI-RSCM (p = 0,045). Akan tetapi, tidak didapatkan hubungan bermakna antara tingkat burnout dan performa klinis positif (p = 0,321) maupun performa klinis total (p = 0,075) secara statistik.
Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara tingkat burnout dan performa klinis negatif pada residen Anestesi dan Terapi Intensif FKUI-RSCM (p = 0,045). Akan tetapi, tidak didapatkan hubungan bermakna antara tingkat burnout dan performa klinis positif (p = 0,321) maupun performa klinis total (p = 0,075) secara statistik.

Background: Anesthesiology residents have enormous responsibility and pressure on workplace. Various factors such as higher working hours, mental and physical pressure could exert fatigue known as burnout syndrome. Burnout can affect both clinical performace of doctors and patients safety.
Objective: The aim of this study is knowing burnout prevalence, clinical performance, and relationship between both variables on Anesthesiology and Intensive Therapy residents in Faculty of Medicine, Universitas Indonesia.
Method: This is a cross-sectional study done on Anesthesiology and Intensive Therapy residents at February 2019. Residents in leave period or after doing night shifts in the last 24 hours were excluded. Burnout score was determined using Maslach Burnout Inventory (MBI-HSS) Bahasa version, while clinical performance was determined using Best Practice Anesthesiologist Questionaire for positive clinical performance and Anesthesiology Residents Self-Reported Errors and Quality of Care for negative clinical performance.
Result: Fifty five subjects were included in this study. 36 (65,5%) subjects experienced moderate-high burnout syndrome and 19 (34,5%) experienced none-low burnout syndorome. There were no correlation between demographic characteristics and burnout level. There was a significant relationship between burnout score and negative clinical performance (p = 0,045). Meanwhile, there were no significant relationship between burnout score and positive clinical performance (p = 0,321) and total clinical performance (p = 0,075) statistically.
Conclusion: There was a significant relationship between burnout score and negative clinical performance (p = 0,045). Meanwhile, there were no significant relationship between burnout score and positive clinical performance (p = 0,321) and total clinical performance (p = 0,075) statistically.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59178
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salendu, Praevilia Margareth
"Latar belakang : Tidur berguna untuk kesehatan mental, emosi, fisik, dan sistem
imunitas tubuh. Gangguan tidur pada anak semakin menjadi masalah karena akan
berdampak pada mood, perilaku dan intelektual anak. Dilaporkan, insidensi
gangguan tidur pada anak lebih tinggi pada kasus epilepsi.
Tujuan : Mengetahui prevalensi gangguan tidur pada anak dengan epilepsi, serta
menilai hubungan antara faktor-faktor risiko yang memengaruhinya kejadian
gangguan tidur pada anak dengan epilepsi.
Metode : Studi potong lintang yang dilakukan di Poliklinik Anak Kiara RS Cipto
Mangunkusumo Jakarta dengan populasi anak epilepsi usia 4-18 tahun. Penilain
variabel gangguan tidur menggunakan kuesioner sleep disturbance scale for
children (SDSC) terdiri dari 26 pertanyaan yang telah tervalidasi sebelumnya.
Kuesioner akan diisi oleh orang tua mengenai pola tidur anak dalam 6 bulan
terakhir. Pasien yang sebelumnya memiliki gangguan tidur primer seperti
obstructive sleep apnea (OSA), sindrom epilepsi, disabilitas intelektual, attention
deficit hyperactivity disorder (ADHD) akan dieksklusi.
Hasil : Didapatkan 99 subyek dengan karakteristik 22,2% menderita epilepsi
intraktabel, 28,2% serebral palsi dan 64,6% tipe kejang umum. Dari hasil
kuisioner SDSC didapatkan 71,7% anak dengan epilepsi mengalami gangguan
tidur, jenis terbanyak 62% gangguan memulai dan mempertahankan tidur. Faktor
risiko yang terbukti memengaruhi secara independen kejadian gangguan tidur
pada pasien epilepsi adalah tipe kejang umum, serebral palsi, epilepsi intraktabel,
elektroensefalografi (EEG) abnormal, dan obat antiepilepsi (OAE) jenis nonbenzodiazepin.
Kesimpulan : Tipe kejang umum, serebral palsi, epilepsi intraktabel,
abnormalitas EEG, dan OAE jenis non-benzodiazepin bermakna secara statistik
independen memengaruhi kejadian gangguan tidur pada epilepsi.

Background : Sleep is affecting mental health, emotional, physical, and immune
system. Sleep disorder in children was increased and became a burden because it
will affect the mood, behaviour and intellectual. Reportedly, the incidence of
sleep disorder is higher in children with epilepsy.
Objective : Knowing the prevalence of sleep disorder in children with epilepsy,
and to assess the risk factors which affecting it.
Methods : A cross-sectional study was conducted at children polyclinic Cipto
Mangunkusumo Hospital in Jakarta with populations of epilepsy children aged 4-
18 years old. The assessment of sleep disorder using the sleep disturbance scale
for children (SDSC), which consist of 26 questions that had been previously
validated. The questionnaire will be filled out by parents regarding the childs
sleep pattern in the past 6 months. Patients who had primary sleep disorders such
as obstructive sleep apnea (OSA), epilepsy syndrome, intellectual disabilities,
attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) will be excluded.
Results : There were 99 subjects, with characteristics are 22.2% had intractable
epilepsy, 28.2% had cerebral palsy and 64.6% generalized seizures. The
prevalence of sleep disorder in child with epilepsy in this study was 71.7%, the
most frequent type was disorder of starting and maintaining sleep. Risk factors
that have been shown to independently affecting the incidence of sleep disorder in
epilepsy patients are generalized seizures, cerebral palsy, intractable epilepsy,
electroencephalography (EEG) abnormality, and non-benzodiazepine type
antiepileptic drugs (AED).
Conclusion : Generalized seizure, cerebral palsy, intractable epilepsy, EEG
abnormality, and non-benzodiazepine type of AED are statistically significant
affecting the incidence of sleep disturbance in epilepsy independently.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pradini
"Pendahuluan : Profesi dokter spesialis anestesiologi merupakan pekerjaan dengan stres dan burnout yang tinggi. Burnout muncul sebagai akibat dari perasaan stres yang terus menerus terjadi tanpa diatasi. Kebanyakan dokter spesialis anestesiologi sudah merasakan stres sejak masa pendidikan. Pengembangan program yang menyasar pada target menurunkan level stres di tingkat individual sejak periode pendidikan dokter spesialis bisa menurunkan kemungkinan terjadinya burnout di masa mendatang. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas penerapan teknik Mindfulness Based Intervention (MBI) dalam mengurangi tingkat stres residen anestesiologi dan terapi intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain satu subjek berpasangan. Subjek penelitian adalah peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis anestesiologi dan terapi intensif FKUI pada tahun 2019. Program pelatihan MBI berlangsung selama empat minggu, terdiri dari satu kali pelatihan formal temu muka dan empat minggu pelatihan informal melalui pekerjaan rumah harian. Terdapat 13 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak masuk kedalam kriteria ekslusi. 1 subjek penelitian harus dikeluarkan karena tidak melakukan pelatihan informal harian dengan lengkap. Pengambilan data Perceived Stress Scale 10 Item (PSS-10) dilakukan pada Juli dan Agustus 2019.
Hasil : Rata-rata usia subjek penelitian (n=12) adalah 29.75 tahun ; 75% merupakan perempuan. 4 partisipan berada dalam rentang tahap pendidikan pembekalan (33,33%), 3 orang dalam tahap pendidikan magang (25%), 2 orang dalam tahap pendidikan mandiri (16,67%) dan 3 orang dalam tahap pendidikan paripurna (25%). Skor PSS-10 pada subjek penelitian secara signifikan menurun setelah diterapkan teknik MBI selama 4 minggu (p=0.001).
Kesimpulan : MBI efektif digunakan untuk mengurangi tingkat stres pada residen Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.

Introduction : Anesthesiologist is a profession with high incidence of burnout. Burnout arises as a result of perceived stress that continues to occur without being overcome. The development of programs aimed at reducing stress at the individual level since the period of specialist education can reduce the possibility of burnout forming in the future. One of the stress management program that is simple and can be done daily is Mindfulness Based Intervention (MBI). This research was conducted to determine the effectiveness of MBI technique in reducing the stress level of anesthesiology and intensive therapy residents at the Faculty of Medicine, University of Indonesia.
Method : This research was an experimental study with paired one group design. The research subjects were anesthesiology and intensive therapy residents at the Faculty of Medicine, University of Indonesia in 2019. The MBI program lasted  four weeks, consisted of one formal face-to-face training and informal training through homework carried out every day for four weeks. 13 study subjects met the inclusion criteria and did not enter the exclusion criteria. 1 study subject must be excluded because it did not complete the informal training. Data collection on the Perceived Stress Scale 10 Item (PSS-10) was conducted in July and August 2019.
Results : The average age of study subjects (n = 12) was 29.75 years ; 75% are women. 4 participants were in the debriefing education phase (33%), 3 people were in the internship education phase (25%), 2 people were in the independent education phase (16.67%) and 3 people were in the complete education phase (25%). PSS-10 score in the study subjects significantly decreased after applying MBI technique for 4 weeks (p = 0.001).
Conclusion : MBI is effective to reduce stress levels in residents of anesthesiology and intensive therapy at the Faculty of Medicine, University of Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mufti Dinda
"Pendahuluan : Pemberian cairan jernih prabedah dapat menguntungkan pasien dalam masa perioperatif. Konsumsi cairan jernih maltodekstrin 12,5% dua jam prabedah dapat dilakukan terutama dalam ERAS ( Enhanced Recovery After Surgery). Penambahan protein dalam cairan jernih memberikan luaran yang lebih baik. Meskipun secara teoritis protein dapat memperlambat pengosongan lambung, perlu diketahui apakah cairan jernih yang mengandung kombinasi glukosa dan protein dapat mengakibatkan GRV ≥1,5 ml/kgBB ( risiko tinggi aspirasi) dua jam pasca konsumsi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan GRV pasca pemberian cairan maltodekstrin 12,5% dengan cairan kombinasi glukosa dan protein.
Metode: Penelitian uji klinis silang acak tersamar ini melibatkan 56 relawan berusia 25-40 tahun ( peserta didik Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI-RSCM). Peserta berkesempatan untuk mengkonsumsi dua jenis minuman prabedah, cairan maltodekstrin 12,5% dan cairan kombinasi glukosa dan protein (Fresubin Jucy®), dengan volume masing- masing 400 ml. Volume lambung diukur dua kali, setelah puasa selama minimal 6 jam, (GRV baseline), dan dua jam pasca konsumsi cairan. Peserta diberikan waktu washout dua minggu diantara kedua intervensi.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna pada GRV baseline sebelum pemberian kedua cairan intervensi ( p>0,05). Terdapat perbedaan yang signifikan pada GRV dua jam pasca konsumsi maltodekstrin 12,5% dengan cairan kombinasi ( p < 0,05). Secara teori protein dapat meningkatkan produksi leptin, dan menekan produksi ghrelin sehingga memperlambat waktu pengosongan lambung. Selain itu, faktor-faktor lain seperti osmolalitas dan jumlah kalori juga dapat mempengaruhi perbedaan GRV setelah puasa.
Simpulan: Terdapat perbedaan signifikan pada GRV dua jam pasca pemberian cairan maltodekstrin 12,5% dengan cairan kombinasi glukosa dan protein.

Introduction: Preoperative clear fluid administration have known for giving positive impacts for patients undergoing surgery. Drinking clear fluids containing carbohydrate, is already being a routine and many innovation on optimizing its composition are also being increasingly variative, one of them by adding protein. Theoretically, protein can slow gastric emptying, increasing gastric residual volume which can increase pulmonary aspiration risk. This study aimed to compare gastric volume after administration of 12.5% maltodextrin solution to clear fluid containing glucose and protein.
Methods: This randomized, double-blinded, crossover clinical trial involving 56 trainee anesthetists aged 25-40 years. Each participant consume two types of preoperative clear drinks, 12.5% maltodextrin and clear fluid containing glucose and protein. Gastric volume was measured twice, once after fasting for at least 6 hours, and two hours after drinking fluid. Every participants were given a two-week washout period before undergoing second intervention.
Results: No significant differences were found in the comparison of baseline gastric volume before intervention. Significant difference was found between gastric volume two hours after drinking maltodextrin compared to combination fluid ( p,0,05). This differences might be influenced by leptin increasing after drinking the combination fluid, along with the differences of fluid osmolarity and calories contained, affecting gastric emptying rate and residual volume. Conclusion: There was significant difference in gastric volume two hours after administration of 12.5% maltodextrin solution compared to combination of glucose and protein solution.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Florentina Marwisitaningrum
"Dokter bedah dan PPDS bedah merupakan kelompok profesi yang berisiko tinggi mengalami nyeri muskuloskeletal akibat berbagai pajanan saat melakukan pekerjaan. Nyeri muskuloskeletal dapat memengaruhi kualitas kerja dan kualitas hidup. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui keselarasan postur berdiri serta adanya nyeri muskuloskeletal pada PPDS Bedah di RSCM. Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang pada tiga puluh tujuh subjek yang berpartisipasi sesuai dengan kriteria inklusi. Luaran dari penelitian ini adalah abnormalitas postur berdiri bidang sagital yang dinilai dari foto postur berdiri dan ada tidaknya nyeri muskuloskeletal yang dinilai dengan kuesioner Nordic terstandar. Dari penilaian postur didapatkan sebanyak 72,97% subjek mengalami abnormalitas postur berdiri pada bidang sagital. Sebanyak 46% subjek mengeluhkan adanya nyeri muskuloskeletal terkait pekerjaan. Tidak terdapat hubungan bermakna antara abnormalitas postur berdiri bidang sagital dengan nyeri muskuloskeletal (p=0,46). Dari analisis multivariat didapatkan bahwa faktor berupa status nutrisi (p=0,22), rerata durasi operasi (p=0,21), dan rerata durasi operasi per minggu (p=0,17) turut memengaruhi terjadinya abnormalitas postur berdiri bidang sagital. Faktor kebiasaan berolahraga (p=0,059), kebiasaan merokok (p=0,092), dan lama bekerja di kamar operasi (p=0,081) memengaruhi terjadinya nyeri muskuloskeletal pada subjek. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan menambah cakupan subjek. Sebagai tambahan, sebaiknya juga dilanjutkan dengan analisis kamar operasi dan pemeriksaan postur selama melakukan berbagai tindakan operasi.
Surgeons and surgery residents are professional groups that are high risk of experiencing musculoskeletal pain due to various exposures while doing work. The study determined the alignment of sagittal standing posture and the presence of musculoskeletal pain in surgery resident at RSCM. This study was a cross-sectional study in thirty-seven subjects according to inclusion criteria. The outcome was the abnormality of sagittal standing posture by photographs and the presence of musculoskeletal pain as assessed by Nordic standardized questionnaire. It was found that 72.97% of the subjects experienced abnormalities in sagittal plane of standing posture. Approximately 46% of the subjects complained of work-related musculoskeletal pain. There was no relationship between abnormal standing posture in the sagittal plane and musculoskeletal pain (p=0.46). From multivariate analysis, it was found that nutritional status (p=0.22), mean duration of surgery (p=0.21), and average duration of surgery per week (p=0.17) influenced the occurrence of abnormal standing posture in the sagittal plane. The factors of exercise habits (p=0.059), smoking habits (p=0.092), and length of work in the operating room (p=0.081) influenced the occurrence of musculoskeletal pain. Further research is needed by increasing scope of the subject. In addition, it is advisable to continue with operating room analysis and posture checks during various operations.  "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhlan Dira Wagarasukma
"Prevalensi obesitas pada anak usia sekolah di DKI Jakarta adalah sebesar 14.0%. Ketidakseimbangan Indeks Massa Tubuh (IMT) dapat memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan melalui hormon ghrelin dan leptin sehingga dapat menyebabkan gangguan tidur pada anak. Prevalensi gangguan tidur pada anak usia sekolah di Jakarta Pusat adalah 25,1%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh IMT terhadap gangguan tidur pada anak usia sekolah di Provinsi DKI Jakarta. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain crosssecitonal dengan data sekunder diperoleh dari South-East Asian Nutrition Survey 2.0 (SEANUTS 2.0). Subjek dalam penelitian ini adalah 104 anak usia 6-12 tahun yang terdiri dari 62 anak perempuan dan 42 anak laki-laki. Analisis bivariat menunjukkan bahwa IMT tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan gangguan tidur (p=0,135), sedangkan variabel lain yaitu kecemasan (p=0,000), berkeringat pada malam hari (p=0,013), dan persentase lemak (p=0,034) memiliki hubungan yang signifikan. Hasil analisis regresi linier berganda menyimpulkan bahwa variabel yang paling berpengaruh terhadap gangguan tidur adalah kecemasan (p=0,000) dan berkeringat pada malam hari (0,020). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa IMT tidak berpengaruh terhadap gangguan tidur pada anak Provinsi DKI Jakarta. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menyimpulkan faktor-faktor lain yang mendasari yang mungkin memengaruhi gangguan tidur pada anak-anak khususnya di Provinsi DKI Jakarta.

The prevalence of obesity in DKI Jakarta province is 14,0%. These imbalance in Body Mass Index (BMI) could affect growth development through imbalance of ghrelin and leptin, which could affect the quality of sleep and cause sleep disturbances in children. This study aims to determine the effect of BMI on sleep disturbances in school-aged children in DKI Jakarta Province. The design utilized in this study was a cross-sectional with data obtained from the South-East Asian Nutrition Survey 2.0 (SEANUTS 2.0). The subjects in this study were 104 children aged 6--12 years old, consisting of 62 girls and 42 boys. Bivariate analysis showed that BMI does not have a significant relationship with sleep disturbance (p=0.135), while other variables such as anxiety (p=0.000), sweating at night (p=0.013), and fat percentage (p=0.034) do have significant relationship. Results of multiple linear regression analysis conclude that variable with the influence for sleep disturbances are anxiety (p=0.000) and sweating at night (0.020). In conclusion, BMI does not affect sleep disturbances in children of DKI Jakarta Province. More research is needed to conclude other underlying factors that might affect sleep disturbances in children especially in DKI Jakarta."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shintawati Ramdhani Zaenudin
"Latar Belakang: Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia mengakibatkan masalah psikologis, termasuk kecemasan, depresi dan distress psikologis pada tenaga kesehatan khususnya dokter spesialis paru dan peserta Pendidikan Program Dokter Spesialis (PPDS) paru. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalens, derajat risiko distress dan faktor-faktor yang memengaruhi derajat risiko distress psikologis pada dokter spesialis paru dan PPDS paru di Jakarta.
Metode: Peneliti menggunakan metode studi deskriptif potong lintang terhadap dokter spesialis paru dan PPDS paru di Jakarta, Indonesia secara consecutive sampling pada bulan Mei 2020. Peneliti menggunakan alat ukur yaitu Distress Thermometer (DT) dan problem list yang telah divalidasi secara transkultural dan pengisiannya dilakukan mandiri oleh subjek secara daring.
Hasil: Sebanyak 134 subjek yang masuk dalam penelitian ini diantaranya 81 orang peserta PPDS paru dan 53 orang dokter spesialis paru dengan dominasi subjek perempuan sebanyak 66,4%, rerata usia 38,36 (±9,54) tahun dan rerata lama pengalaman kerja adalah 3 (1-27) tahun. Seluruh subjek memiliki risiko distress psikologis dengan perbandingannya berturut-turut pada kelompok PPDS adalah ringan, sedang, berat (44,4%, 50,6%, 4,9%) dan pada dokter spesialis paru (47,2%, 45,3%, 7,5%). Pada analisis subgrup ditemukan bahwa kelompok dokter spesialis paru lebih banyak mengalami masalah yang memengaruhi risiko distress psikologis dibandingkan kelompok PPDS. Pada kelompok dokter spesialis paru ditemukan masalah-masalah yang memengaruhi tingkat risiko distress diantaranya adalah usia (56,0%, p=0,003), masalah mengasuh anak (50,0%, p=0,037), mengurus rumah (45,5%, p=0,040), masalah dengan kerabat (75,0%, p=0,035), depresi (100%, p=0,011), ketakutan (50,0%, p=0,040), gugup (100%, p=0,011), sedih (41,7%, p=0,010), hilang minat pada aktivitas rutin (50,0%, p=0,005), diare (100%, p=0,011), kelelahan (62,5%, p=0,037), demam (66,7%, p=0,011), gangguan pencernaan (50,0%, p=0,008), gangguan konsentrasi (37,5%, p=0,033), mual (42,9%, p=0,008), hidung kering (60%, p=0,001), kulit kering dan gatal (50,0%, p=0,004), gangguan tidur (72,7%, p=0,004) serta kesemutan (57,1%, p=0,024). Faktor-faktor yang memengaruhi tingkat risiko distress pada PPDS paru diantaranya adalah depresi (80,0%, p=0,040), ketakutan (68,4%, p<0,001), gugup (62,5%, p=0,031) dan kelelahan (70,8%, p=0,023).
Kesimpulan: Prevalens risiko distress psikologis pada dokter spesialis paru dan PPDS paru saat pandemi COVID-19 di Jakarta tinggi. Faktor-faktor yang memengaruhi tingkat risiko distress pada dokter spesialis paru diantaranya adalah usia, masalah teknis, keluarga, emosional dan fisis, sedangkan pada PPDS paru diantaranya adalah masalah emosional dan fisis.

Background: Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) pandemic in Indonesia causes psychological problems, including anxiety, depression and psychological distress in health workers, especially pulmonologist and pulmonology resident. The purpose of this study was to find out the prevalence, distress levels and factors that affect the risk psychological distress of pulmonologist and pulmonology resident in Jakarta.
Methods: Researchers used a descriptive study cross-sectional method on pulmonologist and pulmonology resident in Jakarta, Indonesia using consecutive sampling in May 2020. We used Distress Thermometer as a measurement tools and problem list that was transculturally validated and filled out online and independently by subjects.
Results: A total of 134 subjects were included in this study including 81 pulmonology residents and 53 pulmonologists dominated by women (66.4%), mean age 38.36 (± 9.54) years and median length of work was 3 (1-27) years. All subjects had a risk of psychological distress with the ratios in resident group are mild, moderate, severe (44.4%, 50.6%, 4.9%) and pulmonologist (47.2%, 45.3%, 7.5%). In subgroup analysis, it was found that the pulmonologist group experienced more problems that affect the risk of psychological distress than the resident group. In the pulmonologist group, problems that assosciated with the level of distress risk are age (56.0%, p=0.003), parenting problems (50.0%, p=0.037), house problem (45.5%, p= 0.040), problems with relatives (75.0%, p=0.035), depression (100%, p=0.011), fear (50.0%, p=0.040), nervous (100%, p=0.011), sadness (41.7%, p=0.010), loss of interest in routine activities (50.0%, p=0.005), diarrhea (100%, p=0.011), fatigue (62.5%, p=0.037), fever (66.7%, p=0.011), indigestion (50.0%, p=0.008), concentration (37.5%, p=0.033), nausea (42.9%, p=0.008), nasal dry (60%, p=0.001), dry and itchy skin (50.0%, p=0.004), sleep (72.7%, p=0.004) and tingling (57.1%, p=0.024). Factors that assosciated with the level of distress risk in residents are depression (80.0%, p=0.040), fear (68.4%, p<0.001), nervousness (62.5%, p=0.031) and fatigue (70.8%, p=0.023).
Conclusion: Prevalens psychological distress risk in pulmonologist and pulmonology resident during the COVID-19 pandemic in Jakarta is high. Factors that assosciated with the level of psychological distress risk in pulmonologist are age, technical, family, emotional and physical problems. Factors that assosciated with the level of psychological distress risk in pulmonology resident are emotional and physical problems.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Violine Martalia
"atar belakang: Prevalensi penyakit Parkinson di Indonesia terus meningkat, khususnya pada lansia. Namun, penyakit Parkinson seringkali hanya dikaitkan dengan gangguan motoriknya saja, gangguan non-motoriknya sering diabaikan. Padahal, gangguan non-motorik dapat memengaruhi kualitas hidup. Salah satu gangguan non-motorik yang sering terjadi adalah gangguan tidur. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran gangguan tidur pada pasien penyakit Parkinson di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Metode: Metode penelitian ini adalah cross-sectional yang dilakukan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada Mei sampai September 2022. Instrumen yang digunakan merupakan kuesioner dengan teknik consecutive sampling yaitu 31 pasien penyakit Parkinson. Uji univariat digunakan untuk melihat distribusi prevalensi penyakit Parkinson, uji Chi Square untuk menilai hubungan antarvariabel, dan uji Fisher’s exact untuk menilai hubungan status depresi dengan gangguan tidur. Hasil: Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa 61.3% subjek memiliki gangguan tidur berdasarkan PSQI dan 35.5% memiliki EDS berdasarkan ESS. Terdapat hubungan yang bermakna antara faktor depresi dengan gangguan tidur berdasarkan PSQI dan ESS. Status depresi memengaruhi bermakna kejadian EDS dengan mayoritas pasien depresi ringan. Kesimpulan: Disimpulkan bahwa gangguan tidur pada pasien penyakit Parkinson di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dipengaruhi oleh faktor sosiodemografi dan klinis.

Introduction: The prevalence of Parkinson's disease in Indonesia is increasing, especially in elderly. However, Parkinson's disease is often only associated with motor disorders, non-motor disorders are often neglected even though it can also affect quality of life. One of the non-motor disorders that often occurs is sleep disorders. Therefore, this study aims to provide an overview of sleep disorders in Parkinson's disease patients and factors that influence it. Method: A cross-sectional study was conducted at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo from May to September 2022. The instrument used was questionnaires with a consecutive sampling technique, namely 31 Parkinson's disease patients. Univariate test was used to see the distribution of Parkinson's disease, Chi Square test to assess the relationship between variables, and Fisher's exact test to assess the relationship between depression status and sleep disorders. Result: Statistical analysis showed that 61.3% subjects experienced sleep disorders (PSQI) and 35.5% experienced EDS (ESS). The relationship between depression and sleep disorders based on PSQI and ESS is significant. Depressive status is associated with EDS with the majority being mild depression. Conclusion: Sleep disorders in Parkinson's disease patients at dr. Cipto Mangunkusumo is influenced by sociodemographic and clinical factors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>