Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 179176 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anindita Basuki
"ABSTRAK
Latar Belakang dan tujuan: Pemeriksaan MRI T2 pankreas merupakan pemeriksaan yang lebih akurat dalam menilai hemosiderosis pankreas, namun memiliki keterbatasan karena hanya tersedia di kota-kota besar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi nilai T2 pankreas dengan kadar glukosa darah, karakteristik T2 pankreas dan kadar glukosa darah subyek penelitian, serta pengaruh letak ROI terhadap nilai T2 pankreas. Metode: Penelitian menggunakan desain potong lintang pada 52 subyek anak dan 12 subyek dewasa antara September 2015-Juni 2016. Hasil: Nilai T2 pankreas anak antara 2,71-48,77 ms dan dewasa 6,49-41,82 ms. Kadar glukosa darah puasa anak rerata 87,31 11,01 mg/dL dan dewasa 88,00 10,27 mg/dL. Korelasi nilai T2 pankreas terhadap kadar glukosa darah puasa anak r=0,198 p=0,160 dan dewasa r=0,004 p=0,991 . Hubungan nilai T2 pankreas dengan letak ROI didapatkan p=0,105. Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi nilai T2 pankreas dengan kadar glukosa darah puasa pada anak dan dewasa. Tidak terdapat perbedaan signifikan nilai T2 pankreas menurut letak ROI.

ABSTRACT
Background and Objective T2 MRI examination is more accurate in assessing pancreatic hemosiderosis but lack of availability to be used routinely in daily practice. This study aimed to determine the correlation value of T2 pancreas with blood glucose levels in thalassemic children and adults. Methods Cross sectional study that held in September 2015 June 2016, involving 52 children and 12 adults. Results Pancreatic T2 values of children are 2.71 to 48.77 ms and values of adults are from 6.49 to 41.82 ms. Mean of fasting blood glucose levels in children are 87.31 11.01 mg dL and mean of adults are 88.00 10.27 mg dL. Correlation r between value of pancreatic T2 against children rsquo s fasting blood glucose levels was 0.198 p 0.160 and adults was 0.004 p 0.991 . Significancy value p of relationship between pancreatic T2 and ROI of pancreas was 0.105. Conclusion There was no significant correlation between pancreatic T2 values with fasting blood glucose levels in children and adults, nor significant difference in T2 values according to ROI of pancreas."
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Inge Friska Widjaya
"Latar belakang dan tujuan : Hemosiderosis jantung dan pankreas merupakan komplikasi transfusi pada pasien thalassemia mayor. Evaluasi hemosiderosis pankreas dan jantung dilakukan dengan pemeriksaan MRI sekuens T2*. Kedua organ tersebut mempunyai kesamaan dalam penyimpanan besi dan tehnik pemeriksaan T2* pankreas lebih mudah dan cepat dibandingkan tehnik pemeriksaan jantung, sehingga diharapkan evaluasi hemosiderosis jantung dipermudah dengan menghitung nilai T2* pankreas.
Metode : Uji korelatif dengan pendekatan potong lintang pada nilai T2* pankreas dan nilai T2* jantung dihitung menggunakan perangkat lunak CMRtools™ pada 30 subjek thalassemia mayor.
Hasil : Tidak terdapat korelasi antara nilai T2* pankreas dengan nilai T2* jantung (R = 0,05, p = 0,798).
Kesimpulan : Tidak terdapat korelasi antara nilai T2* pankreas dengan nilai T2* jantung pada pasien thalassemia mayor.

Background and objective : Cardiac and pancreatic hemosiderosis are transfusion complication in major thalassemia patients. Evaluation of cardiac and pancreatic hemosiderosis assessed by MRI T2* examination. Both organs have same iron deposition, pancreatic T2* examination easier and faster than cardiac. Pancreatic T2* score can be used to evaluate cardiac hemosiderosis.
Method : A cross sectional correlation study between pancreatic and cadiac T2*score calculated with CMRtools™ software conducted in 30 major thalassemia patients.
Result : There is no correlation between pancreatic and cardiac T2* score (R = 0,05, p = 0, 79)
Conclusion : There is no correlation between pancreatic and cardiac T2* score in major thalassemia patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wita Septiyanti
"Latar belakang dan tujuan: Thalassemia adalah penyakit anemia hemolitik yang diturunkan, merupakan penyakit genetik yang paling sering di dunia. Transfusi secara berkala pada pasien thalassemia dapat menyebabkan deposit besi pada berbagai organ seperti hipofisis. Deposit besi pada hipofisis dapat menyebabkan hipogonadotropik hipogonadisme. Biopsi merupakan pemeriksaan baku emas untuk menilai deposit besi pada organ, namun hal ini tidak dapat dilakukan pada hipofisis. Pemeriksaan MRI mulai digunakan unutuk mengukur kadar besi pada berbagai organ salah satunya hipofisis.
Metode: Uji korelasi dengan pendekatan potong lintang untuk mengetahui nilai korelasi nilai MRI T2 dan T2 relaksometri serta SIR T2 hipofisis dengan kadar FSH dan LH pada pasien thalassemia mayor. Pemeriksaan dilakukan 28 subjek penelitian dalam kurun waktu Desember 2016 hingga Maret 2016.
Hasil: Terdapat korelasi antara nilai relaksometri T2 hipofisis potongan koronal dengan kadar FSH dan LH, serta terdapat pula korelasi antara nilai SIR T2 hipofisis dengan kadar LH. Tidak terdapat korelasi antara nilai relaksometri T2 potongan koronal-sagital dengan kadar FSH dan LH, serta tidak terdapat pula korelasi antara SIR T2 hipofisis dengan kadar FSH.
Kesimpulan: Nilai relaksometri T2 hipofisis potongan koronal dan SIR T2 hipofisis dapat digunakan sebagai acuan deposit besi pada hipofisis serta dapat memonitor terapi kelasi pada pasien thalassemia - mayor.

Background and abjective Thalassemia is a hereditary hemolytic anemia disorder, it is one of the most common genetic disease in the world. Periodic transfusion for thalassemia patients may lead to iron deposit in various organs such as pituitary gland. Iron deposit in pituitary gland may induce hypogonadotropic hypogonadism. Biopsy and histopathology assessment is the gold standard examination to assess organ iron deposit, however this method is inapplicable for pituitary gland. MRI examination has been started to be used for measurement of iron level in various organ, such as pituitary gland.
Method: This study uses cross sectional method. MRI T2 and T2 relaxometry value as well as SIR T2 of pituitary gland was correlated with FSH and LH level in patients with major thalassemia. This study involves 28 subjects and conducted from December 2016 to March 2017.
Result: There is a correlation between relaxometry values of T2 pituitary gland on coronal slice with the level of FSH dan LH. There is also a correlation between pituitary SIR T2 value with the level of LH. There are no correlation between relaxometry values of T2 on coronal sagittal slices with the level of FSH and LH, furthermore there are no correlation between pituitary SIR T2 with FSH level.
Conclusion: Relaxometry value of pituitary T2 on coronal slice and pituitary SIR T2 value may be use as reference for iron deposit on pituitary gland as well as to monitor chelating therapy in major thalassemia patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Destianti
"Latar belakang: Pemeriksaan cardiac siderosis dengan MRI T2 1,5 Tesla merupakan baku emas tetapi belum ada yang menggunakan MRI 3 Tesla. Provinsi Aceh merupakan daerah yang mempunyai banyak pasien thalassemia mayor di Indonesia, sampai saat ini belum ada data mengenai cardiac siderosis dan gangguan fungsi diastolik yang diperiksa dengan ekokardiografi tissue Doppler. Pemeriksaan cardiac siderosis yang tersedia di Aceh adalah MRI 3 Tesla.
Tujuan: Menilai korelasi antara gangguan fungsi diastolik dengan cardiac siderosis ekokardiografi tissue Doppler dan feritin serum pada pasien anak thalassemia major di Aceh.
Metode: Studi observasional dilakukan di Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh pada bulan Juli hingga September 2018. Dilakukan pencatatan data karakteristik, Hb pre-transfusi, feritin serum, data ekokardiografi dan nilai MRI T2 3 Tesla jantung. Korelasi antara MRI T2 jantung dengan ekokardiografi dan feritin serum dinilai dengan uji Pearson.
Hasil: Penelitian ini mengikutsertakan 34 subyek usia 8-17,5 tahun. Cardiac siderosis didapat pada 8 (23,5%) subyek. Gangguan diastolik didapati pada 10 (29,5%) subyek. Tidak dijumpai korelasi antara MRI T2 jantung dengan fungsi diastolik ETD (r= 0,086; p= 0,62). Terdapat korelasi signifikan antara MRI T2 dengan feritin serum (r= -0,537; p < 0,0001).
Simpulan: Terdapat korelasi kuat antara MRI T2 jantung dengan kadar feritin serum, tetapi tidak terdapat korelasi antara fungsi diastolik dengan MRI T2 3 Tesla jantung

Backgrounds: Cardiac T2 MRI at 1,5 T remains gold standard for cardiac siderosis. However in some centres only MRI 3 T is available. Aceh Province is the largest region with thalassemia careers in Indonesia, there are no data about cardiac siderosis and diastolic dysfunction in children with thalassemia major in Aceh. Thalassemia center in Aceh has only MRI 3 Tesla
Objectives: To study correlation diastolic function cardiac siderosis with cardiac T2 MRI 3 Tesla among Acehnesse children thalassemia.
Methods: Observational studies were conducted at Dr. General Hospital Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh from July to September 2018. Data on characteristics, pre-transfusion hemoglobin, serum ferritin, echocardiography and cardiac T2 MRI were recorded. Correlation between heart T2 MRI is carried out by the Pearson test as well as serum ferritin.
Results: Thirty-four subjects participated in the study aged 8-17.5 years. Eight subjects (23.5%) experienced cardiac siderosis which was examined by cardiac T2 MRI T2 3 Tesla. Diastolic dysfunction examination by tissue Doppler echocadiography were found in 10 (29.5%) subjects. There was no correlation between MRI of heart T2 with diastolic function tissue Doppler echocardiography (r = 0.086; p = 0.62). There was a significant correlation between MRI T2 and serum ferritin (r = -0.537; p <0.0001).
Conclusion: There was no correlation between cardiac T2 MRI 3 Tesla and diastolic function ETD. There was a strong and significant correlation between MRI T2 and serum ferritin. Tissue Doppler can detect early diastolic dysfunction in thalassemia patients better than conventional.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sanny Kusuma Sary
"Masa yang paling rentan sepanjang kehidupan anak adalah masa neonatus dengan kematian paling banyak terjadi dalam minggu pertama kehidupan. Penyebab kematian tertinggi adalah kelahiran prematur, asfiksia, infeksi dan cacat lahir. Deteksi dini dengan pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk memahami faktor yang berpengaruh terhadap keluaran buruk dalam menentukan pengawasan ketat dan tindakan intervensi dengan segera. Pemeriksaan laboratorium dengan menggunakan darah tali pusat dapat menjadi solusi. Penelitian ini menganalisa hubungan antara kadar glukosa, hemoglobin (Hb) dan nilai hematokrit (Ht) darah tali pusat dengan keluaran buruk jangka pendek neonatus yang terdiri dari skor Apgar 5 menit < 7, IVH, distres napas atau kardiovaskular yang butuh perawatan intensif, diagnosis sepsis neonatorum dan kematian neonatus. Empat puluh empat subjek yang terdiri dari 22 subjek dengan keluaran buruk dan 22 subjek tanpa keluaran buruk diikutsertakan dalam penelitian ini. Rerata kadar glukosa, Hb dan nilai Ht pada kelompok neonatus dengan keluaran buruk lebih rendah dari kelompok neonatus tanpa keluaran buruk. Terdapat hubungan antara kadar glukosa, Hb dan nilai Ht dengan tingkat kejadian keluaran buruk jangka pendek neonatus. Parameter kadar glukosa, Hb dan nilai Ht masing-masing memiliki area under curve (AUC) 70,6%; 71,1% dan 65%. Analisis regresi logistik menghasilkan model probabilitas keluaran buruk menggunakan parameter metode persalinan, usia kehamilan dan kadar Hb tali pusat dengan titik potong 15,55 g/dL.

The most vulnerable period throughout a children life is neonatal period with most deaths occurring in the first week of life. The leading cause of death are prematurity, asphyxia, infection and birth defects. Early detection using laboratory testing is needed to understand factors that influence bad outcomes and to determine intensive care or immediate intervention. Laboratory testing using umbilical cord blood sample can be a solution. This study analyzed the relationship between cord blood glucose, hemoglobin (Hb) levels and hematocrit (Ht) values with short-term neonatal bad outcomes consisting of 5-minute Apgar score less than 7, intraventricular hemorrhage (IVH), respiratory or cardiovascular distress requiring intensive care, diagnosis of neonatal sepsis and neonatal death. Forty-four subjects consisting of 22 subjects with bad outcomes and 22 subjects without bad outcomes were included in this study. The mean glucose, Hb levels and Ht values in the group of neonates with bad outcomes were lower than the group of neonates without bad outcomes. There is a relationship between glucose, Hb levels and Ht values with the incidence of short-term neonatal adverse outcomes. Cord blood glucose, Hb levels and Ht values each have an area under curve (AUC) of 70.6%; 71.1% and 65%. Logistic regression analysis showed a bad outcome probability model using delivery method, gestational age and the cord blood hemoglobin levels cut-off point of 15,55 g/dL."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Yoanita Astriani
"Thalassemia merupakan penyakit anemia hemolitik yang diturunkan dan penyakit genetik yang paling sering didapati di dunia. Terapi dengan transfusi dan terapi kelasi pada pasien thalassemia memberikan angka survival yang lebih panjang. Salah satu komplikasi transfusi berkala adalah peningkatan kadar besi yang terakumulasi pada hipofisis. Hipogonadotropik hipogonadisme yang memiliki gambaran klinis keterlambatan pubertas merupakan abnormalitas utama pada sistem endokrin pasien thalassemia anak. Pencitraan MRI berguna menilai deposit besi hipofisis.
Tujuan: Mengetahui kemampuan sekuens T2 dan T2 relaksometri dalam menilai deposit besi di hipofisis yang memiliki gambaran klinis keterlambatan pubertas.
Metode: Menggunakan desain komparatif studi potong lintang (comparative cross sectional) dengan data primer, minimal sampel 28 pasien. Analisis data dalam penetuan titik potong menggunakan metode reciver operating curve (ROC) kemudian dihitung tingkan sensitivitas dan spesifitasnya.
Hasil: Nilai T2 dan T2 relaksometri hipofisis pada kelompok pubertas terlambat lebih rendah secara bermakna dibandingkan kelompok pubertas normal. Titik potong T2 relaksometri hipofisis untuk membedakan pubertas terlambat dan normal yakni 78,15 ms dengan perkiraan sensitivitas dan spesifitas masing-masing 92,9% dan 75,0%. Titik potong T2 relaksometri hipofisis untuk membedakan pubertas terlambat dan normal yakni 20,19 ms dengan perkiraan sensitivitas dan spesifitas keduanya adalah 100%.
Kesimpulan: Nilai T2 dan T2 relaksometri hipofisis dapat meningkatkan peran MRI dalam mendeteksi status laju pubertas pada pasien transfusion dependent thalassemia sehingga pasien thalassemia dengan deposit besi yang berat di hipofisis serta prediksi keterlambatan pubertas dapat mendapatkan terapi yang lebih optimal.

Thalassemia is an inherited hemolytic anemia disease and is a genetic disease most commonly found in the world. Treatment with transfusion and chelation therapy in thalassemia patients provides a longer survival rate. One of periodic transfusion complications is an increase in iron in the pituitary. Hypogonadotropic hypogonadism which has a clinical picture of delayed puberty is a major abnormality in the endocrine system in pediatric thalassemia patients. MRI imaging is useful in assessing iron deposits in the pituitary.
Purpose: To determine the ability of T2 and T2 relaxometry sequences of pituitary in assessing pituitary iron deposits which have a clinical picture of delayed puberty Methods: Using a comparative cross sectional design with primary data, with minimum sample of 28 patients. Analysis of data in determining the cut point was using the reciver operating curve (ROC) method and then calculated the sensitivity and specificity.
Result : T2 and T2 relaxometry values of pituitary iron deposit in the delayed puberty group were significantly lower than in the normal puberty group. The T2 relaxometry cut-off point for pituitary iron deposit to differentiate delayed and normal puberty is 78.15 ms with estimated sensitivity and specificity of 92.9% and 75.0%, respectively. The T2 relaxometry cut-off point for pituitary iron deposit to delayed and normal puberty is 20.19 ms with an estimated sensitivity and specificity of both is 100%. Conclutions: T2 and T2 relaxometry values of pituitary iron deposit can enhance the role of MRI in detecting the rate of puberty in patients with transfusion dependent thalassemia so patients with severe pituitary iron deposit and whom predicted with delayed puberty could have optimal therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutapea, Meriati Elisabet Magdalena
"Diabetes Melitus Tipe 1 merupakan penyakit kronis yang melibatkan perubahan perilaku baik pola hidup maupun aktivitas dalam  sehari-hari. Tidaklah mudah untuk mencapai perubahan perilaku yang dapat secara langsung mempengaruhi pengendalian glukosa darah dan komplikasi. Serangkaian tindakan pengobatan yang rutin dipatuhi pada dasarnya bukanlah hal yang mudah untuk dijalankan. Ketidakpatuhan pada umumnya dapat meningkatkan masalah kesehatan bahkan dapat memperburuk penyakit yang dideritanya. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan hubungan tingkat kepatuhan perawatan diri anak dengan DMT1 tentang pemeriksaan glukosa darah harian dan pemberian terapi insulin. Penelitian ini dilakukan secara cross sectional dengan teknik consecutive sampling terhadap 49 anak diabetes melitus tipe 1 usia 1 – 18 tahun di wilayah Jabodetabek. Data diperoleh dari pengisian logbook selama 14 hari. Analisis menggunakan spearman sesuai jenis data. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan kepatuhan pemeriksaan glukosa terhadap kadar glukosa prepandrial dan postpandrial (p>0.05). Demikian pula didapatkan tidak ada hubungan tingkat kepatuhan  terapi insulin dengan kadar glukosa prepandrial dan postpandrial (p>0,05). Namun secara univariat  didapatkan dara bahwa tingkat kepatuhan insulin sudah sesuai, tetapi tidak demikian dengan tingkat kepatuhan glukosa darah yaitu kurang baik. Hasil penelitian ini memberikan dasar ilmiah dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak diabetes melitus tipe 1, bahwa perawatan diri pada anak diabetes melitus tipe 1 harus dipantau dan ditingkatkan agar mendapatkan kualitas hidup yang baik.
Kata kunci : Diabetes melitus tipe 1, kepatuhan pemeriksaan glukosa, kepatuhan insulin

Type 1 Diabetes is a chronic disease involving changing behaviour in both lifestyle and daily activities. Series of treatment that routinely obeyed in fact not easy to follow. Nonadherence in general can increase health problem even worsen his ilness. The Research aimed to find out correlation between level of adherence self-treatment with type 1 diabetes mellitus about checking daily blood glucose and giving therapy of insulin. The research used cross sectional design with consecutive technique sampling to 49 children suffering type 1 diabetes mellitus aged 1 – 18 years old in Jabotabek areas. Data was collected from filling out logbook for 14 days. Analysis used Spearman method according to the type of databased on type of data. The result of the study showed that there was no compliance relationship of blood glucose examination with prepandrial blood glucose level (p>0,05). It was found that there was no association with the level of insulin compliance with prepandrial blood glucose levels (p>0,05). Nevertheless, univariate data showed that the level of insulin compliance was appropriate, but not so with the level of blood glucose adherence that is not good. This research gives scientific basis in giving nursing care to children with type 1 diabetes that self care in children with type 1 diabetes mellitus must be monitored and increased to get good quality of life.
Key words : Type 1 diabetes mellitus, adherence of glucose checkup, insulin adherence
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardra Christian Tana
"Latar belakang dan tujuan: Pasien transfusion dependent thalassemia (TDT) rutin mendapatkan transfusi darah untuk mencegah komplikasi anemia kronik, namun kadar besi dalam tiap kantung transfusi yang diberikan akan menumpuk pada organ-organ, dan pada jantung akan mengakibatkan iron overload cardiomyopathy (IOC). Komplikasi IOC ini merupakan penyebab mortalitas tertinggi pada pasien thalassemia, sehingga dibutuhkan modalitas untuk deteksi dini agar tatalaksana dapat diberikan lebih awal. Modalitas terpilih untuk mendeteksi kadar besi dalam jantung adalah dengan mengukur nilai T2* miokardium menggunakan MRI sekuens T2*, namun karena adanya keterbatasan modalitas maka dibutuhkan metode lain. Pada pasien dengan IOC, akan terjadi gangguan pada fungsi diastolik jantung terlebih dahulu. Oleh karena itu parameter yang dapat menilai fungsi diastolik jantung diharapkan juga dapat mendeteksi IOC lebih dini. Parameter yang diajukan pada penelitian ini adalah left atrial ejection fraction (LAEF) dan left atrial expansion index (LAEI) yang menggambarkan fungsi diastolik jantung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan metode pemeriksaan alternatif dari penilaian T2* untuk mendeteksi IOC serta mengetahui korelasi antara LAEF dan LAEI dengan nilai T2* jantung.
Metode: Penelitian ini merupakan uji korelasi menggunakan desain potong lintang menggunakan data sekunder yang dilakukan di RSCM pada bulan April 2018 hingga September 2018. Didapatkan 70 subjek penelitian, yang masing-masing dilakukan pengukuran nilai T2* pada miokardium serta pengukuran dimensi atrium kiri. Analisis statistik menggunakan uji pearson.
Hasil: Didapatkan korelasi negatif rendah antara LAEF dengan nilai T2* (R= - 0,12, p>0,05) dan tidak didapatkan korelasi antara LAEI dengan nilai T2* (R= - 0,09, p>0,05).
Kesimpulan: Terdapat korelasi berkebalikan rendah antara LAEF dengan nilai T2* miokardium serta tidak didapatkan korelasi antara LAEI dengan nilai T2* miokardium. Oleh karena itu tidak dianjurkan penggunaan parameter tersebut untuk memprediksi IOC pada pasien dengan TDT.

Background and objectives:Transfusion dependent thalassemia (TDT) patients routinely get blood transfusions to prevent complications of chronic anemia, but iron content in each given transfusion sac will accumulate in the organs. In the heart it will result in iron overload cardiomyopathy (IOC), which is the highest cause of mortality in thalassemia patients. Therefore, modalities for early detection are needed so that early treatment can be given. Currently, the chosen modality for detecting iron levels in the heart is by measuring the myocardial T2 * value using MRI T2 * sequences, but due to limitations in modalities another method is needed. In patients with IOC, the diastolic function of the heart will occur first. For that reason, a parameter that can assess cardiac diastolic function is also expected to detect IOC earlier. The parameters proposed in this study are left atrial ejection fraction (LAEF) and left atrial expansion index (LAEI) which define cardiac diastolic function. The purpose of this study was to obtain an alternative examination method other than T2 * assessment to detect IOC and also to find out the correlation between LAEF and LAEI with heart T2 * values.
Method: This study is a correlation test using a cross-sectional design with secondary data, conducted at RSCM in April 2018 to September 2018. T2* score and left atrial dimensions was measured from all 70 subjects. Statistical analysis was done using Pearson correlation test.
Results: There was a low negative correlation between LAEF and T2 * (R = - 0.12, p> 0.05) and there was no correlation between LAEI and T2 * (R = - 0.09, p> 0.05).
Conclusion: There is low inverse correlation between LAEF and the myocardium T2 * value and there is no correlation between LAEI and myocardium * T2 value. Therefore, it is not recommended to use these parameters to predict IOC in patients with TDT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Edenia Saumi
"Hiperglikemia merupakan gejala metabolik berupa peningkatan glukosa darah melebihi batas normal, yang dikaitkan dengan diabetes melitus (DM). Modifikasi gaya hidup yang lebih sehat, seperti dilakukannya restriksi kalori dengan metode fasting-mimicking diet (FMD) dapat dilakukan sebagai alternatif pendekatan untuk pengendalian DM tipe 2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh FMD berbahan nabati yang tersedia di Indonesia, terhadap kadar glukosa darah dan resistensi insulin. Penelitian dilakukan terhadap tikus jantan galur Sprague-Dawley model hiperglikemia yang dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan (n=16), yakni kelompok hiperglikemia (high fat diet[HFD]-streptozotosin[STZ] 35 mg/kgBB dan CMC Na 0,5%), kelompok metformin (HFD-STZ 35 mg/kgBB dan metformin 250 mg/kgBB), kelompok FMD (HFD-STZ 35 mg/kgBB dan FMD), dan kelompok normal diet (ND) (CMC Na 0,5%). Pemberian perlakuan dilakukan selama 28 hari. Tikus dilakukan pengecekan glukosa darah puasa (GDP) dan berat badan setiap minggu perlakuan dan dikorbankan untuk diambil sampel darahnya setelah perlakuan berakhir. Homeostasis model assessment of insulin resistance (HOMA-IR) digunakan untuk mengukur resistensi insulin. Hasil penelitian menunjukkan penurunan kadar GDP dengan adanya pemberian FMD, walaupun tidak terdapat perbedaan signifikan antara GDP pra-perlakuan dengan GDP minggu ke-4 perlakuan (p>0,05). Hasil penelitian juga menunjukkan nilai HOMA-IR kelompok FMD mendekati nilai HOMA-IR kelompok ND dan lebih rendah secara signifikan dibandingkan nilai HOMA-IR kelompok hiperglikemia (p<0,05), yang berarti pemberian FMD pada tikus hiperglikemia menghasilkan tingkat resistensi insulin yang lebih rendah dibandingkan dengan tikus hiperglikemia yang tidak diberikan FMD. Sebagai kesimpulan, pemberian FMD dapat menurunkan GDP dan menghasilkan tingkat resistensi insulin yang lebih rendah pada tikus model hiperglikemia.

Hyperglycemia is a metabolic symptom in the form of an increase in blood glucose exceeding normal limits, which is associated with diabetes mellitus (DM). Healthy lifestyle modifications, such as calorie restriction with the fasting-mimicking diet (FMD) method, can be used as an alternative approach to controlling type 2 diabetes. This study aims to determine the effect of FMD using plant-based ingredients available in Indonesia on blood glucose levels and insulin resistance. The study was conducted on male rats of the Sprague-Dawley strain model of hyperglycemia, which were divided into 4 treatment groups (n = 16), namely the hyperglycemic group (high fat diet [HFD]-streptozotocin [STZ] 35 mg/kgBW and CMC Na 0.5%), the metformin group (HFD-STZ 35 mg/kgBW and metformin 250 mg/kgBW), the FMD group (HFD-STZ 35 mg/kgBW and FMD), and the normal diet (ND) group (CMC Na 0.5%). The treatment was carried out for 28 days. Rats were checked for fasting blood glucose (FBG) and body weight every week of treatment and sacrificed for blood samples after the treatment ended. Homeostasis model assessment of insulin resistance (HOMA-IR) was used to measure insulin resistance. The results showed a decrease in FBG levels with the administration of FMD, although there was no significant difference between pre-treatment FBG and FBG at the 4th week of treatment (p>0,05). The results also showed that the HOMA-IR value of the FMD group was close to the HOMA-IR value of the ND group and was significantly lower than the HOMA-IR value of the hyperglycemic group (p<0,05), which means that administering FMD to hyperglycemic rats resulted in lower levels of insulin resistance than the hyperglycemic rats that were not given FMD. In conclusion, administration of FMD can reduce FBG and result in lower levels of insulin resistance in hyperglycemic rats."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Dian Anindita
"Latar Belakang: Talasemia merupakan kelainan sintesis hemoglobin yang membutuhkan transfusi darah berulang. Kombinasi terapi kelasi dan transfusi darah telah meningkatkan harapan hidup, namun menyebabkan penumpukan besi di organ tubuh seperti kelenjar endokrin. Hipogonadisme yang merupakan salah satu gangguan endokrin yang sering terjadi pada penderita talasemia, umumnya terjadi akibat penumpukan besi di jaringan hipofisis. Penumpukan besi di hipofisis dapat dilihat dengan melihat waktu relaksasi MRI T2 hipofisis.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan status besi dengan keadaan hipogonadisme yang dinilai dengan melihat korelasi serum feritin, saturasi transferin dan waktu relaksasi MRI T2 hipofisis dengan kadar FSH, LH dan testosteron.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan subjek 32 penderita pria talasemia bergantung transfusi. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif di poliklinikin talasemia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pemeriksaan serum feritin, saturasi transferin, FSH, LH dan testosteron menggunakan teknik ELISA. Sedangkan pemeriksaan waktu relaksasi MRI T2 hipofisis menggunakan MRI Avanto 1,5 Tesla.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan 62,5% pasien tidak mencapai pubertas sempurna. Didapatkan rerata kadar testosteron 23,31 (SB 15,57). Didapatkan 25% pasien memiliki testosteron rendah, dan dari kelompok tersebut seluruhnya memiliki kadar FSH dan LH yang rendah atau normal. Dijumpai adanya korelasi negatif lemah antara waktu relaksasi MRI T2 hipofisis dengan saturasi transferin pada kelompok dengan nilai testosteron normal. Korelasi pada variabel lainnya tidak terdapat yang signifikan.
Simpulan: Angka kejadian pasien dengan pubertas tidak sempurna cukup tinggi, tidak sejalan dengan hasil laboratorium. Pada penelitian ini dijumpai korelasi negatif lemah antara saturasi transferin dengan waktu relaksasi MRI T2 hipofisis.

Background: Thalassemia is a disorder of haemoglobin synthesis that require regular blood transfusion. The combination of chelation therapy and blood transfusion has extended life expectancy. However, repetition of blood transfusions leads to accumulation of iron in organs such as endocrine glands. Hypogonadism is one of the most prevalent endocrine disorder in thalassemia, caused by iron deposition in pituitary gland. Iron overload in pituitary can be measured by pituitary MRI T2 relaxation time.
Objective: The purpose of this study was to see the correlation between iron overload with hypogonadal state by analyzing correlation between ferritin serum, transferrin saturation, pituitary MRI T2 relaxation time with FSH, LH and testosterone levels.
Methods: This is a cross-sectional study with 32 subjects of male transfusion-dependent thalassemia. The subjects were collected with consecutive sampling technique in thalassemia outpatient clinic in Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Measurement of serum ferritin, transferrin saturation, FSH, LH and testosterone were done using ELISA technique. Pituitary MRI T2 relaxation time was done using MRI Avanto 1.5 Tesla.
Results: In this study, secondary sexual characteristics was not fully achieved in 62,5%. The mean of testosterone levels is 23,31 (SD 15,57). Low testosterone levels were found in 25% patients, and all had low or normal FSH and LH levels. There was a weak negative correlation between transferrin saturation and pituitary MRI T2 relaxation time in normal testosterone level group.

Conclusions: This study demonstrated high rate of patients who did not achieved puberty, but low rate of patient with low testosterone. There is a weak negative correlation between transferrin saturation and pituitary MRI T2 relaxation times."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58685
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>