Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175860 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ade Rohmana
"ABSTRAK
Latar Belakang: Penilaian diameter trakea praanestesia merupakan hal yang sangat penting dalam memilih ukuran diameter pipa endotrakea tanpa kaf yang sesuai, untuk meminimalisi penggunaan alat bantu jalan napas yang berlebihan dan risiko trauma jalan napas. Rumus yang paling umum digunakan saat ini di RSUPN Cipto Mangunkusumo dalam memprediksi ukuran diameter pipa endotrakea tanpa kaf pada pasien pediatrik adalah rumus Cole [ usia dalam tahun/4 4 mm]. Rumus Cole memiliki kekurangan yaitu tidak memperhitungkan perbedaan perkembangan fisik dan ras pada pasien pediatrik, sehingga kurang menggambarkan diameter trakea secara aktual. Metode baru untuk memprediksi diameter pipa endotrakea adalah dengan menggunakan teknik ultrasonografi. Pengukuran ultrasonografi memiliki kelebihan mampu memprediksi diameter pipa endotrakea tanpa kaf secara aktual, tidak dipengaruhi oleh perkembangan fisik anak dan ras.Metode: Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik komparatif untuk membandingkan ketepatan pengukuran ultrasonografi dengan rumus Cole dalam memprediksi ukuran diameter pipa endotrakea tanpa kaf pada pasien pediatrik ras Melayu usia 1-6 tahun di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Setelah mendapatkan persetujuan izin etik dari Komite Etik Penelitian FKUI-RSCM, didapatkan sampel sebanyak 60 subjek. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan SPSS dan McNemar.Hasil: Didapatkan proporsi ketepatan pengukuran ultrasonografi dalam memprediksi diameter pipa endotrakea tanpa kaf pada pasien pediatrik ras Melayu usia 1-6 tahun di RSUPN Cipto Mangunkusumo sebesar 95 , sedangkan proporsi ketepatan prediksi berdasarkan rumus Cole hanya sebesar 51,7 populasi. Prediksi diameter pipa endotrakea tanpa kaf berdasarkan pengukuran ultrasonografi secara statistik signifikan lebih tepat dibandingkan prediksi diameter pipa endotrakea berdasarkan rumus Cole p
ABSTRACT
Background Preanesthesia measurement of the diameter of the trachea remains important step to select the appropriate tube size. This aims to minimalize the use of exagerate breathing support and airway trauma. In Cipto Mangunkusumo Hospital, Cole formula is commonly used to predict the uncuffed endotracheal tube size in pediatric patients. However, this formula does not measure the difference in race and physicial development in pediatric patients. Recent method to predict the uncuffed endotracheal tube size is by using ultrasound. Ultrasound is able to predict the actual size for the uncuffed endotracheal tube regardless the race and physical development. Method This was a comparative analytic observational study to compare the accuracy of ultrasound measuremnt in comparison with Cole formula to predict the uncuffed endotracheal tube size in pediatric patients among Malay race age 1 6 years old in Cipto Mangunkusumo Hospital. Following the approval from the Ethical Committee, there were 60 samples obtained. Data were analysed by using SPSS and Mc Nemar test. Result The proportion of ultrasound accuracy to predict the size of the uncuffed endotracheal tube among pediatric patients was 95 , while proportion of Cole formula accuracy was only 51.7 . This reslt was statistically significant p"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Mustakim Akbar
"ABSTRAK
Latar belakang : Metode Pediatric Advanced Life Support (PALS) merupakan
metode yang cukup mudah diaplikasikan untuk memprediksi kedalaman pipa
endotrakeal pada anak, namun terdapat keterbatasan berkaitan dengan variasi
karakteristik anak. Anak Indonesia memiliki perbedaan anatomi tulang kepala,
palatum, tulang alveolar dan mandibula serta tinggi badan yang lebih pendek
dibanding anak Amerika atau Eropa. Penelitian ini bertujuan mengetahui
ketepatan metode PALS dalam memprediksi kedalaman pipa endotrakeal pada
anak Indonesia usia 0-12 tahun di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN)
dr. Cipto Mangunkusumo.
Metode : Penelitian ini menggunakan uji Bland-Altman dan analisis regresi
terhadap data kedalaman pipa endotrakeal anak Indonesia usia 0-12 tahun yang
dilakukan intubasi per oral di kamar operasi RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo
pada bulan Juni sampai Agustus 2015. Setelah mendapatkan persetujuan izin etik
dari Komite Etik Penelitian Kesehatan FKUI-RSCM, sebanyak 100 sampel
dialokasikan pada 2 kelompok yaitu usia 0-2 tahun dan >2-12 tahun. Uji BlandAltman
digunakan untuk menilai ketepatan metode PALS dalam memprediksi
kedalaman pipa endotrakeal pada anak Indonesia. Analisis regresi linier
digunakan pada variabel usia, berat badan, tinggi badan dan diameter bagian
dalam pipa endotrakeal untuk menentukan hubungan variabel tersebut dengan
kedalaman pipa endotrakeal.
Hasil : Uji Bland-Altman pada kelompok anak Indonesia usia 0-2 tahun
mendapatkan rerata selisih 1,18 cm dengan Limits of agreement -0,71 sampai
3,08. Analisis regresi linier menghasilkan variabel diameter bagian dalam pipa
endotrakeal memiliki nilai korelasi paling kuat terhadap kedalaman pipa
endotrakeal anak usia 0-2 tahun (R
2
=68,3%). Analisis Bland-Altman pada
kelompok anak Indonesia usia >2-12 tahun mendapatkan rerata selisih 1,11 cm
dengan Limits of agreement -0,95 sampai 3,17. Variabel usia dan berat badan
secara bersama-sama memiliki nilai korelasi paling kuat terhadap kedalaman pipa
endotrakeal anak usia >2-12 tahun (R
2
=62,3%).
Simpulan : Metode PALS tidak akurat dalam memprediksi kedalaman pipa endotrakeal pada anak Indonesia usia 0-12 tahun.

ABSTRACT
Background : The accuracy of placement and depth of the endotracheal tube is
very important in children. The Pediatric Advanced Life Support (PALS) method
can predict the depth of endotracheal tube in pediatric patients. The PALS method
is easy to apply, but have limitations associated with variations in child
characteristics. Indonesian children different in skull anatomy, palate shape, size
variations of the mandible and alveolar bone, and have shorter stature compare to
American or European children. This study aimed to compare prediction accuracy
of endotracheal tube depth based on PALS method and auscultation method in
Indonesia children.
Methods : This research uses Bland-Altman Test and regression analysis on
pediatric patients age 0-12 who had oral intubation performed in operating room
dr. Cipto Mangunkusumo National Hospital on June until August 2015. After
obtain ethical approval from Health Research Ethics Committee of Faculty of
Medicine-RSCM, total 100 subjects who divided into two groups: one group age
0-2 and the other age >2-12. Endotracheal tube depth accuracy by PALS method
and auscultation method in each group then compared. Bland-Altman Test used
for evaluate PALS method accuracy to predict endotracheal tube depth on
Indonesian children. Linier regression analysis used for evaluate age, weight,
height, and inner diameter of endotracheal tube to determine relation of that
variables and endotracheal tube depth.
Results : Bland-Altman test of endotracheal tube depth in Indonesian children age
0-2 obtain mean difference 1.18 cm (IK95% 0.90 to 1.45) between PALS method
and auscultation method, with Limits of agreement (reference range for
difference) -0.71 to 3.08. The >2-12 years old group obtain mean difference 1.11
cm (IK95% 0.80 to 1.41) between endotracheal tube depth using PALS method
compare to auscultation method, with Limits of agreement (reference range for
difference) -0, 95 to 3.17. Age and weight as together obtain strongest correlation
value to endotracheal tube depth on >2-12 years old Indonesian children
(R
2
=62,3%).
Conclusion : PALS method is not accurate to predict endotracheal tube depth when applied to 0-12 years old Indonesian children."
2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kustenti Prima
"ABSTRAK
Intubasi endotrakeal merupakan upaya menjaga jalan nafas dan memberikan ventilasi. Intubasi endotrakeal menggunakan pipa endotrakeal yang memiliki balon dan dapat dikembangkan dengan tekanan yang direkomendasikan adalah 20-30 cmH2O. Terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi tekanan balon pipa endotrakeal, salah satunya rotasi kepala dan perubahan posisi tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tekanan balon pipa endotrakeal terhadap perubahan posisi rotasi kepala 15o, 45o, 60o, serta perubahan posisi lateral dekubitus. Penelitian dilakukan pada pasien yang menjalani anestesia umum dan terintubasi di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Tekanan awal balon ditetapkan sebesar 25 cmH2O lalu dilakukan perubahan posisi dari supinasi ke lateral dekubitus, rotasi kepala 15°, 45°, dan 60° lalu dilakukan penilaian oleh penilai yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara tekanan balon pipa endotrakeal pada posisi supinasi dengan posisi rotasi kepala 15o, 45o, 60odan lateral dekubitusdengan nilai uji Friedman p<0,001 serta uji post-hocdengan nilai uji Wilcoxon masing-masing p<0,001. Walaupun terdapat perbedaan bermakna secara statistik, namun hanya posisi lateral dekubitus yang memiliki perbedaan bermakna secara klinis. Kesimpulan penelitian ini adalah terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada perubahan posisi rotasi kepala 15o, 45o, 60odan lateral dekubitusdan hanya posisi lateral dekubitus yang memiliki perbedaan tekanan bermakna secara klinis.

ABSTRACT
Endotracheal intubation is an effort to maintain airway and deliver ventilation. It uses endotracheal tube which has inflatable cuff with recommended pressure of 20-30 cmH2O. There are various factors affecting the endotracheal tube cuff pressure, including head rotation and change of body position. This study aims to investigate the effect of 15o, 45o, 60ohead rotation and lateral decubitus body position to endotracheal tube cuff pressure. This study was conducted to intubated patients undergoing general anesthesia in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Initial cuff pressure was set to 25 cmH2O; then body position was altered from supine to lateral decubitus; head rotated to 15°, 45°, 60°. Cuff pressure was measured by different observers. Results show significant difference in endotracheal tube cuff pressure between supine, head rotations, and lateral decubitus positions, with p<0,001 and subsequent post-hoc analysis yielding to p<0,001. Even though statistically significant, only lateral decubitus position yields to clinically significant pressure difference.
"
2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Wuri Handayanto
"ABSTRAK
Tekanan balon pipa endotrakeal (ETT) akan menimbulkan komplikasi bila diberikan lebih atau kurang dari batas aman yang direkomendasikan. Perubahan tekanan ini, dapat disebabkan oleh perubahan posisi. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan tekanan balon ETT setelah perubahan posisi supine ke lateral decubitus. Penelitian ini merupakan uji klinis eksperimental untuk mengetahui perbedaan tekanan balon ETT setelah perubahan posisi supine ke lateral decubitus pada pasien yang menjalani anestesi umum. Sampel diambil dengan cara consecutive sampling dalam satu kelompok (n=40). Variabel yang diukur pada penelitian ini adalah tekanan balon ETT pada saat posisi supine dan pada saat setelah posisi lateral decubitus. Hasil menunjukan bahwa dari semua sampel penelitian yang diambil terdapat perbedaan yang signifikan pada tekanan balon ETT saat diposisikan supine dan lateral decubitus, dimana pada saat diposisikan lateral decubitus tekanan balon ETT lebih tinggi daripada tekanan balon ETT saat diposisikan supine. Kesimpulan dari penelitian ini adalah Terdapat perbedaan yang signifikan pada tekanan balon ETT setelah perubahan posisi pasien dari supine ke lateral decubitus. Perubahan posisi ini terbukti dapat meningkatkan tekanan balon ETT.. Berdasarkan penelitian ini, disarankan perlu penggunaan alat pengukur tekanan balon ETT pada setiap tindakan anestesi umum dengan intubasi ETT khususnya untuk operasi yang memerlukan posisi pasien lateral decubitus, guna memastikan tekanan balon ETT selalu dalam batas aman. Sehingga komplikasi akibat tekanan balon ETT diluar batas aman tidak terjadi dan keamanan pasien tetap terjaga.

ABSTRACT
Endotracheal tube (ETT) cuff pressure will cause complications when given more or less than the recommended safe limits. These pressure changes, can be caused by a change in patiens position. This study aims to know the cuff pressure difference of endotracheal tube after position changes from supine to lateral decubitus. This study is an experimental clinical trial to determine the pressure cuff difference of endotracheal tube after position changes from supine to lateral decubitus in patients undergoing general anesthesia. Samples were taken by consecutive sampling in one group (n = 40). Variables measured in this study is the cuff pressure during supine position and after position changes to lateral decubitus position. The results showed that of all study samples are taken there are significant differences in cuff pressure when positioned supine and lateral decubitus, At which time the ETT cuff pressure is higher when positioned in lateral decubitus than supine position. The conclusion of this study was there are significant differences in ETT cuff pressure after changing position of the patient from supine to lateral decubitus. This change causes an increase in cuff pressure was statistically significant. Based on this study, it is advisable to use a ETT cuff gauge in every act of general anesthesia with ETT intubation, especially for operations that require long surgery with lateral decubitus position, to ensure the cuff pressure was always within safe limits. So that the complications of cuff pressure did not occur beyond safe limits and patient safety is maintained."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi
"ABSTRAK
Latar Belakang: Prediksi kedalaman rongga epidural pada pediatrik untuk
menghindari komplikasi tertusuknya dura. Rumus Bosenberg 1 mm/kgbb
merupakan rumus yang sering digunakan untuk menentukan jarak kulit ke rongga
epidural (loss of resistance) pada pasien pediatrik pada ras Kaukasia. Terdapat
perbedaan anatomi antara ras Asia dan Kaukasia, sehingga menimbulkan
pertanyaan apakah rumus Bosenberg 1 mm/kgbb tepat digunakan untuk
menentukan jarak kulit ke rongga epidural pada pasien pediatrik ras Melayu dan
faktor apa saja yang berhubungan untuk menentukan kedalaman rongga epidural.
Metode : Penelitian ini adalah uji Bland Altman dan analisis regresi dengan
pengambilan data dari rekam medis pasien pediatrik ras Melayu yang menjalani
tindakan anestesia epidural pada bulan Januari 2011-Juli 2015 di RSUPN Cipto
Mangunkusumo. Sebanyak 67 subjek yang menjalani tindakan anestesia epidural.
Data yang diolah berupa usia, berat badan, tinggi badan dan loss of resistance
(LOR). Dengan menggunakan SPSS 22, dilakukan uji Bland Altman terhadap
LOR aktual dan LOR yang didapat berdasarkan rumus Bosenberg. Analisis
regresi linear digunakan pada variabel usia, berat badan dan tinggi badan untuk
menentukan hubungan antara ketiga variabel ini terhadap LOR.
Hasil : Empat belas subjek dikeluarkan dalam penelitian karena data tidak
lengkap dan terdapat kriteria ekslusi pada subjek. Tersisa 53 subjek yang masuk
dalam penelitian ini. Uji Bland Altman menghasilkan rentang nilai limit of
agreement -4,41 sampai 3,15. Nilai ini mempunyai rentang yang cukup lebar dari
nilai limit of agreement yang diharapkan (-1,25 dan 1,25). Pada analisis bivariat
diperoleh korelasi sangat kuat terhadap usia (r= 0,809), berat badan (r=0,966), dan
tinggi badan (r=0,906). Analisis regresi linear menghasilkan tiga persamaan dari
tiap-tiap variabel dengan nilai R
2
tertinggi adalah berat badan (92,7%) diikuti
tinggi badan (75,9%) dan usia (57%).
Simpulan: Rumus 1 mm/kgbb tidak tepat digunakan untuk menentukan jarak
kulit ke rongga epidural pada pasien pediatrik ras Melayu di RSUPN Cipto
Mangunkusumo. Terdapat hubungan antara usia, berat badan, dan tinggi badan terhadap jarak kulit ke rongga epidural.

ABSTRACT
Background : Skin-epidural distance prediction on pediatric patient undergoing
procedure is necessary to prevent complication. Bosenberg prediction formula of
1 mm/kg of body weight is widely used in Caucasian pediatric patient. However,
there is anatomical variation between Caucasian and Asian which created question
on the accuracy of Bosenberg prediction formula if used on Malayan pediatric
population and factors related to skin-epidural distance in these population.
Methods : This study use cross-sectional design in which the data from medical
record was used to collect information about age, weight, height and skin-epidural
distance from pediatric (loss of resistance) patient undergoing epidural procedure.
SPSS 22 was used to perform statistical calculation on this set of data. Accuracy
of Bosenberg formula was analysed using Bland-Altman test in which the skinepidural
distance measured using loss of resistance (LOR) compared with
prediction from Bosenberg formula. Linear regression analysis was used to
identify predictor variable for skin-epidural distance.
Result : 67 subject was recruited for the study in which 14 was not included in
analysis because the exclusion criteria. Bland-altman test reveal limit of
agreement between -4,41 and 3.15 which is significantly larger than the expected
limit of agreement (-1,25 to 1.25). There is strong corelation between age, weight
and height to skin-epidural distance. The regression model derived from weight
variable have the strongest power to predict skin-epidural distance (R
value for
weight, height and age based model is 92.7%, 75.9% and 57% respectively.
Conclusion : The Bosenberg prediction formula of 1 mm/kg of body weight is not
accurate to predict skin-epidural distance in Malayan pediatric population. There
is relationship between age, height, and weight to skin-epidural distance in Malayan pediatric patient. "
2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Novia Widjaja
"Tesis ini merupakan penelitian pertama di Indonesia yang membahas pemanfaatan ultrasonografi tiroid dalam deteksi dini kelainan tiroid  pada kehamilan. Abnormalitas penanda tiroid pada kehamilan dapat mempengaruhi perkembangan janin. Rekomendasi dari American Thyroid Association tahun 2017 menganjurkan deteksi kelainan tiroid pada kehamilan berisiko. Biaya pemeriksaan penanda tiroid relatif mahal. Tujuan penelitian ini untuk melakukan analisis apakah pemanfaatan ultrasonografi dapat digunakan sebagai alternatif dalam rancangan alur prosedur deteksi dini kelainan tiroid pada kehamilan. Metoda penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Uji yang dilakukan adalah uji validitas dengan analisis sensitivitas dan spesifisitas, kesesuaian dengan pendapat pakar, dan analisis biaya. Hasil dari penelitian ini didapatkan 20 responden ibu hamil berusia 30-39 tahun, 12 orang trimester dua dan 8 orang trimester tiga, dengan faktor risiko terbanyak riwayat keluarga kelainan tiroid, didapatkan hasil USG abnormal 12 (60%) dan penanda tiroid abnormal 11 (55%). Analisis validitas menunjukkan sensitivitas sebesar 100 % dan spesifisitas sebesar 88,89 %, dengan prediktif negatif 100%. Pada analisis biaya ditemukan selisih pembiayaan sebesar Rp. 150.500,00 dibanding alur deteksi yang lama. Hal-hal yang dapat menimbulkan bias dalam penelitian ini adalah jumlah sampel yang kurang, terdapat sejumlah sampel (3 reponden; 15%) yang diambil pada waktu yang tidak seragam, ada sebagian sampel (5 sampel; 25 %) yang dikerjakan oleh laboratorium lain, dan faktor intrinsik peneliti sendiri pada saat pengerjaan ultrasonografi. Sensitivitas yang baik dan nilai prediktif negatif dari penelitian ini menyimpulkan bahwa pemanfaatan ultrasonografi tiroid mungkin dapat menjadi pilihan bagi rancangan alur prosedur alternatif deteksi dini kelainan tiroid pada kehamilan. Direkomendasikan pada peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian dengan jumlah sampel lebih besar, keseragaman pengerjaan sampel, dan melakukan pengujian keragaman interpretasi ultrasonografi oleh dua pakar sebelum penelitian untuk menyingkirkan bias, untuk selanjutnya dapat diajukan kepada pemangku kebijakan sehingga pemanfaatan ultrasonografi tiroid dapat menjadi alur prosedur alternatif deteksi dini kelainan tiroid pada kehamilan dalam panduan praktek klinis di rumah sakit.

This thesis the first in Indonesia, discusses the utilization of thyroid ultrasound in early detection of thyroid disorders in pregnancy. Abnormalities of thyroid function in pregnancy can affect fetal development. Recommendations from the American Thyroid Association in 2017 recommend periodic thyroid screenings for pregnant woman whom at risk of thyroid disorders. The cost of thyroid examinations is relatively expensive. The purpose of this study was to analyze whether the utilization of ultrasound can be used as an alternative pathway in the design of early detection procedures for thyroid disorders in pregnancy. The method of this research is qualitative descriptive.The analysis is using validity tests with sensitivity and specificity analysis, conformity with expert opinion, and cost analysis. The results of this study were obtained by 20 respondents of pregnant women aged 30-39 years, 12 people in the 2nd trimester and 8 people in the 3rd trimester, with the most risk factors for a family history of thyroid disorders, with abnormal ultrasound results of 12 (60%) and abnormal thyroid markers 11 (55%). Validity analysis showed sensitivity and specificity 100% and 88.89% respectively, with 100% negative predictive value. There is a financing difference of Rp. 150,500.00 compared to the current pathway. The bias in this study could be because of the lack of the number of samples, there are 3 blood sampling (15%) taken at the different schedule time, there are 5 samples (25 %) sent to other laboratories, and intrinsic factors during capturing ultrasound figures. The good sensitivity and negative predictive value of the study concluded that the utilization of thyroid ultrasound may be an option for the design of alternative procedures for early detection of thyroid disorders in pregnancy. It is recommended in further researchers to conduct studies with a larger number of samples, to design the samples as homogeneous as possible, and conduct diversity testing of ultrasound interpretation by two experts before the study begin, to keep out the biases, and further be submitted to stakeholders so that the utilization of thyroid ultrasound could be a pathway of alternative procedures for clinical practice guidelines of early detection of thyroid disorders in pregnancy in hospitals."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas ndonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Hafni
"ABSTRAK
Latar belakang. Target Control Infusion (TCI) yang digunakan untuk propofol
saat ini adalah Marsh dan Schneider. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perbandingan efisiensi propofol antara aplikasi TCI rumusan Marsh dan rumusan
Schneider pada pasien ras Melayu di RSCM. Efisiensi propofol dinilai dari total
dosis propofol yang digunakan, lama waktu sampai tercapainya LoC (Loss of
Conciousness) dan efek samping yang terjadi.
Metode. Subyek sebanyak 54 pasien, dirandomisasi menjadi 2 kelompok, 27
pasien menggunakan TCI rumusan Marsh dan 27 pasien menggunakan TCI
rumusan Schneider. Target konsentrasi plasma (Cp) 4,2μg/ml unruk rumusan
Marsh dan 6μg/ml untuk Schneider. dinilai kesadaran subyek, bila Cp awal telah
tercapai selama 1 menit namun pasien masih sadar, target Cp dinaikkan 0,5μg/ml
tiap 30 menit sampai tercapai loss of consciousness (LoC).
Hasil. Total dosis propofol yang digunakan sampai tercapainya LoC dengan TCI
rumusan Marsh 1,50±0,34 mg/kg dan yang menggunakan TCI rumusan Schneider
1,74±0,29 mg/kg. Lama waktu yang diperlukan sampai tercapainya LoC dengan
rumusan Marsh 104,58±28,00 detik dan dengan rumusan Schneider 173,48±28,94
detik. Pasien yang menggunakan TCI rumusan Marsh mengunakan total dosis
yang lebih sedikit dengan p<0,05 dan waktu yang lebih singkat sampai
tercapainya LoC dengan p<0,05. Tidak ditemukan adanya perbedaan efek
samping antara kedua aplikasi tersebut.
Kesimpulan. Tidak ada aplikasi TCI yang lebih efisien antara Marsh dan
Schneider.

ABSTRACT
Background. Target Control Infusion (TCI) were used for the current propofol is
Marsh and Schneider. This study compare the efficiency propofol using Marsh
and Schneider TCI application for Malay race patients in RSCM. Efficiency of
propofol assessed total propofol dose used, the length of time to reach the LoC
(Loss of Conciousness) and the side effects that occur.
Methods. The subject are 54 patients, randomized into 2 groups, 27 patients using
the TCI Marsh formulation and 27 patients using the TCI Schneider formulation.
Target plasma concentrations (Cp) 4.2 mg / ml for Marsh group and 6μg/ml for
Schneider group then we assessed the patient’s awareness. If initial Cp had been
achieved for 1 minute but the patient is still conscious, target Cp was increased
0.5 ug / ml every 30 minutes until the patients was unconscious (LoC).
Results. Total dose of propofol had been used to achieve LoC in Marsh group
was 1.50 ± 0.34 mg / kg, and for Schneider group was 1.74 ± 0.29 mg / kg. The
length of time needs to reach the LoC in Marsh group was 104.58 ± 28.00 seconds
and Schneider group was 173.48 ± 28.94 seconds. Patients in Marsh group used
less total dose and had shorter time to reach the LoC than in Schneider group (p
<0.05). There are no differences in side effects between the two groups.
Conclusion. No applications of TCI are more efficient between Marsh and
Schneider."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pradipto Utomo
"Latar Belakang: Persentase kasus pleuritis TB mencapai 20% dari total jumlah kasus TB ekstra paru. Penegakkan diagnosis efusi pleura TB cukup sulit karena tindakan biopsi pleura yang bersifat invasif dan rendahnya sensitivitas pemeriksaan BTA cairan pleura. Adenosine deaminase (ADA) dapat menjadi reference test dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi namun ketersediaannya pada pelayanan kesehatan primer masih terbatas.
Tujuan: Menganalisis model prediksi diagnosis efusi pleura TB
Metode: Studi ini menggunakan metode potong lintang. Penelitian tersebut dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Variabel independen terdiri dari usia, nyeri dada pleuritik, efusi pleura unilateral, cairan pleura kesan eksudat mononuklear dominan, sitologi malignansi negatif, gambaran ultrasonografi dan rasio netrofil-limfosit darah. ADA ≥35 untuk menentukan efusi pleura TB. Hubungan variabel independen dengan efusi pleura TB dianalisis secara bivariat, secara multivariat, pembuatan kurva ROC dan kalibrasi dengan Hosmer-Lemeshow
Hasil: Didapatkan 91 subjek dengan karakteristik jenis kelamin pria 41 subjek (45,1%) sedangkan wanita 50 subjek (54,9%). Malignansi merupakan komorbid terbanyak dengan 52 subjek (57,1%). Proporsi kelompok efusi pleura TB sebesar 25,3%. Faktor-faktor yang memengaruhi penegakkan diagnosis efusi pleura TB pada penelitian ini adalah gambaran ultrasonografi kompleks OR 5,655 (IK 95% 1,700-18,812), glukosa cairan pleura ≤70 mg/dL OR 11,262 (IK 95% 2,931-43,276) dan cairan pleura eksudat mononuklear dominan OR 8,567 (IK 95% 2,114-34,715). Pada ROC didapatkan AUC 0,841 dengan p<0,001 IK 95% (0,762-0,926). Didapatkan sistem skor dengan nilai cut-off ≥2 dengan probabilitas 92,8%.
Simpulan: Faktor-faktor yang memprediksi diagnosis efusi pleura TB adalah gambaran ultrasonografi kompleks, glukosa cairan pleura ≤70 mg/dL dan cairan pleura kesan eksudat mononuklear dominan. Didapatkan sistem skor dengan nilai cut-off ≥2 dengan probabilitas 92,8%.

Background: Percentage of TPE reach 20% of total EPTB cases. The diagnosis of TPE is difficult due to pleural biopsy procedure invasiveness and acid fast stain low sensitivity. Adenosine deaminase (ADA) can become reference test with high sensitivity and specificity but availability in primary health care is limited.
Objective: Analyze prediction model in diagnosis of tuberculous pleural effusion.
Methods: This study uses a cross-sectional method. The study was conducted at Cipto mangunkusumo Hospital. Independent variables consist of age, pleuritic chest pain, unilateral pleural effusion, glucose pleural fluid ≤70 mg/dL, exudative mononuclear pleural effusion, negative cytology malignancy, ultrasound characteristic and blood neutrophil-lymphocyte ratio. ADA ≥35 suggests TPE. The variaables analyzed bivariately, multivariately, ROC curve and Hosmer-Lemeshow.
Results: There were 91 subjects with characteristic of male 41 subjects (45,1%) and female 50 subjects (54,9%). Malignancy was the most frequent comorbid with 52 subjects (57,1%). Factors associated with TPE diagnosis are complex ultrasound characteristic OR 5,655 (CI 95% 1,700-18,812), pleural fluid glucose ≤70 mg/dL OR 11,262 (CI 95% 2,931-43,276) and exudative mononuclear dominant pleural effusion OR 8,567 (CI 95% 2,114-34,715). In ROC curve conclude AUC 0,841 with p<0,001 CI 95% (0,762-0,926). The result is a scoring system cut-off value ≥2 with probability 92,8%.
Conclusion: Predicted factors of TPE diagnosis are complex ultrasound characteristic, low pleural fluid glucose and exudative mononuclear dominant pleural effusion. The result is scoring system with cut-off value ≥2 with probability 92,8%.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kuspuji Dwitanto Rahardjo
"Latar Belakang: Beberapa penelitian telah menunjukkan tingginya angka morbiditas dan mortalitas yang diakibatkan oleh kongesti paru pada pasien hemodialisis. Pemeriksaan yang dilakukan selama ini untuk menentukan pasien telah bebas kongesti paru atau dianggap mencapai berat badan kering adalah dengan menggunakan pemeriksaan fisik. Penilaian kemampuan pemeriksaan fisik untuk deteksi kongesti paru belum jelas.
Tujuan: Untuk membandingkan kemampuan pemeriksaan fisik dengan ultrasonografi paru dalam menilai kongesti paru pada pasien hemodialisis.
Metode: Penelitian potong lintang terhadap data primer pasien hemodialisis yang menjalani dialisis kronik di RSCM antara Juni sampai Juli 2015. Analisis dilakukan untuk mendapatkan proporsi, sensitifitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif disertai dengan rasio kemungkinan positif.
Hasil: Jumlah sampel yang diteliti adalah 60 pasien. Pada pemeriksaan interobserver di 20 pasien didapatkan angka korelasi interobserver kappa 0,828. Pada pemeriksaan keseluruhan 63 pasien didapatkan kongesti paru pada 36 pasien (57,1 %), yaitu kategori ringan 24 (38,1 %) dan sedang 12 (19 %). Pada pemeriksaan DVJ dibandingkan dengan USG paru didapatkan angka Sensitivitas = 0,47 (IK95% 0,31-0,63), spesifisitas = 0,73 (IK95% 0,54-0,86), Nilai Duga Positif = 0,51 (IK95% 0,36-0,67), Nilai Duga Negatif = 0,70 (IK95% 0,49 - 0,84), Rasio Kemungkinan Positif = 1,75 (IK95% 0,88 - 3,47), Rasio Kemungkinan Negatif = 0,72 (IK95% 0,47 - 1,12). Sedangkan untuk pemeriksaan auskultasi paru didapatkan sensistivitas = 0,56 (IK95% 0,39 - 0,71), spesifisitas = 0,54 (IK95% 0,35 - 0,71), NDP = 0,61 (IK95% 0,44 - 0,76), NDN = 0,48(IK95% 0,31 - 0,66), RKP = 1,21 (IK95% 0,73 - 2,0) dan RKN = 0,82 (IK95% 0,49 - 1,38).
Simpulan: Akurasi pemeriksaan DVJ dan auskultasi paru fisik tidak baik dalam mendiagnosis kongesti paru. Proporsi kongesti paru pada pasien-pasien hemodialisis kronik yang telah mencapai berat badan kering di RSUPN CM adalah 57,1%.

Background: A few research has shown hemodialysis patient with lung congestion had a high morbidity and mortality. Patient was assumed to be lung congestion free if they had reached their dialysis dry weight. To achieve this usually physical examination were used. The accuracy of physical examination in detecting lung congestion has not been established yet.
Objective: To compare the capability of physical examination in compare with lung ultrasound in detection of lung congestion.
Methods: A cross sectional data collection was done in hemodialysis patients in RSUPN CM between June to July 2015. Analysis was done to obtain proportion,sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value and positive likelihood ration.
Results: Sixty patients were obtained as sample. From the inter observer of 20 patients we found the kappa was 0,828. From th all 60 patients, we found 36 patients (57,1 %) had lung congestion. Mild lung congestion were found in 24 (38,1 %) and 12 (19 %) had moderate degree. In the analysis comparing jugular venous pressure to lung ultrasound we found sensitivity = 0,47 (CI95% 0,31 - 0,63), specificity = 0,73(CI95% 0,54 - 0,86), Positive Predictive Value (PPV) = 0,51 (CI95% 0,36 - 0,67), Negative Predictive Value (NPV) = 0,70 (CI95% 0,49 - 0,84), Positive Likelihood Ratio (PLR) = 1,75 (CI95% 0,88 - 3,47), Negative Likelihood Ratio (NLR) = 0,72 (CI95% 0,47 - 1,12). For lung auscultation we found sensitivity = 0,56 (CI95% 0,39 - 0,71), specificity = 0,54 (CI95% 0,35 - 0,71), PPV = 0,61 (CI95% 0,44 - 0,76), NPV = 0,48 (CI95% 0,31 - 0,66), PLR = 1,21 (CI95% 0,73 - 2,0) and NLR = 0,82 (CI95% 0,49- 1,38).
Conclusions: Jugular venous distention and lung auscultation examination is not good in detection of lung congestion. The proportion of lung congestion in hemodialysis patients in RSUPN CM is 57,1%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kamilah Muhammad Hafidz
"Latar belakang. Teknik Target Controlled Infusion untuk anestesia umum semakin banyak digunakan. Jumlah pasien geriatri yang harus menjalani prosedur operasi semakin bertambah, serta memerlukan pertimbangan khusus mengingat risiko operasi dan pembiusan yang lebih tinggi pada golongan ini. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan konsentrasi plasma (Cp) dan konsentrasi effect site (Ce) propofol menggunakan rumusan Marsh pada pasien geriatri ras Melayu di RSCM dengan dan tanpa pemberian premedikasi fentanil.
Metode. Empat puluh pasien geriatri orang Indonesia Asli status fisik ASA 2, usia > 60 tahun dan BMI 18-30 kg/m2 dirandomisasi. Satu kelompok (20 pasien) mendapatkan Fentanil-Propofol, lainnya (20 pasien) mendapatkan NaCl-Propofol. Pemberian propofol menggunakan TCI rumusan Marsh dengan target konsentrasi plasma. Target Cp dimulai dari 1 µ/ml dinaikkan 1 µ/ml tiap menit sampai tercapai loss of consciousness (LoC) dan diteruskan sampai nilai BIS 45-60 selama 5 menit (steady state).
Hasil. Pada kelompok Fentanil-Propofol saat LoC didapatkan Cp 3,15+0,35 µ/ml dan Ce 1,53+0,53 µ/ml dan saat BIS stabil didapatkan Cp 4,14+0,59 µ/ml dan Ce 2,63+0,60 µ/ml. Pada kelompok Nacl-Propofol saat LoC didapatkan Cp 4,20+0,61 µ/ml dan Ce 2,26+0,56 µ/ml dan saat BIS stabil didapatkan Cp 4,78+0,38 µ/ml dan Ce 3,30+0,52 µ/ml. Pasien-pasien yang mendapatkan fentanil terlebih dahulu memiliki Cp dan Ce yang lebih rendah baik saat LoC maupun saat nilai BIS stabil (P < 0,05).
Kesimpulan. Terdapat perbedaan bermakna antara Cp dan Ce propofol yang diberikan premedikasi fentanil dan yang tidak.

Background. The application of Target Controlled Infusion (TCI) technique in general anesthesia is progressively growing. Number of geriatric patients scheduled for operations increases every year, while this group needs special consideration following the higher risk of surgery and anesthesia. The purpose of our study was to compare the estimated plasma concentration (Cp) and the effect site concentration (Ce) of propofol using Marsh pharmacokinetic model for geriatric patients in Cipto Mangunkusumo Hospital with and without the administration of fentanyl premedication.
Methods. Forty patients, physical status ASA 2, aged > 60, BMI 18-30 kg/m2 randomly assigned to a fentanyl-propofol group or a saline-propofol group. TCI propofol was initiated using Marsh pharmacokinetic model. Initial plasma concentration in each group was 1 µ/ml and increased by 1 µ/ml every minute until there was no eyelash reflex, which defined as loss of consciousness (LoC). Propofol plasma concentration was increased and decreased to reach a stable BIS value between 45-60, considered as Cp and Ce at steady state.
Results. In the fentanyl-propofol group the estimated Cp at loss of consciousness was 3,15+0,35 µ/ml and Ce 1,53+0,53 µ/ml. At steady state, Cp was 4,14+0,59 µ/ml and Ce 2,63+0,60 µ/ml. In the saline-propofol group Cp 4,20+0,61 µ/ml and Ce 2,26+0,56 µ/ml. At steady state, Cp was 4,78+0,38 µ/ml and Ce 3,30+0,52 µ/ml. The estimated Cp and Ce in the fentanyl-propofol group were lower than saline-propofol group (p < 0.05).
Conclusion. There is a significant difference between Cp and Ce in the salinepropofol group and fentanyl-propofol group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>